Selasa, 09 November 2010

Tentang mengurai Jiwa

Saya pernah baca 'Belenggu' milik Armijn Pane. Dulu sih, waktu SMP. Tapi sekarang masih ingat betul jalan ceritanya. Tapi by the way, bukan jalan cerita itu yang ingin saya bicarakan sekarang. Tapi tentang gaya tulisan meluapkan perasaan.

Kalau boleh saya berkomtar, Roman Belenggu tak terlalu unik dari segi cerita, tapi yang membuat saya mengingatnya hingga sekarang adalah, bagaimana seorang Armijn Pane bisa melukiskan perasaan tokoh dengan begitu sempurna. Seolah, kita sendirilah yang mengalami hal itu. Saya menyebutnya sebagai Roman jiwa. Tak terlalu menyoroti latar, jalan cerita juga biasa, tapi pengolahan jiwanya begitu luar biasa. Dua jempol deh untukmu Pujangga!

Saat membuat novel, saya selalu berusaha mengedepankan sisi itu, terutama saat saya membuat Melodi Dawai Hati. Percaya atau tidak, ketika menulisnya, saya memasukkan segenap jiwa saya kedalam tokoh yang sedang saya tulis. Saya sampai menangis ketika menulis tentang kerinduan seorang 'Edhu' dan kesepian seorang 'Reina'.

Maka harapan saya, sampailah apa yang saya rasakan itu pada pembaca semua.

Well, sudah berhasilkah tujuan saya? Andalah pembaca, yang menentukan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar