Selasa, 16 November 2010

Pelataran Kasih XIV (Akhir Dari Sebuah Pilihan)

Jamie

Aku baru menyelesaikan shalat maghribku, ketika sebuah ketukan mendarat dirumah kontrakan kami.

“Ada tamu, Kak. Wanita bermata hijau itu, siapa namanya?” Rere menyentuh pundakku.

“Rana?” kataku menebak. Tak ada wanita bermata hijau disekitar kami selain Rana.

“Ya, dia.”

“Ngapain?”

Istriku hanya mengangkat bahu. “Dia seperti kebingungan.”

Lalu dengan kening berkerut, aku menemui Rana.

“Maaf mengganggu,” katanya dengan senyum yang dipaksakan. “Aku sangat bingung Jamie. Aku tak tahu harus bicara dengan siapa. Lalu ketika aku keluar dari Masjid diujung sana, aku tiba-tiba ingat kalau rumahmu disini. Jadi aku kemari...”

“Ada apa?”

Rana tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya terdiam lama. Aku tak mengusiknya. Kubiarkan ia seperti itu, selama ia mau...

“Bernard dan Krishna,” kata Rana akhirnya dengan suara yang sangat rendah dan pelan.

“Krishna? Kenapa dengan kakak?” Rere datang dan meletakkan satu gelas teh manis hangat dihadapan Rana.

“Aku tak tahu apa yang sudah terjadi diantara mereka. Sore tadi, Krishna membiarkan aku untuk memilih.”

Aku sudah mendengar dari Krishna tentang keputusan terakhirnya. Dan kalau tak salah, seharusnya sore ini masalah akan berakhir. Rana akan berada disisi Krishna, atau Bernard. Tapi kenapa Rana malah menemuiku?

“Lalu?” tanyaku mulai tak sabar.

Rana menyilangkan kedua tangannya didada, memeluk dirinya sendiri. “Aku tak tahu...”

“Kau takut merusak persahabatan mereka?”

“Ya, selain itu, aku sama sekali tak tahu siapa yang aku suka.”

“Aku tak mengerti.”

“Yang aku suka adalah Nana. Bukan Bernard atau Krishna.”

“Aku tak mengerti.”

“Sayangnya, aku juga tak mengerti Jamie...” Rana mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah saputangan merah muda yang sudah sangat usang.

“Jika aku memilih Krishna, apakah Bernard akan menganggap Krishna tetap sebagai sahabatnya? Jika suatu saat, aku menikah dengan Krishna, apakah Bernard masih akan berkunjung kerumah kami? Melupakan rasa sukanya? Melupakan rasa sakitnya?” Rana bertanya padaku. Tapi seperti dulu, aku tak bisa menjawabnya.

“Aku tak akan memilih Jamie..., tak akan.” Tangannya memeluk tubuhnya sendiri semakin erat. Lalu berulang kali ia mengucapkan kata ‘tak akan memilih’ dengan mata berkaca.

Aku tak melihatnya lagi setelah itu. Rana mengundurkan diri dari perusahaan. Sampai aku menerima teleponnya suatu malam setahun setelah kedatangannya.

“Jamie?”

“Ya?”

“Bolehkah aku melamar laki-laki?”

Aku terhenyak. Rana akan melamar seseorang?

“Khadijah melamar Muhammad.”

“Terimakasih,” Rana hampir menutup telefonnya ketika aku menahannya dengan pertanyaan.

“Bernard atau Krishna?”

“Seseorang.”

Lalu hening, dan dia mengucapkan salam.

Aku memandang gagang telefon itu lama, seperti aku memandang Rana. Seseorang. Apakah itu artinya Rana telah memilih?

Ya, Rana memang telah memilih. Aku menerima undangan pernikahannya, satu bulan setelah teleponnya malam itu. Rana telah menjatuhkan pilihan pada seorang laki-laki yang dewasa, tampan (meski usianya menginjak empat puluh), lalu memiliki mata yang lembut. Orang itu Pak Nanta. Orang yang sangat baik dan sangat memperhatikan Rana disaat orang lain membuangnya.

Rana terlihat sangat bahagia saat pernikahannya. Aku datang dengan Rere dan dengan anak kami yang masih berusia satu bulan. Disana, aku bertemu dengan Krishna dan Bernard. Mereka datang bersamaan.

“Kapan kalian menyusul?” tanyaku.

“Kapan ya?” Krishna bertanya pada Bernard.

“Kapan?” kali ini Bernard bertanya pada Krishna. Lalu mereka tertawa. Dan aku hanya menggelengkan kepala. Mereka memang terlihat lebih akrab setahun terakhir. Terkadang, keakraban mereka, membuatku sedikit iri.

Setahun berikutnya, giliran Bernard yang menikah. Dia memilih Hani untuk dijadikan istri. Hani memang sangat cantik, tapi kecantikan yang Hani miliki sangat berbeda dengan Shasha. Shasha memiliki kecantikan khas Eropa. Sedangkan Hani, dia oriental, tapi matanya sedikit besar. Mungkin, Bernard benar-benar telah melupakan lukanya terhadap Shasha.

Krishna mengacungkan dua jempol untuk mereka. Tak henti-hentinya Krishna menggoda sang pengantin.

“Yang satu gila kerja, satunya santai. Satunya tegas dan ketus, satunya lembut dan ramah. Aku heran bagaimana sih kalian bisa jatuh cinta?”

Tepat tiga detik setelah Krishna selesai menggoda, giliran Krishna jadi sasaran godaan semua orang. Krishna dibilang bujang lapuklah, dibilang nggak laku, atau bahkan dia tak menyukai cewek! Krishna marah besar. Tapi itu membuat semua orang tambah tertawa.

Dua tahun setelah itu, Krishna yang mengundang kami kerumahnya. Dia mengundang aku, Bernard dan Rana secara khusus. Aku datang lebih dulu, dengan Rere dan Faris, keponakan Krishna yang berumur tiga tahun.

Setelah aku, Rana menyusul. Dia datang dengan pak Nanta juga dua putri kembarnya yang mempunyai mata hijau berlian. Mereka terlihat sangat manis.

Setelah Rana, baru Bernard. Tentu saja, dia datang bersama Hani. Hani tengah mengandung anak Bernard yang kedua! Padahal anak pertamanya baru genap berumur satu tahun.

“Mana Ahsan?” Krishna menyambut kedatangan Bernard.

“Dirumah, sama neneknya. Tadinya mau kubawa, tapi Mama baru datang tadi sore, beliau masih rindu dengan cucunya. Faris ya?” Bernard mencubit hidung Faris yang duduk manis dalam gendongan Krishna. “Kok tambah mirip kamu Kris?”

“Lebih baik begitu, dari pada dia mirip bapaknya yang...” kata-kata Krishna terpotong karena lemparan bantal sofa yang mengena tepat kekepalanya. “Aduh Jamie, kita bukan anak kecil lagi tahu?” Krishna merapikan rambutnya yang acak-acakkan.

“Makan malam siap, mau makan sekarang?” Rere datang menghampiri kami.

“Nanti saja, kita masih kangen-kangenan nih!” Rana berkata sambil membenarkan kerudung yang dikenakan salah satu anaknya.

“Ya, lagipula, kita belum tahu maksud Krishna mengundang kita,” kata Pak Nanta menyetujui perkataan Rana.

“Apalagi kalau bukan calon istri.” Bernard tertawa. “Siapa?”

Krishna tersenyum. Diberikannya Faris pada Rere. “Bukan siapa-siapa,” katanya tenang.

“Bukan siapa-siapa bagaimana?” tanya Hani.

“Aku mengundang kalian untuk perpisahan.”

“Perpisahan?” Rana mengerutkan keningnya.

“Aku akan ke Inggris, satu minggu lagi.”

“Apa?!!” kata kami semua bersamaan.

“Aku lulus tes untuk melanjutkan studi kesana.”

“Kamu tahu tentang ini Jamie?” Bernard bertanya penuh selidik padaku.

“Bahkan akupun tidak tahu!” Rere yang menjawab.

“Kenapa tidak pernah membicarakan ini dengan denganku?” tanya Bernard dengan suara yang agak keras.

“Karena aku ingin memberi kejutan!” Krishna tertawa. Tapi kami semua terdiam. Hanya suara tangis Faris yang terdengar. Dia sudah tampak ngantuk, tadi siang dia tak tidur sedikitpun, dia terlalu asyik bermain dengan kakek neneknya yang sudah tiga bulan ini tak bertemu.

“Hei, ayolah! Jangan masang tampang menakutkan gitu dong! Aku kan cuma mau ngasih kejutan!”

Dan seminggu setelah itu, Krishna benar-benar pergi. Entah apa yang jadi sandarannya untuk keluar dari negeri ini. Apakah untuk melupakan cintanya pada Rana yang masih ia simpan sampai saat ini? Aku tak tahu. Tapi telepon yang kuterima seminggu yang lalu, membuatku menarik nafas panjang.

“Jamie... bolehkan aku menikah dengan seorang gadis bermata hijau? Dia berjilbab dan berhidung mancung. Sangat mirip dengan Rana....”

Aku belum mau menjawab. Bermata hijau, berjilbab, berhidung mancung, dan sangat mirip dengan Rana? Bukankah itu artinya... Krishna masih menyimpan Rana jauh didalam jiwanya?

Ya, benar begitu. Aku ingat suatu sore ketika aku tengah berjalan bersamanya. Krishna tiba-tiba berhenti karena melihat tak jauh dihadapan kami, beberapa orang anak tengah bermain bola. Krishna diam berdiri dan memandang lurus kearah mereka.

Matanya menyiratkan sebuah kerinduan yang dalam. Kukira saat itu, ia tengah rindu untuk kembali bermain bola. Tapi ternyata aku salah. Sebab, ketika bola itu terlempar tepat kehadapan Krishna, Krishna hanya memandangnya terpaku. Tubuhnya membungkuk, tangannya menjulur hendak menyentuh makhluk bundar itu dengan bergetar.

Tapi beberapa detik kemudian, Krishna kembali menarik tangan itu dan berbalik pergi.
Tapi, bisakah aku memberi saran yang lain?

“Jamie?” suara Krishna menyadarkan lamunanku.

“Oh ya?”

“Bagaimana?”

“Jika gadis itu pelataran kasihmu, Krishna ....”

Aku senang, karena akhirnya aku bisa menjawab pertanyaan Krishna.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar