Sabtu, 13 November 2010

Pelataran Kasih IV (Bayangan Samar)

Bayangan Samar

Rana

Aku melihatnya. Aku melihat saputangan itu tergeletak dimeja Pak Bernard. Dadaku bergolak dan mataku memanas. Aku pergi meninggalkan ruangan itu sebelum meminta izin terlebih dahulu.

Setelah sekian lama, akhirnya aku menemukan jejak yang menjadi pencarianku selama ini. Melihat benda itu ada didepanku, aku seperti melihat bayangan Nana. Melihat masa lalu yang tiba-tiba tergambar jelas dalam mataku. Masa lalu yang berputar ulang dalam memoriku.

Nana yang sedang tersenyum, Nana yang sedang bermain bola, Nana yang sedang berlari kearahku.

..

“Siapa namamu? Aku Nana.”

“Kalau mereka tak mau main denganmu, aku mau. Mulai besok kita bermain bersama ya?”

“Wah, maaf lama menunggu ya? Kupikir ini jam empat...”

“Pindah? Kenapa mendadak?”

“Kalau begitu, besok hari terakhir kita ya...”

...

Aku menyeka air mata yang tiba-tiba menetes tak terasa. Aku menatap langit yang hitam pekat. Apakah kita ada dalam naungan langit yang sama? Atau tempat yang kita pijakpun masih dibumi yang sama?

Tapi... kenapa Bernard menyimpan saputangan yang kuberikan untuk Nana? Apakah pesanku tak sampai pada Nana? Malah sampai pada Bernard? Atau benda yang dipegang Bernard adalah benda yang berbeda dengan yang kuberikan pada Nana? Tidak, tidak mungkin! Dalam sapu tangan itu jelas terdapat sulaman tangan Mama. Tak mungkin salah! Atau... apakah Bernard itu Nana?

Tapi... Bernard sama sekali tak mirip Nana. Rambut Nana memang coklat, sama seperti rambut Bernard, tapi... wajah mereka... miripkah?

Allah... apakah Bernard itu Nana? Dan Nana adalah nama kecil dari Bernard?

Kumohon... beri aku jawaban...

* * *

Aku berjalan menuju ruangan Pak Bernard dengan langkah yang gamang. Entah untuk apa. Mungkin bertanya langsung darimana dia mendapat saputangan itu? Atau bahkan, aku akan bertanya langsung apakah dia Nana? Apakah dia kenal aku sebelum ini? Atau mungkin... aku tak akan bertanya apa-apa.

Aku bingung? Memang. Lebih dari sekedar bingung. Aku linglung, aku banyak melamun, aku depresi, stres dan mungkin gila! Sejak kapan aku mengidap penyakit itu? Sejak beberapa hari yang lalu. Sejak kutemukan saputangan itu di meja Pak Bernard.

Aku ingin memastikan semuanya, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Hingga setiap hari aku berjalan menuju ruangan Pak Bernard, dan seketika itu juga aku kembali keruanganku sebelum aku melihat pintu ruangannya sekalipun.

Dan sekarang pun aku berhenti. Tapi kali ini, bukan disebabkan keraguanku, tapi karena sebuah pembicaraan yang secara tak sengaja kudengar.

“Aku nggak bermaksud bikin dia sakit kok, Jam!”

“Iya, kamu nggak maksud gitu, tapi akibatnya memang begitu. Dia sakit. Dan
penyebabnya kamu!”

“Jangan memvonis aku begitu dong!”

“Tapi memang begitu kenyataannya.”

Diam beberapa saat. Hanya langkah kaki yang kudengar. Aku berhenti berjalan.
Menunggu mereka melihatku di belokan ini.

“Terus aku harus gimana dong?”

“Tengok dan bilang maaf! Pak Bernard bukan orang yang pendendam kok!”

“Tapi masak sih dia sakit perut hanya gara-gara tiga sendok baso malang?”

Langkah mereka semakin dekat. Aku berbalik dan cepat-cepat pergi sebelum mereka melihatku berdiri disini.

* * *

Ruang tamu yang manis. Satu set sofa gaya Eropa klasik dipadu dengan permadani berwarna senada, ruangan luas, lukisan kaligrafi besar mendominasi salah satu dinding bercat putih tua, membuat mataku tak henti berkeliling.

“Maaf, menunggu lama...,” sebuah suara menyapaku tiba-tiba. Aku menoleh keasal suara, Pak Bernard. Dia duduk di sofa yang berseberangan denganku.

Bernard terlihat sangat berbeda tanpa jas. Celana coklat tua dan sweater berwarna putih yang dikenakannya tampak sangat serasi.

“Maaf, saya mengganggu waktu istirahat anda.”

Bernard tak menyahut. Dia hanya terdiam kaku. Tubuhnya diam dan matanya terpaku, menatapku. Kali ini, aku memang membuka lensa mataku, menjadi aku yang sesungguhnya. Lagipula... itulah tujuan utamaku kemari. Aku ingin melihat reaksi
Bernard saat melihatku tanpa lensa. Dan inilah hasilnya, Bernard memandangku tanpa berkedip. Aura yang memancar dari tubuhnya tiba-tiba berubah biru, sendu. Cara matanya memandangku seperti memandang seseorang yang tengah ia rindukan sekian lama. Jadi, apakah itu berarti dia mengenalku sebelum ini? Apakah itu berarti bahwa dia Nana yang selama ini kucari?”

“Oh, maaf,” Bernard baru tersadar. “Apa yang tadi anda bicarakan?”

“Saya mengganggu anda.”

“Oh, tidak, tentu saja tidak. Saya malah senang, ternyata selain Jamie dan Irya, ada orang kantor yang lain yang memperhatikan saya,” kata-katanya masih terdengar gugup.

“Saya tak membawa apa-apa. Hanya satu mangkuk bubur. Itupun buatan Mama...,” aku sedikit tertawa, mencairkan kekakuan yang senantiasa tercipta diantara aku dan dia.

“Oh, terimakasih, saya memang sedang lapar,” dia mengambil bungkusan yang kusimpan diatas meja. Lalu membukanya perlahan-lahan. “Sepertinya enak!” katanya lagi ketika tangannya berhasil membuka tutup tupperware.

“Sepertinya sudah baikan?” tanyaku.

“Ya, sebenarnya memang tak terlalu parah, hanya lemas saja...”

Aku mengangguk-angguk kecil.

“Kumakan ya?” dia menyuapkan satu sendok bubur setelah aku mengangguk mempersilahkan.

Melihatnya duduk tepat didepanku, membuatku semakin tak bisa bersabar untuk bertanya tentang Nana. “Dulu... apakah kamu pernah tinggal disini? Dikota ini?”

Bernard terdiam beberapa saat sebelum mengangguk samar. “Dulu, waktu umurku sepuluh.”

Jawaban Bernard memberi kelegaan dalam dada yang sedari tadi terasa sangat sesak.
Saking sesaknya, untuk beberapa waktu aku merasa aku tak bernafas.

“Lalu, apakah nama kecilmu Nana?” pertanyaan ini hanya bergaung dalam rongga dadaku. Tak bisa keluar, tenggorokanku seakan menyempit dan tertutup sempurna.

Aku menarik nafas agak lama. Mengatur emosi yang tak henti bergolak.

Lalu setelah itu kami terdiam lagi. Tak ada yang bicara, sampai sebuah ketukan halus menyentak lamunan kami masing-masing.

Bernard berdiri dan menyambutnya. Krishna, dia berdiri diambang pintu yang terbuka.

“Maaf... aku nggak tahu kamu bakal sakit perut betulan...”

“Makanya, sudah kubilang aku nggak mau, kamu maksa terus...”

Dengan tergesa, aku membuka tas, mengambil tempat lensa, membukanya cepat, dan memakainya. Aku tak mau Krishna tahu. Sejauh ini cukup Bernard. Ya, cukup dia...

“Ayo masuk!”

“Oh, ada tamu juga?” nada bicaranya terdengar ramah, tapi aku bisa tahu, ada nada sinis yang tersembunyi dibalik itu. Hhh, aku benci orang ini, setiap bertemu pasti akan membuat kesal.

Aku berdiri dan berpamitan seketika, bahkan sebelum tubuh Krishna menyentuh sofa.

* * *

Krishna mengantarku pulang dengan mobil Bernard. Dia mengantarku sambil mulutnya terus mengoceh tak berhenti.

“Dengar ya, kamu harus camkan ini baik-baik. Aku ngantar kamu karena Bernard yang menyuruh. Aku turuti kemauannya untuk menebus dosaku padanya. Jadi, camkan sekali lagi, kalo aku tuh ngantar kamu karena Bernard, bukan karena aku merhatiin cewek jelek yang keras kepala seperti kamu. Kamu dengar nggak?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang keluar jendela.

“Lagian, kenapa sih dengan Bernard itu? Masa aku harus nganterin kamu! Kamu yang datang sendiri tanpa diundang, sekarang, keselamatan kamu sampai dirumah jadi tanggung jawabku. Heran!”

Aku tak mendengar celoteh Krishna. Pikiranku sudah terbang, anganku sudah melayang. Kembali bermesra dengan bayangan Nana.

“HEI!!” Krishna berteriak disamping telingaku. Menarik ruhku, dan membantingnya untuk kembali menempati jasadku.

“Denger nggak sih!”

“Apa?” aku tergagap.

“Dasar cewek! Kerjaannya melamun dan berkhayal!”

Aku terdiam. Terdiam, karena apa yang Krishna katakan memang benar. Kerjaanku dari hari kehari hanya melamun dan berkhayal.

“Alamat kamu dimana? Itu yang aku tanya!”

“Jl. Sunda.”

Tepat satu detik setelah aku menyebut alamatku, Krishna mengerem mobil dengan tiba-tiba, membuat tubuhku tersentak kedepan.

“Apa?” Krishna memandangku dengan tatapan yang tak bisa kutafsirkan.

“Jl. Sunda. Kenapa? Tak tahu?” kata-kataku terdengar ketus. Ya, seperti intonasiku yang biasa ketika aku berbicara dengan orang ini.

Krishna menatap kemudi beberapa saat. Matanya menerawang, tangan kanannya meremas saku baju didada kanannya dengan kuat. Sebuah aura biru yang melingkupi sekelilingnya membuatku terdiam. Terhanyut oleh kesenyapan yang ia alirkan, tenggelam dalam kelam yang ia pancarkan. Kelak aku tahu, bahwa disaku baju itulah, sapu tangan itu disimpan.

Kemudian mobil melaju. Setelah itu, mulutnya bungkam. Celoteh yang tadi tak berhenti, sekarang seperti terikat oleh rantai kebekuan dalam hatinya.

Aku pun terdiam, tak mau mengusiknya sedikitpun, sampai mobil berhenti tepat didepan rumahku.

“Eh, sorry. Berapa nomor rumahmu?” Krishna menyetel gigi, hendak melajukan kembali mobil.

“Tepat disini,” kataku sambil membuka pintu mobil.

“Tunggu!”

Aku berhenti dan mengkaku-kan kakiku.

“Sejak kapan kamu tinggal disini?”

“Sejak keluar kuliah, kenapa?”

Krishna terdiam. Matanya sendu menatap bangunan rumahku. Aku berpaling dan pergi.
Tak terlalu perduli dengan apa yang tengah tersembunyi dibalik tabir jiwanya. Meski jujur, tatapan matanya cukup mengusik pikiranku.

“Kamu tahu siapa yang menghuni rumah ini sebelumnya?” pertanyaannya membuat tubuhku kembali berbalik.

Kami pindah dari rumah ini karena Perusahaan kecil yang tengah Papa rintis dikota ini gulung tikar. Kami pindah ke Semarang utuk memulai kembali dari nol, dengan harapan, dikota itu Perusahaan Papa mempunyai masa depan yang terang. Harapan itu terwujud. Papa dapat membangun kembali bisnisnya dan melebarkan sayapnya sampai ke Bandung, kekota ini kembali. Saat aku kuliah, Papa kembali membeli rumah penuh kenangan ini.

Jadi tentang penghuni rumah ini sebelum Papa, mana aku tahu!

“Memangnya aku peduli!” jawabku kesal. Habis, Krishna bersikap sangat aneh.

“Oh, tentu saja, kau mana tahu!”

Krishna menghidupkan mobilnya, lalu tanpa menoleh lagi dia pergi dari hadapanku. Tanpa kata sedikitpun, apalagi ucapan salam.

Aku terpaku beberapa saat, tapi kemudian mengangkat bahu, dan lupa dengan kejadian itu. Padahal kalau saja saat itu aku perduli dengan tatapan mata Krishna, atau sekedar menanggapi pertanyaannya dengan serius, mungkin aku tak akan menyesal seumur hidupku...


* * *

Pak Bernard sudah masuk kerja kembali. Seharusnya aku tak merasa apa-apa. Tapi nyatanya, kehadiran Bernard, meski ditempat dan ruangan yang berbeda, cukup membuatku terus tersenyum sepanjang hari. Padahal sikap teman-teman kantor padaku belum berubah sedikitpun.

“Sedang senang ya?”

Aku tersenyum menjawab pertanyaan Pak Nanta.

“Kayak lagi jatuh cinta nih!”

Dan aku tersenyum lagi. Pak Nanta senang menggodaku seperti itu. Mungkin karena selama ini aku selalu terlihat muram dan dingin. Benar juga, sejak menjadi bagian dari kantor ini, baru sekali ini aku tersenyum dan sedikit ramah.

“Sudah mulai betah?”

“Sedikit,” kataku sambil menyalakan komputer.

“Syukurlah,” Pak Nanta bicara berbisik, seperti mengatakan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Benarkah aku mulai betah? Aku tak tahu...

“Hei, Nai!” sebuah gulungan kertas yang menyentuh pundakku, menghentak pikiranku. Aku berpaling dari layar komputer.

“Serius sekali kerjanya, sampai-sampai panggilan Bu Irya nggak kedengaran.” Pak Nanta tersenyum.

“Bu Irya manggil aku?”

Pak Nanta mengangguk. Bergegas aku masuk keruangan Bu Irya dan duduk ditempat yang dia persilahkan.

“Maaf, aku ganggu kerja kamu,” katanya sambil mengelus perutnya yang sudah membesar.

“Wanita itu luar biasa ya?” kataku masygul melihat keadaannya. “Apa terasa berat?” tanyaku tolol.

“Delapan kilo, harusnya memang terasa berat, tapi fine-fine aja kok! Nggak begitu terasa,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa. Perasaan senang dengan bayi yang dikandung, mungkin memperingan penderitaan itu.

“Tapi tetap saja, aku harus istirahat jika kandunganku sudah menginjak delapan bulan. Dan, berhubungan dengan itulah, aku manggil kamu kemari...”

Aku diam mendengarkan Bu Irya hingga kalimat-kalimatnya lengkap terangkai, dan aku memahaminya dengan sempurna. Aku tak mau menduga-duga.

“Tepatnya satu bulan lagi. Aku mungkin akan berhenti. Jadi untuk sementara... kami minta bantuanmu untuk menggantikan posisi kosong yang aku tinggalkan.”

“Lalu kapan Ibu masuk lagi?”

“Tak akan masuk lagi. Aku akan keluar Rana...”

“Keluar?”

“Lima tahun aku dan A’ Ilham menunggu kehadirannya, lalu setelah Allah mengabulkan permintaan kami, aku tak mau menyia-nyiakan amanah ini. Aku ingin mengasuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Meninggalkan karier?”

Bu Irya mengangguk.

“Meskipun karier menjanjikan?”

Bu Irya mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebar. “Karierku dirumah lebih menjanjikan.”

“Lalu potensi Ibu?”

“Potensiku tak akan mati hanya karena aku tinggal dirumah Rana, aku bisa melakukan banyak hal. Malah lebih leluasa, lebih berkembang.”

Aku mengangguk setuju.

“Jadi? Kau bersedia?”

“Berapa lama?”

“Sampai Manager menemukan orang yang tepat.”

“Sampai kapan?”

Bu Irya mengangkat bahu.

Lalu setelah berpikir sesaat aku menggeleng kuat. “Orang lain saja.”

“Kau tak mau?”

“Dengan kondisiku sekarang ini? Tentu aku tak mau. Orang lain saja...”

“Meski kamu mampu?”

“Aku mampu, tapi aku tak punya kekuatan.”

“Kekuatan apa?”

“Kekuatan kerjasama. Tak ada yang mau bekerjasama denganku. Ya... mungkin ada...
beberapa orang. Tapi sedikit dibanding yang seharusnya,”

“Bagaimana kalau kau coba dulu?”

Aku menggeleng, “Aku tak mau mengambil resiko.”

Dan aku keluar dari ruangan itu dengan tatapan kecewa dari dua mata Bu Irya.

Selang dua jam dari itu, aku kembali dipanggil. Kali ini keruangan Bernard. Sebuah semilir tiba-tiba berhembus dalam dadaku.

“Mengenai pengganti Iryani,” Bernard langsung membuka pembicaran. To the point, seperti biasa. Apa Nana seperti itu saat sudah dewasa? Aku mengangkat bahu, bisa saja. Waktu bisa merubah seseorang.

“Aku tak bisa,” aku berbicara, juga to the point.

Bernard sedikit tersentak, bukan karena gaya bicaraku yang tegas, tapi mungkin karena kata ‘aku’ yang keluar dari mulutku. Aku sendiri kaget, tapi aku menepisnya. Toh, aku merasa, aku berbicara dengan orang yang telah lama aku kenal.

“Kenapa?”

“Aku kan sudah bilang alasannya.”

“Kami tak punya orang lain.”

“Pak Nanta?”

“Dia akan menempuh tesis, dalam tiga bulan kedepan dia akan sangat sibuk. Kami tak mau membebaninya lebih banyak.”

“Kalau begitu orang lain saja,” kataku keukeuh.

Bernard menghela nafas panjang. “Bagaimana jika untuk sementara saja? Sampai kami menemukan orang yang tepat.”

“Sementara itu berapa lama?”

“Tunggu saja.”

“Tunggu? Kamu memang selalu membuatku menunggu...” aku keluar dari ruangan Bernard.

“Kau bersedia?”

“Kalau bukan kamu yang meminta, aku akan tetap pada pendirianku.”

Dan begitulah, setelah Irya keluar, aku yang mengisi meja kosongnya. Reaksinya?
Sesuai dugaan. Mereka mencibir, mengatakan berbagai hal, menyindirku. Dan yang lebih parah, mereka sama sekali tak mau bekerja sama denganku. Mereka membuatku bekerja sendirian...

* * *

“Bagaimana pekerjaanmu?” aku tak menjawab pertanyaan Bernard. Mataku berkeliling taman. Bisik-bisik mereka pasti semakin ramai jika salah satu diantara mereka melihat kami. ‘Tuh kan, lihat gosip affair itu ternyata benar!’ aku tertawa pahit ketika aku membayangkan apa yang akan mereka katakan.

Bernard menghampiri aku ketika jam kerja telah usai. Adzan Ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu.

“Biasa saja,” hanya itu yang kukatakan. Padahal tekanan itu begitu menghimpit dadaku. “Tahu tidak Nana, kamu itu bikin aku menderita! Sudah aku bilang, mereka tak mau kerja sama. Bayangkan! Mereka tak pernah menyelesaikan pekerjaan mereka, hingga aku harus bergadang utuk menyelesaikan semuanya. Kalau saja Bapak-bapak tidak bantu aku, aku pasti sudah mati karena capek,” kata-kata itu aku teriakkan hanya dalam dadaku.

“Kamu terlihat sangat lelah, Maaf...” Bernard terlihat menyesal.

“Biasa saja,” kataku dingin. Meski terus terang, aku ingin kata-kata perhatian yang keluar dari mulutnya kembali kudengar.

“Apa ada yang bisa kulakukan?”

Aku menggeleng.

“Tiga bulan lagi. Mungkin sampai Pak Nanta menyelesaikan studinya.”

“Dia yang akan menggantikan Irya?”

Bernard mengangguk. Aku setuju. Keadaan tak akan separah ini jika Pak Nanta yang memimpin.

“Kenapa?” Bernard berkata tiba-tiba.

“Kenapa apa?”

“Kenapa kamu bersembunyi dibalik lensa itu?”

Aku memandangnya.

“Bukankah lebih baik kalau kamu menunjukkan dirimu apa adanya?”

Aku hanya diam.

“Memang sangat sulit menjadi berbeda. Tapi percayalah, itu akan membuat kita
bernafas lega. Kau tahu? Seperti melepas topeng,” Bernard tertawa.

Akan bernafas lega? Seperti membuka topeng? Bagaimana dia tahu kalau selama ini aku merasa sesak?

“Pikirkan ya?” Bernard berdiri dan meninggalkanku sendiri.

...

“Ooh... bule...”

“Pirang dong! Kok hidungnya nggak semancung yang seharusnya?”

“Hei, anak penjajah!”

“Sana, main aja sendiri, nanti kami ketularan suka menjajah orang.”

...

Hanya kata-kata anak kecil, tapi sangat berbekas dan terekam kuat dalam memoriku. Hingga sejak usia SMP, aku memakai lensa ini. Dan Bernard benar, sekian lama aku merasa sesak. Aku tak pernah menjadi diriku sendiri.

Matahari masih berwarna kuning, memancar hangat sisa siang tadi. Aku berdiri dan berjalan menghampiri kolam jernih berikan. Aku membuka lensa mataku, dan menatap bayanganku yang bergerak-gerak karena riak-riak ombak.

Membuka lensa ini, menjadi diriku sendiri. Siapkah aku...

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar