Sabtu, 13 November 2010

Pelataran Kasih VI (Rasa Kasih Itu tak Dapat Didustai)

Krishna

Aku kesiangan lagi... Sebenarnya tidak terlalu siang sih, hanya sedikit telat. Dan tak akan ada pengurangan premi jika setelah menuruni motor ini aku berlari cepat. Jadi begitulah, ketika kakiku baru saja menginjak tanah, aku langsung berlari sprint dari lahan parkir menuju gedung kantor.

Pintu lift hampir saja tertutup ketika aku mencapai pintu. Tapi demi harga diri (kehadiran tanpa kesiangan bisa menaikkan harga diri kita kan?), aku mati-matian berlari mencapai pintu lift mempertaruhkan separuh nyawaku. Meski terlihat sangat tidak mungkin, kekuatan pikiran bisa mengalahkan impossible macam apapun. Tak percaya? Buktinya, sekarang aku berada didalam kotak lift itu, meski sampai dengan membetur dinding lift bagian belakang. Tapi toh, aku berhasil juga. Ini prestasi besar!

“Hhh... untung deh!” aku melepaskan tubuhku dari tembok, lalu berbalik dan merapikan baju dan rambutku yang rasanya sudah awut-awutan.

“Hebat ya aku?” kataku pada orang yang berdiri disebelahku. Gerakan tanganku berhenti ketika aku menyadari siapa dia. Yup, dia Rana. Sedang berdiri mematung.
Aku tersenyum, betapa Tuhan begitu baik telah manakdirkanku sering bertemu dengannya. Tapi senyumku memudar ketika aku menyadari ada sesuatu yang ganjil dari sorot matanya.

“Kenapa?”

Tak ada jawaban. Rana malah tertunduk. Aku mengikuti pandangannya, melihat kebawah.
Disana, sebuah bungkusan teronggok dengan deritanya. Begitu... jadi mungkin Rana marah karena aku menjatuhkan barangnya. Aku memungut bungkusan itu dan menyerahkannya pada Rana. Rana melihatnya sebentar, lalu berpaling dan berjalan menjauh ketika pintu lift sudah terbuka.

Sesuatu dalam dadaku berdesir kembali. Rana menangis! Mata hijau itu mengeluarkan airmata lagi! Seperti bertahun-tahun yang lalu. Seperti yang kualami dimasa dulu.
Aku melihat air dipipinya itu ketika wajahnya berpaling. Kenapa? Kenapa dia menangis?

* * *

Rana duduk menangkupkan kepala pada lututnya. Sesekali tangannya mengusap air mata yang terus mengalir tak juga berhenti. Padahal sudah setengah jam ini dia menangis. Dan sudah setengah jam ini pula aku berdiri memandangnya. Ya, aku hanya memandangnya. Tak berusaha untuk menghiburnya atau menghentikan tangisnya sedikitpun. Sekali lagi, aku hanya memandangnya. Bukan memandang prihatin, atau memandangnya karena bingung. Tapi aku memandangnya, karena aku menikmatinya. Sebab, ditengah pemandangan yang seperti ini, aku melihat bayangan Rana ketika kuhampiri dulu.

Setelah sekian lama, Rana menghentikan tangisnya. Mungkin hatinya telah merasa puas.

Aku lalu duduk diatas trotoar, disampingnya. Meletakkan kotak kardus yang agak berantakan didepan kami, lalu memandang taman yang sepi. Dibelakang kami, kendaraan lalu lalang, membisingkan telinga. Tapi yang kudengar sekarang, cuma desahan nafas Rana yang terasa sangat dekat.

“Maaf...”

Rana hanya diam.

“Aku... sudah menghancurkan kebahagiaan Bernard ya?”

Kali ini Rana memandangku dengan mata hijaunya yang sembab.

“Kita ketoko kue sekarang, aku ganti...”

“Kamu pikir semudah itu?”

Memang mudah, kataku dalam hati. Lagipula kenapa mempersulit diri, kue yang hancur tinggal diganti yang baru, bukan diganti dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.
Kata-kata seperti itu akan kukatakan pada Nai. Tapi karena yang duduk satu meter disebelah kananku ini adalah Rana, ide untuk mengatakan itu hanya menjadi lintasan hati yang tak mungkin kukeluarkan.

“Memang... sulit ya? Aku akan antar kamu, aku akan bayar...”

“Kue ini bukan dibeli ditoko! Lagipula apa kamu tahu? Untuk menghasilkan kue seperti ini, aku harus membuat dulu tiga kue bantat dan satu kue gosong! Lalu apa kamu tahu? Aku harus begadang didapur! Aku menghancurkan dapur Mama, dan aku menghabiskan uang hampir lima ratus ribu!” Rana membulatkan matanya menatap tajam dengan amarah.

Aku tercekat, menelan ludah. Sama sekali tak menyangka, kalau sejarah satu loyang kue yang teronggok didepan kami ini ternyata begitu panjang.

“Lagipula... kue itu bukan untuk Bernard. Kue itu buat teman-teman...” Rana mengusap air mata yang kembali terjatuh melewati pipinya.

Aku menghela nafas, mulai mengerti akan tangisan Rana.

“Jadi... kemarin belanja itu... mau bikin ini ya...,” kataku pada diriku sendiri.
“Kudengar... kamu menggantikan posisi Irya ya?” aku mengalihkan pembicaraan. “ Sejak kapan?”

“Dua minggu lalu.”

Tak kusangka, Rana menjawab pertanyaanku. Kupikir, dia akan pergi dan mengatakan ‘bukan urusanmu!’ dengan nada ketus seperti biasanya. Mungkin... dia memang butuh
teman bicara.

“Memimpin segerombolan orang yang menentang. Pasti sulit ya?”

Rana memandangku lama. Aku berpaling, menatap langit yang biasanya melukis wajah senja. Kali ini ditempat itu, langit biru jernih dengan awan menyemai tipis.

“Ternyata langit tanpa senjapun terlihat indah ya?” Aku tersenyum pada Rana.
Allah... apakah aku tengah memberi isyarat padanya bahwa aku adalah Nana? Apakah aku tengah mengkhianati Bernard? Apakah aku tengah mengingkari perkataanku semalam? Tiba-tiba jantungku berdegup sangat keras.

Rana menghembuskan nafas cepat. “Bagiku... tampak lebih indah jika ada mentari jingga disana...” Rana berdiri dan bersidekap dada.

Rana berbalik dan pergi setelah beberapa saat kami terdiam. Merekam kenangan masing-masing yang tersimpan dan terukir dalam kedalaman hati yang tak mungkin tersentuh.
Tanpa Rana tahu, bahwa apa yang tengah ia angankan dalam bayangannya, sama dengan apa yang tengah kupikirkan dalam isi kepalaku.

Aku melihatnya menjauh. Mencoba mencerna harapan dan perasaan yang tengah melingkupi dunia batinnya. Lalu setelah ia menghilang dibalik pintu kantor disebrang jalan, aku mengalihkan pandangan pada kue yang teronggok minta dikasihani. Aku tersenyum diatas kepedihan yang tertoreh tiba-tiba, diatas luka lama yang masih basah berdarah.

Aku menoleh keatas. Kejendela tempat Bernard menghabiskan siang-siangnya. Apa aku telah bersalah padamu Bernard?

* * *

Jalanan Bandung saat pagi selalu macet. Disetiap jalan, disetiap pertigaan, disetiap perempatan, disetiap lampu merah. Pantatku sudah tak bisa diam ditempat duduk ini. Gelisah. Coba kalau aku pakai motor...

Suara ring tone dari saku bajuku menyebarkan kegelisahan yang semakin menjadi.
Apalagi setelah layar ponsel memunculkan satu nomor yang beberapa hari yang lalu berhasil kuhafal dalam satu detik.

“Assalamu’alaikum, Rana?” kataku panik.

“Wa’alaikumsalam,” nada bicaranya kembali ketus seperti biasa.

“Maaf...”

“Dengar, saya tidak tahu apa maksud kamu menyuruh saya menunggu seperti ini?”

Shubuh tadi, aku memang menelfon Rana dan memintanya untuk menungguku ditaman, sebelum jam kantor. Dan tanpa kusengaja sama sekali, aku terlambat.

“Sebentar lagi sampai,” kataku sambil menekan tombol ditengah kemudi hingga suara klakson dari mobil yang kukendarai menjerit tiba-tiba. Keras dan melengking. Meski aku tahu, jeritan klakson itu tak akan membuat barisan mobil ini melaju cepat
tiba-tiba.

“Macet?” tanya Rana disebrang sana. Kukira suara klakson terdengar diponselnya.

“Ya. Maaf,” kataku penuh penyesalan. Lalu sebuah desahan nafas terdengar jelas, diiringi suara ‘klik’ menutup pembicaraan.

Lima belas menit setelah itu, aku sampai dihadapan Rana.

“Maaf.”

“Apa tidak ada kata-kata lain selain maaf?” Rana terlihat sangat kesal.

“Maaf...”

“Hhh! Memangnya mau apa sih?”

“Ini.” Aku menyerahkan sebuah kotak yang tertutup plastik hitam. “Kue untuk mengganti yang kemarin.”

“Tidak usah.”

“Bukan dari toko kok! Aku yang membuatnya!”

Rana melihatku dengan kening berkerut. “Kamu? Bisa?”

“Ya... lumayan, meski prosesnya lebih dari kamu.”

“Maksudmu?”

“Aku menggagalkan delapan kue sebelumnya. Gosong, lembek, bantat, dan tak bisa matang. Aku menghabiskan bahan kue yang ada didapur. Kamu tahu? Bahan kue untuk hajatan. Lalu aku juga memporak-porandakan dapur Mama, membuat Rere marah, merayu Ayah untuk mobilnya, dan...”

“Dan mengalami kemacetan...,” sambung Rana sambil tertawa. Tawa yang membuatku menatap takjub.

“Tapi kenapa?” tanya Rana.

“Kenapa... apanya?”

“Kenapa repot-repot?”

“Karena kue yang kuhancurkan kemarin, juga hasil dari kerepotan.”

Rana tertawa.

“Lalu kenapa ikut-ikutan repot. Beli jadi saja, toh aku tak akan tahu.”

“Supaya pesan dan perasaan kita sampai pada orang yang memakannya. Kau juga berpikir seperti itu kan? Kalau tidak, kau juga tak akan mau repot.”

“Memangnya kamu tahu apa yang ingin aku sampaikan?”

Aku tersenyum mendengar dia mulai ber’aku-kamu’.

“Samar. Tapi paling tidak, pengorbanan yang aku berikan bisa mewakilkan perasaan dan keinginanmu kan?”

Rana menjawab pertanyaanku dengan sesungging senyum. “Terimakasih, “ katanya lirih.

“Jadi...memaafkan aku?”

Rana mengangguk. Diambilnya kue yang aku sodorkan kearahnya.

“Kelihatannya lebih enak dari buatanku kemarin.”

“Tidak menjamin. Oya, kue yang kemarin... boleh kumakan?”

Rana mengangguk untuk kedua kali.

Setelah melihat jam tangannya sekilas, Rana pamit hendak masuk kekantor duluan.
Tapi setelah beberapa langkah menjauh dari hadapanku, Rana berhenti dan berbalik kembali menatapku.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Tentu.”

“Kenapa kamu memanggilku Rana?”

Aku tersentak. Tak menyangka sama sekali Rana akan menanyakan hal itu. Karena aku sendiri tak menyadari, kapan aku merubah panggilan Nai menjadi Rana? Sejak aku tahu kalau Nai adalah Rana. Tapi perlukah kujawab dengan jawaban yang sebenarnya?

Menjawab bahwa aku adalah Nana yang sekian lama terus mencarinya?

“Kenapa?” Rana mengulangi pertanyaannya.

“Karena... Bernard dan Jamie juga memanggilmu begitu kan?” aku menjawab sekenanya.
“Boleh?”

“Terserah,” katanya sembari meninggalkan aku. Dia marah? Tidak, dia mengatakan terserah dengan tawa. Tawa yang membuat langit jiwaku berpelangi bahagia.
Bernard, maafkan aku...

* * *

Kue itu memang sudah penyok. Cream putih yang membalut kue berwarna kuning itu sudah berceceran tak menentu. Rupanya benar-benar tak berbentuk. Tapi tahu tidak?
Aku memandanginya seolah-olah itu kue terindah yang pernah kulihat seumur hidupku.
Karena dikue itu, aku melihat Rana. Rana yang sedang memandangku dengan mata hijaunya, dan dengan senyum yang terkembang dari bibirnya.

Kue ini bukan untuk Bernard. Entah kenapa, aku begitu senang dengan kalimat itu.
Jika demikian, bukankah aku berhak memandangi, menikmati dan memilikinya sendiri?
Aku menikmati sesuatu yang sudah diolah Rana semalaman, yang demi benda ini, Rana mengorbankan banyak hal. Aku benar-benar merasa bangga. Entah kenapa, aku merasa harus berterimakasih pada Rana. Terimakasih, karena ia mengijinkanku memakan kuenya, dan teimakasih, karena Rana membuatnya bukan untuk Bernard. Ya, bukan untuk Bernard...

“Mama! Lihat deh kak Krishna, kurasa dia sudah gila!” Rere berteriak setelah sebelumnya, melongok kekamarku kemudian menutup pintu.

“Gila kenapa? Jangan ngawur!”

“Lihat sendiri deh! Kemarin dia berbuat aneh, dan melakukan sesuatu yang sebelumnya nggak pernah disentuh oleh seorang Krishna. Sekarang, mama tahu? dia sedang
memandang kue hancur seperti sedang memandang cewek. Setelah itu? Dia memakan kue
itu, seperti sedang menikmati kue buatan malaikat dari syurga! Aneh kan?”

Aku tak mendengar teriakan Rere. Yang aku dengar adalah suara Rana kecil yang sedang tertawa ditaman itu. Suara tawa yang terekam jelas, meski telah termakan zaman bertahun silam.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar