Senin, 15 November 2010

Pelataran Kasih XI (Biarkan Aku Mengambil Janji)

Krishna

Kenyataan itu sudah terbuka. Baik Rana maupun Bernard, sudah sama-sama tahu kebohonganku.

Ini skenario Allah. Dia tak ingin aku berlama-lama bersembunyi dalam kepalsuan, berenang dalam luka.

Langit alam ini begitu gelap. Tak berhias bintang satu kerlip pun, tak bertamu bulan satu detik pun. Apakah alam ingin memperlihatkan kesedihan yang tengah aku tuai?

Aku menatap kembali ponsel yang telah satu jam ini menempel kuat dalam genggamku.
Kuhubungi Bernard untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali juga aku tak menemukan jawaban. Apa Bernard mematikan Hpnya? Sengaja menghindar dari permohonan maafku? Apa dia tak tahu kalau aku tengah berkorban untuknya? Dan apa dia tahu bahwa pengorbanan ini begitu sakit? Atau justru itu yang dia tak mau? Dia tak ingin aku merasa kesakitan diatas kebahagiaannya?

Aku kembali menerawang. Kali ini aku melihat bayangan Rana tergambar dalam gelap kelam yang membentang. Mata hijaunya berair mata. Namun kali ini bahagia. Ya, dia bahagia bertemu denganku, itu artinya dia menyimpan harapan besar untuk namaku.
Bukankah itu juga kebahagiaan bagiku?

Saat itu, saat melihat bayangan Rana berwujud dihadapanku, sesuatu yang berat tiba-tiba mendesak dadaku. Melesak keluar dan meluap tak tertahan. Aku ingin memeluknya, dan mendekapnya hingga yakin, dia tak akan meningalkanku. Tapi sekali lagi, kerinduan yang menggunung itu hanya mampu melahirkan keinginan.
Bernard telah menahanku untuk tidak melakukan itu.

Ah, tidak. Bukan Bernard, tapi diriku sendiri. Aku telah mengambil janji, dan akan kutaati itu sebagaimana seorang laki-laki.

* * *

Bernard

Aku telah dikhianati. Bukan oleh Rana, juga bukan Krishna. Aku dikhinati diriku sendiri.

Krishna benar, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Aku terlalu tak perduli dengan lingkungan yang tengah kuhinggapi. Aku terlalu memenuhi dunia dengan urusanku sendiri.

Peristiwa ini tak akan pernah terjadi jika sejak awal aku menyadari kenyataan. Padahal Allah sudah menunjukkan tanda-tanda itu supaya terlihat jelas dalam pandanganku. Tapi sekali lagi, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Sampai-sampai aku tak menyadari, ada seorang Krishna yang tengah mengorbankan cintanya untukku. Dia telah mempertaruhkan cintanya untuk sebuah persahabatan. Taruhan yang teramat besar. Tapi apa dia tahu, kalau dengan cara seperti itu, justru akan sangat melukai batinku?

Ring tone Hp-ku berbunyi. Dari Krishna. Aku hanya memandang nama Krishna, mengejanya perlahan-lahan, sebelum akhirnya aku memijit tombol non-aktif. Setelah ini, Krishna pasti akan menghubungiku lagi. Aku belum siap. Aku belum siap menerima kebaikannya sedemikian rupa...

Seharusnya aku bahagia sekarang, ada seseorang yang mau berkorban demi kebahagianku. Tapi bukan bahagia yang kudapat, melainkan perih yang teramat sangat. Apakah semua ini karena aku telah melakukan kesalahan? Karena aku telah melupakan dosa yang kulakukan pada Shasha? Juga dosa yang kulakukan karena menyebabkan Rana menderita? Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan itu?

* * *

Rana duduk termenung mengamati senja, dan Krishna, dia berdiri jauh disisi taman mengamati Rana. Sedangkan aku, memandang mereka dengan kegetiran.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukankah seharusnya sekarang mereka merenda kasih dan menjalin tali perasaan yang sekian lama telah terputus? Apakah mereka masih menganggap aku berdiri diantara mereka? Menghalangi penyatuan mereka?
Suara telepon memalingkan pandanganku.

“Ada telepon dari Pak Nanta, Bapak mau menerimanya?” suara Jamie terdengar cepat.

“Sambungkan,” jawabku.

Lalu untuk beberapa jenak aku melupakan mereka. Melupakan perasaanku.

* * *

Rana

Nana sudah aku temukan. Bayangan yang telah sekian lama tak tersentuh itu kini sudah berwujud. Tapi aku masih disini, duduk menanti dalam pandangan senja.

Nana sudah aku temukan. Seharusnya aku bahagia. Tapi aku tak tahu, ada perasaan perih yang tergores begitu saja. Aku ingat perkataan Krishna suatu hari, “Kalau saja kamu menyakiti Bernard sedikit saja, aku orang pertama yang akan membunuhmu!”
Hubungan apa yang sebenarnya sudah terjalin antara mereka? Hubungan pertemanan? Atau lebih dari itu, hubungan persahabatan? Jika benar, alangkah indahnya... Tapi ironisnya, hubungan yang indah itulah yang tengah aku khawatirkan. Dan kekhawatiran itulah yang menyebabkan perih ini bersarang. Karena persahabatan bisa mengalahkan cinta, dan cinta selalu bertekuk tanpa syarat dibawah nama persahabatan, kala kedua perasaan itu berseteru.

Menurut perasaanku, hubungan seperti ini tengah merantai kami bertiga, menekan perasaan, mengekang jiwa dan pikiran.

Apakah Krishna juga akan mengalah pada Bernard, meski itu akan meruntuhkan bangunan harapannya? Harapan yang terbendung oleh waktu, asa yang terbendung oleh masa.
Hingga ketika waktu itu mulai terulur, dan masa yang memisahkan telah mendekat, kerinduan yang tertahan itu membuncah dan meluap keluar melewati pancaran matanya, melewati pori-pori kulitnya....

Seandainya saat dimobil itu, saat dia mengantarku, saat ia melihat mataku, saat ia menyadari siapa diriku, aku dapat menangkap pancaran kerinduan itu, mungkin harapan hati itu akan sangat besar. Tapi waktu tak akan kembali. Jadi biarkan aku tetap menanti, seperti ini. Meski dengan, atau tanpa harapan...

Sebuah langkah berhenti tepat dibelakangku. Krishna, aku tahu itu dia, meski sedikitpun aku tak melihat kearahnya.

Untuk apa ia kemari? Untuk memenuhi janji yang telah ia ingkari? Atau untuk melihat dan mengamati lalu berbalik pergi lagi? Seperti kemarin, dan kemarin?

Setelah hari itu antara aku dan Krishna, seperti aku dengan seseorang yang tak pernah kenal. Ketika kami akan bertemu dan melewati jalan yang sama, Krishna akan lekas menghindar dan mengambil jalan lain. Sangat menyakitkan. Kurasa akan lebih baik jika dia memarahiku dan memusuhiku seperti sebelumnya daripada begini. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggunya. Setiap senja, seperti ini. Dan Krishna, tak ada yang dia lakukan selain mengamatiku dari jauh.

Aku membiarkannya begitu, memberinya waktu untuk mengambil keputusan, memberinya waktu untuk memilih. Aku, atau Bernard.

Jadi, jika sekarang langkahnya telah mendekat, apakah itu artinya, keputusan sudah diambil?

“Apakah keputusan sudah lahir?” tanyaku sambil berbalik kearahnya. Menatap wajahnya, ada perasaan yang tiba-tiba menghentak. Allah..., bantu aku menahan luapan ini... luapan rindu yang lama tertahan, kini tiba-tiba mendesak keluar.

Setelah memandangku sekian lama, dengan mata sendunya, Krishna mengambil sapu tangan dan meletakkannya diatas kursi kayu, dengan posisi dan tempat yang persis sama dengan saat aku meletakkannya dulu. Setelah itu, Krishna menjauhkan tangannya dengan tarikan nafas panjang, seolah baru saja usai melakukan suatu pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa.

Dadaku sesak. Aku tahu itu artinya apa. Harapan yang telah membuatku bertahan selama ini terbang seketika. Terbang sambil mencerabut segumpal nyawa yang memberiku hidup.

“Maaf...,” lirihnya pelan.

Aku ingin marah, atau menangis keras. Tapi dari kedua pilihan itu, tak satupun yang kulakukan. Aku hanya mengatakan; “Aku mengerti...,” dengan suara sangat-sangat pelan, hampir-hampir saja, telingaku sendiri tak mendengarnya.

Setelah itu tak ada lagi kata. Aku hanya memandang punggungnya menjauh sembari menunggu wajahnya berbalik dan menatapku dengan berat. Tak sampai ia menghilang dari pandangan, aku sudah berbalik menatap matahari. Apa aku masih berhak memandangnya dengan kasih? Karena mungkin, Krishna tak akan lagi memandangku dengan rindu...

* * *

“Apa kamu memang mengerti dengan jalan yang diambil Krishna?” Jamie menemuiku suatu senja, dikursi taman tempat aku memandang harapan.

“Aku tak tahu,” jawabku jujur. “Jika kamu jadi Krishna, apa yang akan kamu lakukan?”

Jamie terdiam. Dia menatap matahari, seperti aku menatapnya. Mungkin ia mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Ia bukan Krishna.

“Dulu, Krishna juga bertanya seperti itu padaku.”

“Jawabanmu?”

“Aku tak menjawab.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak tahu.”

“Jika aku jadi Krishna.... aku juga akan memilih Bernard.”

Refleks Jamie melihatku, lalu hening.

“Kamu juga kan?” aku balik menatapnya.

Jamie mengangguk dengan ragu.

Pukul 05. sore. Aku berdiri dan beranjak. Karena itulah batas waktu terakhir aku menunggu Krishna.

“Kau selalu pulang jam segini?” pertanyaan Jamie menahan langkahku. Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Sebuah anggukan yang mendatangkan tawa pahit dari bibir Jamie. Aku tak mengerti, tapi aku tak ingin menyela.

“Ini skenario yang diatas....” katanya disela mata yang berkaca. “ Kamu tahu?” lanjutnya, “Krishna selalu datang tepat disaat kau pergi. Setiap hari.”
Kini tawa pahit itu berpindah padaku.

“Krishna bodoh! Setiap hari selama bertahun-tahun, dia selalu telat...”

“Tapi bukan lagi karena bola,” Jamie tertawa.

“Oya? Dia sekarang tak suka bola?” aku ikut tertawa.

“Kamu tahu Zinedine Zidane?”

Aku menganggukkan kepala.

“Tanyakan pada Krishna. Dia akan menggelengkan kepala...”

Lalu kami tertawa bersama.

...

“Satu minggu lagi... kamu jadi suami ya... Kapan mulai cuti?”

“H-1”

“Jadi Workaholic? Tertular Bernard?”

Jamie tertawa lepas. “Datang ya?”

“Krishna tak mengundangku.”

“Kalau begitu, aku yang mengundangmu. Aku meminta kesedianmu langsung lho! Datang ya?”

Aku tersenyum, meski berat. Bukankah nanti aku akan bertemu Krishna?

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar