Selasa, 15 November 2016

Max Havelaar, Sebuah Ulasan


Buku ini saya cari-cari sejak puluhan tahun yang lalu. Lebay? Nggak! Saya serius!

Saya masih ingat betul, waktu mempelajari sejarah zaman SMP baheula. Buku ini dibahas sekilas dan dipuji. Betapa isinya membuka kejahatan sistematis penjajahan Belanda di Indonesia. Membuka mata rakyat Belanda nun jauh disana, menyadarkan mereka betapa bangsa mereka kejam pada bangsa lain.

Buku ini, menjadi sangat fenomenal pada masanya. Membuat buku ini dicekal peredarannya, dan pada akhirnya membuat kerajaan Belanda memperlunak penjajahannya dan melakukan penebusan dosa dengan mendirikan sekolah untuk kaum pribumi Indonesia.

Berita sejarah yang singkat namun terasa luar biasa itu membuat rasa penasaran saya menyembul. Pertanyaan yang timbul adalah; ‘iya gitu?’, ‘seorang utusan menjelekkan bangsanya sendiri?’, ‘kejelekan dan kejahatan macam apa yang ia beberkan?’, dan ya... pertanyaan-pertanyaan remaja macam begitu lah! Pertanyaan yang membuat saya penasaran setengah mati, tapi tak membuat rasa penasaran itu sekarat. Keinginan menggenggam dan membaca Max Havelar tetap membara dalam relung hati saya (halakh!).

Hingga singkat cerita, setelah tepatnya 23 tahun berikutnya, saya melihat buku ini bertengger manis di rak buku adik saya, saat saya menyempatkan diri berkunjung ke rumah orangtua. Akhirnya saya dapatkan! Ini bukan mimpi kan? Saya meyakinkan diri saya dengan menyentuh dan membukanya (saya waras ya, jadi saya nggak perlu nyubit pipi saya sendiri), lalu tanpa menunggu, langsung memasukkan buku itu ke tas saya dan membawanya pulang!

(Ini bukan pencurian, saya cuma lupa bilang. Atau pencurian? Ah sudahlah, bukan itu yang ingin dibahas, toh suatu saat kalau saya menemukan buku yang bisa saya beli, akan saya kembalikan buku yang ini... hehe)

Saya selesaikan membacanya dalam dua hari. Ok, mungkin terlalu lama memang, tapi jujur saja, alur dan bahasa zaman dulu membuat saya sedikit merasa bosan membacanya. Jujur saja saya agak kecewa. Bukan karena alur dan bahasanya itu, tapi rasa fenomenal dan rasa luar biasa ternyata tak saya dapatkan dalam buku ini.

Tak seperti gembar-gembor buku sejarah dulu, ternyata saya tak mendapatkan kejahatan Belanda yang sangat sadis atau apa, sebaliknya saya malah mendapatkan kejahatan mereka hanya ‘biasa-biasa’ saja. Tak ada kekejaman macam Hitler (tentu saja!), apalagi dibandingkan kejahatan perang sebuah negara bernama Israel. Wah, terlalu jauh untuk dibandingkan.

Kejahatannya ‘cuma’, mereka menduduki bangsa lain. Itu saja.

Saya bukan menyepelekan sebuah kejahatan besar bernama penjajahan ya, saya hanya sedang membandingkannya dengan gambaran kekejaman Belanda yang saya tangkap dari buku sejarah zaman dulu.

Siapa yang salah? Apakah Douwes Dekker yang membahasakan kekejaman itu dengan bahasa yang terlalu lunak? Atau sejarah kita yang terlalu membesar-besarkan kekejaman penjajahan Belanda? Ataukah justru imajinasi saya yang terlalu hiperbola?

Ah, sudahlah, apapun itu, bahasan saya tentang buku ini akan terus berlanjut, sebagai pembuktian, bahwa apa yang saya katakan benar.

Belanda tak terlalu kejam. Tak sesadis Hitler, tak seberingas Israel.

Itupun jika—yang diberitakan Max Havelaar pada kita—adalah kebenaran...