Senin, 15 November 2010

Pelataran Kasih IX (Cinta Yang Menggeliat)

Cinta yang Menggeliat

Krishna

Apa aku gila? Aku memata-matai mereka yang tengah bicara. Apa aku gila telah melakukan hal demikian rupa? Aku telah cemburu. Bernard menggantikan posisiku memandangi senja bersamanya. Bukankah seharusnya aku yang berada disampingnya saat itu? Kenapa Rana tak menyadarinya? Kenapa Rana tak mengerti sama sekali bahwa dia telah salah orang? Lalu kenapa Bernard tak merasa, kalau Rana bukan memandangnya, tapi memandang bayangan yang tengah hilang bertahun silam? Bahwa Rana memandangnya hanya karena mengira kalau dirinya adalah orang lain!

Aku terluka. Hatiku berdarah. Seperti diseret berpuluh-puluh kilometer diatas dataran berbatu dibawah terik matahari. Dan yang menyeretku adalah dua orang yang sangat kukasihi dan kupercayai. Tapi bukankah aku sendiri yang memutuskan begitu? Aku sendiri yang memang ingin diperlakukan seperti itu? Ah!

Sebuah suara ring tone menghentak lamunanku. Aku mengambilnya, lalu tanganku bergetar dan lemas ketika nama Bernard terbaca mataku.

Butuh waktu beberapa detik untuk memulai percakapan, untuk menetralisir perasaan.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Krishna?”

“Ya. Ngapain sih malam-malam telpon?” aku menekan hatiku, mencoba bersikap biasa
meski dengan separuh nyawa. Apa dipendengaran Bernard suaraku terdengar normal?

“Sory, aku butuh saranmu lagi. Aku tak tahu harus mengajak siapa untuk bicara. Untuk ditunda sampai besokpun, rasanya tak bisa. Maaf, kau sudah tidur ya?”

“Ya udah, ngomong aja!”

“Tentang Rana.”

Diam sejenak.

“Kenapa dengan dia?”

“Dia berterimakasih, karena saranmu waktu itu.”

“Kamu bilang itu saranku?”

“Ya.”

“Ah, bodoh! Kenapa tak bilang itu memang keluar dari hatimu?”

“Kupikir...”

“Ah, sudahlah. Lalu apa?”

“Bukan apa-apa.”

“Kenapa telepon aku?” aku mulai berteriak. Sekali lagi aku bertanya pada hatiku,
apa dipendengarannya sikapku seperti biasa?

“Aku hanya merasa, Rana melihatku seperti melihat orang lain.”

Aku tersentak. Apa Bernard mulai menyadari sesuatu?

“Krishna?”

Aku tersentak lagi. “Ya, aku masih nyambung. Terusin aja!”

“Dia sering mengatakan... selalu, masih, terus. Bukankah semua kata itu diucapkan
untuk perbuatan yang berulang? Bahkan suatu kali dia jelas-jelas mengatakan ‘sejak dulu’.”

“Sejak dulu?” gejolak dalam dadaku mulai tak tertahan.

“Ya, dia bilang, sejak dulu aku memang selalu menyusahkannya. Bagaimana menurutmu?”

Aku diam lagi. Menyelamai jiwaku, menenangkan golakan perasaanku.

“Krishna? tidur?”

“Bukan tidur, mikir tahu!”

“Oh, sory... Jadi bagaimana?”

“Mh..., tak apa kan?”

“Tak apa bagaimana? Kalau dia memandangku seperti orang lain, bukankah itu artinya
dia bukan menyukai aku, tapi menyukai bayangan yang menyertaiku?”

“Kamu ini...., bukannya kamu juga menyukai Rana karena kamu melihat bayangan Shasha selalu menyertainya?”

Tak ada suara. Mungkin Bernard tersentak dengan kata-kataku. Aku membiarkannya. Toh aku juga butuh beberapa saat untuk bernafas panjang.

“Aku...,” suara Bernard terdengar parau. Apa kata-kataku melukainya?

“Maksudku begini Bernard, dia mungkin punya kenangan dengan seseorang yang mirip kamu dulu, entah bagaimana, mereka tak bersama lagi. Lalu dia melihatmu. Tapi bukan berarti dia tak akan mencintaimu, bukan berarti dia akan mencintai bayangan itu selamanya. Suatu saat, dia pasti menyadari kenyataan kok! Tapi saat dia menyadari itu, dia sudah jatuh cinta padamu. Perasaamu pada Shasha juga begitu kan? Semakin hari, bayangan Shasha yang kau lihat pada diri Rana semakin pudar. Semakin lama, kamu menyukai Rana karena memang dia Rana. Benar kan apa yang kubilang?”

Bernard terdiam lagi. Mungkin dia mengangguk, atau menggeleng. Aku tak tahu.

“Ya, kamu benar,” kata Bernard akhirnya. Kata-kata yang membuat dadaku dapat bernafas lega.

“Jangan terlalu mengkhawatirkan sesuatu deh! Yakin aja dengan perasaanmu. Ok!”

Bernard berterimakasih sebelum akhirnya mengucap salam dan memutus sambungan.

Aku menyimpan ponsel setelah memandangnya lama. Bernard, dia mulai menyadari kenyataan. Aku berjalan menuju jendela, membuka tirainya perlahan, lalu memandang bintang. Apa Bernard juga melakukan hal yang sama denganku? Bahkan Rana juga?

Hhh..., Allah... sejak kapan Kau menenggelamkan kami dalam lautan yang sama? Sejak kapan Kau menyatukan kami dalam perasaan yang sama?

* * *

Aku tak bisa bekerja. Otakku tak konsentrasi sama sekali! Ketika aku mau menggambar si Momo, tokoh kartun yang kuciptakan kali ini, tiba tiba dalam mataku justru tergambar wajah Bernard. Lain waktu, yang tergambar oleh mataku adalah wajah Rana.

“Aaaaarrgghhh...!” akhirnya aku membanting pensil dan mengacak-acak rambutku.
Kontan, semua orang terpaku melihatku.

“Kenapa?” tanya Dimas yang tempat duduknya paling dekat denganku.

“Sory. Aku lagi pusing! Bayangin, adik gue bentar lagi kawin! Sama sahabat gue dari SMA lagi! Mereka mau ngeduluin gue! Coba, bikin kesel kan?”

“Katanya nggak kenapa-napa mereka ngeduluin.”

“Tapi kalo dengar omongan kalian tiap hari rese juga kan?”

“Udah-udah, kerja lagi!”

Aku keluar. Menyapu wajahku dengan air wudhu. Saat-saat bimbang seperti ini aku perlu mengadu pada-Nya.

Tapi saat perjalananku menuju Masjid, aku malah bertemu dengannya. Aku terpaku menatapnya. Dia juga terpaku menatapku. Aku terpaku karena dia Rana. Dan Rana terpaku karena heran melihat aku terpaku menatapnya. Ya, terpaku melihatnya dengan tatapan biru karena rindu, bukan tatapan sekilas sambil melengos kesal seperti biasanya.

“Jadi ceritanya sekarang, seseorang yang tadinya dibenci mulai disukai ya?” Rana tertawa. Bukan mengejek, tapi bercada.

Aku tersentak, panik menyadari tabir jiwaku yang baru saja tersingkap.

“Bernard belum pernah jatuh cinta, jadi awas saja kalau kamu menyakitinya!” kataku menyemai kembali permusuhan yang sebenarnya sudah hilang. Aku tak ingin melakukannya, tapi canda Rana dan pandangannya yang memergokiku senja itu, membuatku nekat melakukannya. Meski sekali lagi, itu bertentangan dengan batinku.

Rana berhenti berjalan dan memandangku tak mengerti. Tapi kemudian dia ikut dalam permainan yang aku tawarkan. “Oh, sekarang kamu sudah jadi pengawalnya dia ya?” Nada ketusnya agak ragu ia keluarkan.

“Terserah kamu mau bilang apa. Tapi lihat saja, aku bisa bunuh kamu kalau kamu nyakitin dia!”

“Apa kamu punya keahlian lain selain bermusuhan?”

Mungkin Rana sudah putus asa dengan sikapku yang sangat tidak bersahabat. Itu memang tujuanku. Aku ingin Rana membenciku. Jadi jika suatu saat kenyataan itu tersibak, Rana sudah terlanjur tak menyukai Krishna, dan cintanya pada Bernard sudah bersemi subur.

Setengah berlari aku meninggalkannya mematung sendiri. Berlari membawa luka dalam jiwa yang semakin menganga.

* * *

“Kamu ini sedang tak selera atau memang lagi diet?” Jamie menghampiriku suatu siang.

Sudah beberapa hari ini, makan siangku hanya jus buah. Aku memang tak lapar. Bahkan kalau tak ingat kesehatan, aku tak akan memaksakan diri dengan satu gelas penuh jus alpukat yang luar biasa kental. Bukannya enak, tapi dalam situasi seperti ini, jus alpukat itu malah membuatku jijik.

“Apa karena Rana?” Jamie memelankan suaranya.

Aku hanya menjawab dengan helaan nafas panjang.

“Saat Dhuha tadi, aku bertemu dengannya.”

“Lalu?”

“Dia terlihat pucat. Kayak orang sakit.”

“Akhir-akhir ini memang banyak masalah. Tapi Pak Bernard bilang, semuanya sudah selesai.”

“Selesai? Bernard itu buta atau memang tak peka?” aku mulai kesal.

“Hush!” Jamie memelototiku. Menyuruhku menurunkan volume suaraku yang mulai meninggi. Matanya berkeliling kantin. Bersyukur, tak ada yang memperhatikan kami.
Mungkin suara cewek-cewek yang ribut, meredam suaraku.

“Menurutku juga begitu. Masalah itu belum selesai.” Jamie memasukan satu sendok nasi sambi matanya menatapku. Dalam keadaan normal, pandangan polos dan sikap Jamie yang seperti itu akan membuatku tertawa. Tapi sekarang? Keinginan untk tertawa itu menguap entah kemana.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Beberapa hari yang lalu, aku datang pagi. Sangat pagi. Dan aku mendapati Rana masih bekerja. Satpam bilang, dia memang belum pulang dari kemarinnya.”

“Rana bekerja sampai pagi? Sendirian? Kenapa nggak bilang sama aku?”

“Tidak sendirian. Hani dan Pak Nanta menemaninya.”

“Terus kenapa nggak bilang sama aku?”

“Karena kupikir... itu akan melukai kamu.”

“Melukai aku bagaimana?”

“Kamu tahu, tapi tak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Kalaupun bisa, kamu pasti menahan diri untuk tidak peduli, karena kamu memang ingin dia benci kamu kan? Dan itu sangat menyakitkan.”

Aku diam memandangi Jamie. Aku memang menceritakan masalah Rana padanya. Tapi masalah luka yang tengah kuderita tak pernah aku bicara. Rupanya, dia bisa merasakan apa yang tengah aku rasakan.

Apa yang dikatakan Jamie memang benar. Aku tak akan bisa melakukan apapaun untuk membantunya. Tapi kalaupun bisa, aku tak akan melakukan itu, karena aku tengah berusaha untuk mengkhianati cintaku pada Rana. Mengkhianati hatiku. Pada saat yang sama, cintaku tengah merekah. Dan dia tengah berusaha menggeliat diantara tekanan yang aku lakukan. Rasanya benar-benar menyakitkan.

“Apa kupancing saja Bernard agar menyadari hal ini?”

“Aku tak tahu,” Jamie mengangkat bahu.

“Apa kamu tak punya usul sama sekali?”

“Punya. Tapi aku yakin takkan berguna.”

“Apa?”

“Aku minta kamu jujur. Jujur pada Rana. Jujur pada Bernard. Jujur pada dirimu sendiri.”

Sekali lagi, aku memandangi Jamie lama. “Andai aku bisa, Jam. Andai aku mampu...”

“Kamu bisa jika kamu mau. Menyembunyikan semuanya hanya akan menambah luka. Apa tak terbayang olehmu, bagaimana perasaan Bernard jika dia tahu? Bagaimana terlukanya Rana? Juga luka dirimu sendiri? Mereka merasa dibohongi!”

Aku memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Jamie. Aku tahu Jamie benar, tapi aku tak bisa apa-apa.

“Bernard mungkin... akan menyerahkan Rana padaku. Padahal cintanya pada Rana sudah terlalu dalam. Dan Rana... aku tak tahu...” Aku menarik nafas panjang, menarik kembali butiran air yang mendesak kelopak mataku.

“Jadi... jujurlah. Lebih cepat lebih baik.”

Aku memandang langit diluar jendela. Memandang awan yang menyemai. Tak ada jawaban. Tak ada keputusan.

* * *

Kami berada di ketinggian. Setelah beberapa lama, akhirnya kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi.

Jam sepuluh pagi. Dan kami belum mau pergi. padahal kami sudah berdiri disini satu jam lamanya. Orang-orang yang berdiri di sisi-sisi kamipun sudah berganti berkali-kali.

Tak ada yang kami lakukan, selain memandang diorama tercanggih sepanjang zaman. Dengan bangunan-bangunan besarnya, dengan mobil-mobil kecil bermesin, bahkan orang-orangan yang bisa berjalan! Aku tertawa dalam hati. Bukankah tak ada yang menyamai diorama semacam ini?

“Seperti diorama...,” kata Bernard setelah lama terdiam.
Aku menatap Bernard takjub. Benar kan? Kami memang tengah tenggelam dalam lautan dunia yang sama, hingga isi kepalanya pun sama!

“Bagaimana perkembangan gadis cilik pemilik saputangan itu?” Bernard memandangku.
Aku mengangkat bahu. Tak ingin menjawab.

“Kau sendiri? bagaimana perkembangan Rana?”

Bernard tertawa kecil. “Dia itu... suka berbohong...”

“Apa?”

“Ya, dia mengalami hal lain, lalu mengatakan lain lagi. Itu bohong kan?”

“Maksudmu?”

“Dia bilang, kalau dia sudah membereskan masalahnya. Dia pikir dia bisa bohongi aku.”

Asli, aku terbeliak lebar.

“Lalu apa tindakanmu? Kau akan mengambil tindakan kan?”

“Aku tak tahu. tapi yang jelas, aku tak bisa diam saja.”

Aku teringat perkataan yang aku lontarkan pada Jamie kemarin siang, bahwa Bernard buta atau mungkin tak peka. Aku sudah merasa mengenal Bernard dengan baik, ternyata aku salah. Total. Masih banyak yang tidak aku tahu dari dirinya.

Bernard lebih memahami Rana daripada aku sendiri. Dengan begitu, aku akan tenang melepas Rana, karena ada orang semacam Bernard yang mendampinginya. Dibandingkan dengan aku, Bernard menang dalam segi apapun. Namun pada sisi lain, aku mengeluh dan menggerutu. Kenapa Bernard begitu sempurna dalam mencintai Rana? Padahal lebih baik kalau dia buta dan tak peka, agar aku bisa leluasa dan punya alasan untuk mengambil Rana dari hatinya.

“Kenapa memandangku seperti itu?!” kening Bernard sedikit berkerut.

Aku tertawa. “Musuhku itu..., mendapatkan orang seperti kamu, beruntung sekali dia!” kataku mencibir.

“Memangnya aku seperti apa?”

“Kamu ganteng, punya duit, punya kedudukan.”

Bernard tertawa.

“Lebih dari itu..., kamu juga sangat memperhatikan dia. Aku yakin, dia pasti bahagia...”

Aku meraba hatiku. Dan pada tempat dimana hatiku biasa berdiam, aku tercengang. Tempat itu kosong. Hatiku hilang entah kemana...

* * *

Hari ini kerjaku kacau lagi. Obrolanku dengan Bernard hari minggu kemarin tak mau selangkahpun keluar dari akal dan pikiranku. Semuanya berdengung dalam gendang telingaku dan menyebar melalui seluruh pembuluh darahku, kemudian menyumbat pikiranku.

Aku menyimpan sketsa yang belum selesai. Aku mengambil sapu tangan dari saku celanaku, dan memandanginya sampai aku larut menyatu.

Rana akan bahagia disamping Bernard. Aku yakin itu. Apakah saatnya telah tiba? Saat dimana aku harus melepaskan kenangan yang telah terpahat sedemikian lama. Saat dimana aku harus melepaskan harapan yang selama ini jadi tujuan kebahagiaan? Apa aku sanggup?

“Krishna!” Dimas berteriak diambang pintu.

“Apa sih? Bikin kaget aja!”

“Pimpinan manggil kamu! Kerjaan kamu yang kurang beres sampai ditelinga dia lho!”

“Apa?!!”

“Bukan bengong! Sana menghadap!”

Terburu-buru aku bangkit dan setengah berlari menuju ruangan diujung koridor.
Benarkah tentang pekerjaanku akhir-akhir ini? Atau itu bisa-bisanya Dimas ngerjain aku? Ah, setelah menemui beliau, aku akan segera tahu.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar