Selasa, 19 November 2013

Mozaik Cinta (Bagian I)


1

Udara lembab. Tetes hujan terakhir telah turun beberapa saat yang lalu. Meninggalkan genangan-genangan di trotoar jalan yang lebar. Tapi angin dingin masih mau singgah menyibakkan ujung kerudung coklatnya. Matanya terpejam lama. Meresapi aroma tanah basah yang telah lama ia rindukan. Hujan pertama di awal musim selalu terlihat indah.
Suara kendaraan yang berhenti tepat didepannya membuat matanya perlahan terbuka. Seorang laki-laki dengan switer warna merah bata keluar dari pintu kemudi. Ia lalu berdiri menatap Hanan. Diam tak bergerak. Hanan mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Hidung yang mancung, alis tebal hampir bertaut, mata hitam teduh, juga jambang tipis terawat. Rasanya Hanan mengenal wajah ini. Tapi dimana? Hanan sama sekali tak ingat. Tapi mengapa laki-laki ini terus memandangnya? Hanan memalingkan muka segera.
“Hanan?”
Hanan menoleh ke asal suara. Seorang wanita setengah baya keluar juga dari chevrolet itu. Suara yang sangat ia kenal baik, juga sosok yang sangat tak asing. Sekarang Hanan ingat, ia belum pernah bertemu lelaki itu, tapi garis wajahnya sangat ia kenal baik, karena laki-laki itu sangat mirip wanita ini.
 “Ibu?” Hanan terbeliak bahagia. Langkah kakinya mendekat dan meraih tangan untuk dikecupnya dengan khidmat.
“Apa aku mengganggu keasyikanmu, gadis kecil?” wanita itu meraih bahu Hanan dan merengkuhnya kedalam pelukan hangat. Pelukan yang telah dirindukan Hanan beberapa waktu ini.
“Ibu sehat? Kemana saja Ibu akhir-akhir ini?”
Ibu melepaskan pelukan dan memandangi wajah Hanan tanpa berkata sedikit pun. Hanya sesungging senyum menyertai tatapan rindu itu.
“Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam?”
Ibu mengangguk setuju. Lalu mereka melangkah masuk ke sebuah outlet pakaian yang sedari tadi mereka punggungi. Sementara laki-laki itu mengikuti mereka dari belakang tanpa bicara sepatah kata pun.
Beberapa orang tengah melihat-lihat pakaian saat mereka masuk. Seorang wanita masuk kedalam kamar pas membawa satu set pakaian, sementara yang lain keluar, juga dengan sehelai pakaian. Seorang lain tengah duduk mengamati, seorang lagi tengah duduk membaca majalah. Suara ‘Ku Bersujud’ milik Afgan menemani kesibukan mereka.
“Outletnya laku, Hanan.” Ibu berbisik di telinga Hanan. Dan Hanan tersenyum sembari mengaminkan perkataan Ibunya.
“Kita ngobrol diatas ya, Bu? Atau... Ibu mau melihat-lihat dulu?”
“Lihat-lihatnya nanti saja. Ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan.”
Hanan mengangguk.
“Siapkan teh untuk kami berdua ya?” kata Hanan pada seorang pegawainya ketika ia melintas di meja kasir. “Eh, apakah putra Ibu akan naik juga?”
“Sami?”
“Oh. Sami.” Hanan mengulang nama itu. Ibu kadang menyebut nama Sami ditengah obrolan mereka, tapi Ibu tahu, Hanan orang yang sangat sulit mengingat nama.
“Bagaimana Sami?” Ibu menoleh pada laki-laki berswiter merah bata itu. Ia tengah mengamati sebuah lukisan. “Ya atau tidak?”
Sami memandang Hanan sejenak lalu menoleh kepada ibunya kembali. “Terserah Ibu saja,” katanya tersenyum tipis. Dan jawaban itu serta merta membuat Ibu tersenyum lebar.
“Kita berdua saja,” Ibu menggamit lengan Hanan.
“Siapkan juga teh untuk dia,” bisik Hanan kembali pada pegawainya. Pegawai itu mengangguk dan beranjak setelah Hanan menaiki tangga.
Hanan belum mengerti, bahwa jawaban Sami itu adalah gerbang kehidupannya masa datang. Masa datang yang tak pernah diduganya. Masa-masa penuh rasa perih yang mengiris hatinya. Jika saja Hanan tahu, Hanan tak akan pernah menerima kedatangannya. Tapi bukankah takdir berlaku tak bisa terelakkan?

*   *   *

Hanan memandang Ibu angkatnya tanpa berkedip. Kalimat yang dikeluarkan wanita itu benar-benar membuatnya shock. Tak tahu harus mengatakan apa, dan tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Hanan?”
Kata-kata halus itu membuat Hanan tersentak. Tapi jangan berharap kekagetannya akan menghilang begitu saja. Hanan mengatur nafas. Diambilnya cangkir teh yang tersaji dihadapannya dan meneguknya perlahan. Air hangat itu lumayan bisa menetralisir perasaannya.
“Bagaimana? Kau mau kan menikah dengan putraku?”
Hanan memandang kembali wajah Ibu angkatnya. Dua kalimat yang sama. Tapi dua desakan yang berbeda. Kalimat pertama tadi, hanya penawaran. Tapi kalimat barusan, lebih seperti desakan. Apalagi ketika Hanan memperhatikan sorot mata wanita setengah baya itu. Benar-benar sangat berharap Hanan menerima tawarannya. Hanan memandangi lagi tehnya, belum ada satu jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Ibu tahu ini sangat mendadak. Tapi..., Ibu sudah memikirkan ini masak-masak, Hanan. Ibu yakin, jika bersama, kalian akan jadi pasangan yang hebat,” Ibu tersenyum bahagia. Bahagia akan bayangannya sendiri, bahagia akan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Hanan menekur. Sudah hampir lima bulan ini, Ibu tak menemuinya sama sekali. Pada pertemuan ini, Hanan hanya berharap, mereka bisa ngobrol banyak untuk membebaskan kerinduan. Bukan berita mengejutkan seperti ini. Lagipula siapa Sami? Hanan memang sering mendengar sesuatu tentang Sami dari Ibu. Tentang bagaimana Sami begitu serius kuliah, tentang Sami yang sangat sulit tidur, tentang sarapan Sami diwaktu pagi, atau tentang lelucon-lelucon Sami yang membuat wanita itu kerap tertawa. Hanan sering mendengar itu. Tapi cukupkah?
Hanan menghela nafas berat. “Apa Ibu begitu ingin aku menikah dengannya?”
“Berharap, Hanan. Ibu sangat berharap.” Ibu memandang Hanan yakin. “Tapi Ibu tak bisa memaksa. Ini menyangkut kehidupanmu masa datang. Putuskan sesuai keinginanmu.” Tangannya mengenggam tangan Hanan hingga kedua tangan mereka bertaut diatas meja.
“Jangan berpikir tentang sesuatu yang telah aku berikan padamu, Hanan. Putuskan saja sesuai keinginanmu. Ok?” kata Ibu menutup percakapan.
Hanan mengangguk pelan. Tapi anggukan itu untuk sebuah pengingkaran. Memutuskan tanpa memikirkan segala sesuatu yang telah wanita itu berikan? Bisakah? Setelah semua yang dilakukan wanita itu untuknya, siapapun yang ada di posisi Hanan sekarang, pasti tak akan bisa melupakan semuanya.
Hanan masih duduk ditempat yang sama untuk beberapa saat setelah Ibu dan Sami pulang. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Pikiran akan masa lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, Hanan bukanlah seorang manusia. Tapi ia seorang budak. Bangun sebelum subuh datang, dan tidur setelah larut malam adalah hal yang biasa. Tak ada yang dilakukan, selain bekerja. Bekerja untuk menghidupi dirinya dan ibunya, juga untuk menebus diri mereka sendiri agar bebas dari ‘jaga malam’. Tapi sampai kapan ia bertahan? Hanya sampai ibunya bisa melindunginya. Setelah itu? Setelah Ibu meninggal, berapa pun ia menyetor uang, selalu tak cukup. Sampai batas kesabaran bosnya habis karena tawaran untuk Hanan begitu tinggi, Hanan juga sudah mencapai batas akhir. Tak ada yang dapat dipertahankan selain dirinya sendiri. Maka ia memutuskan untuk berlari, meski mempertaruhkan nyawanya sendiri. Berhari-hari ia terus berlari. Tapi kemana pun ia bersembunyi, ia selalu ditemukan.
Hanan dilahirkan ditempat yang salah. Besar di lingkungan yang salah. Ia terjebak dalam jaring labirin dan mustahil untuk membebaskan diri. Tapi kemustahilan itu ternyata terjadi. Ia terbebas dari labirin itu. Seseorang manarik tangannya keluar. Orang itu Ibu angkatnya. Ia bertemu dengan wanita itu saat ia dalam pelarian. Ia sedang benar-benar berlari dari kejaran saat ia menubruk wanita itu. Melihat rasa lelah dan rasa takut diwajah Hanan, dan melihat sosok pengejar, tanpa berpikir panjang, wanita itu menarik tangan Hanan masuk kedalam mobilnya.
Pertemuan itu membawa Hanan pada kehidupan barunya. Beberapa kali ia ditemukan oleh para preman suruhan bosnya, tapi beberapa kali juga Ibu menyelamatkannya. Wanita itu bahkan menebus Hanan dengan uang yang sangat besar, yang jika harus membayar, entah kapan Hanan bisa melunasinya. Jadi bisakah ia tak menghiraukan semua kejadian itu? Melupakannya begitu saja?
Hanan lagi-lagi membuang nafas. Tak bisa. Ingatan itu masih utuh. Tak ada yang terbuang. Sedikit pun. Jika tak ada yang bisa dilakukannya untuk membayar semua kebaikan wanita itu, bukankah hanya sekarang peluang membalas budi itu datang? Dan peluang tak akan datang untuk kedua kali bukan?
Hanan memejamkan mata. Ia sudah memutuskan.

*   *   *

Tak ada orang lain dirumah itu selain mereka bertiga dan para pembantu yang menyuguhkan air untuk mereka. Hanan duduk berseberangan dengan laki-laki itu, Sami. Sementara Ibu duduk diantara mereka. Hanan melihat kolam, memperhatikan ikan koi berenang-renang di dalamnya. Pantulan sinar matahari pagi memunculkan kerlap-kerlip bintang di riak-riak air, sedikit menyilaukan, tapi indah. Tanpa sadar Hanan tersenyum.
“Sepertinya, Ibu akan meninggalkan kalian berdua. Bicaralah yang leluasa.” Hanan tersentak mendengar perkataan itu. Tapi dilihatnya sekilas Sami terlihat sangat tenang, membuat Hanan terobsesi untuk bersikap sama. Hanan memandang punggung Ibu yang menjauh. Ia berjalan ke arah dapur. Hanan memalingkan kembali wajahnya dari dalam rumah menuju halaman belakang kembali, tempat mereka duduk kini.
“Aku harap, kau menerima tawaran Ibu,” Sami membuka percakapan.
Untuk itulah aku disini, Hanan menjawab dalam hati. Hanan melihat Sami lekat-lekat. Apa yang dirasakan pemuda itu padanya? Meski tak terus memperhatikan, tapi Hanan yakin, kalau sedari tadi, tak sekalipun Sami melihat ke arahnya. Entahlah, tapi Hanan merasa, kalau Sami tak tertarik padanya sama sekali. Tapi mengapa ia mau menikah?
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
Sami mengangguk membolehkan. “Katakan saja.”
“Mengapa kau tak menikah dengan seseorang yang kau cintai?” Hanan bertanya datar. Tanpa ekspresi. Tapi pertanyaan datar itu cukup membuat raut wajah Sami berubah. Untung saja Hanan tak melihat perubahan wajah itu. Ia masih asyik melihat gerakan lincah ikan koi merah didalam kolam.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Sami balik bertanya setelah ia bisa mengendalikan rasa tegangnya.
“Tidakkah kau mencintai seseorang?”
Sami terdiam. Tak ada jawaban. Apakah gadis ini tahu kalau sebenarnya ia menyukai seseorang? Menyukai seseorang yang tak mungkin dinikahinya?
“Kau sendiri?” Sami kembali membalikkan pertanyaan. Sami tak bisa menjawab jujur, tapi ia juga tak ingin berbohong. Ibu selalu mengatakan padanya, kalau perasaan wanita itu sangat peka. Jadi kepekaan perasaan itu mungkin tengah bekerja pada Hanan. Gadis ini merasakan sesuatu yang tak beres terjadi pada dirinya. 
“Bagi seorang perempuan, dicintai itu lebih penting daripada mencintai.”
Sami tersentak. Apakah itu artinya sebuah ancaman? Jangan menikahiku jika kau tak mencintaiku? Kini Sami yang melihat Hanan lekat-lekat. Ia ingin melihat riak diwajah gadis itu. Apakah yang ia katakan memang sebuah ancaman? Tapi Sami tak menemukan jawaban apa-apa. Ini bukti, kalau perasaan laki-laki tak sepeka perasaan perempuan. Sami tersenyum pahit. Baik, jika begitu, ia akan bertanya langsung.
“Kau mengancamku?”
“Tidak,” jawab Hanan cepat. “Apa aku terlihat seperti sedang mengancam?” Hanan tersenyum. Senyum yang seharusnya menggetarkan hati seorang Sami, calon suaminya. Tapi hati Sami sama sekali tidak bergetar sebagaimana yang seharusnya.
“Jika kau ingin menolak keinginan itu, lakukan saja.”
Hanan melihat Sami. Ia tersenyum pahit. “Apa aku salah bicara?” Hanan merasa, Sami sedang menancapkan bendera perang terhadapnya. “Aku  minta maaf. Tapi aku hanya tak ingin kau terpaksa menikahiku. Itu saja.”
“Kau menikah untuk balas budi kan?” Sami menatap Hanan dengan sorot mata tajam. “Tak apa. Aku juga menikahimu karena tak ingin mengecewakan Ibu. Adil kan?”
Hanan terpaku. Bukan ini yang Hanan inginkan. Allah..., kata-kata mana yang ia keluarkan yang mengoyak harga diri lelaki ini?
“Aku minta maaf...,” Hanan menekan harga dirinya. Tak terlalu sulit, sebab sejak lahir, dirinya benar-benar tak memiliki harga. “Bagaimana jika kita memulai percakapan dari awal?”
Sami diam. Ia bersidekap dada.
“Apakah kita sepakat untuk menikah?” tanya Hanan lebih lembut dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
“Jika itu yang kau inginkan.”
Hanan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Allah, seperti apa laki-laki yang sedang kuhadapi ini? Jika itu yang aku inginkan? Bukankah ini sama-sama bukan keinginan mereka? Apa salahnya jika Sami menjawab ‘ya’? Apa ia sengaja ingin menyakiti perasaanku?
Perasaan Hanan benar-benar berkecamuk. Pembicaraan yang buruk untuk sebuah permulaan.
“Baiklah jika begitu,” Hanan berdiri. “Tadinya aku berharap kita akan memulai semuanya dengan baik. Merencanakan kehidupan rumah tangga kita nantinya. Tapi jika sudah diawali seperti ini, pembicaraan kita tak akan menghasilkan apa-apa. Sekali lagi aku minta maaf kalau aku salah bicara.” Hanan menutup percakapan, lalu beranjak meninggalkan Sami terpaku seorang diri.
Tidak, tak ada yang salah dengan kata-kata Hanan. Dirinya yang salah. Jika dia tak menyukai perempuan yang lain, tak akan ada pembicaraan seperti ini. Ia cukup menjawab ‘tidak’ ketika gadis itu bertanya apa dirinya mencintai seseorang. Tapi kenyataannya memang tak seperti itu. Ia mencintai orang lain...

*   *   *

Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja nantinya? Hanan meragukan itu. Akan banyak hal yang terjadi, dan Hanan harus mempersiapkan dirinya sejak sekarang. Lalu persiapan apa yang harus dilakukannya? Entahlah. Hanan sendiri bingung.
“Bagaimana menurutmu?” Suara Sarah, kakak perempuan Sami membuyarkan lamunan Hanan. Ia masuk ruangan dengan membawa satu stel gamis hitam dipadu rompi warna putih berhias mutiara hitam di bagian leher. Sederhana untuk pakaian pengantin namun terkesan elegan. “Kau suka?” katanya lagi menghampiri Hanan.
Hanan tersenyum dan mengangguk. Jika bukan karena Sami, ia akan berteriak histeris dan mengatakan gaun itu bagus berkali-kali. Tapi pikirannya yang penuh dengan Sami menutup selera itu.
“Rancangan yang bagus, Kak!” Hanan mengambil gaun itu dan mengamatinya. “Entah saya cocok atau tidak memakai ini...”
“Kok bilang gitu? Coba dong! Pasti cocok!” Sarah mendorong Hanan masuk ke kamar, dan Hanan menurut tanpa membantah sedikit pun. Dan Sarah benar, Hanan sangat cocok memakai gaun itu. Tapi wajah Hanan yang biasa berbinar, entah mengapa terlihat redup. Sarah merasakan benar aura itu.
“Ada sesuatu yang kau pikirkan?” Sarah menggamit lengan Hanan dan menariknya perlahan memasuki ruangannya. Ia meminta Hanan berdiri didepan cermin besar sembari mengajaknya bercakap-cakap. Diruangan ini hanya ada mereka berdua, tak ada pegawainya satu orang pun. Ia berharap, Hanan leluasa bicara dengannya.
“Tidak ada,” Hanan tersenyum bersembunyi.
“Kau memikirkan sikap Sami?”
Pertanyaan itu membuat Hanan tersentak.
“Sudah kuduga,” Sarah tersenyum. Tangannya masih sibuk membetulkan gaun Hanan. “Kau mau melonggarkan sedikit dibagian ini?” Sarah menunjuk dada Hanan, dan Hanan mengangguk tanda setuju.
“Bagaimana kakak tahu?”
“Semua orang tahu,” Sarah lagi-lagi tersenyum.
“Maksud Kakak?”
“Sami orang yang dingin, ketus, dan tanpa basa basi. Dia juga keras dan egois. Benar kan?”
Hanan mendesah.
“Kau belum pernah bertemu dengannya sebelum ini kan?”
Hanan mengangguk.
“Itu karena dia tak suka banyak berkomunikasi dengan orang.”
Hanan terdiam. Menyukai kesendirian? Bukankah itu sifatnya juga? Persamaan ini bukan berita yang baik. Sebuah pasangan harus saling mengisi kekurangan masing-masing dengan kelebihan masing-masing. Jika kekurangan mereka sama, dengan apa mereka saling mengisi kelebihan?
“Kamu jangan khawatir, meski Sami seperti itu, ia orang yang perhatian. Dalam diamnya, ia selalu memperhatikan.”
“Apakah dia akan menyukai saya?” tanya Hanan ragu.
“Rasa suka bisa muncul setelah dua orang bersama. Lambat laun perasaan itu akan ada. Tapi tetap saja, kamu harus mengusahakan hal itu. Pada orang sedingin dia, kamu harus pintar mencari perhatian, apalagi kamu punya musuh besar yang sangat sulit untuk dikalahkan,” Sarah membetulkan gaun dikedua pundak Hanan bagian belakang. Sesekali ia melihat wajah Hanan.
“Maksud Kakak?” Hanan mulai merasa was-was. Sami mempunyai seseorang yang dicintainya. Benar kan?
“Pekerjaannya.”
“Apa?”
“Ya. Pekerjaannya. Jika ia sudah menggambar di depan komputer, tak ada yang bisa menarik keinginannya sebelum gambarnya selesai. Tidak makanan, tidak istirahat. Tapi jika kamu, siapa tahu?” Sarah mengerling menggoda, membuat Hanan tersenyum malu. Tapi tanpa Sarah ketahui, kekhawatiran di hati Hanan tak pernah hilang. kekhawatiran yang membuat Hanan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Sami, suatu saat nanti...

*   *   *

“Jadi Sami benar-benar belum mengatakan tentang hal ini padamu?” Sarah melihat Hanan sekilas sebelum matanya kembali pada jalanan yang ada didepannya.
Sepulangnya dari butik, Sarah mengajak Hanan melihat rumah yang kata Sarah, khusus Sami buat untuk mereka berdua.
“Sami sampai bergadang dua hari lho, menyelesaikan gambar ini!” promosi Sarah tadi ketika merayu Hanan untuk mengikuti ajakannya. Ya, tadinya Hanan menolak. Sami belum mengatakan ini padanya, itu artinya, Sami masih mau merahasiakannya kan? Tapi Sarah bilang, Sami belum mengatakannya karena ia tak tahu bagaimana caranya. “Laki-laki dingin seperti dia mana tahu cara bicara dengan perempuan,” Sarah tertawa. Dan akhirnya, disinilah Hanan sekarang. Duduk manis di samping Sarah yang mengemudikan ‘Vorce’-nya perlahan-lahan. Berani sumpah! Hanan yakin kalau Sarah baru bisa mengemudi tadi pagi!
“Memang belum,” jawab Hanan tenang. Ia melihat jalanan lenggang didepannya. Kalau saja ia yang mengemudi, ia akan melarikan mobil ini lebih cepat. Hanan melihat jam tangannya. Hari ini ia tak ada acara sama sekali, tapi tak tahu kenapa, ia ingin cepat pulang dan melakukan apa saja, asal di rumah. Tapi rutinitas seperti ini memang harus dilakukan ketika seseorang menikah bukan? Jadi Hanan berusaha untuk terus bertahan.
“Kau tahu kenapa Mama menjodohkan kalian?” Sarah berubah serius tiba-tiba.
“Boleh aku tahu?” Hanan menghadapkan wajah sekaligus badannya pada Sarah.
Sarah menghela nafas panjang sebelum menjawab. “Mama adalah Ibu kandung Sami. Ayah adalah ayah kandungnya. Aku juga kakak kandungnya. Tapi entah mengapa, kami tidak pernah tahu, apa yang ada di dalam pikirannya. Kami tidak pernah tahu perasaannya. Apakah dia senang, kesal, atau benci sekalipun.”
“Dia tak pernah mengekspresikan perasaannya?” tanya Hanan penasaran.
“Dia tertawa seperti biasa. Di juga tersenyum, terlalu sering malah. Tapi justru itulah yang membuat kami bertanya. Kapan dia merasa tak suka? Kapan dia merasa kesal? Segala sesuatu selalu ia tanggapi dengan senyum segaris. Tak pernah lebih. Tertawa juga tak pernah lepas. Kami merasa kalau senyum dan tawa pelannya hanya wajah yang ia perlihatkan pada kami, bukan yang sebenarnya. Dia hanya ingin membuat kami senang. Hanya itu. Bersamamu, kami harap, dia menjadi dia yang ada didalam hatinya. Dia yang sebenarnya.”
Mereka terdiam sejurus.
“Mengapa kalian menyimpulkan kalau aku bisa membuka hatinya?”
Sarah tersenyum. “Karena kau adalah kau,” Sarah tertawa membuat kening Hanan berkerut. Hanan bertanya lagi, tapi lagi Sarah menjawabnya dengan tawa.
Rumahnya cukup besar untuk diisi hanya oleh berdua. Warnanya di dominasi warna putih. Dinding rumah belakang penuh dengan kaca-kaca lebar, memungkinkan cahaya matahari masuk lebih banyak, dan memungkinkan penghuninya melihat taman asri yang memang menjadi pusat perhatian rumah ini. Ditaman itu terdapat kolam renang mungil berbentuk kurva yang sepertinya hanya berpungsi sebagai hiasan saja. Atau memang Sami suka berenang? Hanan mengangkat bahu, ia tak tahu. Tapi yang pasti ia ketahui adalah, ia tak bisa berenang.
“Ayo masuk! Kita lihat kamarnya!” Sarah menarik tangan Hanan. Rumah itu memiliki dua kamar. Satu diujung sebelah kanan, satu diujung sebelah kiri. Dapur ada ditengah bersatu dengan ruang duduk.
“Satu untuk kamar kalian, satu untuk kamar kerja. Benar kan?” Sarah membuka pintu kamar sebelah kanan dari pintu masuk. “Yang ini pasti untuk kamar kalian,” Sarah masuk ke ruangan luas berlantai parkit itu. Belum ada perabotan, tapi sudah terlihat cantik. Jendela di kamar ini juga sangat besar, seluas dinding, berpungsi juga sebagai pintu keluar. Gordennya warna putih tulang, menghadap ketaman. Hanan mengerutkan kening. Pintu keluar menuju taman? Apakah pikiranku saja yang kuno atau rancangan rumah ini yang aneh? Masa kamar bisa ada jalan keluar?
Menuju kamar berikutnya, Sarah berseru. “Oh ini yang kamar, yang tadi berarti ruang kerja, benar gak?”
Hanan mengangguk setuju. Kamar yang disisi sebelah kiri jauh berbeda dari kamar yang tadi. Jendela yang ini dibuat proporsional dan memang berfungsi hanya sebagai jendela. Menghadapnya pun ke arah depan. Luasnya hampir seukuran dengan kamar satunya.
“Gimana? Betah tidak?”
Hanan tersenyum lebar. Senyum yang menurut Hanan bukan jawaban. Betah atau tidak seseorang disebuah rumah bukan ditentukan oleh rumah itu sendiri, tapi oleh penghuninya. Apakah Sami akan membuatnya merasa nyaman tinggal disini?
Mereka baru akan pergi ketika mendengar suara mobil mesuk ke pekarangan rumah yang dibuat tanpa pagar.
“Sami!” Sarah tersenyum senang. “Kebetulan sekali!” seru Sarah ketika Sami membuka pintu.
“Kalian?” Sami memandang Sarah dan Hanan bergantian.
“Kok tidak bilang akan kesini?” Sami tersenyum pada Sarah. Tapi tidak pada Hanan. Bahkan pandangannya berubah ketika mata itu berdiam di wajah Hanan. Pandangannya seperti menusuk tanda tak setuju. Seketika Hanan merasa sangat tidak enak.
“Ngedadak sih, pulang dari butik, aku ngajak Hanan kesini. Habis, kamu belum kasih tahu Hanan soal ini kan?”
Sami menggeleng.
“Hanan suka kamarnya lho!” Sarah menunjuk Hanan.
“O ya? Begitukah?” katanya bukan pada Hanan, tapi pada Sarah. Sarah benar, Sami akan bersikap seperti bukan dirinya ketika berhadapan dengan keluarganya. Sami hanya ingin menyenangkan mereka, tak ingin kelihatan kalau Sami tak suka Sarah membawa Hanan ketempat ‘rahasia’ Sami. Tapi itu berarti harapan keluarga Sami terpenuhi bukan? Karena pada diri Hanan, Sami memperlihatkan dirinya yang sebenarnya.
“Aku minta maaf, aku datang kesini tanpa memberitahumu,” kata Hanan saat mereka berkesempatan untuk bicara berdua.
“Tak apa. Sudah terlanjur,” kata Sami dingin.
Hanan menarik nafas. Menghadapi laki-laki ini, rasanya ia sudah putus asa bahkan ketika semuanya belum dimulai. Mengapa Sami tak mengatakan, ‘Tak apa. Hanya saja, rumah ini belum rampung. Tadinya aku ingin kamu melihatnya setelah rumah ini memang siap ditinggali.’ Kalimat itu terdengar lebih manis kan? Dan kata-kata yang manis seperti itu kan yang seharusnya dikeluarkan pasangan yang hampir menikah?
“Apa kau ingin aku pulang sekarang?” tanya Hanan hampir menangis.
“Aku tak bilang begitu kan? Aku cuma bilang sudah terlanjur,” Sami sedikit kikuk. Kikuk karena air yang menggenang di mata Hanan.
Hanan mengambil tas yang ia tidurkan tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia lalu menyandangnya. “Lain kali, aku akan meminta persetujuanmu sebelum melakukan sesuatu,” Hanan beranjak keluar dan mengajak Sarah pulang.
Selama perjalanan, Sarah terus membicarakan rumah itu. Memberi masukan pada Hanan tentang mebel yang nantinya harus mereka beli.
“Lebih bagus kalau sofanya warna merah, jadi terlihat kontras. Benar kan?”
Hanan menanggapinya sesekali, sebab ia yakin, Sami tak akan pernah membicarakan hal itu dengan dirinya. Ah, hati Hanan sudah benar-benar berada dirumah sekarang.


*   *   *

Berikutnya; Bagian 2

2 komentar: