Selasa, 09 November 2010

Pelataran Kasih (Bag I )

Kenangan silam

Rana

Langit biru jernih, awan putih menyemai tipis. Udara sangat sejuk, dengan sepoi angin yang berkali-kali menerbangkan ujung kerudungku. Aku menengadahkan wajah, tersenyum pada alam yang tengah ramah.

Masih dua jam sampai senja datang. Aku berniat menunggu, sambil melepaskan perasaan rindu yang lama terpendam hingga delapan belas tahun yang silam. Meski aku tak yakin dengan apa yang kutunggu. Apakah dia juga menyimpan kenangan dan merindui aku sebagaimana aku selalu merindukannya? Ah... aku tak tahu.

Bagaimana rupa anak itu sekarang? Rambutnya yang coklat terpanggang, kulitnya yang merah terbakar, dan matanya yang lincah nakal. Apakah semua itu masih tersisa? Lalu kegilaannya pada sepak bola, masih samakah? Mungkin dia sudah berubah menjadi pria dewasa yang tinggi besar. Jika bertemu aku pasti tak akan mengenalnya lagi. Sebagaimana taman tempat pertemuan kami ini. Sangat ramai dan bertambah luas.
Dikelilingi gedung perkantoran dan jalanan yang besar. Sungguh berbeda dengan dulu.
Aku menatap sekeliling. Diantara mereka yang tengah ada ditaman ini, adakah salah satu dari mereka adalah dia?

* * *

Ini hari pertama aku bekerja. Dan aku memulainya dengan kesiangan. Tadi malam, penyakit insomniaku kambuh. Mungkin karena aku mengingatmu lagi Nana...

Lift baru terbuka setelah aku menunggu agak lama. Itupun hanya cukup untuk satu orang. Padahal yang menunggu bersamaku lebih dari lima orang. Aku melangkah cepat, posisiku yang paling dekat dengan pintu lift memungkinkanku untuk mendapatkan tempat itu lebih cepat. Tapi seseorang melakukan hal yang sama denganku. Kami berjejal dipintu. Aku tak mau mengalah, dia juga.

“Heh, minggir! Aku yang paling pertama ngantri tahu?” suara baritonnya menggema digendang telingaku, membuatku sadar bahwa aku tengah berjejalan dengan seorang pria! Aku lekas mundur. Tapi jangan harap orang yang menghalangiku bisa masuk dengan mudah. Aku menarik ranselnya sekuat tenaga. Yang lain melihat peluang itu dan masuk kedalam lift dengan leluasa.

“Lepas!” dia menarik ranselnya, menepiskan tanganku. Tapi terlambat, lift sudah tertutup rapat.

“Sial! Aku sudah kesiangan lima menit tahu!” dia berteriak padaku. “Gara-gara kamu tahu nggak?”

“Gara-gara aku? Aku yang kesiangan gara-gara kamu!” aku ingin diam dan berusaha cuek. Ingat kan, ini hari pertamaku bekerja. Aku harus menjaga image-ku. Tapi nyatanya aku tak bisa. Aku benar-benar sedang bete hari ini. Dan cowok disampingku inilah penyebabnya!

Sampai aku memasuki ruangan Pak Bernard, rasa kesal itu belum juga hilang.

“Terlambat dua puluh menit. Awal yang buruk,” Pak Bernard menyapaku ‘ramah’. Dan rasa kesalku pada cowok tadi bertambah berlipat-lipat.

“Jamie akan mengantarmu ke meja kerjamu. Kau bekerja langsung dibawah Irya.” Dan Pak Bernard memberi isyarat tangan mempersilahkan aku keluar, atau kasarnya, dia mengusirku, tanpa memberi petunjuk selain nama Jamie.

“Siapa Jamie?” tanyaku ragu.

“Asistenku,” dia menjawab singkat. Setelah itu, dia asyik dengan komputer dihadapannya, tanpa pernah merasa kalau aku ada. Padahal aku masih berdiri diruangannya setelah sepuluh menit dia mengusirku. Dan aku keluar ruangan dengan kening berkerut.

“Maaf, boleh saya bertanya?” aku menghampiri meja sekretaris.

“Silahkan.” Tak seperti atasannya, cowok kurus berkacamata dihadapanku terlihat sangat ramah.

“Ruangan Pak Jamie sebelah mana ya?”

“Siapa?”

“Pak Jamie. Pak Bernard menyuruh saya untuk menemuinya, dia akan menunjukkan dimana saya harus bekerja, dan apa pekerjaan saya.”

“Oh, mari ikut saya...” dia mendahuluiku melangkah. Dan aku mengikutinya tanpa membantah.

“Seperti kamu tahu, kamu bekerja di bagian accounting. Ruangannya ada diujung lorong ini. Mengenai pekerjaan, kamu bisa langsung bicara dengan Bu Irya, dia yang memimpin disana.”

Sebelum memasuki ruangan yang dimaksud, dia mengantarku berkeliling kantor. Memperkenalkanku pada beberapa orang yang ia temui, dan memberitahuku ruangan ini itu.

Aku mengangguk-anggukan kepala, berharap semua dapat kuingat dalam satu hari.

“Oya, jangan kaget kalau nanti penerimaannya nggak terlalu baik.”

“Maksud anda?”

“Biasa, perpeloncoan berlaku untuk anak baru,” cowok itu tersenyum.

Masuk ke ruangan accounting aku langsung ditemukan dengan Irya.

“Aku udah nunggu dari tadi, lho!” seorang wanita usia tiga puluhan menyambut dan menyalamiku. Dari mejanya aku tahu, wanita ini yang bernama Iryani SE, yang dibicarakan cowok yang mengantarku dan yang dibicarakan Papa beberapa hari yang lalu.

“Makasih ya, Jamie.”

“Jamie? Kamu yang bernama Jamie?” aku menatap cowok yang mengantarku. Dia tersenyum, mengangguk, dan berlalu.

“Sini duduk,” Irya mempersilakan aku duduk di sofa. Setelah basa-basi sedikit, dia kemudian membicarakan masalah pekerjaan. Irya adalah istri A’ Ilham, orang kepercayaan Papa dikantor. Seharusnya aku sudah mengenalnya dari dulu, karena Irya dan A’ Ilham juga dekat dengan keluargaku. Tapi kota tempatku sekolah yang letaknya sangat jauh tak memungkinkanku untuk itu.

“So, ada yang mau kamu tanyakan?”

Aku menggeleng. Meski terus terang saja, semua yang baru saja ia jelaskan tak seratus persen masuk otakku. Banyak hal yang membuatku sedikit menerawang ditengah-tengah penjelasannya. Tentang pertengkaran diawal masa kerja, tentang Pak Bernard, tentang Jamie, tentang Irya dan Nana...
Ya, Nana.

Sekarang aku bekerja disebuah kantor yang letaknya tepat menghadap kearah taman. Tak ada maksud lain, selain satu harapan; mungkinkah bisa menemukanmu secepat angan yang mendahului waktu?

Dan harapan itu menjadi sangat menggebu kali ini, lebih menggebu dan bersemangat dari hanya sekedar mendapatkan pekerjaan baru yang menjanjikan.

* * *

“Ini Nairana, karyawati baru yang saya ceritakan kemarin,” Mbak Irya memperkenalkan aku seperti guru memperkenalkan siswa baru. Aku dan Mbak Irya berdiri membelakangi pintu ruangannya, menghadap ruangan luas yang bersekat-sekat setinggi dada.
Tak ada yang memperhatikan kami, kecuali beberapa gelintir orang yang kesemuanya kaum laki-laki. Sementara perempuannya sibuk dengan pekerjaan mereka.

Beberapa saat hanya seperti itu. Hingga aku yakin, Bu Irya bingung dengan keadaan ini. Tapi tahukah siapa yang lebih bingung dari dia? Jelas, aku sendiri. Ini lebih dari perasaan bingung, perasaan yang tengah kurasakan sekarang ini adalah, aku merasa tidak dibutuhkan, sehingga sama sekali tak perlu dikenal. Aku merasa dibuang pada detik pertama aku masuk dan bergabung. Dan parahnya lagi, aku sendirian. Benar-benar menyedihkan...

“Hai, selamat datang. Semoga betah,” kata seseorang bernama Nanta. Aku membaca nama itu dikartu pegawai yang menggantung dilehernya. Laki-laki berusia empat puluhan itu tersenyum ramah padaku, meski aku hanya membalas uluran tangannya dari jauh. Sejak saat itu, nama Nanta menjadi nama yang melekat kuat dalam pikiranku.

“Itu meja kerjamu, tepat disamping meja Pak Nanta. Selamat bekerja ya?” Bu Irya mempersilakan dengan tangan kanannya. Menyuruhku mulai bekerja dengan cara yang halus.

Dan begitulah, kehidupan asing baru saja dimulai. Hari pertama yang benar-benar membosankan!

“Membosankan?” tanya Mama. Malam itu, kami ngobrol diruangan keluarga, ditemani nyala tivi.

“Selain Jamie, Mbak Irya dan Pak Nanta, semuanya sangat tidak ramah.”

“Termasuk Bernard?” tanya Papa. Aku menjawab dengan anggukan. Papa mengenal Bernard. Dan tentu saja, Bernard mengenal Papa. Dulu, Bernard pernah diajari Papa saat kuliah, waktu Papa jadi dosen luar biasa di almamaternya Bernard.

“Jelas saja, kamu sudah terlambat dihari pertama...,” Papa tertawa, dan aku meringis. Huah... kapan sih perpeloncoan yang dikatakan Jamie itu berakhir?

* * *

Senja mulai bersemburat jingga saat taman ini menjadi sepi. Pada jam-jam seperti ini perkantoran memang sudah ditinggalkan karyawannya, kecuali para satpam dan mereka para penderita workaholic. Pak Bernard termasuk dalam kategori terakhir.
Menurut Jamie, dia takkan pulang sampai adzan maghrib terdengar.

Sudah dua minggu aku menjalani hari-hari di perusahaan penerbitan itu. Tak ada yang berubah. Teman-teman sekantor belum ada yang menyapaku, lebih parah dari itu, mereka tak pernah menganggapku ada. Saat aku bergabung, mereka akan berpencar tiba-tiba. Saat aku tersenyum dan bicara, mereka berpaling. Saat aku berjalan melewati mereka, mereka akan saling berbisik dan tertawa sembari melihatku dengan ujung mata mereka.

Pelonco ya.... Siapa sih yang pertama kali mencetuskan ide gila itu? Kenapa setiap orang yang baru masuk harus disambut dengan perpeloncoan? Bahkan ide gila itu bukan hanya ada di instansi pendidikan, tapi dalam setiap lini kehidupan. Terus terang saja, semua itu membuatku tak merasa betah. Kalau saja letak kantor itu tak tepat menghadap ketaman ini, mungkin aku akan keluar sejak dari hari pertama.

Taman? Heh, mungkin salah aku juga, aku melamar masuk ke Perusahan ini memang karena alasan itu. Alasan bahwa lokasi kantor dekat dengan taman, supaya aku mudah mengamati setiap orang yang mungkin mirip dengan Nana...

Ah, sepertinya aku mulai gila. Dan tahukah kamu Nana? Kamu-lah penyebabnya...

“Kenapa menangis? Mereka tidak mengajakmu bermain ya?” seseorang menghampiriku ketika aku tergugu sendirian di sudut taman. Dan aku memalingkan wajahku, menyembunyikan sesuatu yang akan membuatnya menjauh.

“Sudah, ikut main denganku saja yuk! Tapi aku mau main bola... tak apa kan?” Nana tertawa renyah. Dan aku semakin menjauhkan wajahku dari tatapannya. Mata nakal Nana semakin penasaran.

“Jangan lihat aku!”

“Kenapa?”

“Karena aku jelek. Pergi sana main sendiri!”

“Kalau jelek memang kenapa?”

Dan mata Nana terbelalak ketika berhasil melihat wajahku. Sebelum akhirnya senyumnya merekah sempurna. “Mata kamu cantik sekali ya?”


Hhh... aku menghela nafas panjang. Nana.... seperti apa dia sekarang...

“Nai?” seseorang menyebut namaku. Hani, sekretaris Mbak Irya. “Belum pulang?”

Tak ada jawaban, aku hanya menatapnya takjub, tanpa suara sedikitpun. Tentu saja, tak ada makhluk bernama perempuan yang menyapaku, satu kalipun tak pernah. Lalu kenapa tiba-tiba Hani menghampiriku. Apakah masa perpeloncoan sudah habis?

“Melamun ya? Wah maaf..., gara-gara kami kamu melamun seperti ini...”

Aku menggeleng. “Aku nggak memikirkan itu kok, aku hanya senang melihat senja,” aku tersenyum padanya.

“Begitu...,” katanya. “Maaf, sebenarnya aku sangat ingin kenal dengan kamu. Tapi... kalau aku ketahuan menyapa kamu, habislah sudah...”

Aku kembali tersenyum, mengerti posisinya. Yah, persaudaraan yang salah tempat.

“Tapi boleh aku tanya sesuatu?”

Aku mengangguk.

“Apa kamu masuk tanpa ujian?”

“Apa?” aku sama sekali tak mengerti apa yang ia bicarakan.

“Apa kamu masuk kesini tanpa ujian?” Hani mengulang pernyataannya.

“Aku di tes, diuji ini-itu, diwawancara. Memangnya kenapa?”

“Syukurlah, kalau begitu semua tidak benar ya?” Hani berdiri dan hendak beranjak.

“Tunggu! Apa maksud ‘semuanya tidak benar’?”

“Nggak kok, nggak apa-apa!” dan setelah mengatakan itu, Hani berlari dan segera menghilang dari pandanganku. Kerudung hijaunya melambai-lambai tertiup angin.
Allah... terimakasih. Sepertinya aku mulai mengerti dengan apa yang terjadi disini...

* * *

“Boleh aku duduk disini?” Jamie menghampiriku dengan baki berisi makan siangnya. Aku mengangguk cepat.

“Bagaimana kerjanya?”

“Biasa saja,” aku mengambil teh botol dan menyeruputnya perlahan-lahan.

“Apa keadaannya sudah normal?”

“Masih sama.”

Kepala Jamie refleks memandangku tepat satu detik setelah mendengar jawabanku. Tapi tak lama, dia langsung menyadari reaksinya yang berlebihan, dan kembali bersikap normal, menyantap makan siangnya dengan sangat lahap.

Aku mengamatinya dengan ujung mataku tanpa berkedip sekalipun.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Jamie termakan provokasiku.

“Tentang perpeloncoan itu. Kamu tahu sesuatu kan?”

“Aku nggak ngerti maksud kamu,” Jamie masih menghindar.

“Mereka bersikap seperti itu bukan ngerjain aku. Tapi mereka sungguh-sungguh. Ada sesuatu yang membuat mereka berbuat seperti itu.”

“Sesuatu apa?”

“Itu yang ingin aku tanyakan padamu.”

Jamie terdiam dan berhenti mengunyah. “Aku juga dulu dikerjain,” katanya setelah lama terdiam.

“Tapi tak sampai berminggu-minggu kan? Oh ayolah... apa kamu pikir aku bodoh? Apa yang membuat mereka benci aku? Apa ada gosip kalau aku masuk dengan uang pelicin? Atau gosip tentang affair? Atau...”

“Darimana kamu tahu?”

“Dugaan saja. Aku benar kan? Gosip apa?”

“Kalau kamu masuk karena seseorang.” Jamie mengambil air putih dan meminumnya dua teguk.

“Siapa? Mbak Irya?”

“Nggak usah pedulikan deh, mereka cuma iri aja sama kamu.”

“Iri? Kenapa?”

“Karena kamu punya segala sesuatu yang mereka inginkan. Kamu cantik, pintar, kaya lagi. Jadi mereka cari-cari alasan buat musuhin kamu.”

“Menurutmu begitu?”

Jamie mengangguk pasti. Tapi aku tak merasa begitu, kataku dalam hati.

Aku memandang sekeliling, menyapu ruangan kantin yang cukup besar. Seperti biasa, aku melihat sekumpulan cewek-cewek yang berbisik-bisik sambil memandangku.

“Tahu tidak? Rasanya aku sudah mulai terbiasa dengan situasi seperti ini,” aku mengejutkan Jamie dengan kata-kataku. Tapi aku tak peduli. Aku meninggalkannya tanpa pamit sama sekali. Ah, otakku sangat kacau!

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar