Selasa, 07 November 2017

Mozaik Cinta (VIII)


Hanan menutup ‘Empress Orchid’ milik Anchee Min. Ambisi seorang Thu Zhi masih berdiam dikepalanya. Tapi tak lama sebuah ciuman ditangannya menyadarkan Hanan. Ia menoleh pada Sami.
Lelaki itu masih menekuri bukunya. Kali ini bukan ‘Bung Tomo Suamiku’ (karena buku itu sudah Sami selesaikan malam tadi), tapi sebuah buku tentang perkembangan arsitektur masa kegemilangan Islam. Sami duduk bersandar disamping Hanan. Kacamata minusnya seolah berdiam terlalu tinggi karena jangkungnya pangkal hidung Sami. Kacamata itu hanya Sami pakai jika ia membaca, atau sesekali saat menggambar. Rambutnya yang mulai memanjang luruh satu dua dikeningnya. Alisnya memanjang lurus menuju pelipis. Pipinya halus dengan hiasan jambang rapi yang terus berlanjut hingga dagunya. Meski begitu bibir tipisnya tak ternaungi kumis, memberi kesan, Sami selalu terlihat rapi. Mata coklatnya terlihat begitu teduh, membuat Hanan ingin berada didalam mata itu selamanya. Tangan kiri Sami memegang buku yang terbuka, sementara tangan kanannya, memainkan jemari Hanan. Kadang memilinnya, kadang memutar-mutar cincin yang Hanan kenakan, kadang menempelkan kemulutnya, menciumnya, atau bahkan menggigit-gigitnya pelan. Tapi meski begitu, pikirannya seolah tertelan kedalam dunia yang kini tengah ia baca.
Hanan menggeliat pelan, meregangkan kakinya, melancarkan peredaran darahnya yang tertahan karena terlalu lama duduk. Sami telah duduk lebih lama darinya, tapi sepertinya, peredaran darahnya oke-oke saja. Hanan tersenyum melihat lagi kesamping, kearah Sami. Sami duduk begitu santai, tapi sofa putih ini membuat Sami terlihat begitu megah. Gemerlap. Seperti seorang raja diatas singgasananya. Tidak, Hanan menggeleng. Bukan kursi yang membuat Sami terlihat seperti raja, tapi Sami-lah yang membuat sofa putih ini terlihat bagai singgasana.
“Kenapa? Mengagumi ketampananku?” tanya Sami tiba-tiba. Kata-katanya begitu tenang, dan wajahnya belum beralih dari buku. Seolah ia mengatakan hal yang biasa saja, padahal lihat saja Hanan. Kalimat Sami itu membuatnya kaku dan salah tingkah. Ingatan itu membuat Sami mengangkat kepala dan menoleh pada Hanan. Kalau sedang malu, wajahnya berubah kan? Benar saja.
“Wajahmu seperti udang rebus.”
“Hah? Apa?”
“Seperti udang rebus. Kemerahan diantara tubuhnya yang putih. Kalau kepiting rebus terlalu merah,” kata Sami santai. Hanan cemberut. Hanan sama sekali tak mengerti kalau Sami memujinya. Ya, meski aneh, itulah cara Sami memuji. Cara yang terdengar asing ditelinga perempuan mana pun. Kenapa tak memisalkan Hanan dengan mawar jingga misalnya? Meskipun tak nyambung, toh yang itu akan lebih disukai Hanan daripada disebut udang rebus meski sangat mirip.
“Boleh tidak aku menarik tanganku?” tanya Hanan hati-hati.
“Kenapa? Tak suka?”
“Bukan begitu, tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku, baju yang selesai kusetrika tadi, belum semuanya disimpan.”
Sami melihat meja didekat meja setrika. Disana ada dua tumpukan baju yang telah disetrika. “Itu punyaku?”
“Ya.” Hanan mengira tadi Sami sudah menyimpan semuanya, tapi ternyata ia meninggalkan dua tumpukan itu tertinggal.
“Biar aku saja,” Sami melepas tangan Hanan.
“Aku saja Sami, sekalian aku membereskan kamarmu,” Hanan berdiri hendak menyusul.
“Tidak, duduk saja. Istirahat. Ok?” Sami menahan Hanan. “Lagipula kamarku sudah bersih,” kata Sami sambil berjalan dengan dua tumpukan baju itu ditangannya menuju ke kamar.
Kening Hanan berkerut. Apakah hanya perasaannya saja atau memang Sami melarang Hanan masuk kamar Sami? Setiap Hanan hendak masuk untuk urusan apapun, Sami selalu mencegahnya, dan secepat kilat menggantikan Hanan menyelesaikan urusan itu. Tapi kenapa? Karena Hanan tak kunjung bisa menebak alasannya, maka ia mengangkat bahu. Tidak,  pasti cuma perasaannya saja. Sami bukan melarangnya masuk kamar, tapi karena tak ingin merepotkan Hanan. Begitukah? Hanan mengangguk meyakinkan dirinya sendiri. Lagipula, ia terlalu bahagia untuk sekedar mencurigai tingkah Sami. Biar saja Sami berlaku seperti itu, toh itu akan meringankan pekerjaannya juga.
“Hei, mau buat kue sekarang?” Sami keluar dari kamarnya. Hanan menyambutnya dengan senyum.
Ya, enyahkan pikiran buruk. Ia sedang bahagia sekarang. Sejak tadi malam, ia dan Sami telah menjadi suami istri yang sesungguhnya. Jadi, jangan ganggu kebahagiaan hanya dengan kecurigaan-kecurigaan kecil yang tak jelas. Hatinya berbisik pelan.

*   *   *

Hanan bangun kesiangan! Sami? Jangan harap dia bangun lebih awal dari Hanan.
“Sami,” Hanan menyentuh dan menggoyangkan bahu Sami. “Sami,” ulang Hanan karena tak ada reaksi berarti dari Sami. Sami menggeliat kecil. “Bangun Sami, sepertinya kita melewatkan Adzan shubuh!”
Benar saja, baru saja kalimat Hanan berhenti, suara Iqamah terdengar dari masjid diujung jalan. Sami bangun seketika, tubuhnya terduduk cepat. Dan setelah sadar dengan cepat, ia menyibak selimutnya dan berjalan ke wc cepat. “Ah, gawat!” Yah, kebiasaannya untuk shubuh di Masjid diingkari hari ini. Untuk pertama kalinya. Dan kelalaian itu membuat Hanan menyesal.
“Maaf ya, Sami,” kata Hanan setelah Sami keluar kamar mandi.
Sami menoleh, “Kok minta maaf?” tanyanya sembari memakai handuk, menyisir dan memakai koko-nya dengan gerakan ekspres.
“Aku kesiangan,” Hanan memang menyesal. Tidak bohong.
Sami menghampirinya dan mencium pipi Hanan, harum pasta gigi tercium hidung Hanan. “Terimakasih sudah membangunkanku,” kata Sami sebelum akhirnya ia pamit untuk mengejar ketinggalannya ke masjid. Dijamin, sekarang pasti Sami sedang berlari. Untungnya, jarak rumah dengan masjid tak terlalu jauh.
Karena insiden kecil itu, Hanan mempersiapkan semuanya ekstra cepat.
“Kenapa buru-buru?” Sami melihat Hanan mengeluarkan isi kulkas dengan gerakan robot yang baterainya baru diganti.
“Ini sudah jam enam, Sami, aku belum menyiapkan sarapan dan makan siang!” kata Hanan panik. Ia paling benci kesiangan. Segalanya hari itu akan menjadi buruk kalau diawali dengan bangun siang.
“Siapkan saja sarapannya,” Sami memegang punggung tangan Hanan, menyuruhnya berhenti dengan halus.
“Tapi...”
“Tak apa. Sekali-kali makan diluar asyik juga. Lagipula, kamu juga butuh libur kan?” Sami memasukkan kembali sayuran yang dikeluarkan Hanan kedalam kulkas. “Yang kesiangan itu hanya shalat subuhku. Yang lain, bisa menunggu.”
“Tapi, Sami...”
“Sudahlah. Ayo kubantu siapkan sarapan. Ini baru jam enam, ada waktu dua jam untuk menyiapkan semuanya dengan baik. Dan untuk memasak makan siang, sekali ini bisa kau lewatkan.” Sami mengambil pisau dan mulai mengupas bawang. “Ehm, badanmu lebih wangi daripada bawang ini,” Sami menutup hidungnya.
“Kau menyamakan bauku dengan bawang?” Hanan memukul Sami.
“Justru kubilang tidak sama kan?”
Hanan cemberut marah.
“Sebenarnya, aku bermaksud bercanda biar kau tertawa. Tapi sepertinya... tak lucu ya?”
Hanan memandang Sami bingung sebelum ia akhirnya tertawa juga. Bukan karena candaan Sami yang tak lucu sama sekali, tapi justru karena candaan Sami yang menunjukkan kalau Sami tak bisa bercanda.
“Akhirnya kau tertawa juga,” kata Sami senang.
“Kenapa harus membuatku tertawa? Aku kan tidak marah-marah,” kata Hanan setelah tawanya selesai.
“Supaya kau rileks saja. Dan sekarang sudah rileks kan?”
Hanan mengangguk. Ya, Sami benar. Terkadang sedikit menyalahi peraturan tak masalah.
“Kau menggunakan cara seperti itu juga kalau panik?” Hanan mengambil alih pisau dari tangan Sami. Hanan orang yang perfeksionis. Dan Sami, ia lebih perfeksionis. Kelalaian sepele adalah kesalahan berat.
“Ya. Aku katakan pada diriku kalau ‘tidak ada masalah’.”
“Selalu berhasil?”
“Lebih sering tidak berhasil. Mengatakan ‘tak masalah’, justru memberiku keyakinan kalau aku dalam masalah besar!”
Hanan tertawa.
“Tapi makan siang yang tidak kau buat karena tak sengaja, sama sekali bukan masalah besar. Aku jamin itu. Dan jangan terus merasa bersalah. Berdamailah dengan dirimu. Ok!” Sami mengacak rambut Hanan.
“Aku tidak menyalahkan diriku hanya karena aku kesiangan.”
“Oh, itu luar biasa!” kata Sami kagum. Nah kelihatan kan, kalau sebenarnya Sami juga sulit memaafkan dirinya sendiri jika ia melakukan kesalahan.
“Tapi aku menyalahkanmu,” kata Hanan dengan tenang.
“Aku?” Sami membetulkan posisi berdirinya, waspada.
“Memangnya kau tak ingat? Kau yang membuatku tidur terlalu malam.”
Sami mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya ia tertawa. “Iya, maafkan aku...,” katanya. Lengannya sekarang melingkar dipinggang Hanan dan memeluknya dari samping. Erat.
Tapi selesaikah sampai disitu? Sama sekali tidak. Hanan membawa rasa bersalah itu hingga ruang kerjanya. Ia selalu ingat tentang makan siang yang tak sempat disiapkan. Mengatakan pada dirinya, kalau seharusnya Sami makan makanan favoritnya nanti siang, bukan makanan luar yang kebersihannya dan keamanan makanannya tak jelas. Belum tentu juga rasanya cocok dengan lidah Sami. Ah, bodoh! Hanan memukul kepalanya sendiri.
“Kenapa Bu? Saya salah motong, ya?” seorang pegawai yang tengah memotong kain menghentikan tangannya.
“Tidak,” Hanan tersenyum berat. Kok bisa sih pikirannya melayang saat ia bekerja seperti ini. Ia sedang melihat pekerjaan pemotong baru, bukannya berdiri melamun. Orang jadi salah faham kan? “Teruskan kerjanya,” Hanan tersenyum dan menepuk bahu orang baru itu. Siapa namanya? Nah, Hanan sudah melupakannya lagi.
Hanan berjalan turun ketempat outletnya. Rasa bersalah ini harus diselesaikan.
“Rani aku keluar dulu ya?” Hanan berpamitan ketika melintas didepan Rani.
“Lama nggak, Bu?”
“Sepertinya. Memangnya kenapa?”
“Biasanya sebentar lagi kan Pak Sami kesini, saya bilang apa sama beliau?”
“Aku yang akan kesana,” Hanan tersenyum sembari berlalu. Outletnya sepi sekarang, mudah-mudahan hanya karena hujan yang mengguyur Bandung sejak tadi pagi..
Hanan memanggil taksi dan meluncur kesebuah rumah makan yang selalu jadi pelariannya jika dulu ia malas masak. Diantara banyak Rumah Makan, rasa masakannya lebih cocok dilidah Hanan. Bahkan jujur saja, Hanan banyak meniru menu dan rasa yang masakannya pernah Hanan makan disini. Inginnya sih pulang kerumah dan masak sendiri. Tapi jelas tak mungkin kan? Jadi inilah alternatifnya.
Keluar dari rumah makan dengan sekotak makan siang, Hanan masuk lagi taksi yang tadi disuruh menunggu untuk kemudian meluncur ke tempat Sami. Waktu istirahat di kantor Sami sudah lima menit berlalu, dan untungnya, Hanan mendapat pesan dari Sami bahwa siang itu, ia tak akan datang ke tempat Hanan. Ada pekerjaan katanya. Jadi, Hanan tak perlu mengirim pesan pada Sami agar tak datang ke outletnya.
Lima menit kemudian, Hanan sampai di teras kantor Sami. Orang yang melihatnya langsung tahu, kalau dia Hanan. Mereka menyapa ramah. Termasuk satpam yang membukakan pintu untuk Hanan.
“Pak Sami didalam kantornya, Bu.”
“Syukurlah.”
“Mengirim makan siang?”
Satpam itu pasti melihat kotak makan siang yang Hanan bawa. “Iya, tadi tak sempat masak, jadi saya belikan ini,” Hanan tersenyum riang.
“Ibu hebat ya, dari sejak pertama menikah, cuma sekali saya lihat beliau ke kantin. Pasti masakan Ibu enak ya!” satpam itu tertawa. Sementara kening Hanan berkerut. Maksudnya?
“Eh, iya. Maksud saya, Ibu tak pernah melewatkan hari tanpa bekal makan siang untuk Bapak. Saya iri sama Pak Sami. Istri saya kerja juga, jadi mana sempat menyiapkan bekal untuk saya. Padahal, ibu juga kerja ya!”
Kerutan dikening Hanan semakin berlipat.
“Ah, saya kok jadi ngajak ngobrol Ibu ya! Maaf deh, Pak Sami diatas pasti sudah lapar!”
Hanan sebenarnya ingin bertanya lagi. Apa sih maksudnya? Aku belum ngerti nih! Tapi Hanan memutuskan untuk bertanya langsung pada Sami, maka diayunkannya langkah lebih ringan dari sebelumnya. Ia ingin cepat sampai! Sami pasti terkejut!
Dari sejak pertama menikah...
Tak pernah melewatkan hari tanpa bekal makan siang untuk Bapak...
Kalimat-kalimat itu terus terngiang-ngiang ditelinga Hanan. Memangnya sejak menikah aku membuatkan makan siang? Kan enggak. Hanan mengangkat bahu. Sudah deh, tanyakan saja.

*   *   *

Sami baru saja masuk kedalam ruangannya. Meetingnya lebih lama dari waktu yang direncanakan sebelumnya. Untungnya bisa selesai tepat saat waktu istirahat. Jadi mungkin, ia masih bisa menghubungi Hanan. Karena Hanan hari ini tak memberikan bekal untuknya, maka Hanan harus membayarnya dengan menemaninya makan diluar. Tapi baru saja membuka kunci ponselnya, Sami dikejutkan dengan kehadiran seseorang diruangannya. Seorang perempuan, tapi bukan Hanan.
“Huda?”
Huda tergagap. “Eh, maaf.” Huda yang tengah melakukan sesuatu didekat meja Sami lekas menjauh. Sami melihat keatas meja. Sebuah kotak makan siang tersimpan disana.
“Kau tak perlu melakukan ini, Huda.”
“Aku tahu aku tolol,” kata Huda berat. Ada bongkahan besar menyumbat nafasnya, membuat dadanya terasa berat. “Aku tahu kau akan pergi makan ketempat Hanan, tapi aku masih menyimpan makan siang untukmu, disini.”
“Aku berusaha untuk melanjutkan hidupku, Huda.”
“Aku tahu. Aku tak menyalahkanmu. Juga Hanan. Juga Ibu...,” disini Huda terdiam. Suaranya masih keluar, tapi berganti isakan tertahan. Ia masih bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Ibu tak merestui hubungan mereka, alih-alih ibu menikahkan Sami dengan Hanan. Putri angkatnya. 
“Aku hanya membuatkanmu makan siang. Apa aku salah?”
Sami tertunduk, menekuri sepatunya. Ia ingin merengkuh Huda. Melihatnya menangis adalah hal yang paling membuatnya sakit. Tapi dia bisa apa? Ia tak bisa merengkuh Huda seperti ia melakukannya pada Hanan.
“Kau masih membuatnya padahal kau akan mengambilnya dengan keadaan yang sama seperti saat kau menyimpannya?” Sami menatap Huda perih. Jangan katakan kalau selama ini, Huda tetap membuatkan makan siang untuknya. Tapi harapan Sami hancur. Huda mengangguk.
“Makanya kubilang, aku ini tolol!” Huda membersihkan airmatanya.
Sami menghampiri mejanya. “Tapi Hanan hari ini tak membuatkanku makan siang.” Sami menyimpan map yang sedari tadi dibawanya beserta ponsel keatas meja. Melihat ponsel itu, Sami ingat, ia akan menghubungi Hanan. Tapi tidak, sepertinya rencana berubah.
Setelah duduk, Sami membuka kotak makan siang dari Huda.
“Sepertinya enak,” Sami melihat Shusi yang Huda buat untuknya. Huda memang pintar memasak. Semua masakan selalu dicobanya, dan sejak dulu, Sami menjadi orang pertama yang mencicipi masakan Huda. Untungnya, masakan Huda tak pernah gagal.
Huda memandang Sami tak percaya. Sungguh, harapan bahwa Sami akan memakan masakannya setiap ia meletakkan kotak di meja Sami, adalah kekuatannya untuk terus bertahan. Dan harapannya baru saja terwujud! Huda tersenyum lega.
Sami baru saja mengambil sumpit dan baru bersiap akan mengambil satu shusi ketika teriakan itu terdengar.
“KEJUTAN!” pintu terbuka dan Hanan muncul disana dengan wajah cerianya seperti biasa.
Waktu berhenti. Dan gerakan mereka bertiga juga ikut berhenti. Sumpit Sami tergatung diudara, tangan Hanan yang terbuka lebar juga menjadi kaku, dan Huda menatap Hanan terpaku.
“Hanan?” suara Huda tersekat. Kelegaannya menguap sempurna.
“Hanan?” Sami meletakkan sumpitnya, sesal tiba-tiba merayap. Mengapa rencananya untuk menghubungi Hanan batal?
Hanan memandang Huda dan Sami bergantian. Tangannya yang terbuka, ia jatuhkan pelan-pelan. Suara kantong kresek yang berisi makan siang berbunyi ketika tangan Hanan bergerak. Entah mengapa, suara tak berarti itu sekarang begitu berharga. Suara pelan itu cukup mengisi kekosongan yang tercipta diantara mereka bertiga.
“Kalian..., apa... aku mengganggu?” Hanan memegang gagang pintu. Jujur, ia ingin berlari secepatnya dari pemandangan tak menyenangkan ini. Tapi, memangnya dia anak kecil? Hanan bersumpah, ia ingin menikmati lagi masa kecil, karena tak harus takut dan malu bersikap menjadi seorang anak kecil.
“Tidak Hanan, kemarilah,” Sami berdiri dan hendak berjalan kearah Hanan. Bukankah ia harus menuntun gadis itu untuk masuk?
“Tak apa, Sami. Lanjutkan saja.” Hanan menutup pintu dan berjalan masuk mendekati Sami. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Sami duduk kembali.
“Wah! Kau yang membuat ini Huda?” Mata Hanan berbinar demi melihat isi kotak makan siang yang ada dihadapan Sami. Katakan bukan! Karena kalau kau mengangguk, aku akan membunuhmu! Dan ya, sepertinya niat membunuh Hanan harus ditahan, karena Huda memang mengangguk pelan.
“Pintarnya...,” Hanan meringis tertawa. Tapi dalam hati ia meringis sakit. Huda pintar masak! Masakan jepang pula! Hanan bahkan tak tahu apa nama masakan itu.
“Maaf, aku hanya...”
“Terimakasih ya, kau memperhatikan Sami,” Hanan tersenyum tulus. Kelihatannya. Kalau kau melakukannya lagi, aku akan membawa Sami pergi dan menghalangimu untuk melihatnya lagi.
“Hanan, ini tidak seperti yang kau lihat,” Sami menggengam tangan Hanan. Huda melihat tangan itu, dan ia ingin menjerit histeris.
“Memangnya, apa yang kulihat?” Hanan tertawa, dan merangkul bahu Sami dengan tangannya yang bebas. Membuat Sami tersenyum. Tapi Sami tak tahu, tawa Hanan adalah tawa ancaman.
“Oh ya, Huda. Kau sudah makan?”
“Apa?”
“Kau sudah makan belum?”
Huda menggeleng pelan.
“Kebetulan sekali. Karena aku tak sempat buat bekal, aku beli ini. Tapi karena Sami sepertinya sudah makan, kau saja yang makan ya?” Hanan menghampiri Huda dan menjejalkan pegangan kantong kresek itu kedalam tangan Huda. Ingatan Hanan sekarang melayang pada kejadian dirumah makan tadi, bagaimana selektifnya dia memilihkan ayam untuk Sami. Menunjuk-nunjuk lewat kaca, mengembalikannya lagi, dan mengambil yang lain. Untuk Sami, ia ingin yang bahkan potongannya pun sempurna. Dan sekarang, ia memberikan hasil usaha ‘cerewet’nya kepada Huda. Benar-benar menyebalkan.
“Tapi Hanan, kau membelikan ini untuk Sami, bukan untukku.”
“Ya habis, Sami kan sudah makan,” Hanan tertawa. Belum sih, dia belum makan. Tapi aku tak mau memberikannya pada Sami juga. Kesal sekali hati Hanan.
“Aku...”
“Sudah. Aku marah lho kalau kau gak mau.” Jadi cepat terima dan pergi dari sini!
Sesuai harapan Hanan, Huda mengambil kresek itu dan mengucapkan terimakasih. Huda akan pergi ketika Hanan menahannya dengan pertanyaan. Hanan ingat, ada satu hal yang ingin dia ketahui.
“Huda.”
Huda menoleh.
“Apakah, sebelum aku membuatkan bekal untuk Sami, kau yang membuatkan bekal untuknya?” Hanan memandang Huda tersenyum.
“Ya. Tapi..., hanya setelah kalian menikah,” suara Huda terdengar pahit. Terdengar pahit juga ditelinga Hanan. Kepahitan yang merambat terus hingga dadanya, akhirnya menyebar keseluruh tubuhnya.
“Hanan, Huda hanya...,” Sami mencoba mengatakan sesuatu. Ia tahu, ia sedang dalam masalah. Hanan tahu, kalau selama Sami tak pernah makan masakan Hanan, ia makan masakan Huda. Sami ingin membela Huda, atau lebih tepatnya, ia membela dirinya sendiri. Tapi pembelaan seperti apa, ia tahu ia tak punya apapun.
“Terimakasih. Kau mau repot-repot,” Hanan mengantar kepergian Huda dengan senyum merekah. Huda..., bagaimana bisa...
 Hanan berdiri kaku. Senyumnya menguncup cepat seiring menjauhnya Huda dari ruangan Sami. Sementara Sami juga terpaku menatap Hanan.
Hanan merasa sangat lemas, pikirannya tengah bekerja hebat mencari alasan-alasan untuk menghentikan rasa sakitnya. Maka ia berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan badannya yang sudah kehilangan tenaga. Tak apa, Hanan. Itu masa lalu. Tapi begitu Hanan ingat, bahwa pada saat itu, saat Hanan menunggu mematung dirumah, didepan hidangan yang dingin, Sami sedang menikmati masakan Huda. Rasa sakit Hanan semakin menjadi. Bodohnya dia. Dia dulu menganggap Sami tak pernah makan, setengah mati mengkhawatirkannya, setengah mati mencemaskannya, tapi orang yang dicemaskan sama sekali tak mengingat dirinya. Mengingat itu, sakit itu bertambah perih. Hanan, hentikan, itu masa lalu! Tapi rasa akibat masa lalu itu, masih terasa sakit...
Sami menghampiri Hanan dan duduk disampingnya. “Aku tidak tahu kau akan kemari,” Sami berusaha bicara normal dan mencoba mengalihkan pikiran Hanan. Tapi Sami memilih kalimat yang salah.
“Jadi, kalau aku tak kemari, kau...”
“Bukan begitu Hanan, kumohon jangan salah faham,” Sami memandangi lekat wajah Hanan. “Aku cuma mau bilang, kalau tadinya, aku akan menjemputmu untuk makan diluar.”
“Jika aku tak kemari, kau akan bersama Huda...” Hanan malanjutkan kalimatnya tanpa memperhatikan kalimat Sami.
“Hanan!”
“Jika aku tak membuatkan bekal, kau akan makan bekal yang dibuat Huda...”
“Hanan, kumohon...”
“Jika aku tak pernah datang dalam kehidupanmu, kau...”
“Hanan, hentikan.”
“Aku... mau pulang,” kata Hanan bergetar. Bukan hanya suaranya, tapi juga seluruh tubuhnya bergetar. Sami mengambil kedua tangan Hanan untuk menghentikan getaran itu.
“Aku akan mengantarmu,” Sami memilih untuk mengikuti keinginan Hanan.
“Tak apa Sami, kau sedang makan kan?” Hanan tersenyum. Tapi matanya berkaca. Ia tak tahu, kenyataan bahwa Huda begitu memperhatikan Sami, sangat menyakitkan. Dan kenyataan bahwa Sami menerima perhatian Huda, itu lebih menyakitkan.
“Kalau begitu, kita makan bersama.”
Hanan memandang Sami. Apa hatimu terbuat dari es hah?
“Maksudku, kita makan bersama diluar. Lagipula, aku tak suka ikan mentah,” Sami berusaha mengesampingkan pikiran buruk yang menguasai Hanan saat ini. Tapi Hanan tahu, Sami berkata hal itu hanya untuk menghiburnya.
“Aku datang kesini sendiri, jadi aku juga harus pulang sendiri. Tamu yang tidak diundang, tidak perlu diantar.”
“Hanan...”
Sami mengambil Hanan, hendak memeluknya. Tapi Hanan menolak dan menjauh.
“Aku akan pulang.” Hanan mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan berjalan. Sami, dengan cepat ia mengambil laptop dan ponselnya, memasukkannya dalam tas dan menyambar kunci mobil. Lalu dengan langkah-langkah lebar ia menyusul Hanan. Sami memegang bahu Hanan. Langkahnya limbung. Kali ini, ia tak menolak. Bagaimana pun terlukanya dia, dia masih ingat untuk menjaga kehormatan Sami dihadapan para karyawannya. Lagipula, Hanan memang butuh pegangan. Ia tak tahu mengapa, ia merasa sangat lemas.
“Rian, tolong handle segala urusanku. Dan batalkan saja semua janji hari ini,” kata Sami cepat ketika melintas dimeja Rian.
“Baik, Pak.” Rian berdiri. Ia melihat ke arah Hanan dan mengerti. “Mau diantar pakai mobil kantor saja, Pak?”
“Tak usah, Sami bisa mengantarku,” Hanan yang menjawab.
“Bu Hanan sakit?” beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, melihat Hanan khawatir. Mereka baru mengenal Hanan sekejap, hanya sekali bertemu Hanan sebelum ini. Tapi karena sikap Hanan yang bersahabat, mereka sudah merasa dekat.
“Wah, jangan-jangan hamil, Pak Sami,” Satpam yang membukakan pintu mereka tersenyum. Langkah Sami dan Hanan berhenti, mereka saling pandang.
“Waktu istri saya hamil seperti itu, Bu Hanan.”
“Saya cuma telat makan,” kata Hanan sambil melanjutkan langkahnya.
“Mudah-mudahan cepat sehat.”
“Terimakasih,” Hanan sedikit menganggukkan kepalanya, berpamitan.
“Kita ke Rumahsakit?” tanya Sami ketika mereka ada didalam mobil. Wajah Hanan semakin puncat dari tadi.
“Tidak. Aku ingin pulang.” Hanan menjawab tegas. Sekali lagi, Sami hanya mengikuti keinginan Hanan. Jika setelah istirahat keadaan Hanan masih sama, ia akan memaksanya ke Rumahsakit. Lagipula, bagaimana kalau Hanan memang benar-benar hamil?
Hujan lebat mengiringi kepulangan mereka. Mendung memang sudah tebal sejak pagi tadi, rupanya langit terlalu penuh dengan air hingga tumpahnya terlalu banyak.
Tidak, langit Hanan lah yang kini penuh air. Air yang tak bisa ditahan lagi untuk segera tumpah...

*   *   *

Hanan duduk bersila diteras kamarnya. Matanya terpaku menatap hujan.
Sejak pulang, Hanan tak melakukan apapun. Tak bicara sepatah katapun, tak bergerak satu senti pun. Sikap Hanan membuat Sami sangat bingung. Tapi karena ia tahu, ia yang bersalah, maka Sami terus menemani Hanan sampai dia mau bicara lagi.
Sami mengambil selimut diatas tempat tidur dan menyelimutkannya ke tubuh Hanan. Udara sangat dingin, cipratan-sipratan hujan bahkan beberapa tetes mengenai Hanan.
“Udara sangat dingin Hanan, bagaimana kalau kau istirahat saja ditempat tidur?” Sami mengambil rambut Hanan yang tertutup selimut, lalu menguraikannya. Rambut Hanan hitam dan tebal. Seperti iklan rambut di tv. Dan kali ini, Sami tak ingin membandingkannya dengan rambut Huda yang coklat.
“Kapan kau bertemu Huda, Sami?” tiba-tiba Hanan bersuara. Tangan Sami berhenti bergerak. Perlukah dijawab?
“Kalau aku tak lupa, saat umurmu sepuluh tahun. Benar?”
Sami memeluk Hanan dari belakang, mengatakan, ‘bagaimana kalau kita bicarakan hal lain?’ dengan caranya sendiri.
“Aku baru masuk dalam kehidupanmu selama beberapa bulan saja. Belum empat bulan kan, Sami?”
“Tiga hari lagi, genap empat bulan,” kali ini Sami menjawab, tepat disamping Hanan. Pipi Sami menempel pada telinga Hanan. Hembusan nafas Sami terdengar lembut dan hangat. Jambang Sami menusuk-susuk pipi Hanan. Anehnya, lebih terasa geli daripada sakit.
“Kalian sudah berhubungan sangat lama, ya...” Hanan bicara lebih pada dirinya sendiri. Sami mengeratkan pelukannya. Ia lalu mencium pelipis Hanan dari belakang. Hanan lebih penting, itu yang ingin Sami bilang.
“Aku kadang merasa... aku ini jahat, Sami.”
“Kenapa berpikir begitu?”
“Karena aku tiba-tiba masuk diantara kalian, aku mengacaukan hubungan kalian.”
Sami menghembuskan nafas. “Aku tak merasa begitu.”
“Sampai sekarang, aku masih ingin bertanya, kenapa kalian tak menikah saja?”
“Ibu tak tahu hubungan kami,” Sami melepaskan pelukannya, lalu duduk bersila disamping Hanan. Memungkinkan Hanan untuk melihat wajah Sami lebih dekat. “Beliau hanya tahu, kalau kami saling menyayangi sebagai adik dan kakak,” Sami menerawang.
“Kenapa kau tak mengatakannya pada Ibu. Jika beliau tahu, kejadiannya akan berbeda kan?”
“Kurasa, pada akhirnya beliau tahu.”
“Lalu?”
“Karena itulah dia memintaku menikahimu.”
“Maksudmu?”
“Ibu tak ingin aku menikahi Huda, tapi menikahimu. Ibu merestuimu, bukan Huda.”
“Jika begitu, aku bersalah dua kali pada Huda.”
“Ibu menyayangi Huda, sangat. Sama seperti dia menyayangi Sarah.”
“Tapi kenapa?”
“Kenapa dia lebih suka kau yang menikah denganku?”
Hanan mengangguk.
“Dulunya, itu juga pertanyaanku.” Sami tersenyum pada Hanan. “Tapi sekarang, aku mencoba menjawabnya sendiri.”
“Apa?”
“Karena takdir yang Tuhan tulis, jodohku adalah kau,” Sami mencubit hidung mancung Hanan. Hanan meringis, lalu kemudian ia merenung kembali.
Karena takdir. Dulu saat sekolah, seorang temannya menjawab hal yang sama untuk pertanyaan yang guru lontarakan. ‘Mengapa reformasi baru terjadi setelah Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun?’ dan saat teman laki-lakinya menjawab ‘karena takdir’, guru itu mendesah lelah. Lalu ia mengatakan ‘itu jawaban putus asa’ sampai kami tertawa. Jawaban putus asa, berarti, ketika seseroang tak menemukan jawaban yang buntu. Tak ada yang lain, tak bisa lagi berpikir. Menyerah.
Lalu ‘karena takdir’-nya versi Sami?
“Aku tidak akan menyerah, Sami.”
Sami memandang Hanan lekat.
“Aku akan terus berusaha membuatmu mencintaiku,” Hanan menatap kesamping, membalas pandangan Sami. Senyuman merekah dari bibir Sami.
“Kau tahu? Ibu selalu mengatakan padaku, kau adalah gadis yang kuat. Tak pernah menyerah. Itu yang paling Ibu sukai darimu.”
Hanan tersenyum, tipis saja. Kapan Sami akan mengatakan, ‘Itu yang aku sukai darimu’?
“Hanan, aku berjanji tak akan memakan lagi masakan Huda.”
Hanan memandang Sami takjub. Bukan itu yang ingin didegarnya, tapi Hanan tahu, itu cara Sami meminta maaf.
“Kau bisa tetap makan masakannya, Sami.” Hanan tertawa.
“Tapi aku sungguh-sungguh,” kata Sami serius. “Aku tak akan membuatmu sakit lagi gara-gara aku makan masakan Huda.”
Hanan mendesah. Inti masalahnya bukan itu, Sami. Bagaimana Hanan menjelaskannya? Tapi baiklah, jika itu yang Sami janjikan untuk dirinya sendiri.
“Kau tidak akan makan masakan Huda, kecuali jika bersamaku. Bagaimana?”
Sami tersenyum. Entah sejak kapan, senyum laki-laki ini terlihat begitu indah dimata Hanan. Huda, biarkan aku memilikinya dengan tenang...

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 7
Berikutnya; Bagian 9