Selasa, 09 November 2010

Pelataran Kasih III ( Jalinan Harapan )

Bernard

Duduk mematung memandang senja. Hanya itu yang dia lakukan. Setiap hari, setiap sore, tak pernah terlewat. Hanya malas pulang? Tidak mungkin! Apa yang selalu dipikirkannya?

Lalu sapu tangan ini, apa maksudnya?

Kemarin, setelah kami puas ngobrol, aku mengantarnya pulang. Dan sapu tangan ini tertinggal dikursi mobil yang ia tinggalkan. Sebuah sapu tangan merah muda, sudah lusuh dan kusam. Seorang Krishna, yang maskulin dan cuek, memiliki saputangan berwarna pink? Hah!

Aku tertawa. Entah untuk apa. Mungkin untuk sebuah cinta yang terasa sublim. Cinta? Ya, jika bukan karena cinta, tak mungkin Krishna menatap senja, tak mungkin juga dia menyimpan benda yang musykil dimiliki seorang lelaki.

Sebuah dering telepon menghentak lamunanku.

“Nairana ingin bertemu Pak,” suara Jamie terdengar disana. Jamie itu sekretarisku.
Aneh memang, tak biasa. Dia sekretaris tapi dia seorang laki-laki. Semua orang juga bicara begitu. Tapi aku tak peduli. Aku hanya tak mau kalau nantinya, orang yang selalu mendampingiku adalah seorang wanita, pasti tak akan betah. Lagipula, aku sudah mengenal Jamie sebelum ini. Kami pernah menjadi satu tim di Perusahaan sebelumnya, sehingga aku tahu kalau Jamie orang yang dapat kupercaya. Untungnya,
Jamie juga tak terlalu bermasalah dengan pekerjaan yang kata orang tak begitu pantas dikerjakan seorang laki-laki itu.

Biarlah orang bilang apa. Lagipula, bagiku, Jamie lebih dari seorang sekrearis. Dia adalah kepercayaanku, tangan kananku.

“Nairana? Tapi kan aku memanggil Irya?”

“Bagaimana kalau Bapak langsung tanya Rana?”

“Ok, suruh masuk!”

Dan tak lebih dari semenit, Rana sudah ada dihadapanku.

“Kemana Irya?” tanyaku langsung.

“Sakit. Saya pikir... Bapak butuh seseorang untuk mewakili beliau...”

Suara dering telepon memotong kalimat Rana. Kali ini dari ponselku. Aku meletakkan sapu tangan milik Krishna yang tak sadar sedari tadi kugenggam, lalu aku mengambil ponsel dari saku bajuku, dan berdiri mejauh dari Rana.

“Assalamu’alaikum..., Irya?”

“Wa’alaikum salam. Maaf Pak, tadi Rana menelepon saya, katanya saya dipanggil Bapak, jadi... saya suruh dia mewakili saya...”

“Oh, tak apa. Sakit?”

“Ya, lemas dan sedikit mual. Ada yang penting, Pak?”

“Hanya tentang laporan keuangan yang masuk bulan ini, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan...”

Aku terus membicarakan masalah pekerjaan dengan Irya. Tanpa kusadari sedikitpun
kehadiran Rana. Padahal, kalau saja saat itu aku melihat reaksi Rana saat melihat sapu tangan yang tergeletak itu, aku bersumpah, aku takkan melakukan hal terbodoh yang kulakukan sapanjang hidupku. Tak akan kulakukan...

* * *

Ah, ternyata sulit juga mencari ruangan Krishna. Sudah berapa tahun sih aku bekerja di Perusahaan ini? Sampai-sampai ruangan Ilustrator saja aku tak tahu.

Seseorang menubrukku dari belakang. Tak keras, tapi cukup membuatku kaget.

“Krishna? Thank’s God, aku sudah cari kamu kemana-mana, tahu nggak?” kataku ketika kutahu siapa orang yang menubrukku.

“Oh, Bapak! Maaf, saya tadi sedang jongkok-jongkok, nyari sesuatu. Tapi... ngapain Bapak cari saya?”

“Udah makan siang?”

Krishna menggeleng dengan wajah bingung.

“Ok, ikut aku!”

Tanpa bertanya Krishna mengikuti langkahku. Bukan ke kantin kantor, karena mungkin, tempat itu sekarang lagi penuh-penuhnya. Aku memilih tempat makan yang agak spesial. Tempat yang eksklusif dan agak sepi, meski letaknya agak jauh dari kantor. Sepuluh menit dengan jalan kaki. Aku harap, tempat itu bisa membantu Krishna mengurai segala problemnya.

Sangat aneh, sejak masuk cafe, hingga menghabiskan makan siangnya, Krishna hanya terdiam. Matanya menerawang, entah kemana. Aku melihat matanya sangat kalut dan berkabut. Dan reaksinya seketika berubah, ketika aku menyimpan sapu tangan merah muda tepat dihadapannya. Matanya terbeliak, kabutnya tiba-tiba tersingkap. Wajahnya seketika berbinar cerah.

“Itu yang dari tadi kamu cari kan?”

Krishna mengambil sapu tangan itu, dan menggenggamnya erat. Seperti tak ingin kehilangan untuk kedua kali. Bahkan aku yakin, kalau aku tak ada didepannya, Krishna akan mendekap dan mencium saputangan itu dengan mesra.

“Dimana Bapak temukan ini?”

“Di mobil, mungkin terjatuh dari sakumu.” Aku mengambil teh manis dan meminumnya beberapa teguk. “Dari seseorang yang sangat berarti?” aku menatap mata Krishna dalam, mencari jawaban yang tersembunyi, menggali jawaban yang dalam terpendam.

Krishna menghindari tatapan mataku, menatap kesamping, kearah jalanan yang tak pernah sepi.

“Terimakasih,” Krishna berkata setelah bersusah payah mengendalikan perasaannya.

“Untuk apa?”

“Karena Bapak sudah menemukan apa yang aku cari...”

“Berhenti memanggil Bapak!” perintahku memotong kalimat Krishna.

“Oh, ya.. ya.. Bernard. Maaf, aku belum terbiasa.” Krishna tertawa. Sikap aslinya menyembul kembali. Dan kesenduan dibalik saputangan itu tenggelam lagi.

“Susah ya cari benda itu?”

“Ya! Kamu tahu nggak, aku cari sampai nungging-nungging. Mau nanya nggak bisa, habis... ‘masa sih, seorang cowok punya saputangan warna gituan?’ Bisa mati aku jadi bulan-bulanan semua orang! Ha.. ha..,” Krishna tertawa lepas.

Sementara aku, hanya menarik nafas sembari menatap kegalauan yang tiba-tiba aku rasakan. Kegalauan karena sesal yang terasa menekan. Sesal yang kupendam selama bertahun-tahun...

“Sudah berapa lama kalian berpisah?” tanyaku tiba-tiba, menghentikan tawa Krishna.

“Delapan belas tahun, kalau aku tak salah hitung,” Krishna tertawa, kali ini terasa pahit.

“Begitu..., cinta masa kecil ya...”

“Dia meninggalkanku... Tidak, aku yang membuatnya menunggu terlalu lama..”

“Kemana?”

“Pindah rumah.”

“Tak ada alamat?”

“Terhapus hujan...”

Kami diam beberapa saat.

“Dia sudah bilang, kalau saat itu adalah pertemuan terakhir. Tak lebih dari senja, dia harus berangkat. Tapi aku... datang terlambat. Kau tahu kenapa?”

Aku hanya memandang wajah sedihnya, tanpa memberi jawaban atau isyarat apapun.

“Karena aku keasyikan main bola, ha... ha...,” Krishna tertawa lagi, tawa yang keluar dari hati yang tersayat.

“Sejak saat itu, kau pasti membenci bola,” kataku sambil menatap tanganku yang tengah mengaduk-aduk teh manis dengan sedotan.

“Sangat...” katanya berat.

Setelah itu kami terdiam lagi. Diam, saling menyelami perasaan masing-masing. Sampai ring tone Hp-ku berbunyi, dan memperdengarkan suara Jamie, kalau aku tengah ditunggu meeting.

Kami berjalan perlahan. Berjalan berdampingan, saling menatap kedepan.

“Yakin akan menemukannya?” aku menatapnya dari samping. Aku melihatnya menggeleng sambil tertunduk menatap kakinya yang susul-menyusul.

“Sampai kapan kau menunggu?” tanyaku lagi.

“Sampai aku yakin kalau dia bahagia, dan sampai aku tahu kalau dia memaafkan aku..,” Krishna mendahului langkahku.

Aku menatap nanar pada punggungnya yang terus menjauh. Menatap nanar pada harapan yang tak henti ia jalin.

Sampai aku yakin kalau dia bahagia, dan sampai aku tahu kalau dia memaafkan aku...
Aku yakin kau sudah bahagia, dan aku tahu pasti senyummu takkan kembali. Lalu jawaban apa yang kuberikan jika Tuhan bertanya padaku, ‘sampai kapan kau menunggunya?”

Aku berdiri mematung. Disisi jalanan aspal berdebu. Membiarkan angin menyapu wajah dan rambutku, membiarkan sepoinya menerbangkan keresahan yang menguasai jagat jiwaku.

* * *

“Will you follow with me?”

“Are you sure you can?”

Aku mengangguk pasti. Shasha, gadis kecil berusia sepuluh tahun itu mengulurkan tangannya menyambut uluran tanganku. Dia naik ke atas sepeda dan duduk dibelakangku, kedua tangannya erat mencengkram kedua pundakku.

Saat itu adalah pertama kalinya Mama membelikanku sepeda, itupun setelah aku merengek dan berjanji panjang lebar untuk berhati-hati dan tak melakukan ini-itu.
Beliau memang over protected. Tapi sekarang aku tahu, semua itu untuk kebaikan aku.

“Be careful, Kaka!”

“Tenang saja, kau tinggal bilang kemana mau pergi, pasti akan kuantar sampai
selamat!” kataku sambil tertawa. Lalu dia bernyanyi dibelakangku, mendendangkan
Forever Young dengan sangat merdu.

Roda-roda berjalan diatas pelangi, dan jiwa kami menari diatas angan musim semi.
Sampai sebuah mobil datang mendadak dari belokan, dan membuat tubuhku kaku dan layu. Sia-sia aku menekan rem, karena sebuah benturan keras lebih dahulu terjadi.
Aku berlari menghampiri Shasha yang jauh terpelanting dari tempatku terjatuh.

Dia tersenyum ketika kurengkuh tubuhnya, dan nyawanya pergi sebelum kata ‘maaf’ku sampai ditelinganya. Aku menangis, diiringi nyanyian ‘Forever Young’ yang sayup-sayup terdengar dalam alam batinku.

Semakin lama, lagu itu semakin jelas terdengar. Semakin keras, semakin keras.
Hingga aku bisa mengenali suara merdu yang datang dari balik angin.

Shasha! Suara itu milik Shasha! Lagu itu dinyanyikan Shasha!

“Shasha! Shasha!”

Sepi. Senyap. Gelap. Sendiri.

Aku terduduk diatas tempat tidurku sendiri. Aku mengusap peluh yang mengucur deras dari keningku. Mengatur kembali nafas yang lelah terengah-engah. Dan setelah ingatanku sempurna, aku tergugu sendiri.

“Shasha... maafkan aku...”

* * *

“Sejak itu, Mama dan Papa membawaku pulang ke Bandung. Rencana untuk membesarkanku di Negeri Kanguru hanya menjadi rencana yang takkan pernah terwujud. Bagi mereka itu lebih baik, daripada terus melihatku menatap jauh menerawang sambil menggoyang-goyangkan tubuhku kedepan dan kebelakang. Begitu seharian. Tak ada kata yang keluar kecuali kata “Shasha”. Tak ada sesuatu yang kudengar kecuali Forever Young.” Aku menatap jauh kebawah. Ke kerlap-kerlip lampu yang terlihat sangat indah.

Selama beberapa hari terakhir aku dan Krishna menghabiskan sisa dari setengah malam pertama dengan berjalan-jalan mengelilingi Bandung. Mencari buku, berkeliling, atau sekedar mengamati kota dari menara Masjid Raya, seperti yang saat ini tengah kami lakukan.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba aku menceritakan tentang Shasha. Padahal sebelumnya, kisah itu hanya milik masa laluku. Selalu kututup rapat. Tak seorangpun kubiarkan tahu. Tapi pada Krishna? Entahlah, mungkin aku merasa... dia bisa mengerti warna kelabu yang mendominasi langit hatiku.

Aku mendengar Krishna menghela nafas dalam. Tepat disamping kananku.

“Entah kemana aku harus menyampaikan maaf...”

“Dia sudah tahu...,” Krishna menghiburku. Aku melihatnya tak mengerti.

“Dia tersenyum padamu kan? Itu artinya, dia tak menyalahkanmu sedikitpun.”

“Mungkin. Tapi... rasa sesal itu tetap menekan...”

Malam semakin senyap. Langit hitam tanpa bintang. Mewakili perasaanku yang gelap dan pekat.

“Pantas kamu bisa menebak apa yang kusembunyikan,” Krishna tersenyum. “Rupanya... perasaan yang kualami, kau rasakan juga...”

“Tidak, rasa sesalku lebih berat. Aku tak punya harapan lagi Krishna ...”

Kami terdiam. Tak ada lagi yang dibicarakan. Hingga kami pulang.

“Apa kamu juga membeci sepeda?” Krishna bertanya sebelum turun dari mobil saat aku mengantarnya pulang.

“Jangan sebut benda itu!” aku melotot pada Krishna. Dan dia tertawa. Tapi tawanya berhenti ketika aku berlalu dari hadapannya. Aku yakin, sekarang, dia tengah memandangku menjauh. Memikirkan aku, memikirkan masa laluku, memikirkan perasaanku...

* * *

“Ayo cepat makan!” Krishna menyodorkan sebuah mangkuk berisi air dan bermacam-macam siomay dan mie. Diatasnya, seonggok saus berwarna merah menyala membuat perutku mulas bahkan sebelum aku memakannya. Dan parahnya, Krishna memaksaku memasukkan makanan aneh itu kedalam mulutku.

“Salahmu sendiri, setiap hari selalu saja memperkenalkan selera kelas atas padaku. Sekarang giliranku memperkenalkan selera rakyat padamu!”

“Tapi nggak dengan memaksa seperti ini,” kilahku.

“Tidak memaksa? Apa kamu nggak merasa kalau selama ini kamu selalu menganggapku bawahan yang harus selalu menurut padamu?”

“Masa? Apa aku seperti itu?”

Krishna mengangguk pasti. Masa sih aku seperti itu? Selalu memaksakan kehendakku? Berlagak jadi bos?

“Masa Kris?” aku meminta kepastian kembali.

“’Ok, ikut aku!’, ‘kita jalan kesini, ada shushi yang sangat enak!’, ‘sebelah sini
Kris, kau pasti ketagihan’. Nah apa kalimat kalimat itu bukan pemaksaan? Apalagi kalau diucapkan dengan intonasi khas kamu,” urai Krishna mencontohkan.

“Memangnya intonasiku seperti apa?”

“Ya seperti itu, khas seorang bos!”

Keningku berkerut. Begitukah? Apa mulai sekarang aku harus belajar untuk bicara dengan intonasi seperti Krishna? Yang cuek, urakan, dan bebas?

“Ayo, sekarang makan! Kali ini, aku bosnya!” Krishna menatapku dengan tatapan tajamnya. Mau tak mau, aku memakannya juga sesendok demi sesendok. Aku menjauhkan mangkuk itu dari hadapanku ketika suapan ketiga berhasil masuk perutku.

Aku tak tahan. Perutku tiba-tiba mulas. Aku tak mengada-ada, aku sungguh-sungguh soal ini. Krishna hanya menatapku bengong ketika aku meminta izin ketoilet. Aku merasa rasa mulas ini berkali-kali lipat melilitnya dibanding kontraksi melahirkan sekalipun!

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar