Sabtu, 13 November 2010

Pelataran Kasih VII (Pelataran Cinta)

Pelataran Cinta

Bernard

Kebahagian melingkupi ruangan ini. Keceriaan tergambar jelas dalam tiap-tiap wajah orang yang ada didalamnya. Wajah Irya, wajah Ilham, suaminya, wajah Krishna, Rana, Hani dan aku.

Sebuah rengekan terdengar dari makhluk kecil yang tengah Rana gendong. Makhluk kecil itu adalah anak pertama dari Irya dan Ilham. Anak yang telah mereka tunggu selama lebih dari lima tahun. Anak yang telah membuat orang-orang disekelilingnya merasa bahagia.

“Mungkin lapar?” Hani menduga arti rengekan itu. Rana mengerti, ia memberikan bayi
merah itu pada ibunya.

“Bukan, hanya basah.” Irya menerima bayi dari Rana. “Pasti basah kena bajumu Rana,” nada Irya terdengar menyesal.

“Ah, cuma sedikit, bahkan aku tak menyadarinya kalau dia ngompol dibajuku,” Rana tertawa.

“Siapa namanya?” Krishna menatap Ilham. Yang ditanya malah menatap istrinya lalu menggaruk-garuk kepala.

“Belum terpikirkan,” jawab Ilham keras.

“Bagaimana kalau...,” Hani memberikan usul. Tapi belum sempat usulnya terungkap, sebuah suara ramai terdengar mendekati ruangan ini. Segerombolan orang masuk dan menyerbu tempat tidur Irya. Mungkin bekas anak buahnya dikantor, dan itu berarti, sekarang mereka anak buah Rana. Tapi melihat mereka ribut dan tak memperdulikan
Rana sama sekali, lalu dari sikap mereka menggeser dan ‘menyingkirkan Rana’, membuatku berkesimpulan lain. Mereka tak mengenal Rana. Atau mungkin mereka mengenal Rana, dan tidak menyukainya. Lalu percakapan selanjutnya membuatku tahu, bahwa kesimpulanku yang terakhir yang benar.

“Aduh, Bu Irya... kangen deh!” mereka menyalami Irya satu persatu.

“Anaknya manis ya?”

“Manis? Dia laki-laki,” Hani bicara agak ketus.

“Oh, ada Hani!” kata seseorang dari mereka mengejek Hani.

Aku, Krishna, dan Ilham yang sudah duduk disofa sejak mereka datang, hanya mendengar dengan perasaan yang tak menentu.

“Apa ada bosnya juga? Aku kok nggak lihat?”

“Linda! Jaga bicaramu! Hari ini hari kebahagiaan untuk Bu Irya, apa kau tak menghormatinya juga?”

“Jelas aku menghormatinya Hani! Bu Irya itu pemimpin yang paling baik yang pernah kutemui, sangat berbeda dengan pemimpin yang sekarang. Sudah masuk lewat belakang, kerja nggak becus! Bisanya cuma cari perhatian cowok-cowok saja, menganggap dirinya orang tercantik sedunia.” Perkataan orang yang dipanggil Hani dengan nama Linda itu di amini oleh yang lain. Sungguh! Aku merasa sangat gerah. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi apa?

“Aku yang memasukkan Rana,” suara Irya membungkam mulut mereka dengan tiba-tiba.

“Rana masuk atas rekomendasi dariku,” Irya mempertegas perkataannya yang pertama.
Menjawab keterkejutan yang menyengat mereka tiba-tiba.

Aku memperhatikan Rana. Air mukanya tampak tenang, sesekali dia menarik nafas panjang. Tapi mata hijaunya yang berkaca, membuatku menyadari sesuatu. Rana tengah berjuang melawan rasa perih hatinya.

Aku berpaling, merutuk diriku sendiri atas sesuatu yang tidak kusadari selama ini.
Beginikah perlakuan mereka terhadap Rana? setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik? Jika benar, betapa sakitnya Rana. Dan aku... akulah yang menyebabkannya.

“Nama yang kamu usulkan itu apa Hani? Ilham pasti sedang butuh masukan. Iya kan?” perkataan Krishna menetralkan perasaan semua orang. Atau paling tidak memendamnya dan membiarkan kami untuk melupakan kejadian tak enak itu barang sejenak. Mungkin
Krishna tak sungguh-sungguh dengan pertanyaannya, jadi tak sungguh-sungguh juga dia butuh jawabannya. Karena matanya hanya menatap Rana prihatin. Ya, tatapan itu adalah tatapan prihatin, seolah-olah ingin mengatakan, ‘pasti berat ya, kerja sama mereka, tapi apa kamu tahu, masih banyak orang yang peduli padamu. Termasuk aku.
Apa yang bisa aku lakukan?’

Aku menyesal, karena saat itu aku begitu sibuk memikirkan Rana dan menyalahkan diriku sendiri. Aku begitu sibuk dengan perasaanku. Sampai-sampai tatapan Krishna yang begitu rupa, luput dari perhatianku sama sekali. Padahal, kalau saja saat itu aku memandang Krishna sekilas saja, aku pasti akan menyadari cinta yang tengah ia pendam jauh didalam pelataran jiwanya.

Aku memang tak menyadari segalanya. Bahkan percakapan yang terjadi didepanku, aku sudah tak tahu. Pikiranku terbang, anganku melayang. Dan semuanya kembali kedalam jasadku ketika aku melihat Rana keluar ruangan. Aku mengikuti langkah cepatnya dengan tergesa. Dan aku menghentikan langkahku ketika melihatnya berhenti. Berdiri disamping dinding kaca dan menatap keluar gedung. Aku juga berdiri, tepat disampingnya. Lama kami saling terdiam.

“Aku pernah bilang pada Jamie, kalau aku mulai terbiasa dengan sikap mereka. Tapi nyatanya... perih yang mereka torehkan tak bisa begitu saja kuabaikan.” Rana menghela nafas panjang.

Kami saling terdiam, lama.

“Di plaza depan itu, sedang diskon besar-besaran. Kerudung dan baju muslim sampai tujuh puluh persen lho!” Aku tahu tentang diskon? Tentu saja tidak! Aku cuma mengarang. Asli mengarang. Ide itu mucul begitu saja ketika mataku menangkap lambaian umbul-umbul yang ramai menancap tepat didepan sebuah Plaza. Letak Plaza itu agak kekiri dari depan RS bersalin ini.
Rana memandangku tak mengerti.

“Oh, tak tertarik? Kupikir... setiap wanita pasti akan senang kalau mendengar diskon.”

“Kamu ini bicara apa?”

“Bicara diskon.”

“Kamu bercanda kan?”

“Bercanda? Tidak! Aku hanya sedikit... berbohong.”

Rana tertawa. “Terimakasih,” bisiknya pelan. Setelah itu, Rana beranjak pulang.

“Sampaikan salamku pada Bu Irya dan semuanya, katakan pada mereka aku pulang.”

Aku mengangguk mengerti. Mengerti kalau Rana tak mau kembali keruangan itu.

Aku masih berdiri disini. Menatap awan yang putih bergumpal-gumpal, memandang biru langit yang mengintip diantaranya. Penderitaan Rana, akulah yang menyebabkannya.

Tak ada asap jika tak ada api. Begitulah gosip yang tertuai mengiringi kehadiran
Rana dikantor kami. Rana mungkin tak tahu, Krishna juga tak tahu. Bahkan mungkin Irya. Yang tahu hanya aku dan Jamie.

Tapi apa salah? Aku memasukkan Rana keperusahan ini, karena dia adalah putri dari orang yang sangat kuhormati. Tapi itu juga karena mempertimbangkan kemampuan Rana.
Kemudian pengangkatan dia sebagai Manager keuangan, meski untuk sementara, bukan hanya karena perasaanku semata. Tapi karena Rana memang mampu untuk itu. Tapi benarkah? Benarkah tidak ada perasaan yang terlibat? Aku menjawab ya, tapi tak bisa kupungkiri, ketika aku mengatakan itu pada diriku, aku tengah membohongi diriku sendiri.

Allah... maafkan aku.

* * *

Adzan Isya berkumandang, membuatku tersadar bahwa ini sudah malam. Ah, kenapa pekerjaan akhir-akhir ini sangat banyak? Aku sudah duduk disini sejak pagi tadi, tapi sampai matahari kembali bersembunyi, pekerjaanku baru selesai separuhnya.
Mungkin sekarang, aku harus melanjutkannya dirumah.

Aku mulai membereskan berkas, dan memasukkan semuanya kedalam tas kerja. Mematikan komputer, dan bersiap pulang.

Sebelum benar-benar pulang, aku menyempatkan diri untuk shalat masjid kantor yang sepi.

Air wudlu terasa sejuk ketika menyentuh pori-pori wajahku. Sejenak, aku menumpahkan keresahan dan kekalutan, lalu seketika, Ia hadiahkan ketenangan dan kenyamanan.

Membuatku merasa betah berlama-lama bersandar dalam kelapangan Ampunan-Nya dan meringkuk dalam genggaman Cinta-Nya.

Keresahan dan kekalutan? Hah, setiap hari selalu itu yang ku persembahkan. Ampuni aku...

Aku sudah merasa tenang dan lapang ketika aku melangkahkan kaki keluar. Angin bersemilir menerbangkan keresahan dan membuat rambutku sedikit menari. Rambutku menari... Allah... rambutku sudah gondrong! Kenapa aku harus selalu diingatkan oleh-Mu untuk hal-hal sepele seperti ini? Apakah keseriusanku dalam pekerjaan sudah terlalu berlebihan?

Aku berjalan menuju pelataran parkir dengan tawa ringan. Menertawakan diriku sendiri.

Sebuah mobil Honda Jazz warna hitam yang berdiam manis disamping Chevrolet milikku membuat kakiku berhenti tiba-tiba. Apakah selain aku ada orang lain yang lembur sampai malam?

“Punya Ibu Nai, Pak,” kata seorang Satpam ketika kutanya tentang pemilik mobil itu.
Aku menoleh kearah jendela tingkat lima, terhalang beberapa jendela dari jendela ruanganku. Benar, ruangan itu masih terang.

Aku mengurungkan niat untuk pulang. Bukan untuk apa-apa, hanya menengoknya sejenak, atau sekedar tahu, apa yang dikerjakannya hingga malam?

Tak ada jawaban ketika aku mengetuk pintu ruangan Rana perlahan. Demikian ketika ketukan kuperkeras. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba terbersit. Pintu tak terkunci ketika aku membukanya. Rana tak ada dimejanya. Aku menyapu pandangan keseluruh ruangan. Dan aku menemukan Rana tengah tergolek diatas sofa, lengkap dengan mukena yang masih menyelimuti tubuhnya. Mungkin Rana tertidur selepas shalat Isya.

Aku menghampiri meja Rana, lalu duduk dikursinya, ingin tahu apa yang tengah ia kerjakan.

Keningku seketika berkerut ketika halaman demi halaman yang berserakan mulai terbaca dan mulai kumengerti isinya. Ini kan...

Kenapa? Bukankah ini pekerjaan accounting? Bukan pekerjaan dia? Lalu kenapa berkas-berkas ini ada di mejanya. Lalu komputer yang menyala ini... jelas-jelas Rana sedang mengerjakan semua ini.

Sebuah denyutan keras tiba-tiba mencengkram kepalaku. Apa yang sebenarnya terjadi?

* * *

“Apa maksudnya?” aku menyimpan berkas dengan keras kehadapan Rana. Lebih tepatnya, aku melemparnya.

“Maaf...” Rana tertunduk.

“Bukan maaf, tapi kenapa?”

Rana hanya terdiam.

“Aku tak tahu kalau kamu akan mengerjakan semuanya.”

“Bukan itu yang ingin aku dengar. Katakan alasannya kenapa kamu mengerjakan
pekerjaan mereka?”

“Sudah kubilangkan? Mereka nggak mau kerjasama, mereka nggak mau aku jadi atasan mereka, mereka nggak mau kalau aku nyuruh-nyuruh mereka, mereka...”

“Jadi untuk mudahnya, kamu menghandle pekerjaan mereka?”

“Memang aku bisa apalagi?”

“Kenapa tidak bilang padaku?”

“Karena ini bukan pekerjaanmu.”

“Paling tidak, aku bisa menegur mereka kan?”

“Itu yang aku tidak mau.”

“Jadi?”

“Jadi, biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini. Kamu bilang kamu percaya sama
aku kan? Kamu percaya aku bisa melakukan tugasku dengan baik kan? Jadi sekarang, biarkan aku menjalani kepercayaan itu.”

“Kamu menyiksa diri kamu sendiri...”

“Tak akan lama...”

“Berapa lama?”

“Sampai aku bisa mengambil hati mereka...”

“Kapan?”

Rana terdiam, lalu mengangkat bahu.

“Kalau begitu, aku akan turun tangan!”

“Kalau kamu yang turun tangan, aku akan turun jabatan!”

“Jangan mengancamku!”

“Aku memang mengancammu, dan aku tak main-main.”

Aku bungkam, aku tak bisa apa-apa lagi. Aku diam dan menahan kesal. Pada mereka,
juga pada Rana. Kenapa mereka membuat Rana susah? Lalu kenapa Rana keras kepala?
Kenapa dia tak mau kubantu sedikitpun! Padahal aku tinggal menggerakkan tangan sedikit saja, mereka pasti tak bisa berkutik.

Aku mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Rana untuk keluar. Aku butuh bernafas sendirian. Aku perlu pergi mengelilingi isi batinku dan mengobrak abrik jalan pikiranku.

Apa yang seharusnya aku lakukan?

“Biarkan saja,” saran Krishna ketika aku meminta pendapatnya suatu malam.

“Membiarkannya menyelesaikan masalah itu sendirian?”

Krishna mengangguk.

Dan aku menghembuskan nafas cepat, lalu memandang keluar jendela disamping kursi yang tengah aku duduki. Membiarkannya lelah sendirian? Membiarkannya susah?
Membiarkannya penat? Kalau saja aku bisa...

Entah sejak kapan, wajah Rana selalu menggelayut dimataku. Dan melihatnya berwajah sendu dan murung benar-benar mengganggu pikiranku. Krishna tersenyum menatapku.
Mungkin dia mengerti apa yang tengah kupikirkan dan kurasakan. Atau mungkin bukan?
Paling tidak, aku menafsirkan senyumnya seperti itu.

“Aku yang menyebabkannya begitu...,” aku memberi alasan untuk tidak memakai saran Krishna.

“Karena kamu yang mengajukannya?”

Aku mengangguk. “Untuk alasanku sendiri...”

“Maksudmu?”

“Direksi bersuara bulat memilih Nanta. Tapi... untuk beberapa bulan ini, keputusan itu tak mungkin dijalankan. Dan saat itulah aku mengusulkan Rana. Banyak yang dipertimbangkan, tapi aku mendesak dan sedikit memaksa. Kamu tahu kenapa alasannya?”

Krishna tak bicara sepatah katapun. Dia hanya menggeleng pelan, berinisiatif untuk mendengar apa yang akan aku bicarakan selanjutnya.

“Karena aku ingin urusanku dengan Rana tak pernah usai. Aku ingin sering bertemu dengannya, aku ingin sering bicara dengannya...”

Krishna menatapku, bola matanya sedikit membeliak.

“Aku tak tahu, sejak kapan aku bertindak tidak profesional...”

Krishna tertawa. “Rana yang membuatmu seperti itu.”

“Jangan menertawakanku, aku sudah tahu aku salah!”

“Hhh... ternyata cinta bisa menyembuhkan penyakit seorang Bernard ,” Krishna
tertawa lagi.

“Penyakit apa? Aku tidak berpenyakit!”

“Penyakit perfeksionismu, penyakit workaholicmu,” Krishna tertawa lagi. Aku heran,
apa aku begitu lucu hingga Krishna tertawa terus untukku?

“Jadi menurutmu aku harus diam saja?” aku mencoba meluruskan kembali pembicaraan yang sudah mulai keluar dari koridor. Atau mungkin, aku hanya ingin menghindar tawa cemoohan Krishna. Aku tak mau jadi bahan tertawaannya terus-menerus.

“Yup! Meski mungkin.... kamu harus sedikit menyingkirkan kekhawatiranmu, rasa tidak nyamanmu, rasa tidak enak, atau rasa-rasa yang lainnya.”

Sudah kuduga, Krishna mengerti apa yang kurasakan. Aku harus mengucapkan terimakasih pada-Nya, karena memberikan seseorang yang bisa mengerti aku tanpa aku bicara sedikitpun. Dan seseorang itu adalah Krishna.

“Tapi...,” aku masih berusaha untuk mengelak. Sungguh, aku ingin Krishna memberiku saran yang lain. Aku ingin Krishna mengatakan ‘’bantu dia, karena dia memang sedang butuh itu! Kalau dia bilang nggak mau dibantu, dia cuma merajuk. Dia cuma mengujimu apa kamu peka dengan permasalahannya? Apa kamu mau membantu meski tak diminta? Jadi kalau kamu menyukainya, bantu dia!’

Tapi tahu tidak? Krishna malah mengatakan; “Sejak awal, kamu percaya padanya, jadi sekarang pun kamu harus percaya kalau dia bisa menyelesaikan masalahnya. Kamu ingat pepatah lama kan? Dalam cinta ada kepercayaan. Lagipula... dia sangat tidak ingin menyusahkanmu, jadi hargai perasaannya. Jika kamu bantu dia, dia akan merasa tak dipercayai, tak dihargai. Mengerti kan maksudku.

Aku mengangguk, sangat pelan. Aku mengakui kata-kata Krishna, tapi aku menuruti nasehatnya masih dengan terpaksa. Hatiku masih diliputi kecemasan. Apa tindakanku benar? Apa aku tidak melakukan hal yang salah? Apa itu takkan membuat Rana marah dan justru tak menyukai aku?

Sampai pulang kerumah, dan terbaring ditempat tidurku, aku masih melihat wajah Rana yang lelah terlukis dilangit-langit kamarku. Apa aku bisa menyapu kelelahan itu dari wajahnya?

Tiba-tiba sebuah senyum dari wajah yang sangat akrab mengusik perhatianku.
Kupalingkan wajahku kesamping kanan. Disana, wajah Shasha tengah tertawa hangat padaku. Merasa terpanggil, aku mendudukkan tubuhku, dan mengambil foto Shasha perlahan.

Apa aku sudah menyembuhkan luka itu Shasha? Apakah perasaan yang aku rasakan ini, adalah bukti bahwa kau telah memaafkan aku?

Aku menghela nafas panjang. Menatap Shasha lebih dekat dan lebih lekat.

“Aku tak tahu kenapa aku memperhatikannya, apa mungkin karena mata yang ia miliki sama persis dengan yang kau punyai?”

Aku membaringkan tubuhku kembali. Lalu seperti biasa, membawa Shasha kedalam mimpiku malam ini.

“Kau tahu Shasha? Aku ingin menjaganya, sebagai tebusanku atas kelalaianku menjagamu...”

Kemudian aku benar-benar terlelap, ditemani Shasha yang tengah tertawa disamping tempat tidurku.

* * *

Aku bertemu dengan Rana ditempat parkir. Ketika aku keluar dari mobilku, dan dia keluar dari mobilnya.

Dia menghampiriku dengan senyuman yang lebar. Disela-sela kelelahan yang tersirat jelas, memancar sebuah kegembiraan yang jelas terlihat.

“Kelihatannya senang sekali?” aku menyapanya setelah mengucap salam. Kami beriringan memasuki gedung kantor.

“Memang, apa terlihat?” jawab Rana riang.

“Ya, jelas terlihat,” kataku pasti, meski sebenarnya aku tak terlalu pasti dengan dugaanku. Memang Rana terlihat sedang bahagia? Sikapnya biasa-biasa saja, tak berubah dengan hari-hari sebelumnya. Apa aku hanya terbawa perasaan saja? Terlalu sensitif terhadap sesuatu yang berhubungan dengan Rana? Kalau begitu tak apa-apa. Tapi bagaimana kalau aku hanya sok tahu saja? Jika yang terakhir yang benar, alangkah malunya...

“Sebenarnya... sikap mereka mulai berubah!” kata Rana ketika kami sudah berada didalam lift. Tubuh dan kepalanya ia condongkan sedikit mendekati telingaku, dan suaranya terdengar seperti bisikan. Mungkin ia tak ingin orang lain yang juga berdiri didalam lift ini mendengar ‘pembicaraan rahasianya’.

“Oya?” kataku dengan volume suara menyamai volume suara Rana. Rana tersenyum dan mengangguk beberapa kali. Mungkin untuk meyakinkan aku atas pernyataan yang tadi ia buat.

“Kok bisa?” Ini berita besar! Paling tidak bagiku. Jadi aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan Rana?

Rana tak menjawab. Dia hanya menunjukkan kotak berbungkus plastik hitam yang dibawanya.

“Apa itu?”

Rana membuka tutup kotak itu dan memperlihatkannya padaku.

“Kue?” tanyaku. Jujur, aku masih belum mengerti hubungan antara perubahan sikap anak buah Rana dengan satu loyang kue.

Pintu Lift terbuka, kami sudah dilantai lima. Setelah meminta izin keluar dari orang yang berdesakan didepan kami, akhirnya kami keluar juga dari lif yang penuh sesak itu.

“Aku yang membuatnya,” kata Rana setelah obrolan kami di-pending beberapa saat.
Kini suaranya tak berupa bisikan, mungkin karena Rana yakin, orang yang lalu lalang dikoridor ini tak mungkin mendengarkan pembicaraan kami. “Setiap hari, aku membawanya,” lanjut Rana, “Untuk mereka! Ternyata... lambat laun mereka luluh juga.
Satu dua orang mulai mengerjakan pekerjaannya dengan benar. Tak lagi membuatku susah. Ya... meski mereka belum mau menyapaku, tapi menurutku, itu prestasi yang luar biasa!” Rana menyipitkan matanya, tersenyum senang.

“Jadi kamu membujuknya dengan kue?” aku tertawa.

“Mungkin intinya bukan dikuenya sendiri, tapi...”

“Ketulusan?” aku menerka. Dan Rana mengangguk, menandai bahwa tebakanku tepat.

“Mereka langsung terbujuk begitu?”

Rana menggeleng, “butuh waktu agak lama. Awalnya.... cuma Hani dan para Bapak saja
yang kenyang dengan kue-kue ku. Tapi makin lama, makin bertambah. Meski tidak semua.”

Kami terdiam beberapa saat.

“Jadi sepertinya... kamu benar-benar tak membutuhkan bantuanku ya?” aku menerawang.

“Baguslah, dengan begitu, aku sudah meringankan pekerjaanmu iya kan? Dengan begitu juga, aku sudah membantumu! Benar?”

Aku mengangguk setuju. Benar, Rana memang sudah membantuku, bahkan lebih dari itu.
Rana sudah menyembuhkan luka yang sudah meradang bertahun-tahun silam.

“Eh, tunggu,” Rana tiba-tiba berhenti. Dan aku mengikutinya menghentikan langkahku.
Rana lalu mengambil sebuah tisyu dari tasnya, kemudian membuka tutup kotak, dan mengambil satu potong kue.

“Mau coba?” Rana menyerahkan kue itu padaku.

“Jangan khawatir, Hani bilang, kue yang sekarang rasanya lebih enak dibanding buatanku yang pertama. Lebih empuk, lebih legit, dan tidak terlalu manis, jasi bebas kegemukan. Bukan promosi sih...”

“Cuma sedikit menunjukkan diri!” kataku tertawa sembari mengambil kue. Lalu kami berpisah setelah aku mengucapkan terimakasih.

Kamu tahu Shasha? Sejak dulu, aku tak suka makanan manis. Satu-satunya mahkluk manis yang akrab dimulutku hanya teh botol. Tapi kamu tahu? rasanya mulai sekarang, aku akan menyukainya, terutama jika yang membuat makanan itu Rana. Hah! Aku sudah gila ya?

Apakah ini artinya aku sudah menemukan pelataran cinta? Mungkinkah?

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar