Senin, 20 Oktober 2008

Melodi Dawai Hati

1

/p>
Rindu itu datang lagi, menyeruak tiba-tiba dan menyesakkan dada. Namun tak ada yang bisa dilakukan. Ia hanya menarik nafas panjang, lalu menengadah menyelami langit malam.

Sempurna, cinta dalam dadanya telah tersimpan demikian lama, berbilang tahun. Namun cinta itu tak pernah berkurang apalagi hilang, sedetik pun. Lalu kapan cinta itu menghampirinya? Padahal cinta telah membuatnya derita demikian rupa, memendam rindu yang tak pernah kunjung terobati.

Sehembus nafas terdengar lagi, lagi, dan lagi. Namun seperti sebelumnya dan sebelumnya, luapan cinta itu tak pernah menemukan muara...

* * *

“Hai,” katanya suatu hari. “ Pulang?”

Rei hanya mengangguk samar. Dan dia, dia adalah laki-laki yang sama yang selalu duduk disampingya tak lama setelah ia menduduki bis. Selalu begitu, dan selalu itu yang dikatakannya. Tak lebih.

Lalu dari semenjak pergi hingga sampai, lelaki itu hanya menekur membaca buku. Hanya sesekali Rei melihatnya menatap keluar jendela. Awalnya Rei tak perduli. Tapi kealpaan lelaki itu saat beberapa kali kepulangannya, membuat segaris pertanyaan tersirat dalam benak Rei; “Lelaki itu kemana?”

Lalu suatu hari, Rei benar-benar terkejut, ketika baru saja duduk disebuah angkot, matanya bersirorok pandang dengan mata teduh lelaki itu. Dan laki-laki itu duduk tepat didepannya!

Dia tersenyum, Rei membalas dengan senyuman samar. Apakah rumahnya satu jurusan?
Rei mencuri pandang beberapa kali. Dan dilihatnya laki-laki itu terus menekuri buku tebal digenggamannya. Kalau Rei tak salah lihat, pandangannya sedari tadi belum beralih. Kutu buku, pikir Rei. Bukankah pertemuan-pertemuan sebelumnya pun dia seperti itu?

Rei memperhatikan sosok didepannya dengan seksama. Hmm... lumayan cakep. Hidung mancung, bibirnya merah (sepertinya bukan perokok), matanya hitam, alisnya juga tebal. Kontras sekali dengan kulitnya yang putih, ya.. cocok untuk seorang kutu buku.

Rei memperhatikan kembali lelaki itu, jika tadi dari atas kebawah, maka kali ini dari bawah keatas. Sepatu kats hitam, celana coklat, dan kaos berkerah dengan garis-garis coklat bagian dada. Disampingnya sebuah tas Ransel besar juga berwarna tanah bertengger dengan tenang. Apakah isinya buku semua? Alangkah beratnya...

Merasa diperhatikan, lelaki itu memalingkan pandangannya dari lembaran buku, beralih ke wajah Rei. Ketahuan memperhatikan, Rei tersenyum malu dan berpaling.
Lelaki itu tersenyum.

Untunglah asrama tempatnya menginap sudah terlihat didepan mata. Jadi ia tak perlu malu berlama-lama.

Secepat kilat Rei turun, memberikan ongkos, lalu berjalan cepat. Tanpa Rei sadari sedikitpun, pemilik mata teduh itu tengah mengikuti langkah Rei sampai tak terlihat.

* * *

Tangannya meletakkan biola diatas meja dengan perlahan. Ia menarik nafas panjang.
“Time for us” yang baru saja ia mainkan menambah beban kerinduan dalam dadanya semakin menekan. 

Ia kembali menarik nafas, berkali-kali. Menahan sebak yang hampir-hampir tumpah menjadi tangis. Ditatapnya langit, mendung. Dulu, saat pertama kali ia melihat gadis itu, langit juga seperti ini.

* * *

Seseorang tiba-tiba berdiri disampingnya. Seorang gadis bertubuh mungil dengan kain biru muda menutup kepalanya. Sikapnya gelisah. Sesekali melirik jam tangan lalu menegadah kelangit senja. Refleks, lelaki itu pun menengadah. Awan tebal menyelimuti matahari, mendung. Mungkin beberapa saat lagi akan turun hujan.

Tak seberapa lama, gadis itu kembali melihat pergelangan tangannya, lalu langit, terakhir melongokkan kepala kearah kanan jalanan. Lalu tak lama lagi berselang, terdengar desah keluhan keluar dari mulut gadis itu.

Gadis ini benar-benar tak bisa diam, pikir lelaki itu. Lalu ia perhatikan sosok yang berdiri di samping kirinya. Kerudung biru muda, jaket biru tua dengan bordir Zr. pada bagian depan, lalu celana berbahan jins, ditambah sepatu kets berwarna putih. Lucu. Di bahu kanannya bertengger ransel mungil dengan gantungan tas yang...banyak! Setelah berusaha munghitung, jumlahnya hampir dua belas! Pantas
gemerincingnya nyaring sekali tadi.

Tiba-tiba mata kecilnya berbinar melihat bus yang sudah terlihat dari kejauhan. Gadis itu menghentikannya, lalu naik. Hm, Bandung-Jakarta. Bukankah itu jurusannya juga? Bisik lelaki itu. Hampir berlari ia memasuki bus itu. Kelas ekonomi. Tak apalah, toh ini juga tak penuh sesak. Hanya saja memang kursinya sudah penuh terisi, kecuali satu dijok belakang di samping gadis itu.

Bis melaju, hujan mulai turun dan lelaki itu tersenyum. Ini pertama kali melihatnya tapi sepertinya ia sangat tertarik.

Ia merasa beruntung mobilnya mogok tadi, dan terpaksa harus ditinggalkan sementara di bengkel pinggiran jalan, tak jauh dari tempatnya menunggu bis dan bertemu gadis ini. Padahal beberapa saat sebelumnya ia merasa dongkol dan sial. Perjalanan masih panjang, mobilnya mogok, perutnya lapar dan ia tak membawa uang. Kecuali duapuluh ribu perak, itupun pinjam dari bengkel untuk ongkos bus. Ya, sesaat sebelum bertemu gadis itu ia masih dongkol, tapi beberapa saat setelah bertemu ia merasa beruntung dan bahagia. Entah kemana perginya rasa sial tadi. Luar biasa! Gadis ini mampu mengubah suasana hatinya!

Dan memang, itu adalah awal segalanya. Sejak itu lelaki itu sering sekali meninggalkan mobilnya di terminal untuk naik bis dan duduk disamping gadis itu.
Bukan karena mobilnya mogok, tapi memang diparkir begitu saja untuk beberapa jam sampai ia kembali. Rutin ia lakukan itu setiap minggu, hingga ia sudah betul-betul hafal dengan jadwal pulang dan pergi-nya gadis itu. Tak ada yang dilakukan, hanya itu. Tapi lelaki itu sangat senang dan sangat bahagia. Karena mungkin ia cinta...

Pernah beberapa kali ia tak bisa duduk disamping gadis itu. Jadwal kuliah dan Ujian Akhir Semester mengharuskannya bertahan dikota tempatnya kuliah, Bandung. Begitu sempat kembali, ia segera ke terminal dan menunggu gadis itu datang. Lama, namun ia tak bosan.

Begitu gadis itu terlihat menuruni tangga bis dan berjalan cepat menuju sebuah angkot, lelaki itu lekas mendahului. Sampai akhirnya ia mengetahui tempat gadis itu berdiam setiap harinya.

Dawai hatinya girang bernyanyi.

* * *

2


“Rei!” 

Gadis itu menoleh.

“Hai, lama tak jumpa ya?” 

Rei terbeliak. Laki-laki itu ada disini? Tepat didepan gedung sekolahnya? Ngapain?

“Kamu...”

“Edhu,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.

“Oh,” Rei malah berpaling cuek. 

Tapi Edhu cuma menariknya lagi dengan senyum. ”Nama kamu?”

“Rei kan? Kamu sudah tahu!”

“Rei apa?”

“Rei saja. Kamu juga kan Edhu saja.” 

Edhu tersenyum lagi.

“Sedang apa kamu disini? Lagipula...darimana kamu tahu nama saya?”

“Teman kamu tadi memanggil begitu kan?” 

Rei melihat teman yang ditunjuk Edhu. Oh, Edhu sudah lama disini, sampai sempat mendengar obrolannya.

“Terus, buat apa berdiri disini?”

“Ha...ha... dunia sempit, ya? Orang yang saya tunggu juga sekolahnya disini, dan asramanya disitu.” Edhu menunjuk komplek asrama disamping kiri gedung sekolah. Asrama putri, berarti...

“Oh, pacar ya?” ragu dan pelan. 

Edhu menjawabnya dengan anggukan mantap dan senyuman riang.

“O ya? Siapa?” Mata Rei tiba-tiba berbinar dan judesnya tiba-tiba menghilang.

“Rahasia.” 

Rei cemberut.

“Kalau begitu kamar berapa? Atau... kelas apa?”

“Wah, nanti juga kamu tahu.”

“Nanti?”

“Iya.”

“Ya udah!”

...

“Eh, sudah datang belum pacarnya? Saya panggilkan ya?”

“Sudah kok, saya sudah bertemu. Terimakasih.”

“Rei! Masuk tuh!” Nara, teman yang tadi ditunjuk Edhu melambaikan tangan dari jauh.

“Yuk!” Rei lalu menyebrang dan memasuki sekolahnya dengan setengah berlari.

Setelah Rei tak terlihat, Edhu baru memalingkan pandangannya dan berlalu.

* * *

“Kau kenal Edhu?”Rei berbisik pada Nara saat dimeja makan pagi itu. Nara sangat cantik dan pintar. Entahlah, Rei berpikir Nara orang yang cocok jadi pacar Edhu.

“Edhu?” Kening Nara malah berkerut. Oh ya, tentu saja bukan. Rei baru saja ingat kalau Nara punya pacar seorang kakak kelas tiga.

“Siapa sih?” Nara menyelesaikan suapan terakhirnya.

“Ah, bukan siapa-siapa.” Rei berdiri dan berlalu sembari membawa piring makannya yang sudah kosong tak tersisa.

Mulailah Rei mencari-cari siapa gadisnya Edhu yang misterius itu. Sampai akhirnya
Rei bosan sendiri, karena belum pernah ada jawaban yang membuatnya puas.

“Eh, tadi ada cowok. Baik... banget, cakep lagi. Namanya Edhu.”

“Terus?” lawan bicaranya tak bereaksi seperti yang Rei harapkan. Lalu tanpa melanjutkan obrolan Rei pergi.

“Tahu enggak, aku punya temen cowok, cakep banget! Mau nggak aku kenalin?”

“Oya? Siapa namanya?”

“Edhu.”

“Wah, kayaknya oke tuh!”

“He-eh, dari namanya, belum tentu orangnya.”

Rei pergi lagi dengan kecewa, tak ada satupun tanda-tanda mereka mengenal Edhu.

“Oh, orang yang kemarin lusa ngomong sama kamu?” Nara dan teman sekamar lainnya akhirnya penasaran dengan orang yang bernama Edhu.

“Terus, kamu nyari orang yang kenal sama Edhu buat apa? Emang dia punya kenalan disini?” Mala yang sepertinya sudah tidur ternyata masih menimpali juga.

“Pacar.”

“Hah?!” semua menghentikan aktifitasnya, kaget melihat Rei.

“Pacar, Rei?”

“Hm mh.” Rei mengangguk.

“Terus gadisnya Edhu itu belum kamu temukan?”

“Bukan belum, tapi tidak.”

“Jangan-jangan pura-pura nggak kenal? Karena nggak ingin ketahuan.” Mala bangun dari tidurnya dan duduk dengan serius.

“Buat apa sembunyi?” Rei membolak-balik buku yang sebenarnya dari tadi juga tidak dibaca.

“Ya... banyak alasan Rei, salah satunya mungkin karena dia punya pacar disini!”
Mala membelalak serius, dan semua memandang Mala. Lalu seperti di perintah mereka memindahkan pandangan kearah Nara.

“Kenapa lihat aku? Memangnya aku berwajah buaya darat apa?”

“Memang.” Seseorang di tempat tidur ujung nyeletuk. Kontan Nara menghampiri dan menyerangnya dengan cubitan.

“Pipaaan...!!!” Teriak Nara.

Diam-diam Rei termenung. Jika benar begitu maka Edhu dikhianati. Benarkah? 
Kasihan sekali...

* * *



3


“Cinta?” Lelaki itu menyeringai sinis.

“Ya, aku mencintainya.” Tatapan mata Edhu menjurus kedepan, bergumam namun pasti.

Melihat keseriusan itu, seringai dibibir lelaki itu perlahan-lahan menghilang.
Matanya melihat Edhu yang duduk disamping kirinya sejenak, lalu kembali melihat jalanan didepannya.

“Sudah berapa lama?”

“8 tahun.”

CKIIIITT...

Mobil direm tiba-tiba, membuat tubuh mereka terpental kearah depan.

“8 TAHUN?”

“Ya Dri, 8 tahun.” Sehembus nafas keluar bersama kata-kata itu.

“Kau mempertahankan cinta yang absurd.” Kepala Andri menggeleng. Tangannya kembali menstater mobil dan menjalankannya kembali.

“Aku tak tahu. Aku hanya tahu kalau aku ingin mencintainya seumur hidupku, dan menjaganya sepanjang umurku.”

Andri membelokan stirnya kearah kanan. Dia harus mengantarkan dulu sahabatnya sampai kerumah. Meski di pesta perpisahan tadi Edhu tak minum sedikitpun, tapi
Andri merasa sahabatnya ini tengah mabuk.

“Berapa umurnya sekarang?”

“Dua tujuh.”

“Mungkin kini dia sudah menikah dan punya dua anak.”

Edhu memandang sahabatnya nanar.

“Ya... istriku sekarang dua tujuh, dan anakku dua.”

Hening sejenak.

“Kamu tahu Edhu... yang menunggu pernikahan seorang perempuan bukan hanya dirinya saja, tapi keluarganya, lingkungan, keadaan. Kau tahu maksudku?”

“Ya, mungkin dia sudah menikah lagi, meski tak ingin.”

“Dan cinta mengkhianatimu.”

Malam mulai mendekati ujung, namun Jalan Merdeka tak pernah lelap. Gemerlap lampu jalanan menerangkan bahwa gelapnya malam adalah gemerlapnya kehidupan.

“Zaman seperti sekarang... cinta sejati sudah terpendam, Edhu.”

Mata Edhu menerawang. Dikhianati, mungkinkah Rei mengkhianatinya? Kepalanya menggeleng perlahan. Rei bukan seperti wanita kebanyakan, dia berbeda. Karena dikhianati itu sakit, sakit sekali.

“Dikhianati itu sakit, Edhu... sakit!” Tiba-tiba Edhu melihat bayangan Rei.
Didepannya ia tengah menepuk dadanya berulang kali sembari menahan air mata...
Jiwa Edhu tiba-tiba terkesiap...

* * *

“Ok, aku nyerah deh!” Rei bertemu Edhu untuk kesekian kalinya di seberang gedung sekolah.

“Menyerah apa?” Edhu menutup buku yang baru sempat dibukanya sekarang, padahal sudah dari kemarin ia membelinya.

“Ya nyerah tentang pacar kamu itu!” Edhu memandang Rei lama.

“Menyerah? Memang kamu mencarinya? menyelidikinya?”

Rei mengangguk.

“Untuk apa?”

“Untuk apa? Ya untuk...” Rei terdiam. Dipandanginya mata teduh milik Edhu, Edhu mengangkat alisnya menunggu jawaban Rei.

“Untuk...”

“Apa?” 

Sebenarnya untuk apa Rei mencari gadisnya Edhu selama ini? Benar juga, untuk apa? Rei masih mencari jawaban.

“Sekedar ingin tahu saja.” Rei mendekap tas ranselnya.

“Lalu setelah tahu?” Edhu belum memalingkan wajahnya dari wajah bercahaya milik Rei. Sesuatu berdesir dalam dadanya.

“Mmhh... oh, akan kutanyakan kenapa dia menyembunyikan hubungan kalian.” 

Mendengar jawaban Rei, Edhu tersenyum dan menggeleng. Hanya untuk urusan sesepele itu seorang perempuan menghabiskan banyak waktunya. Sekedar untuk tahu, titik.

“Kamu benar-benar ingin tahu?” Edhu berbicara serius pada Rei. Ia membetulkan posisi berdirinya, beralih menghadap Rei.

“Memang mau kamu bocorkan juga?” Rei mendelik dengan ujung matanya.

”Sebenarnya tak ada yang perlu disembunyikan, sebagaimana juga tak perlu untuk diumumkan.” 

Rei menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Njlimet banget sih.

“Dia anak kelas 2A.” Edhu melihat mata Rei dalam.

“Sekelas denganku dong!” Rei membeliakkan matanya.

“Ya, anak kamar tujuh. Kau kenal siapa dia, bahkan dekat.” Sekelas dan sekamar? Kenal bahkan dekat? Apakah Nara? Atau Mila kah? Atau Pipan? Dari 12 orang teman sekamar cuma mereka yang sekelas. Tapi siapa?

“Siapa?” Rei tak mau menebak lagi. Entahlah, hatinya mulai was-was. Jangan-jangan...

“Kamu.” 

Deg. Dugaan yang baru saja terlintas benar-benar terbukti. Rei menghela nafas panjang.

Kehadiran laki-laki dihadapannya selama ini adalah untuknya. Menunggu lama hanya untuk obrolan yang tak berarti, mungkin sekedar untuk bertemu, atau bahkan kurang dari itu. Laki-laki ini hanya ingin melihat dirinya. Ya, hanya ingin melihat saja.

Tentu saja, Rei sering melihatnya berdiri mematung, sesaat atau beberapa saat tanpa bertemu siapapun. Rei mengira gadis Edhu tak mau menemuinya, atau tak tahu kedatangannya. Padahal laki-laki itu begitu sering datang, ditengah kesibukannya, dia selalu menyempatkan diri melihat kekasihnya. Beruntung sekali dia yang menjadi gadis Edhu itu, punya seorang lelaki yang punya perhatian begitu besar. Tapi siapa sangka gadis Edhu yang menurutnya beruntung itu adalah dirinya sendiri? Jika bisa alangkah senangnya...

“Aku menyukaimu.” Edhu hanya mengatakan sesuatu yang sebenarnya selalu dan sering diulang-ulang dihadapan Rei, kata-kata yang selalu ia katakan lewat mata dan hatinya.

Andai saja Rei mengerti itu sejak dulu, bisik Rei, mungkin kejadiannya takkan seperti ini. Edhu tak perlu sering datang, dan tak perlu menyimpan perasaan. Rei juga tak perlu menebak-nebak, tak perlu juga berkeliling mencari-cari sesuatu yang sebetulnya tak perlu.

Atau andai saja Rei bisa membaca cinta dimata Edhu sejak dulu, mungkin ia takkan menerima seseorang yang menyatakan cintanya sebulan yang lalu.

Tapi, andai itu tak pernah berujung, semuanya sudah terjadi dan Rei harus mengatakan yang sebenarnya agar lelaki penuh cinta bernama Edhu itu tak perlu mencintai seorang gadis yang tak mencintainya. Lagipula Rei tak pernah mau mengkhianati seseorang yang namanya sudah terpahat dalam hatinya kuat-kuat.

“Maaf... aku... sudah punya teman dekat.”

“Oh, begitu. Jadi sepertinya aku patah hati, ya?” 

Ringan sekali. Rei sampai berpaling ke wajah Edhu. Sangat ringan dan tanpa beban.
Apa Edhu berdusta tentang cinta dihatinya, atau dia mengatakan itu untuk meringankan beban jiwanya? Atau cinta bagi laki-laki memang demikian? Sehingga mengatakan patah hati seriang dia mengatakan ‘aku diterima’? Rei benar-benar tak mengerti.

“Kalau begitu, aku memintamu menerimaku sebagai teman. Bagaimana?” 

Lagu lama, ditolak cinta lalu melamar sebagai sahabat. Tapi tak apa, Rei senang, dan Rei menerima tawaran Edhu dengan anggukan pasti.

Seseorang menghampiri mereka, dan hati Rei berbunga-bunga.

“Maaf ya, menunggu lama. Rapatnya baru selesai,” katanya ketika tepat berada dihadapan Rei. 

Rei menggeleng, mengatakan ‘tak apa-apa’ dengan isyarat.

“Kakakmu ya?” Rizman menunjuk Edhu.

“Bukan, teman. Kenalkan, ini Edhu.”

“Edhu,” Edhu mengulurkan tangannya.

“Rizman,” Rizman membalas uluran tangan Edhu dengan jabatan erat dan senyuman hangat.

“Aku pikir kakak kamu Rei, habis... kalian kok mirip ya?” Rizman menekan kacamatanya dengan jari telunjuk.

Mirip? Rei rasa tidak. Edhu terlalu tampan untuk dikatakan mirip dengannya. Dia punya bola mata hitam yang teduh, alis dan rambut lurus hitamnya sangat kontras dengan kulit putihnya. Bahunya tegap, meski tubuhnya tak terlalu tinggi untuk ukuran seorang laki-laki.

“Menunggu seseorang?” Rizman bertanya pada Edhu.

“Ya, saya menunggu kamu, Riz.” Edhu tersenyum lebar. 

Rizman berkerut, seingatnya baru kali in mereka bertemu. Rei menatap Edhu yang
berdiri tepat disampingnya. Menunggu Rizman?

“Saya ingin lihat, seperti apa orang yang Rei percaya untuk menjaganya. Ternyata tak salah. Adik saya ini pintar memilih ya?” Edhu mengacak kepala Rei dengan akrab. Pintarnya Edhu mencairkan suasana.

“Terima kasih.” Rizman tertawa.

“Mmhh... sepertinya dia memanggilmu,” Edhu menunjuk seseorang yang tengah bertepuk dan melambai ke arah Rizman.

“Oh, sebentar ya!” Rizman lalu berbalik, berjalan dan sesekali berlari kecil menuju gedung sekolah menghampiri seorang lelaki yang memanggilnya.

“Aku tidak main-main, kau pintar memilih.” 

Rei menatap Edhu lagi. “Maaf Edhu, kak Rizman mengatakannya lebih dulu...”

“Seharusnya kamu menerimanya karena kamu yakin dia bisa menjagamu, bukan karena dia lebih dulu mengatakannya.” Edhu serius. “Kalau aku jadi dia, aku kecewa dengan kata-katamu barusan.” 

Untuk kesekian kali, Rei menatap Edhu. Edhu menyuruhnya untuk menyukai Rizman seutuhnya. Bukan karena dia baik, dia pintar, dia bintang, tapi karena dia mencintainya. Itu saja.

Kata-kata yang tak semestinya keluar dari seorang laki-laki yang baru saja mengatakan cintanya, dan ditolak.

”Terimakasih, tadinya kupikir...”

“Jangan khawatir, aku takkan mengganggu kalian. Aku senang kok kamu bahagia, dan itulah cinta. Aku tak mau merusaknya.” 

Dilihatnya Edhu tersenyum sangat tulus.

Lalu Rizman datang, dan bicara santai dengan mereka beberapa saat, sebelum akhirnya Edhu mundur dan berpamitan.

Dalam hati ia menyimpan luka, ia bisa menyembuyikannya dari Rei dan Rizman. Tapi saat sendiri, ia tak bisa berkedok lagi. Ia lalu menghampiri mobil yang ia parkir di halaman Rumah Sakit agak jauh dari gedung SPK tempat Rei belajar. Tapi beberapa saat ia hanya termenung dan menata hatinya sebelum ia beranjak dari kota yang meyimpan cinta dan luka, menuju kota tempat tinggalnya. Jakarta.

“Dia baik, ya? Dimana kamu kenal?” Rizman bertanya dengan senyum khasnya yang hangat.

“Sering bertemu di bus dan kenal begitu saja.”

“Memang rumahnya dimana?” 

Rumahnya dimana? Rasanya Rei tak pernah tahu. Jadi Rei menjawab dengan gelengan bingung.

“Lalu keperluannya disini? Sekolah?” 

Rei menggeleng lagi.

“Kelihatannya masih kuliah, dimana Rei?” 

Rei menggeleng lagi. Ya Tuhan, Edhu tahu begitu banyak tentang Rei. Sekolahnya, rumahnya, orang tuanya, tapi apa yang dia ketahui tentang Edhu? Rasanya hanya dia bernama Edhu dan keperluannya kesini untuknya, hanya itu. Dan kenapa Rei baru sadar itu sekarang?

“Rei... dia menganggapmu adik, seharusnya kau tahu dia lebih banyak.” 

Rei tersenyum. Ya, Rizman benar, seharusnya dia tahu Edhu lebih banyak.

* * *


p>
4


“Apa saja yang sudah dia lakukan padamu, Rei?” Nara mendekatinya suatu malam. Pukul 11.00 dan tinggal mereka yang terjaga. Entahlah, mata Rei belum bisa terpejam. Dan Nara, dia baru saja pulang diantar pacarnya, Adam. Entah apa saja yang dilakukannya.

“Dia? Edhu?” Rei menutup bukunya dan balik bertanya.

“Edhu? Rizman dong Rei. Kok Edhu sih!” 

Oh, benar juga, Rizman tentu saja. Tapi kenapa tiba-tiba terlontar dari bibir Rei
nama itu? Mungkin karena beberapa saat yang lalu Rei memikirkan Edhu. Ya, Rei memikirkannya. Rei tiba-tiba melihat bayangan Edhu menari-nari dalam benaknya. Atau tiba-tiba pada lembaran-lembaran bukunya, pada sarapan paginya, pada tumpukan pakaian di lemarinya, atau pada langit-langit kamarnya. Rei sendiri tak tahu, mengapa wajah Edhu menempel terus dimatanya? Tapi Rei tak berusaha mengusirnya.
Kenapa juga harus diusir? Biarkan saja, toh dia bukan apa-apanya Rei. Hanya teman, seperti yang Edhu katakan padanya beberapa minggu lalu.

Tapi sejak hari itu, Edhu belum datang lagi. Dan itu membuat Rei merasa sangat bersalah. Mungkin itu jadi penyebab mengapa ia agak memikirkan Edhu akhir-akhir ini. 

“Rei!” 

Rei tersentak.

“Yang dilakukan Rizman? Maksudmu?”

“Kalian sudah 3 bulan pacaran kan?” Nara mengangkat kakinya yang terjuntai dan
melipatnya keatas, menimbulkan suara ‘krieet’ dan goyangan pelan pada dipan Rei yang kelihatannya sudah berumur. Seharusnya pihak sekolah sudah menggantinya sejak setahun yang lalu.

“Lalu kenapa?” Rei masih bingung. 

“Dia sudah menciummu kan?” Setengah berbisik Nara mendekatkan mulutnya ke telinga Rei. Rei terbelalak.

“Menciumku? Tidak! Orang yang menciumku hanya suamiku!” Rei sewot

“Ayolah Rei, kenapa kamu kuno gitu. Usia 17 adalah waktu yang tepat seorang cewek dapat ciuman pertama, orang lain bahkan melakukannya lebih awal.” Rei tiba-tiba mual dan merasa jijik. Rei menerima Rizman bukan untuk itu.

“Kalau kamu tidak beri Rizman ciuman pertama, dia bisa lari sama cewek lain.”

“Dengar Nara! Rizman bukan orang seperti itu, dia membina hubungan denganku bukan untuk itu. Kau dengar? Aku tahu siapa dia dan aku percaya padanya. Jadi jangan bicarakan tentang itu lagi. Ok?!” Muka Rei memerah, Rei benar-benar marah. Nara mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Sangat tidak pantas!

“Ssst...jangan sewot gitu dong! Aku kan bicara...”

“Sudah dan diamlah!”

“Ok, aku minta maaf, tapi menurutku hal itu wajar dan manusiawi.” Nara beranjak.

“Wajar dan manusiawi?” Rei merasa Nara yang sangat cerdas, dimatanya tiba-tiba menjadi orang terbodoh yang pernah ia temui!

* * *

Setelah perbincangan kemarin malam, hubungan Rei dan Nara agak renggang. Mereka bahkan belum bicara lagi sejak kemarin. Rei sebenarnya tidak betah dengan situasi seperti ini. Rei ingin melupakan kejadian itu dan ingin minta maaf. Tapi sepertinya Nara tidak punya waktu saat ini.

“Nanti saja Rei, aku ada perlu.” Nara datang ke kamar setelah makan siang dan pergi lagi.

“Nara seneng banget belajar di alam terbuka ya?” Pipan menyimpan piringnya di rak.
Nara memang sering keluar dan belajar di teras gedung sekolah, bersama Adam. Tapi...belajar, benarkah? Ah, Rei menepis pikiran buruk itu, ia tak mau berprasangka!

“Waah...besok sudah dinas lagi, nih!” Seorang temannya masuk ke kamar.

“Kamu ruang mana?”

“Melati.” Melati ruangan VIP.

“Aku yang sial, dapat ruang Arben.”

“Ha..ha..ha..”

“Aku pernah dinas di sana, dan ruangan itu tidak terlalu buruk. Kecuali tempatnya
sangat ujung dan paling dekat kamar mayat. Kalau malam sisi bagian kanan dan belakang memang sangat gelap.” Itu sih bukan menghibur.

Rei membuka lemarinya, sembari tersenyum mendengar celoteh mereka. Rei mengambil 2 buku dan 1 bolpoint, dia harus mengerjakan tugas untuk besok. Begitulah Rei, kalau sudah mepet baru mengerjakan. Kalau Nara pasti sudah selesai. Ah... Nara, mengingat dia, tiba-tiba perasaan tidak enak muncul lagi dalam hati Rei.

Rei menarik kursi dan mulai mengerjakan tugas di meja belajarnya (sebenarnya lemari yang berfungsi ganda), tapi baru menulis dua alenia bulpoint itu sudah tak bertinta.

“Pakai punyaku.” Pipan menyimpan bulpoint dihadapan Rei.

“Makasih, tapi kayaknya aku mau beli sekarang, sekalian beli HVS yang habis. Mau titip?” Rei memasang kerudungnya.

“Nitip bakso!” 

Rei terdiam menatap Pipan. Bukankah baru saja ia makan siang.

"Cuci mulut, Rei." Pipan nyengir.

Rei beranjak setelah berpamitan.

Rei berjalan melewati kamar-kamar yang tak seramai hari-hari biasanya. Penghuni asrama hanya terlihat beberapa saja, itupun memilih berdiam di kamar, tidur siang atau mengobrol santai, mengingat matahari yang bersinar terik siang ini.

Rei melewati gedung perpustakaan yang memisahkan gedung sekolah dan asrama.
Terdengar suara berbisik-bisik dari arah gedung. Awalnya Rei tak peduli, tapi demi mendengar suara orang yang berbicara, Rei menghentikan langkahnya dan menajamkan pendengarannya.

"Kak Rizman-kah?" Rei berbelok kekiri, mendekati asal suara di belakang perpus.
Berjalan sendirian ditengah terik seperti ini sepertinya kurang menyenangkan, mengajak Rizman menemaninya mungkin lain lagi ceritanya.

"Itu karena kamu nggak tahu dia, Riz." 

Deg. Itu kan suara Nara? Nara dengan Rizman? Kebetulan bertemu dan ngobrol atau...
Rei menajamkan pendengarannya. Tak ada suara lagi setelah itu. Sehingga Rei memutuskan untuk mendekati tempat mereka bicara.

Belum sempat Rei melangkah untuk berbelok, kakinya tiba-tiba terpaku kaku. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya terbelalak. Benarkah pandangannya ini? Kak Rizman dan Nara?

"Kalian..." lemah suara itu keluar dari mulut Rei, seperti angin sepoi yang tiba-tiba menyadarkan dua orang didepannya. Rizman dan Nara melihat asal suara, dan mereka sama terbelalak sebagaimana Rei.

"Apa yang kalian lakukan?" Pertanyaan bodoh. Rei tahu apa yang mereka lakukan.

"Rei?" Rizman terpana melihat Rei.

Amarah Rei memuncak, kekecewaannya menggeledak. Rei bisa saja marah dan berjalan beberapa langkah untuk menampar wajah memuakkan mereka berdua. Tapi Rei tak punya cukup tenaga untuk itu. Bahkan Rei terlalu lemas untuk mengeluarkan air mata.
Tubuhnya lunglai selunglai hatinya. Rei cuma menggeleng pelan, menarik nafas sesal dan beranjak.

Rizman cepat berlari dan menyusulnya.

"Rei!" Rizman mencegat Rei dan menatapnya lekat. Matanya memerah, airmatanya mendesak hendak keluar. Rei balas menatap Rizman, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal atas semua peristiwa yang baru saja dilihat kedua mataya. Tapi masihkah memerlukan penjelasan? Rasanya tak ada, tak ada yang perlu dijelaskan. Rei sadar itu, karena dimata Rizman ia tak menemukan apapun, kecuali sesal.

Ya, Rizman memang menyesal. Sangat menyesal. Sebagaimana Rei, Rizman sadar tak ada yang perlu dijelaskan. Semua sudah jelas dan gamblang. Ia sudah berkhianat, pada Rei yang ia cintai dan puja. Mengapa? Rutuknya menyesali semua.

"Maaf..." Lirihnya mendalam. Lelaki kokoh dihadapan Rei itu mengeluarkan air mata.
Air mata sesal, air mata permohonan untuk sebuah kata maaf dari hati Rei. Bisakah?
Setelah ia menorehkan luka yang dalam dan berdarah dalam kalbu Rei?

Tatapan kosong Rei berpaling dari mata sesal Rizman. Lalu ia berjalan gontai melewati Rizman yang berdiri mematung.

Sebuah Honda Jazz warna hitam menepi. Seseorang keluar. Edhu! Dada Rei sesak, matanya memanas, dan tiba-tiba Rei punya kekuatan untuk berlari dan berdiri dihadapan Edhu. Senyum Edhu berubah menjadi tanya yang teramat besar demi dilihatnya Rei yang berdiri didepannya dengan tangis tertahan. Lalu dilihatnya Rizman yang berdiri jauh dibelakang Rei.

"Kenapa?" Hati-hati Edhu bertanya, dan mata teduhnya melihat Rei khawatir. Rei melihat mobil di belakang Edhu dan menatap mata Edhu bergantian.

"Bisa bawa aku pergi?" Lirih Rei dengan tangis tertahan. Edhu kembali menatap Rei dan Rizman.

"Rei, maafkan aku.... Please....!" Rizman telah berdiri dibelakang Rei, tangannya menjulur hendak menyentuh Rei, tapi Rei segera menepisnya.

"Sebenarnya..." Edhu meminta penjelasan, namun tak tahu harus bicara apa.

"Edhu... kumohon...!" Rei menatap Edhu penuh tekanan. Sementara bimbang menyelimuti batin Edhu. Membawa Rei pergi? Sementara Rizman hanya melihatnya dengan mata dan hidung yang memerah. Dan tentu saja, tak melihat kearahnya satu tatap pun. Edhu benar-benar tak tahu harus bagaimana. Apakah membawa Rei dari Rizman adalah jalan yang baik?

"Edhu..." Pelan, namun tekanan permintaan itu semakin kuat. Akhirnya Edhu membuka pintu mobil untuk Rei. Lalu setelah Rei masuk, dilihatnya Rizman yang berpaling dari bersirorok pandang dengannya.

"Tunggu sampai hatinya tenang..." Edhu menatap Rizman lama.

"Katakan padanya aku bersalah dan aku menyesal." Rizman hanya menatap Rei lekat.

"Kami pergi." Edhu masuk mobil dan melaju perlahan meninggalkan Rizman yang termanggu kaku menahan sesak yang menyumbat jalan nafasnya.

Rizman menarik nafas pajang, mengurangi sesak yang kian menekan. Rizman berbalik. Dilihatnya Nara berdiri menatapnya.

"Perempuan ini..." bisiknya dalam hati. Lalu Rizman melangkah tanpa menoleh sedikitpun ke arah Nara. Cintanya terluka dan Naralah penyebabnya. Hanya Nara?
Tidak, dia juga bersalah. Bersalah sangat besar. Batinnya merutuk kembali.
Dilewatinya Nara seperti tak pernah ada. Dan Nara hanya mengikuti kepergian Rizman dengan tatapan matanya.

Orang yang aku cintai sekarang membenciku.

* * *


5


Edhu menghentikan mobil. Dilihatnya Rei disamping kirinya tengah terlelap, setelah menangis selama hampir setengah perjalanan. Tangannya mengambil biola di jok belakang, membuka pintu mobil dan beranjak keluar. Udara dingin menyapa kulitnya.

Edhu melihat Seiko yang melingkar di pergelangan tangannya. 13.30. Masih sangat siang, namun mentari tertutup awan, angin berembun berhembus perlahan, menerpa wajah Edhu yang tengah menatap kubah Masjid At-Ta'awun tak seberapa jauh dibelakangnya.

Edhu tersenyum sesaat, lalu beranjak mendekat sisi gunung, menikmati keindahan kebun teh yang terhampar seperti permadani syurga. Atau pemukiman manusia yang jauh diujung pandangan mata, dan pasak-pasak bumi yang menyembul mengintip dari balik kabut.

Diantara itu semua, Edhu mulai memainkan sebuah melodi indah. Dawai hatinya bergetar, jiwa hatinya larut. Melodi apik itu masuk memenuhi rongga dadanya. Memancar bak aura cinta, menggetarkan sekelilingnya.

Di kala hati resah
S'ribu ragu datang memaksaku
Rindu s'makin menyerang
Kalaulah aku dapat membaca fikiranmu
Dengan sayap pengharapanku Ingin terbang jauh

Bila awanpun gelisah
Daun-daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku

Andaikan ku dapat mengungkapakan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya...

Dari dalam mobil, Rei mengerjap-ngerjap. Matanya memicing, telinganya terbuka memasukkan sebanyak suara yang memungkinkan untuk masuk ke dalam rongga hatinya. Sesaat Rei terhenyak, Edhu? Memainkan biola?

Rei membuka pintu, berdiri bersandar pada mobil, mengawasi Edhu dari kejauhan, merasakan getaran cinta yang disebarkan Edhu lewat gesekan biolanya. Melihat Edhu seperti ini rasanya seperti menatap rembulan yang bersinar damai. Sejenak Rei lupa lukanya, terbuai keindahan melodi yang keluar lewat gesekan dawai hati sang pemain biola, Edhu.

Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku
Rasa cinta yang tulus dari dasar lubuk hatiku

Tuhan, 
Jalinkanlah cinta...

Satu lagu telah selesai. Sebuah tepukan dari tangan Rei membawa hati Edhu yang tengah terbang beberapa saat kembali mendarat di pelataran bumi. Edhu menoleh ke arah belakang, dilihatnya Rei tengah tersenyum kearahnya. Senyum yang menggetarkan jiwa Edhu, dan mendesirkan sesuatu didalam dadanya.

"Aku tak mengerti musik. Tapi menurutku lagu yang baru saja kau mainkan sangat indah."

"Terimakasih." 

"Sekian lama kenal, aku baru tahu kau seorang pemain musik."

"Hanya hobi."

"Hobi yang luar biasa."

Edhu tersenyum melihat wajah Rei berbinar.

"Kak Rizman benar, aku harus mengenalmu lebih jauh." Binar itu tiba-tiba menghilang, berganti keruh yang memudarkan senyuman.

Edhu menghampiri, disimpannya biola diatas jok mobil lewat jendela yang terbuka.
Lalu menyandarkan tubuhnya tepat disamping Rei. Ditatapnya Rei dalam.

"Dalam hubungan manusia, apapun itu, pasti terjadi pergesekan. Kalau kita dewasa
menghadapinya, gesekan itu takkan memisahkan justru akan menimbulkan suara yang indah dan menentramkan. Seperti dawai biola yang dimainkan." Edhu tersenyum menatap Rei yang tak memberikan reaksi apapun. Sejenak mereka terdiam, terbuai hembusan angin yang membawa udara segar menerpa wajah mereka.
Andai aku bisa memindahkan kesegaran ini kedalam hatinya yang terluka.

"Kau tahu Edhu, Rizman dan Nara..." Rei melihat Edhu. "Mereka kissing." 
Edhu terbelalak dan tersentak.

"Didepan mataku. Katakan, apa melodi yang dimainkan oleh pengkhianatan itu indah dan menentramkan?" Edhu terdiam kaku.

"Andai kau tahu, Edhu... dikhianati itu sakit, sakit sekali..." Rei menepuk dadanya berulang kali.

Andai aku bisa merengkuh jiwa yang tengah terguncang itu.

Rei menarik nafas panjang.

"Sudah kuputuskan, aku takkan menangis untuk Rizman." 

Edhu tersenyum mendengar kata-kata Rei. "Kau sudah menangis hampir satu jam tadi, tentu saja kau tak boleh menangis lagi."

"Satu jam?"

"Ya, setengah perjalanan Cianjur-Bogor."

"Tidak! kau pasti salah, aku hanya menangis lima menit saja. Tak lebih." Rei cemberut. Wajah kekanak-kanakkan itu muncul lagi. Edhu lega.

"Kalau menangis bisa membuatmu sedikit tenang..."

"Kalau menangis untukmu aku takkan rugi, tapi menangis untuk Rizman? Aku berjanji takkan melakukannya lagi."

Edhu terdiam sesaat.

"Kau takkan menangis karena aku."

“Bisa saja. Suatu saat kau meninggalkanku, dan menikah dengan gadis lain, memainkan biola untuknya setiap hari... Dan aku berdiri mematung disini menunggumu hingga beku."

"Sudah, sudah! Kau mulai berkicau tak karuan lagi."

"Biar saja! Alam sepi tanpa kicauan burung dan dunia sepi tanpa celoteh wanita."

"Aku tak pernah dengar peribahasa seperti itu." Edhu tertawa. Rei mendelik dan cemberut.

"Hei! kau tak pernah cerita kau punya mobil."

"Memangnya perlu kuceritakan? Lagipula mobil ini bukan punyaku."

"Temanmu?"

"Ayahku."

"Sama saja itu punyamu."

"Berbeda."

"Sama! Ayahmu memberi padamu!"

"Berbeda, itu bukan uangku."

"Sama!" Rei berteriak. Edhu terbahak.

"Ha...ha... galak sekali!"

* * *

"Hm...aku malas memasuki gedung itu." Rei melihat bangunan asrama dari dalam mobil. Mobil sudah terparkir hampir sepuluh menit. Namun Rei belum mau keluar.

"Lapangkan saja. Pasti bisa." Edhu menutup buku tebalnya. Rei melihat Edhu, lalu buku yang tengah digenggamnya. AutoCad.

"Terimakasih."

"Untuk?"

"Untuk damai yang kau berikan untukku."

"Sama-sama." Lagi-lagi mata teduh itu memancarkan ketulusan.

Rei membuka pintu mobil, namun sebelum keluar ia masih sempat berbalik.

"Minggu depan tak ada acara kan?"

"Tak ada, hanya ada UAS. Tapi kalau kau mau, aku sempatkan datang."

"Tak perlu, aku tak mau kau capek. Berdo'a saja untukku ya?"

Edhu mengangguk sambil tersenyum. Rei keluar dan menutup pintu mobil, diikuti Edhu.

"Perlu kuantar?"

"Tak perlu, terima kasih." Rei melangkahkan kakinya dengan berat. Baru beberapa langkah, Rei berbalik. Dilihatnya Edhu yang tengah bersandar pada mobil tersenyum padanya. Rei membalas senyumnya lalu berjalan lagi. Namun tak lama Rei berbalik lagi, kemudian beranjak. Berbalik, dan beranjak. Begitu beberapa kali.

"Sampai kapan kau pergi dari situ?" Rei sedikit berteriak.

"Sampai kau menghilang dibelokan itu." 

Rei tersenyum lalu melangkahkan kakinya kembali. Sebelum benar-benar menghilang dibelokan Rei sempat melambaikan tangan pada Edhu. Tapi belum lama menghilang, Rei kembali lagi. Dan dilihatnya Edhu masih berdiri melihatnya. Rei mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Edhu untuk segera pergi. Edhu tersenyum lalu naik ke mobilnya dan melaju perlahan. Sebelum menghilang Edhu melambai untuk terakhir kalinya dan Rei membalas.

Setelah benar-benar menghilang, Rei melanjutkan langkah kakinya. Tapi tak seberapa lama kakinya terhenti kembali, tapi sekarang bukan untuk melihat Edhu, tapi karena seseorang yang tengah berdiri dikaki tangga penghubung antara sekolah dan asrama.

Rei menahan sebak kembali. Tidak, harus ditahan! Dia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi untuk orang dihadapannya ini. Jadi sebak ini tetap harus disimpan dalam dada, tak boleh terlihat sedikitpun, tekadnya. Rei mulai mengerakkan kakinya kembali. Dilewatinya Rizman yang membisikkan kata maaf tepat disamping telinga.

Asrama mulai ramai. Orang-orang yang kemarin pulang mulai berdatangan. Rei melewati mereka dengan canggung. Rei merasa semua mata melihatnya. Kenapa? Rei mempercepat langkahnya, jengah dipandangi puluhan mata dengan tatapan aneh seperti itu.

"Rei, kamu baik-baik saja kan?" Seorang kakak kelas menyapanya khawatir.

"Ya, tentu saja," Rei menjawab mantap, dan ia mempercepat langkahnya. Setelah masuk kekamarnya Rei baru bisa bernafas lega.

"Rei!" Pipan melonjak dan menghampiri Rei seketika. Melihat Pipan, tiba-tiba Rei teringat titipan baksonya dan bulpoint yang belum sempat dibelinya. Oh, bukan belum sempat, tapi lupa! Benar-benar lupa! Perut sahabatnya ini pasti sudah keroncongan dari tadi.

"Duh, maaf Pan, aku lupa."

"Lupa apa?" Teman sekamar yang lain sudah berhamburan dibelakang Pipan. Ada yang janggal...

"Lupa baksonya.."

"Ya ampun, Rei! Jangan pikirin baksonya, kita mikirin kamu! Khawatir tahu nggak!?"

"Kamu dari mana saja sih?"

"Nggak apa-apa kan Rei?"

"Kamu baik-baik saja kan?" Sebagian teman memeluknya erat.

"Kenapa sih? Kalian kok aneh?" Rei melepaskan pelukan mereka.

"Jawab dulu, kamu dari mana?"

"Aku dari puncak."

"Puncak?" tanya mereka serentak.

"Ya, lihat kubah at-Ta'awun, merasakan dinginnya lantai, air dan sejuknya panorama
at-Ta'awun. Terus lihat gunung berkabut, kebun teh, dan... rumah penduduk yang kayak rumah semut. Ih, indah banget, kalian mesti kesana!" Rei melewati teman-temannya lalu duduk di dipannya yang acak-acakan. Perasaan waktu ditinggalkan rapi, pikir Rei. Tapi... sudah biasa. Rei juga suka tidur didipan temannya. Rei membuka peniti yang menyemat kerudungnya satu-persatu.

"Gunung?"

"Kebun teh?"

"Rumah penduduk yang kayak semut?"

"Rei, kamu nggak niat bunuh diri kan?"

"Bunuh diri?" Mata Rei membulat. "Memangnya aku gila apa?" 

Terdengar desahan nafas lega dari teman-temannya. Pasti mereka sudah tahu, pikir
Rei. "Jadi... kalian sudah tahu?"

"Bukan hanya kami, semua orang juga sudah tahu."

Pantas!

"Kami senang kamu baik-baik saja."
Rei menghela nafas panjang. "Kalau mau terus terang, tentu saja aku masih kecewa dan belum bisa maafin mereka. Tapi..."

"Sudahlah Rei, kamu mestinya bersyukur."

"Bersyukur? Pipan aneh ah!" Timpal yang lain.

"Iya kan? Dengan begitu Rei dan kita tahu kak Rizman itu ternyata... ya seperti itu. Untung saja kan, Rei belum diapa-apain.."

"Benar juga, kamu lihat positifnya saja Rei." 
Rei terdiam sesaat. Kalau dipikir memang benar juga. "Kalau kita lapang, pasti bisa..." Rei tersenyum sendiri.

"Eh, tapi... bagaimana kalian sampai tahu? Tadi siang kan nggak ada siapa-siapa..."

"Ah Rei, berita seperti itu sih bakal cepat merebak. Seperti angin topan, berhembus sangat cepat dan menggemparkan semua."

"Ya, jangan tanya siapa yang mendengar dan siapa yang mulai menyebarkan berita, karena kita juga nggak tahu. Tiba-tiba ramai begitu saja."

* * *

"Aku mencintai Rizman." Pengakuan yang jujur dari hati Nara, tapi kejujuran itu sangat melukai Rei. Sahabat yang mencintai kekasih sahabatnya. Heh, seperti lagu saja.

"Aku mendekati Adam untuk dekat dengan Rizman." 

Rei tak mau mendengar lagi. Masih lamakah Nara akan mengajaknya bicara? 01. 05. Huuh... , tak salah Rei merasa menyesal mengapa harus satu shif dengan Nara. Ya, sejak hari itu Nara begitu memuakkan dimata Rei. 

"Tapi dia malah menyatakan cintanya padamu..."

Pasien ada lima orang, dan semua sedang tidur dengan tenang, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Rei menyibukkan diri dengan mengingat-ingat tugasnya malam ini.

"Awalnya aku berusaha menerima kenyataan dan berusaha melupakannya. Tapi... " 
Aku harus menyuntik Aminophilin jam 02.00 nanti, juga mengganti infus pasien diruang 3. Selain itu, sepertinya semua sudah selesai.

"Tapi aku sering kontak dengannya, karena dia pacar sahabatku. Dan semakin aku mengenalnya semakin aku tak bisa melupakannya."
Rei membuka buku laporan, mencari sesuatu yang kurang dan mungkin perlu tambahan.

"Saat itu aku tak tahan, lalu menggodanya." Mata Nara tertuju pada Rei. "Kau dengar aku?" 

Rei menutup buku laporan dan menatapnya lekat. "Lalu, apa? Apa kau ingin bilang, 'lupakan dia, karena dia membalas cintaku?’ Jangan khawatir Nara, kau sudah berhasil mengambilnya dan membuat aku membencinya, membeci kalian berdua. Kau dengar? Kalian berdua!" 

"Aku minta maaf."

"Sayang, memberi maaf tak semudah memintanya." Rei menatap Nara tajam. Seluruh kebencian yang menumpuk dalam hatinya, dihujamkan saat itu. Nara yang menyadarinya langsung berpaling.

"Aku justru ingin mengatakan, kalau Rizman tak bisa mencintai orang lain selain kau." Nara berdiri, "Jadi aku kalah, dia masih milikmu." Katanya sembari pergi meninggalkan Rei sendiri.

Benarkah? Rizman masih menyimpan namaku dihatinya? Rei kembali terduduk dalam kebiauan hati yang ia sendiri tak mengerti. Kabar ini tak terlalu membuatnya gembira, apalagi bahagia. Mungkinkah karena laki-laki itu sudah memecahkan hatinya berkeping-keping?

* * *

Rizman keluar dari ruang Kepala Perawat dengan bimbang. Ia membuat kesalahan tadi. Ia salah mengambil darah. Seharusnya Bpk. Kurniawan 52 thn, banyaknya darah 5 cc. Tapi yang dia ambil darahnya Kurnia Gunawan, 17 tahun. Tak tanggung-tanggung, ia mengambil darah pemuda itu sebanyak 10 cc!

“Untung mengambil darah, bagaimana kalau salah memasukkan obat, Rizman?!” suara pelan menahan amarah itu keluar dari mulut Pak Susanto, Kepala ruang Gandaria tadi.

“Kalau kamu punya masalah, jangan bawa-bawa ke tempat dinas! Bisa bunuh orang kamu!”

Rizman mendesah pelan. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Sungguh, ia tak pernah melakukan kesalahan satu kalipun. Sama sekali tak pernah. Kenapa sekarang ia melakukannya? Karena hatinya tengah kacau? Oleh Rei?

Rizman mendesah lagi. Ia ingin mengumpat Rei dan menimpakan kesalahan padanya. Ia ingin marah pada Rei. Tapi tak bisa. Rei tidak bersalah. Yang salah jelas dirinya. Mengapa mengkhianati Rei jika ia mencintainya?

“Apa kata Pak Susanto?” Kak Ayi, seniornya diruangan itu mendekatinya.

“Aku disuruh pulang.”

“Enak dong, Kak,” Mala, adik kelas yang kebetulan dinas dengannya kali ini menimpali. Dari nada suaranya terdengar jelas, kalau Mala tengah mengejek Rizman.
Kak Ayi yang menyadari itu memandang Mala dengan ujung matanya. Sementara Rizman tak terlalu mempedulikannya. Sejak kejadian itu, sikap teman sekelas Rei, terutama teman sekamarnya seperti Mala, memang selalu bicara sinis padanya. Ya, mungkin itu bentuk pembelaan mereka terhadap Rei.

Rizman masuk ke ruang Perawat diikuti Kak Ayi. 

“Bisa juga kamu kacau karena cewek ya?”

Hebat, berita ini sudah sampai keluar benteng asrama. Rizman membereskan barangnya.

“Cewek itu nggak usah terlalu dipikirin, Man. Sekali-kali nakal boleh lah, nunjukin kalau kamu itu cowok.” Kak Ayi duduk diatas meja dan memperhatikan Rizman memasang sepatunya.

“Cuma salahnya, sasaran kamu Rei. Mestinya, sasaran kamu itu cewek-cewek macam Nara.” 

Sebenarnya, senior Rizman itu bermaksud menghibur, tapi jelas itu membuat Rizman kesal. Karena apa yang dikatakan Kak Ayi benar-benar menohok Rizman di tempat yang tepat. 

Kumohon... pikiranku sudah tersumbat oleh Rei... Jangan sakiti dan menyesaki aku dengan kenyataan, bahwa aku begitu buruk dimata semua orang.

“Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi menurutku, tiap orang pernah salah. Itu niscaya. Tapi jangan jatuh. Perbaiki, dan bangkit!”

Berhentilah bicara tentang itu... hubunganku dengan Rei takkan bisa diperbaiki. Dan tanpa memiliki perasaan pada Rei... aku tak mungkin bangkit. Sesak yang Rizman rasakan semakin menekan.

“Terimakasih...,” Rizman berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Ayi yag menatapnya prihatin.

Rizman melangkah gamang dengan hati yang bimbang.

Tidak. Tak ada yang perlu diperbaiki, karena kejadian dua hari yang lalu hanya mimpi. Ya, hanya mimpi. Tuhan... yakinkan aku kalau itu hanya mimpi...

Ditengah kegamangan itu, langkah Rizman tiba-tiba berhenti. Jauh didepannya, seseorang yang dua hari ini memenuhi kepalanya, kini tengah berjalan tepat kearahnya.

Disana, Rei pun tersentak. Orang yang sangat tak ingin ia temui ada diujung koridor ini. Adakah jalan lain agar ia tak perlu melewati laki-laki itu?

“Lalu anak ibu yang pertama?” Rei mengalihkan pikiran pada pembicaran yang tadi tengah dijalinnya. Pembicaraan dengan seorang pasien Decompensasi Cordis yang baru selesai di rontgen.

“Ya yang tadi malam itu...,” jawab si Ibu. “Dia sekarang sedang kuliah di UI. Sama dengan Neng. Di Kesehatan.”

“Oya?” Rei terus memfokuskan pikiran pada telinganya. Sementara mataya tetap menatap lurus pada jalanan, yang harus dilalui kursi roda yang tengah ia dorong.
Tak satu tatappun ia hinggapkan pada Rizman. Namun meski begitu, angannya melayang pada bayangan Rizman, tanpa sedikitpun dapat ia tolak.

Allah... apakah Rizman melihatku? Mengapa ia diam saja? Mengapa ia ak segera beranjak?

Jarak mereka semakin dekat. Dan jantung mereka semakin berdetak tak terkendali.

Tiga langkah...

Dua langkah...

Waktu seolah berhenti dan membiarkan luka yang menganga semakin perih terasa.
Tepat satu jajar...

Angin menerbangkan aroma Rei hingga hinggap pada penciuman Rizman dan masuk menelusup kesetiap ujung pembuluh darahnya. Aroma yang tengah dan akan selalu ia rindukan.

Cahayapun menyampaikan bayangan Rizman, sehingga ia masuk dan terperangkap dalam cermin mata Rei.

Allah... mengapa seperti ini? Beberapa hari yang lalu aku masih bisa tersenyum da menyapanya. Kenapa mimpi itu bisa merubah segalanya...

Allah... katakan padaku, yakinkan aku bahwa inipun mimpi. Kumohon...

Rizman berlari meninggalkan tempat itu. ia memang berlari, benar-benar berlari...

...

“Kenapa sih anak kelas satu selalu disuruh dorong blankar?” suara Rei saat pertama kali dinas terngiang kembali. Kebetulan, Rizman satu jadwal dan satu ruangan dengannya.
“Selalu? Ah tidak juga.”
“Ya, memang tidak selalu... tidak selalu blankar. Kalau tidak blankar ya kursi roda... Kapan sih anak kelas dua mau membiarkan anak kelas satu yang melakukan tindakan? Meski Cuma TPRS?”
“Ya nanti, kalau anak kelas satu sudah jadi kelas dua...,” Rizman menatap Rei sekilas dengan ujung matanya.
Rei mendelik lalu cemberut.
Rizman tertawa renyah.
Setelah itu, Rizman mulai bersikap baik. Membiarkan Rei melakukan tindakan perawatan. Bahkan Rizman mengajari Rei menyuntik IV dan menginfus. Bahkan karena hal ini, Rizman agak diasingkan oleh teman-temannya sendiri. Karena mereka menganggap Rizman terlalu baik. 
Sudah jadi peraturan tak tertulis, bahwa semua siswa baru boleh melakukan tindakan saat kelas dua. Sebabnya? Karena kakak kelas mereka dulu memperlakukan mereka seperti itu. Ya, balas dendam.
Tapi apa Rizman peduli? Tidak. Baginya, membuat senyuman tersungging diwajah Rei lebih penting dari apapun.
Sekarang? Dia bahkan membuat wajah bercahaya itu menjadi biru. Apa yang bisa dilakukan agar wajah itu kembali cerah? Jikapun harus dengan menghukum dirinya sendiri, ia sama sekali tak keberatan. Termasuk menikam dirinya. Tapi satu hal Rei... jangan menyuruhku menjauh darimu...

* * *

"Aku ingin bicara denganmu." Untuk kesekian kali Rizman meminta waktu Rei sejenak.
"Baiklah." Akhirnya Rei menyerah, setelah beberapa kali menolak dan menghindar.
"Dibelakang sekolah, bisa?" Rei melihat sekeliling kelas. Ada beberapa orang yang mencatat dan mengobrol, padahal kelas Urogenital sudah bubar. Rei mengikuti langkah-langkah tegap Rizman. Melihat Rizman, Rei tak bisa bohongi dirinya sendiri, hatinya masih berdesir. Masih ada sisa cinta untuk lelaki ini.
"Rizman tak bisa mencintai orang lain selain kamu."
Mereka melewati lorong-lorong sekolah dalam diam. Suasana sudah sepi. Oh, tentu saja ini hari Sabtu, sekolah sudah ditinggalkan sejak pukul 12.00 tadi. Tapi begitulah sekolah perawat, sering sekali belajar diluar jam sekolah. Sore hari, atau malam hari, sudah tak aneh, tergantung waktu yang guru punya diluar jam kerja mereka. Karena selain guru dalam, mereka juga diajar oleh guru luar untuk pelajaran-pelajaran tertentu. Dokter, Kepala RS, atau Anggota Dewan untuk mengajar PPKN.
Rei berpapasan dengan satu atau dua orang kakak kelasnya, yang melihat mereka dengan curiga. Rei dengan Rizman? Baikan lagi? Begitu arti tatapan mereka. Dan Rei merasa jengah.
"Aku belum menghapus namamu dari hatiku." Mereka sudah ada dibelakang sekolah. Dan Rizman mengatakan itu setelah lama diam mematung. "Aku salah dan aku menyesal, Rei. Sangat menyesal, kau tahu?" 
Rei menatap Rizman, menembus matanya dan masuk kerelung kalbunya. "Aku tak tahan dan menggodanya." 
"Aku memaafkanmu." Rizman menatap Rei tak percaya. "Aku tahu kau bukan tipe orang yang bisa berkhianat. saat itu kau hanya... lupa. Mungkin." Lupa? Rei ragu. Rei tak perduli apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang jelas sekarang Rei sudah memaafkannya. Titik.
"Jadi, kita..."
"Tidak, Riz. Aku memaafkanmu, bukan menerimamu kembali. Aku dan kau seperti aku dan kak Adam, atau kakak-kakak kelas yang lain. Hanya itu."
Cahaya yang sempat bersinar dimata Rizman kini memudar. Ia kecewa.
"Kau mengerti aku kan?" 
"Mengapa?" Rizman tergugu. Aku begitu menyukai Reina, lalu mengapa aku tak bisa menjaganya untuk terus disampingku selamanya? "Aku khilaf, aku manusia. Apa menerimaku begitu menyulitkanmu Rei?"
"Jika aku dengan kak Adam, sahabatmu, melakukan apa yang kau lakukan dengan Nara, apa kau masih mau menyapaku? Meski aku khilaf. Meski saat aku melakukannya, aku berhalusinasi seolah-olah melihat kak Adam seperti kau? Apa kau masih mau menjalin hubungan dengan ku? Dengan orang yang membuat hatimu hancur?"
Rizman terdiam, Dia tak bisa memaksa Rei. Dia memang bersalah dan menjalin kembali hubungan bersama Rei adalah mimpi yang musykil. Mungkin nanti, suatu saat nanti. Rizman harus menunggu sampai luka dihati Rei mengering dan tak berbekas.  
"Lalu dia?"
Rei melihat Rizman tak mengerti.
"Edhu. Apa kau mencintainya?" 
Mencintainya? Rei termenung sejenak. "Edhu?" Rei menerawang. "Dia... tampan, menyukai musik, tapi calon arsitek. Umurnya lima tahun diatasku."
"Kau sudah sangat mengenalnya."
"Ya, aku mengenalnya dan menyukainya. Tapi mencintainya? Aku tak tahu, kak. Aku hanya tahu kalau aku merasa damai ada disisinya."
Rizman terdiam, berbagai perasaan berkecamuk dalam dadanya. Posisinya dihati Rei hampir digantikan orang lain. Tidak, bukan hampir, tapi sudah.
"Terimakasih sudah mau bicara denganku dan memaafkanku. Dia sudah datang, jadi sepertinya aku harus pergi." Rizman tersenyum hambar. Rei mengikuti pandangan Rizman. Mobil Edhu terlihat melintas didepan pagar.
"Yuk, Rei." Rizman beranjak. Kegetiran jelas tergambar diwajahnya.
Aku mengenal dan menyukai Edhu, Riz, tapi cinta? Andai kau tahu, cinta ini masih milikmu...

* * *






































"Jadi dia menerimamu saat itu?" Andri melap piano kesayangannya sampai mengkilap.
"Tidak, dia menerimaku tepat seminggu sebelum kami berpisah." Edhu memasukkan biola kedalam tasnya. Latihan sudah usai.
"Seminggu sebelum berpisah?" Andri menghentikan aktifitasnya.
"Ya, saat itu kami memang beberapa kali bertemu, meski tak sering. Aku datang padanya, kami pergi, lalu berbincang ditempat favorit kami."
"Di puncak itu?"
"Ya, tempat yang sangat indah. Suatu saat aku akan ajak kamu kesana. Kamu akan suka, aku yakin." Edhu tersenyum pada sahabatnya.
"Dia masih mencintai laki-laki itu?"
"Mungkin. Aku dan dia tak pernah bicara tentang hal itu."
"Kenapa? Kau takut ditolak lagi?" Andri tertawa.
"Justru, aku takut dia menerimaku."
"Maksudmu?"
"Aku hanya ingin dia menerimaku karena mencintaiku, bukan karena dia putus dengan Rizman dan butuh seseorang."
Andri menatap wajah putih didepannya.
"Aku pulang sekarang ya?"
Andri mengangguk dan mengikuti langkah Edhu lalu mengantarnya dengan pandangan hingga tak terlihat.

* * *

Edhu memarkir mobilnya dihalaman Gedung Wiyata Mandala Bogor yang sudah penuh sesak. Mudah-mudahan belum terlambat, bisiknya. Setengah berlari Edhu menaiki tangga Gedung. Tiba-tiba kakinya terhenti, matanya tertuju pada sesuatu.
"Silahkan fotonya untuk kenang-kenangan." Seorang fotografer amatir menawarkan hasil jepretannya.
Edhu mengambil sebuah foto. Seorang gadis berkerudung putih lengkap dengan kap dikepalanya tengah tersenyum. Wajahnya polos tak bermake-up, sangat sederhana jika dibandingkan peserta wisuda lain yang 'berwarna-warni'.
Edhu memasukkan foto kedalam ranselnya, lalu memberikan uang sepuluh ribuan kepada si juru foto.
Suasana penuh sesak menyambut kedatangan Edhu di pintu utama gedung. Jangankan tempat untuk duduk, tempat berdiripun hanya tinggal bagian belakang. Mungkinkah melihat Rei dari sini?
Akhirnya Edhu memutuskan untuk menunggu, toh acara sudah hampir selesai. Tinggal menyanyikan lagu wajib dan ramah tamah. Edhu mundur beberapa langkah. Menunggu dipintu memudahkan untuk terlihat.
Tiba-tiba matanya tertuju pada sosok yang tengah berdiri tepat didepannya. Sepertinya sedang menunggu juga, sama seperti dirinya.
"Hai, menunggu seseorang?" Edhu menyapanya. Orang yang disapa hanya tersenyum.
"Kau? Menunggu Rei?"
Edhu mengangguk.
"Dimana sekarang? Kerja?"
"Ya, di RSU Cianjur."
"Enaknya, tempat praktek jadi tempat kerja." 
Rizman mengangguk, beberapa saat mereka terdiam.
"Rei... bagaimana keadaannya?" Rizman bertanya dengan mata sedikit menerawang. Edhu tak menjawab, dia hanya menatap Rizman lama. 
"Dia baik-baik saja kan?”
"Ya, kuharap begitu." 
Rizman melihat Edhu, meminta jawaban lebih. 
"Terakhir bertemu dengannya lima bulan yang lalu. Kau sendiri? Bukannya dia dekat denganmu?"
"Ya...dekat. Dia disekolah dan aku di RS. Kelas tiga tidak dinas, jadi kami jarang sekali bertemu."
Mereka terdiam lagi. Lama. Lagu-lagu wajib dinyanyikan Paduan Suara, dan orang-orang berhamburan keluar. Mata Edhu berkeliling mencari Rei. Sementara Rizman memperhatikan wajah Edhu.
"Eh, itu dia!" Edhu bicara pada dirinya sendiri. Dilihatnya Rei tengah menggandeng seorang wanita setengah baya.
"Rei!" Sedikit berteriak, Edhu memanggil Rei. Rei menoleh keasal suara.
"Edhu! Kau datang?" Mata Rei terlihat berbinar.
"Tentu saja. Mana mungkin tidak." Mereka lalu beranjak menjauhi keramaian, lupa pada seseorang yang tengah memperhatikan semuanya. Rizman.
Rizman menghela nafas panjang. Kegetiran melanda jiwanya kembali. Rizman tersenyum pahit. Jauh dari Cianjur dia datang hanya untuk Rei, tapi Rei sudah tak mempedulikannya lagi. Cermin matanya hanya memantulkan wajah Edhu. Ah, andai ia bisa mengulang masa lalu, takkan ia mematahkan cinta yang ia puja. Sungguh akan kupelihara. Jadi waktu, berputarlah ke masa itu ...
"Rizman!" 
Seseorang membuyarkan angan Rizman. NARA!!! Cih, Rizman sangat benci perempuan ini. Tanpa menunggu detik berlalu, Rizman berbalik dan menjauh meninggalkan semua pemandangan yang ia benci. Untuk apa masih disini, karena ditengah keramaian ini hati Rizman teramat sepi.

* * *

"Kau menyukainya?" Wanita setengah baya itu tersenyum pada putri kesayangannya.
"Siapa?"
"Edhu."
Rei terdiam menatap Ibunya. Mengapa ibu mananyakan hal itu?
"Dia bukan siapa-siapa Rei, dia hanya teman."
Rei memperhatikan sosok didepannya. Bagaimana Edhu dalam pandangan Ibu? Sementara wanita setengah baya itu masih serius memeriksa soal-soal dimejanya. Sesekali tangannya menggoreskan garis pada kertas, menghitung dan membubuhkan nilai.
"Menurut Rei, Edhu orang yang baik." Hati-hati Rei menyelidik wajah ibunya. Adakah perubahan pada roman mukanya. Tapi Rei tidak mendapatkan hal itu. Lurus saja, tak ada masalah. Bahkan tangannya masih tetap mengerjakan tugas yang sudah satu jam ini belum juga usai.
"Apa karena dia mengantar kita dengan mobil?"
"Bukan."
"Atau karena dia mengajak kita makan di restoran?" 
Rei menggeleng. Ibu menyimpan bulpoint dan berbalik menghadap Rei. Ditatapnya dalam gadis semata wayangnya. "Lalu?"
"Karena dia tak pernah menyentuh Rei."
Tak pernah menyentuh. Artinya dia menjaga anakku dengan baik.
"Rei mencintainya?" Mata Ibu menembus mata Rei dalam. 
Apakah Rei mencintainya? Rei tak tahu itu. "Rei senang jika berada didekatnya." 
Ibu tersenyum mengerti. "Dan Rei memikirkannya saat dia tak ada. Benarkan yang Ibu bilang?" Rei tersentak. "Itu artinya Rei mencintainya." Ibu tertawa. Rei senang, Ibu tak marah.
"Tapi Rei..." Tawa itu terhenti. Tangannya membuka kacamata lalu duduk merangkul bahu Rei.
"Dia orang kaya, orangtuanya pasti mengharapkan menantu yang istimewa. Rei mengerti maksud Ibu?" 
Ibu benar, Meski Edhu mau menerima Rei apa adanya, bagaimana dengan orangtuanya? Apalagi Edhu anak tunggal, pasti semua harapan indah terbebankan pada Edhu. Ya, mengapa Rei baru sadar itu sekarang? Edhu mungkin menyukainya, tapi bagaimana dengan orangtua Edhu?
"Ibu tak melarangmua mencintai seseorang, Rei. Tapi... Ibu tak mau kau terluka. Itu saja." 
Rei mengangguk adan tersenyum. Harapan Ibunya tak muluk. Jika Edhu adalah harapan keluarganya yang kaya, maka dia adalah harapan satu-satunya seorang Ibu yang sederhana. Seorang guru honorer yang tak pernah diangkat meski sudah mengabdi lebih dari 20 tahun. Bertahan dan tegar agar Rei mendapatkan hidup yang lebih baik.
Ibu kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sementara Rei termangu, menatap sekeliling rumah, satu-satunya peninggalan ayah. Rumah mungil yang hanya punya 4 ruangan. Satu ruang tamu merangkap ruang makan dan keluarga. Satu lagi kamar untuk tidur mereka berdua, dan lainnya dapur dan WC. Dinding berwarna putih pudar dan terdapat tembok yang terkelupas di beberapa bagian. Satu set sofa yang sudah tak berbusa, dengan meja yang keropos sana sini. Ubin hitamnya sudah tak mengkilap seperti Rei kecil dulu. Jangan tanya bagaimana keadaan dapur dan WC-nya.
Rei menghela nafas takjub. Rei tak mengerti bagaimana bisa Ibu menyekolahkannya ke sekolah yang bayaran sebulannya lebih besar dari gaji Ibu. Terbayang dibenak Rei, bagaimana Ibunya menutupi kekurangan itu.
Ah, Rei merasa sudah mengkhianati Ibunya. Andai waktu berulang, ia akan belajar dengan sangat sungguh-sungguh.
Seorang Ibu dengan pekerjaan ganda. Siang hari sebagai guru honorer dan malam harinya menjahit pakaian orang, pasti sangat lelah.

* * *

Senja diam menyapa, dingin menguasai udara Bogor sejak pagi tadi. Villa-villa berselimut halimun, termasuk Villa milik keluarga Edhu, tak jauh dari Masjid at-Ta'awun.
"Dia sangat sederhana, itu yang membuatku suka." 
Sehembus angin bertiup, menjatuhkan helai-helai rambut, luruh di kening Edhu. Sepi. Tak ada lagi suara angin atau riak kolam di belakang mereka, apalagi suara deru mobil yang terlihat berjalan jauh dibawah mereka. Daun pun terpatung kaku, seolah beku oleh dinginnya cuaca. Bukan, bukan cuaca alam, namun cuaca cinta yang memancar antara kedua orang ayah dan anak itu.
Edhu menggerakkan kepalanya sedikit kekanan. Mengintip wajah lelaki setengah baya yang bersidekap dada, memandang lurus kedepan, dan berdiri tak jauh darinya.
Meski tak diperlihatkan dari wajah dan bahasa tubuhnya, Edhu tahu, lelaki disampingnya ini tersentak, dan mungkin kaget luar biasa saat anak lelaki satu-satunya meminta waktunya sesaat dan bicara dari jiwa kejiwa. Jiwa seorang anak kepada ayahnya, teman kepada teman, dan jiwa seorang laki-laki pada laki-laki. Edhu tahu itu sangat mengherankan, terutama bagi dirinya sendiri. Tapi kapan lagi? Ayahnya tak punya cukup waktu untuknya. 
Diri lelaki yang baru mulai dewasanya merasa asing dengan dirinya sendiri. Bicara dengan ayah? Kapan terakhir ia melakukannya? Edhu tak tahu pasti. Hanya sejak ia bisa mengingat, saat-saat yang paling dekat dengan ayah adalah saat tengah malam, saat ia terbangun dalam gelap. Dan mendekap ayah adalah satu-satunya obat mujarab untuk matanya agar bisa kembali terpejam. Ayah? Tubuh kekar ayah? Ah tidak, hanya sebuah foto kebanggaan yang selalu ia simpan dimeja belajarnya, bersama sebuah celengan kucing besar kesayangannya.
"Hhh..." Sebuah nafas berat keluar dari mulut ayah bersama gumpalan kabut. Edhu menunggu, akan seperti apakah? 
"Penat sekali. berjalan-jalan dikebun tah sepertinya menyenangkan." Edhu masih menunggu. Selanjutnya apalagi?  
"Mau temani?" Wajah Ayah menoleh pada Edhu. Kacamata beliau sedikit berkabut. Tapi Edhu bisa melihat keakraban dari sorot matanya. Apalagi dengan senyum segar mengembang dari bibirnya. Edhu terkesiap.
Sebuah perasaan tiba-tiba bergelora dalam dadanya. Wajah seperti itulah yang ia rindukan sejak lama. Lama sekali.
Sejak dulu Edhu tak pernah menuntut. "Sebenarnya dia mencintaimu, sangat. Hanya Ayah tak bisa mengungkapkan. Itu saja." Selalu itu yang Mama ucapkan setiap Edhu menatap kepergian Ayahnya bersama harapan dan keinginan yang terbawa jauh seiring perputaran roda mobilnya. Jadi meski ingin, Edhu tak mau mengganggu. Ayah mencintainya. Itu sudah cukup.
Seiring brtambahnya usia, Edhu bertambah sadar. Bahwa ada beberapa tipe orang tua yang sulit berkomunikasi dengan keluarga terutama anak-anak. Dan Ayah adalah salah satunya.
Tapi akankah semua berubah sejak detik ini? Mungkinkah kerinduan akan senyuman dan keakraban itu terobati mulai hari ini?
"Mau tidak?"
Edhu tersenyum dan mengangguk. Meski ia yakin ayahnya takkan melihatnya, karena sudah mendahuluinya melangkah menuju kebun teh, yang mengelilingi villa tempat Edhu sekarang berdiri.
Edhu mengikuti langkah Ayah. Melihat Ayah dari belakang, adalah sesuatu yang sering ia lakukan dulu. Edhu tersenyum sendiri. Ia ingat kala itu. Ketika umurnya menginjak lima tahun, tepat lima tahun. Saat pesta tiup lilin selesai digelar bersama teman temannya. Edhu sangat ceria dan sangat senang, semua teman dan keluarga memberinya hadiah. Untuknya! Betapa senang.
Satu persatu kado itu dibuka, penuh tawa. Satu persatu kartu ucapan dibaca. Hingga tiba saat dibukanya sebuah kado besar, berbentuk kotak, berwarna biru muda dengan motif beruang kecil, dari Ayah.
"Ayah menitipkan ini. Maaf katanya, Ayah sibuk tak bisa datang.” Mama mengecup keningnya. Meski sedih, Edhu harus mafhum. Lagipula Ayah memang biasa seperti ini. Tak pernah datang. Sekalipun. Jangankan ultah, saat pentas biola pertamanya, saat lomba berenang, saat ke Taman Safari, atau saat hari pertamanya masuk sekolah, Ayah tak pernah ada. Jadi jika sekarang tak ada, bukankah biasa?
Sebuah mobil remote besar seukuran setengah badannya terkuak saat dus dibuka. Edhu kecil termenung. Apa Ayah lupa? Tahun kemarin Ayah sudah memberikan mobil yang sama? Bukankah ia minta sepaket buku cerita yang iklannya ia lihat di majalah Mama? Ayah berjanji mengabulkannya. Jadi, Ayah lupa. Ayah pasti lupa.
Sampai larut, malam itu Edhu tak bisa terpejam. Menunggu Ayah datang. Ia hanya ingin menayakan soal janji itu. Lupakah Ayah? Jadi saat ia mendengar mobil Ayah datang, sigap ia turun dari tempat tidur, keluar dari kamarnya dan berlari meuruni tangga.
Ayah datang dan melihatnya. "Belum tidur? Sudah larut." Ayah menghampirinya. "Selamat ulang tahun." Edhu kecil melihat Ayahnya tersenyum, sekilas. "Sekarang tidurlah!" Tangan besar ayah Mengacak rambut 'Sinyo Adi'-nya. Lalu beranjak sambil membuka dasinya.
Mama menghampiri. "Tidurlah sayang kau pasti lelah." Satu ciuman mendarat di kening Edhu, lalu Mama beranjak mengikuti Ayah.
Edhu pun melangkah, bukan kekamar, tapi mengikuti langkah Ayah ke Perpustakaan. Pintu sedikit terbuka, dan dari celah itu Edhu melihat Ayah membelakanginya, tengah mencari-cari sebuah buku. 
Edhu ingin bertanya tentang kado dari Ayah. Tapi Edhu hanya melihat punggung Ayahnya dari jauh, melihat dan memperhatikannya. Lama, lama sekali. Sejak itu memperhatikan Ayah dari belakang dengan sembunyi-sembunyi adalah kesenagan yang menarik.
Sekarang Edhu mengulangi kebiasaanya dulu.
Edhu melihat sosok Ayah yang sekarang dari belakang. Rambutnya sedikit beruban, bahunya agak turun, tak setegap dahulu. Langkahnya lambat, tak secepat dan selincah dahulu.
Ketika sampai disisi kebun teh, dibawah pohon rindang, Ayah duduk diatas tanah.
"Jadi... gadis itu yang punya jadwal hari Minggu?" Edhu tersentak. Ayahnya tahu hampir setiap minggu Edhu datang menemui Rei.
“Dulu. Sekarang sudah jarang.”
"Duduklah!" Tangan Ayah menepuk tanah disisi kirinya. Edhu menurut.
"Siapa namanya?"
"Reina."
"Cantik?"
"Kulitnya putih, alisnya hitam, bibir dan pipinya merah, bulu matanya lentik." Ayah tersenyum.
"Typemu ya? Ha...ha..." tawanya keluar. Edhu terpana. Ayah? Tertawa? Ya, Ayah memang sering tertawa bersama teman-teman kantor dan klien-klien bisnisnya. Tapi tertawa untuknya? Hampir tak pernah.
"Dulu... Ayah tertarik pada Mamamu juga karna dia cantik. Sangat cantik. Kau pernah lihat fotonya kan?" Edhu mengangguk. Mama memang cantik. Bahkan sampai usianya 40, garis-garis kecantikannya tetap terlihat.
"Kau sudah bilang padanya? Lalu dia mau?" Edhu terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. Edhu memang belum mengatakan apa-apa.
"Bodoh. Kenapa tidak bilang? Dia bisa kesal lalu menerima orang lain."
"Menurutku... lebih baik mengatakan dulu pada Ayah. Aku minta izin Ayah."
"Memangnya kalau tak Ayah izinkan, kau akan berhenti mengejarnya?"
"Saya mencintainya Ayah, jadi saya akan menikahinya."
"Lalu kenapa menunggu Ayah? Kalau kau mau, lakukan saja." Untuk kesekian kalinya Edhu terpana. Semudah inikah? Bahkan sebelum Ayah melihat Rei?
"Tanyakan padanya kapan kita bisa datang." Ayah mengangkat tubuhnya dan merentangkan tangannya. "Hhh... segar sekali!"
Masih dengan perasaan yang heran, Edhu berdiri dan kembali bicara, "Ayah... dia miskin..."
"Lalu?"
"Dia yatim, tak punya Ayah."
"Kau juga tak punya Ibu kan?" Ayahnya melangkah.
"Ayah belum bertemu dengannya." Edhu mengikuti langkah Ayah.
"Karna itu kalian tentukan waktunya."
"Jadi Ayah izinkan?"
"Ya."
"Semudah itu?" Ayah berhenti berjalan.
"Memangnya kapan Ayah tak mengabulkan permintaanmu?" Ayah lalu berbalik, menatap Edhu.
"Maaf. Terimakasih. Tadinya kupikir... karna dia miskin..." Ayah berbalik kembali dan melanjutkan langkahnya.
"Miskin? Sebelum bertemu Mamamu Ayah juga seorang yang sangat miskin."
Edhu masih mematung. Ia masih belum percaya. Semudah inikah? Rei, Ayahku ingin melihatmu. Bersiaplah! Hatinya berbunga-bunga.

* * *












Sebuah ketukan halus mendarat dipintu rumah Rei. Rei menghentikan tangannya yang tengah menyusun surat lamaran dan bergegas membuka pintu.
"Hai. Assalamu'alaikum." 
Rei sumringah. Edhu berdiri didepannya ketika pintu terbuka.
"Wa'alaikum salam. Masuk, Dhu!" Edhu duduk di kursi yang ditunjuk Rei. Sementara Rei pergi beberapa saat dan kembali dengan secangkir teh manis yang asapnya masih mengepul.
"Tak ada yang istimewa, hanya teh manis . Tak apa kan?" Rei meletakkan cangkir tepat dihadapan Edhu.
"Lebih dari cukup, kuminum ya?" Rei mengangguk.
"Sengaja datang?"
"Ya, rindu kamu."
"Tersanjung banget." Rei mencibir."Eh, aku beli makanan dulu ya?"
"Ah, tak usah! Duduk saja. Ada hal penting yang ingin kubicarakan." Kening Rei berkerut. Tak biasanya Edhu bicara seserius ini.
"Ibumu?"
"Mengajar."
Beberapa saat mereka terdiam. Rei melihat Edhu, mengapa diam saja?
"Ehm... bagaimana Rizman?" 
Rei tersentak. Mengapa tiba-tiba membicarakan Rizman? Rei tak menjawab. 
"Maaf, tapi... aku ingin tahu apa kau masih mencintainya?"
"Saat kak Rizman mengkhianatiku...." Rei menjawab setelah menarik nafas panjang, "... aku sangat sakit. Bahkan beberapa saat aku tak bisa melupakannya, meski dia sudah menyakitiku sedemikian rupa. Tapi syukurlah, waktu mengobati lukaku...." Rei tersenyum, "Juga seseorang telah berhasil menghapus namanya dari ingatanku."
"Kuharap seseorang itu aku." Edhu berkata lirih pada dirinya sendiri. Rei tersenyum. Memang kau, Dhu.
Sejenak mereka terdiam. Sibuk meraba perasaan masing-masing, menafsirkan rasa yang selama ini merajai jiwa mereka. Cintakah itu? 
"Ada apa?"
"Ehm, maksudmu?"
"Kau datang kesini bukan untuk menanyakan perasaanku pada kak Rizman kan?" 
Edhu mengangguk. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya, lalu meletakannnya diatas meja tepat dihadapan Rei.
"Ada dua hal. Pertama, selamat ulang tahun." 
Rei terpana. Ulang tahun? Sekarang? Dia sendiri bahkan lupa. Dari mana Edhu tahu?
"Maaf, aku membuka dompet dan melihat kartu pelajarmu tanpa izin." Edhu bisa membaca keterkejutan Rei.
"Kapan?"
“Saat kau tertidur dimobilku, dulu."
"Makasih. Ini hadiah ulang tahun pertama yang pernah aku terima." Rei terharu dan sangat ingin menangis. Tapi menangis karena dapat hadiah? Rei rasa tidak lucu. Jadi ia menahan air mata itu agar tak keluar sedikitpun.
Edhu terdiam mendengar kata-kata Rei. Hadiah pertama? Padahal hampir tiap tahun Edhu menerima kado ulang tahun, kecuali setelah Mama meninggal, saat usianya menginjak 17 tahun.
"Lalu yang kedua?"
"Oh... itu, ehm... aku minta kesediaanmu untuk... menikah denganku." 
Rei melihat Edhu, dia diam seperti kesetrum. Edhu mengajak menikah?
"Apa tak salah?" Bukan apa-apa, tapi Rei benar-benar merasa sangat aneh. Mungkin Edhu salah bicara, atau mungkin pendengarannya yang salah. Menikah? Umurku baru 18!
"Dalam soal ini tak mungkin main-main kan?" 
Ya, tentu saja. Rei sangat tahu siapa Edhu. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal seseorang lebih dalam. Rei mempertimbangkan berbagai hal.
"Kenapa menikah?" Tanyanya tanpa melihat.
"Maksudmu, seharusnya aku mengajakmu pacaran dulu, begitu?" 
Rei tersenyum malu. 
"Bagiku, pacaran itu artinya belum meyakini bahwa aku bisa mencintaimu selamanya. Masih ragu, dan masih banyak kemungkinan. Putus, nyambung, jadi nggak. Lagipula... aku hanya ingin menjagamu utuh. Itu saja."
"Tapi Dhu, rasanya aku belum dewasa. Aku ragu..."
"Justru kelemahanmu itu yang membuatku merasa kuat untuk menjagamu."
Rei tersenyum. Edhu ini...
"Bisakah kujawab nanti?"
"Kalau sekarang?" Rei tak menjawab. Perlukah dijawab? Ya, atau tidak? 
"Dia belum pernah menyentuhmu? itu berarti dia mencintaimu, dan sungguh-sungguh ingin menjaga." Itu komentar Pipan ketika mereka membicarakan Edhu, dulu.
"Rei?"
"Aku hanya merasa tenang jika berada didekatnya, Riz."
"Kuhitung sampai tiga ya? kalau tak ada jawaban, kuanggap kau mau. Ok!"
Entah sejak kapan, dia jadi seseorang yang sangat penting untukku.
"Satu."
Aku mengerti dia, dan entahlah aku merasa yakin diapun mengerti aku.
"Dua"
Jadi dia ya yang membuatmu tertawa lagi seceria ini? Jadi sudah lupa pernah terluka kan?
"Tiga. Terima kasih. Minggu depan aku dan ayahku akan kembali." 
Rei tersentak. Dilihatnya Edhu yang berdiri dan beranjak menuju pintu.
"Eh Dhu, tunggu! Apa maksudnya kamu dan ayahmu?" Rei menyusul Edhu yang tengah membuka pintu.
"Minggu depan aku akan resmi melamarmu. Inginnya sih besok." Edhu berbalik, menatap Rei dan mata teduhnya kini berbinar riang. "Tapi ayahku pasti sibuk. Kalau hari minggu mungkin ada waktu." Edhu berjongkok, memasang sepatu dan mengikat simpul.
"Tapi kan aku belum memberi jawaban?"
"Diammu itu apa bukan jawaban?"
"Diamku?"
"Seorang perempuan, kalu dilamar dia diam berarti dia mau."
"Sok tahu!"
"Jadi tunggu aku minggu depan ya?" Setelah mengucap salam Edhu pamit.
Rei melihat punggung Edhu yang terus menjauh. Senyumnya mengembang, dadanya berguncang. Jadi lamaran Edhu kuterima? Perlahan ia duduk kembali, mengambil kotak hadiah yang diberikan Edhu untuknya.
Dibukanya kotak itu perlahan. Sebuah bros melati mungil warna perak menyembul disana.
"Bunga ini mirip kamu ya?" 
"Melati?"
"Oh, melati ya? Sederhana tapi cantik."
Rei tersenyum. Edhu akan melamarnya. Aku akan menikah? Oh Allah... mimpikah aku?

* * *

"APA?! MASIH BELUM JUGA?" Suara Ayah. Sepertinya ada masalah. Dulu, Edhu sangat takut kalau Ayah sudah marah seperti itu. Matanya membesar, alisnya terangkat, dan tangannya menunjuk-nunjuk. Sekarang? Ah, Edhu sudah dewasa, rasa takut itu tak ada lagi. Tapi meski begitu, kebimbangan menerpa juga. Bicara dengan Ayah sekarang? Sudah tepatkah?
"Selesaikan secepatnya!!! Proyek ini harus selesai tahun depan! JANGAN MAIN-MAIN!!!!" Gagang telefon dibanting.
Edhu menghela nafas, Ia tak suka kalau ayah sudah marah. Bukan saja karena situasi yang jadi tak enak, tapi jantung ayah yang sudah sering berdebar keras itu, seharusnya tak dikejutkan dengan emosi yang memuncak.
Akhirnya Edhu memutuskan menyurutkan langkahnya. Sekarang belum waktunya, Ayah perlu tenang beberapa jenak. Ditutupnya pintu ruang kerja ayah dengan sangat perlahan.
"Edhu!" 
Gerakan tangan Edhu berhenti. Ayah tahu dia disini.
"Edhu, masuklah!" 
Edhu membuka pintu kembali.
"Nanti saja." Edhu melihat kemarahan itu belum padam, masih ada percikan emosi di sorot matanya.
"Tentang dia kan? Masuklah, mungkin bisa membuat Ayah lebih tenang." Edhu mendekati ayahnya, lalu duduk berhadapan diantara sebuah meja kerja yang besar.
"Jadi?" 
Edhu tak menjawab. Ia hanya melihat Ayahnya mengambil sebuah map dari tumpukan kertas di sebelah kanannya, dan membuka-buka kemudian membacanya.
"Sekarang membangun apa?"
Kepala Ayah tak bergerak, hanya matanya menjurus pada Edhu, menembus kacamata bagian atasnya.
"Kau belum menjawab pertanyaan dan kau kembali bertanya."
Edhu berpaling. Ayahnya yang lama muncul kembali, dan sosok yang bicara dengan Edhu beberapa hari yang lalu dipuncak itu sudah pergi.
"Minggu depan aku akan melamarnya."
"Oh, bagus." Mata itu belum berpaling dari kertas-kertas yang tengah digenggamnya.
"Minggu depan Ayah akan mengecek lokasi ke Cianjur. Jadi kau bisa pergi sendiri."
Edhu termanggu. Dia akan melamar dan harus pergi seorang diri. Apa yang akan dikatakan keluarga Rei nanti?
"Rumah Rei juga di Cianjur. Ehm, daerah Ciranjang. Agak masuk lagi kedalam memang. Jadi..."
"Kau ingin Ayah ikut?"
"Sebentar saja, sekali ini... Ditatapnya mata Ayah yang juga tengah memandangnya. Ditumpahkan saat itu juga harapan yang sangat dinginkannya. Kehadiran Ayah disaat-saat yang penting dalam hidupnya.
"Bukankah ayah juga ingin melihat Rei. Dia sangat cantik. Ayah akan menyesal jika tak datang.” Edhu mengeluarkan tawa yang hambar. Bukan, sebenarnya ia bukan ingin tertawa. Malah sebaliknya, ia ingin menangis, memohon kehadiran Ayahnya sekali ini saja. Apakah keinginannya terlalu mustahil untuk seorang anak kepada ayahnya?
Edhu tertawa sekali lagi. Lucu. Dulu ia tak pernah menangis untuk ketidak hadiran ayah dalam lembaran hidupnya. Tapi sekarang? Kenapa ia ingin berteriak dan meraung sekerasnya, agar Ayah mengerti betapa ia merindukan kedekatan antara mereka. Ia ingin ayah mengerti. Sekali ini, saya ingin Ayah mengerti...
"Baiklah, tapi kita harus datang pagi sekali." Edhu menatap Ayahnya tak percaya. Benarkah?
"Tak masalah." Edhu berdiri dan beranjak, meninggalkan 'Istana' Ayahnya. Didepan pintu Edhu berhenti dan berbalik.
"Ayah, terimakasih..."

* * *

Pintu terbuka ketika Edhu baru saja bermaksud mengetuknya.
"Edhu?"
"Hai, Assalamu'alaikum."
"Wassalamu'alaikum. Dari tadi? Yuk, masuk."
"Baru mau ketuk, kau sudah buka. Oh, mau pergi ya?"
"Nggak apa-apa cuma mau menyusul Ibu."
"Kuantar yuk?" Rei tersenyum dan menggeleng.
"Tak perlu. Hanya sedang berkumpul dibalai Desa, tak jauh kok!"
"Kalau begitu aku bisa menunggu."
"Aku tak pergi juga tak apa-apa."
"Oh."
Mereka terdiam beberapa saat. Edhu memandang Rei tersenyum dan berpaling. Bukan apa-apa, Edhu selalu tahu sesuatu sedang jadi pikirannnya hanya dengan melihat mata Rei. Jadi Rei harus menghindari pandangan Edhu, Rei tak mau Edhu tahu.
"Ada masalah apa?" 
Tepat. Edhu tahu ada sesuatu yang difikirkan Rei.
"Ah, bukan masalah besar." Ya, bukan masalah besar untuk Edhu. Tapi bagi dia dan Ibu, masalah ini cukup besar. Menyangkut kelangsungan hidup mereka.
"Assalamu'alaikum," Ibu membuka pintu dan masuk.
"Wa'alaikum salam. Sudah selesai, Bu? Bagaimana?" Rei berdiri menghampiri Ibunya. Ibu hanya tersenyum. Pandangannya beralih pada Edhu.
"Sudah lama nak Edhu?"
"Baru saja. Bagaimana kabar anda?"
"Alhamdulillah, baik. Rei, kenapa tak siapkan minum?" Rei mengangguk lalu mundur kebelakang.
"Sebenarnya, ada seseorang yang menawari kami untuk pindah dari sini. Dan kami enggan." Ibu duduk dihadapan Edhu.
"Untuk apa?"
"Entahlah. Katanya untuk Rumah Sakit. Tapi ada juga yang bilang untuk mall. Tapi untuk apapun itu, kami tak mau."
"Gantinya tak sepadan?"
"Ya, sangat tak sepadan. Tapi lebih dari itu..." Rei datang membawa tiga cangkir teh manis. "Tempat ini sudah kami diami sejak nenek-nenek kami dilahirkan, bahkan mungkin lebih dari itu..." Desahan nafas berat keluar dari dada wanita itu.
"Ah, Ibu kok jadi bicara seperti ini ya?"
"Tak apa. Andaikan ada yang bisa saya bantu."
"Do'akan saja."
Edhu mengangguk mantap.
"Ada perlu dengan Rei ya?"
"Oh, tidak. Sebenarnya saya ada perlu dengan Ibu. Tapi mungkin... nanti juga bisa."
"Tak apa. Masalah tadi sudah selesai. Mereka tak memaksa lagi. Kalau ada yang ingin diutarakan, katakan saja."
"Sebenarnya... besok saya akan kemari, saya..."
"Ya Ibu tahu tentang itu. Lalu?"
Edhu mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaketnya dan meletakkannya diatas meja. "Tidak besar, hanya untuk..."
"Tidak perlu!" 
Edhu tersentak.
"Simpan saja untuk bekal menikah nanti."
"Maaf, saya tak bermaksud menyinggung perasaan anda."
"Ibu tahu. Nak Edhu bukan orang seperti itu. Kau mau menjaga Rei dengan baik. Ibu sudah sangat bahagia..." Ibu menatap Rei dengan senyuman. "Tapi nak Edhu, sebenarnya...Ibu masih ragu, benarkah maksud nak Edhu baik?"
Edhu dan Rei terkesiap. Ibu, kenapa bicara seperti itu?
"Saya tak mengerti maksud anda."
"Kalau nak Edhu memang sungguh-sungguh, kenapa menunggu nanti?" 
Edhu dan Rei saling menatap tak mengerti.
"Rei sudah dewasa. Kalau pun sekarang dia menikah, pasti sudah siap. Iya kan?" Ibu tertawa.
"Maksud Ibu apa?"
"Kalian menikah sekarang!"
. . . . 

* * *




































"Hebat! Jadi kalian menikah saat itu juga?" Andri menatap Edhu takjub.
Edhu menyeruput air jeruk hangat yang disediakan istri Andri untuk mereka berdua. 
"Malam harinya. Ibu mengumpulkan orang-orang yang baru keluar dari Balai Desa dan bergotong royong menyiapkan segalanya. Aku dan Rei hanya bisa tercengang. Tak percaya, seperti melayang." Mata Edhu menerawang.
"Kalian hebat!" Tangan Andri bersidekap dada, matanya penuh kekaguman. Cerita cinta yang baru kali ini ia dengar. Benar-benar romantis dan mengejutkan.
"Aku pikir juga begitu. Saat itu aku merasa kami benar-benar hebat. Sangat luar biasa. Tapi... sekejap saja. Justru malam itulah terakhir kali aku melihat Rei..." Kerongkongan Edhu tercekat. Matanya memanas.
"Kok bisa?"
"Aku yang salah. Seharusnya aku tak meninggalkannya malam itu. Tapi aku tak tahan untuk memberi tahu ayah, dan menjemputnya segera untuk melihat Rei. Aku ingin segera menjemput Rei dan memboyongnya kerumah, bersama ayah. Aku terlalu bahagia, Dri.... aku benar-benar bodoh, aku bodoh..." Hanya itu? tidak. Aku punya alasan lain. Aku ingin ayah datang dan menghadiri hari pentingku walau hanya sebagian, walau hanya sesaat. Tak apa. Aku hanya ingin ayah menghadiri hari pentingku, untuk yang pertama dan mungkin terakhir. 
"Reina... maafkan aku..." Bahu Edhu berguncang keras, membuat Andri salah tingkah. Kenapa jadi begini...

* * *

Rei menatap langit-langit kamar. Matanya menerawang. Edhu, laki-laki itu sudah menjadi suaminya dan dia sekarang seorang istri. Ah, benarkah? Seperti mimpi, bukan kenyataan. Tentu saja, bagaimana bisa Rei berubah status dengan begitu drastis hanya dalam satu detik? Satu detik, ketika Edhu mengucapkan Ijab Kabul dan saksi mengatakan 'sah', seketika status Rei berubah. Menjadi seorang istri! Ya Allah... tanggung jawab yang begitu besar.
Tapi sampai saat inipun Rei rasanya belum tersadar. Rei masih belum yakin ini terjadi dan nyata. Dan Rei pun yakin, Edhu punya perasaan yang sama. Sampai-sampai Edhu tadi pamitan pergi untuk mengabarkan berita ini pada ayahnya. Rei sih tak melarang. Pergi saja. Toh jika Edhu tak pergi Rei justru merasa aneh. Tidur disamping seorang laki-laki! Benar-benar menakutkan! Jadi meski semua orang melarang dan terheran-heran. Rei malah mendukung. Dan mereka kalah. Sekarang Edhu mungkin sudah sampai kerumahnya.
"Rei? Belum tidur ya?"
"Mh, belum." 
"Besok kau pergi. Kau harus istirahat sekarang. Usahakan tidur Rei." Ibu tersenyum menatap Rei. Rei membalas dengan anggukan. Ya, Rei harus terlihat fresh dihadapan Edhu. Edhu menjemputnya besok!
Sebelum tengah malam Rei sudah terlelap...

* * *

"REI! BANGUN REI! BI SONA! KELUAR, CEPAAAT...!!"
Seseorang menggedor-gedor pintu dengan keras. Mata Rei mengerjap-ngerjap. Diluar seperti ramai suara orang-orang bersorak-sorai. Apa ini? Apa Rei mimpi? Lagipula apa ini? Asap memenuhi ruangan, membuat nafas sesak. Dan juga udara sangat panas. Apa ini? Apa Rei mimpi?
"REI!! BU SONA!! API!! CEPAT KELUAR..!!!!!!" 
Api? Api!!! Astaghfirullah, API!! Rei melonjak. MasyaAllah, kebakaran!!
"Ibu! Ibu!" Rei mengguncang-guncang tubuh Ibunya. "Api Bu! Cepat!!"
"Apa? Api?"
Seketika mereka bergandengan, berusaha keluar dari rumah yang sudah penuh terbakar api. Tak mungkin mencapai pintu. Tak mungkin lagi! Rei berpaling kearah jendela disampingnya.
"Bantu Rei, Bu!" Didobraknya daun jendela berapi itu dengan kursi sekuat tenaga. Tak mudah untuk tenaga wanita. Tapi Rei berusaha sampai berhasil.
Seketika tangan para tetangga membantu mereka. Rei mendorong Ibu terlebih dahulu. Asap pengap sudah membuat O2 habis terhisap. Ibu sudah lemas. Rei harus mendorong Ibu kuat-kuat.
"Tarik yang kuat, Pak! Ibu hampir pingsan!" 
Ibu berhasil keluar beberapa detik sebelum api melahap habis semuanya, tak tersisa. Panasnya api membuat kayu-kayu yang menyangga rumah Rei menjadi begitu rapur. Dan tak perlu menunggu waktu lama untuk kemudian roboh seketika. Ya, rumah roboh dan Rei belum sempat keluar! 
"Ya Allah..." Rei terkesiap. Sebuah balok kayu menimpa tubuhnya. Rei tertindih dan Rei merasa tak mampu mengangkatnya, terlalu berat dan Rei sudah lemas. 
"REI !! REI....!!!!" Semua berteriak memanggil Rei. Tangan Ibu menggapai-gapai. "Rei...."
Bayangan Ibu dan Edhu berkelebat dalam benaknya. Aku harus selamat! Rei berusaha keluar dari himpitan itu. Do'a dan dzikir yang ia lantunkan lirih seolah memberinya kekuatan. Setelah berhasil Rei menyambar selimut tebal, dan menutupkan pada seluruh tubuhnya. Diterobosnya dinding rapuh berapi dengan tenaga yang mungkin tersisa. 
 Semua menyambut Rei. Rei tak apa-apa, Rei baik-baik saja. Hanya Ibu yang tiba-tiba lunglai dan terkulai lemas.
"Ibu...!"

* * *

Asap masih mengepul. Bau hangus menusuk hidung. Api baru padam ketika tiga unit mobil pemadam kebakaran menyemburkan air dengan tekanan kuat selama dua jam. Semua bekerja keras dan sekarang semua lelah. Meski tak ada korban jiwa, tetap saja tangisan terdengar menguasai malam. Sesekali terdengar suara patahan kayu terinjak kaki orang-orang yang mencari sisa-sisa harapan ditengah-tengah puing yang hitam terbakar.
Rei menatap nanar. Semuanya terbakar tak tersisa. Edhu... bagaimana aku mengabarkan padamu? Bahkan nomor telefon yang Edhu berikan tadi siang terbakar disana. Rei ingin menangis seperti yang lain, lalu berteriak memanggil Edhu. Tapi ia sudah lemas. Kalaupun tenaga itu masih ada, hanya cukup untuk mengeratkan dekapannya pada Ibu yang sudah kering air mata. 
Edhu pasti datang....

* * *

Udara masih berkabut. Udara masih berbentuk. Namun keramaian orang sama sekali tak perduli dengan dinginnya cuaca. 6.30 pagi. Lokasi kebakaran sudah di garis polisi. Semua berkerumun.
Korban kebakaran yang masih punya tenaga untuk sekedar melihat dan mengais sisa. Orang yang sekedar melihat puing-puing berjatuhan, dan paling ribut wartawan-wartawati harian surat kabar atau stasiun televisi yang berlomba menyiarkan berita tercepat dan Up to date. Tentu diselingi wawancara sana-sini, menampilkan wajah-wajah nelangsa dan lelah.
"Kapan kejadiannya Pak?" Seorang wartawati bermake-up tebal mewawancarai dengan suara khas.
"Tadi malam." Seorang Bapak semrawut dengan mata dan nafas lemah menjawab lelah. Sangat kontras.
"Tepatnya?"
"Tak tahu. Habis semua..." Matanya menerawang dan hampir berlinang.
"Sudah diketahui penyebabnya Pak?" Kali ini mike beralih pada seorang polisi berbadan tegap, berkumis tebal dan sedikit beruban.
"Masih dalam tahap penyelidikan." Jawabnya berwibawa.
"Kabarnya ada unsur kesengajaan, untuk mengusir mereka karena enggan pindah?"
"Kami belum menyimpulkan apa-apa."
"Hasil penyelidikan sementara?" Pertanyaan mendesak. Entah berburu kebenaran atau berburu rating.
"Belum mengarah ke kesimpulan. Kita lihat saja nanti." Jawaban berkelit yang pintar. 
Dan sekarang, bukan sekelumit penduduk yang tahu, tapi semua mata dipenjuru negeri tertuju pada musibah itu.
“Kebakaran satu kampung...”
“Kasihan...tak ada yang tersisa...”
“Kalau iya diusir untuk buat mall, keterlaluan!!!”
“Apalagi kalau bukan? Pasti! Yang punya duit yang punya kuasa. Begitu kan hukum negara kita?”
Semua berkomentar, semua berkesimpulan, segelintir yang menyumbang, sedikit sekali yang sampai.
Pagi yang benar-benar sibuk...
Sebuah mobil mercedes hitam mengkilat menurunkan kecepatan, lalu parkir tepat dibelakang sebuah mobil stasiun televisi swasta nasional.
“Benar yang ini, Dhu?”
“Iya. Kok ramai sekali...” Edhu membuka pintu dan melangkah gamang.
“Demikian pemirsa, laporan langsung dari lokasi kebakaran...” Edhu terkesiap. Kebakaran? Langkah gamangnya berubah cepat menembus keramaian.
Jantung Edhu berhenti berdetak. Rei? Dimana rumah Rei? Dimana Rei? Edhu melewati Police line, menerobos dan berlari.
“REI! REEEI...!!!!” Mimpikah ini? Nafas Edhu memburu. Asap pekat keluar bersama desahan nafasnya.
“Nak Edhu.” Secepat kilat Edhu berbalik. Bapak yang tadi malam menjadi saksi pernikahannya.
“Bapak! Rei?” Edhu menggenggam kedua lengan lelaki tua dihadapannya.
“Di Rumah Sakit.”
“Rei? Kenapa?” Edhu mengguncang tubuh lelaki itu.
“Rei baik-baik saja. Bu Sona... beliau pingsan dan belum tersadar dari malam. Kami khawatir dan membawanya ke Rumah Sakit. Pergilah... Rei pasti sedang menunggumu. Dia...membutuhkanmu...” Mata lelaki itu memanas dan kembali berlinang. Untuk kesekian kali. Edhu bergegas berlari dan pergi, setelah sebelumnya menggenggamkan gulungan uang di kepalan tangan Bapak tua itu.
“Seharusnya tadi malam kau tak pergi...” Bisiknya parau.
“Edhu? Istrimu?” Ayah menyambut Edhu yang berlari kearahnya dengan pertanyaan penuh khawatir.
“Dia baik-baik saja, semoga.” Edhu membuka pintu mobil dan melarikannya dengan cepat. 
Ayah berbalik kearah pemukiman dengan mata memanas. “Reina...” Bisiknya pelan.

* * *








































Rei menggenggam tangan Ibu erat. Mulutnya tak henti menggumamkan do’a. Rei ingin Ibu selamat. Rei tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Rei sangat ingin Ibu tersadar, membuka kelopak matanya dan tersenyum pada Rei. Tapi mengpa sejak masuk UGD dan sekarang berpindah ke ICU Ibu tak pernah tersadar? Rei tak mengerti.
Sepasang mata memperhatikan Rei dari jauh. Mata dengan sorot sendu milik Rizman. Rizman bekerja di RSU ini, diruangan ini. Ruangan tempat Ibu Rei terbaring lunglai dengan beberapa selang melilit tubuhnya. Mata yang sepi itu tak sedikitpun berpaling. Andai ia bisa meraih Rei dan menenggelamkan kesedihannya dalam dekapnya. Andaikan bisa memalingkan wajahnya dari Rei, ia pasti sudah melakukannya sedari tadi.
“Kita belum menemukan apa penyebabnya.” Seorang Dokter masuk keruang Perawatan. Ruangan tempat Rizman tengah mematung. Ditangannya status pasien NY.Sona tengah terbuka. “Kemungkinan besar memang diotaknya.” Lanjutnya.
“Pecah pembuluh darah?” Rizman mendekat.
“Mungkin. Tapi sampai sejauh mana, ... “ kedua bahu Dokter itu terangkat. Rizman mengerti. Itu artinya semua sudah menyerah. Apa boleh buat, RSU ini hanya type C. Tak punya peralatan lengkap, apalagi untuk alat besar dan mahal seperti CT Scan.
“Ke Hasan Sadikin?”
“Ya, tolong siapkan. Harus secepatnya!” Rizman mengangguk. Sigap tangannya menyiapkan surat-surat dan menelepon ambulan. Tapi setelah semua siap, Rizman termenung sejenak. Bagaimana mengatakannya pada Rei?
“Jadi... Ibu harus dirujuk?” 
Rizman berpaling ke arah suara. Rei sudah ada dibelakangnya.
“Ibumu perlu CT Scan.” Rizman menarik kursi dan mempersilakan Rei duduk.
“CT Scan?” Entahlah Rei marasakan kecemasan tiba-tiba menjalar keseluruh pembuluh darahnya.
“Ya.”
“Kerusakan otak? Pecah pembuluh darah?” Rei bertanya gamang, dalam hati ia berharap dugaannya salah.
Rizman melangkah mendekati Rei.
“Ibu… adakah harapan?” bahu Rei terguncang. Edhu… Ibu mungkin…, Rei mengusap air mata. Rizman menjulurkan tangan hendak merengkuh jiwa yang butuh sandaran itu. Tapi sekali lagi tangan itu terhenti dan mengambang diudara, dan perlahan tangan itu mundur kembali.
“Harapan itu masih ada, Rei. Selalu. Karena itu kau harus berjuang. Lagipula Ibumu belum divonis apapun. Hanya dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Rizman tahu penjelasannya takkan membuat kecemasan Rei hilang. Rei bukan orang awam seperti keluarga pasien lainnya. Rei seorang perawat seperti dirinya. Dan jika Rei merasa cemas, kecemasannya beralasan. Tapi meski begitu, Rizman melihat Rei tersenyum juga. Meski samar.
“Ya, aku harus berjuang…untuk Ibu. Terima kasih kak Riz.” Rei beranjak dari hadapan Rizman. Dan, Rizman kembali mematung dalam kebiauan yang bertambah-tambah. Rei memanggilnya seperti dulu. Kak Riz. Hanya Rei yang memanggilnya begitu. Rindu mencuat tiba-tiba, seketika terkuak dan seolah ingin melesat, memburu Rei yang sekarang demikian dekat. Mungkinkah? Ditariknya nafas dalam-dalam.
Melihat Rei, ada sesuatu yang berubah...

* * *

Semuanya sudah siap. Ibu sudah berada dalam ambulan. Rei duduk disamping Ibu ditemani seorang perawat Rumah Sakit.
“Uwak disini saja. Biar saya saja yang pergi. Tak apa-apa kok.” Rei menahan langkah seorang perempuan yang hendak menaiki tangga mobil. Perempuan itu tetangga Rei, mereka sangat dekat, hingga Rei menganggapnya sebagai uwak-nya. Dia baik sekali, menemani Rei sampai saat ini. Padahal dirinya sendiri tak luput dari musibah, tapi masih bisa menegarkan, menemani dan menguatkan Rei.
“Tapi Rei…”
“Tak apa-apa Wak, lagipula anak-anak membutuhkan Uwak sekarang. Uwak seharusnya ada bersama mereka.” 
Perempuan yang dipanggil Uwak itu menatap Rei gamang. Dia memang ingin bersama keluarganya. Tapi Rei… dia butuh teman. Suaminya juga mengatakan begitu. Paling tidak sampai Edhu datang.
“Aku tak bisa menemanimu Rei, tapi Nara ada disana, di Emergency. Dia bisa menemanimu.” Rizman menatap Rei kalut.
“Ya, terimakasih, Kak. Saya pergi dulu Bu, doakan ya! Terimakasih banyak dan salam untuk semua.” Rei menggenggam jemari perempuan itu kuat-kuat. Mereka saling mengalirkan kekuatan. 
Sesuatu di jemari Rei berkilau lagi, membuat Rizman kembali mengurungkan niat untuk sekedar mengusap kepala Rei yang berbalut kerudung. Hati Rizman kembali berdesir.
Pintu ambulance tertutup, dan suara sirine mulai nyaring terdengar. Mereka melepas Rei dengan do’a penuh harap. Ya, hanya tinggal do’a untuk membuat Ibu Rei tetap bertahan. Tinggal do’a…

* * *

Edhu menjalankan mobil dengan membabi buta. Seperti seorang pembalap Formula 1 yang tiba-tiba nyasar. Beberapa kali Edhu hampir ditabrak atau menabrak. Edhu seperti tak peduli. Edhu hanya tahu bahwa ia harus sampai di tempat Rei berada secepatnya, sebelum terlambat.
Setelah memarkir mobilnya didepan Unit Gawat Darurat RSU Cianjur, Edhu segera keluar dari mobil dan berlari menyusuri lorong-lorong RS.
Mata Edhu mencari ruangan bertuliskan ICU, karena Ibu Rei dirawat disana. Itu informasi yang ia terima dari perawat UGD tadi. Tapi dimana?
Edu mencegat seseorang dan bertanya. Kemudian melesat berlari kearah tempat yang ditunjuk orang itu.
ICU. Ya, tepat disini. Edhu membuka pintu dan memohon masuk.
“Rizman!” 
Rizman terlonjak, dilihatnya Edhu berdiri tegang beberapa langkah darinya.“Edhu?”
“Rei? Dimana?” 
Rizman terkesiap. Tentu saja, Edhu mencari Rei. 
“Bagaimana keadaannya?”
“Rei baik-baik saja. Tapi Bu Sona perlu perawatan lebih lanjut.” Rizman menarik kursi, dia mempersilahkan Edhu duduk. “Kemungkinan besar pecah pembuluh darah. Sejak datang kesini beliau tak pernah sadar.” Rizman mengambil gelas dan memenuhinya dengan air galon yang teletak diujung ruang perawatan. Bunyi air memasuki gelas terdengar dengan jelas.
“Dimana?” Edhu tak kunjung duduk, Rizman terlalu tenang dan dirinya terlalu panik. Ibu Rei dalam bahaya dan Rei membutuhkannya. Dia tak punya waktu banyak, bahkan untuk sekedar duduk sekalipun. Sementara Rizman tak menjawab pertanyaan Edhu, dia malah menghampiri Edhu dan menyodorkan gelas yang telah berisi air bening. 
“Minum dulu.” Edhu hanya menatap Rizman. Dan Rizman menyodorkan kembali gelas digenggamannya, minta Edhu untuk meminum air itu. Edhu mengambilnya dan melangkah duduk. Lalu diminumnya air beberapa teguk.
“Dimana?” Edhu mengulang pertanyaannya.
“Dirujuk ke Hsan Sadikin.” 
Mata Edhu terbeliak, hampir-hampir saja gelas ditangannya pecah jika Edhu tak segera menyimpannya.
Tanpa menunggu, Edhu segera beranjak dan berlari pergi.
“Edhu!” Rizman memanggil Edhu, dia teringat sesuatu.
“Ya?” Edhu berbalik lagi.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentang?”
Sesuatu yang berkilau dijemari Rei terlintas lagi dalam benak Rizman. “Kalian… sudah menikah?”
Beberaoa saat mereka saling menatap.
“Ya.”
”Selamat. Cepatlah susul dan jaga dia…”
“Terima kasih.” 
Edhu lalu berlari tak terkendali.
Rizman mematung kembali. Sebuah senyuman pahit tersungging diujung bibirnya. Bahunya terguncang. Cintanya sudah pergi, mungkin untuk selamanya. Haruskah ia menyesal? Dan Edhu… laki-laki itu memang lebih baik darinya, dilihat dari segi apapun. Mengapa ia biarkan Rei lepas dan tak menyadari kehadiran ancaman itu didekatnya? Mengapa ia sangat menyesal sekarang?
Rei… mengapa? Mungkinkah melupakanmu sementara namamu sudah terpahat kuat disini…
Rizman memegang daddanya kuat-kuat.

* * *

Edhu kembali berlari menyusuri koridor-koridor RS yang berbelok-belok. Kali ini di RSUP Hasan Sadikin. Dicarinya lagi tulisan ICU. Menurut peta didepan tadi, ICU ada disekitar sini. Matanya mencari-cari. Jantungnya tiba-tiba berdebar ketika menyadari bahwa tulisan ICU itu tepat berada diatas kepalanya, dan tanda panah menunjuk ke ruangan disebelah kanannya.
Edhu lagi-lagi berlari dan menerobos masuk.
“Mencari siapa?”
“Rei. Eh, maksud saya Bu Sona. Dirawat disini? dirujuk dari Cianjur.” Edhu berkata disela-sela nafasnya yang tersengal-sengal. Si perawat berjilbab yang ditanya Edhu itu tercenung sejenak.
“Kapan datangnya?”
“Mungkin satu jam yang lalu.”
“Sudah ke Emergency?”
“Kenapa?”
“Tak ada pasien bernama Ny. Sona. Mungkin masih di Emergency.”
Emergency? Tulisan itu ia lihat ketika memarkir mobilnya tadi! Tanpa basa-basi, bahkan ucapan terimakasih Edhu berbalik dan kembali melesat pergi. Ya, dia berlari lagi, seolah mempunyai simpanan tenaga yang sangat banyak.
Sebuah ruangan besar dan sedikit tak menentu menyambut kedatangan Edhu yang kusut. Langkah kakinya telihat bergetar. Edhu mengamati satu-persatu sosok yang ada diruang itu, ia berharap salah satu dari mereka adalah Rei. 
“Bu Sona disebelah mana?” Edhu mencegat seorang laki-laki bercelana hitam dan berjas putih, rambutnya agak kusut dan matanya lelah, sebuah stetoskop tergantung dilehernya.
“Siapa?” Tanyanya kembali dengan ramah.
“Ibu Sona. Dari Cianjur.”
“Ny Sona? Coba tanya kesana.” Edhu mengikuti arah telunjuk itu. Sebuah meja administrasi.
“Ya. Terimakasih.” Edhu berlalu dan berjalan perlahan. Mungkinkah kali ini Rei ia temukan?
“Nyonya Sona? Dari Cianjur ya?”
“Ya!”
“Satu jam lalu sampai.”
“Dimana?” 
Perawat yang ditanya itu diam sejenak, lalu menarik nafas dalam. “Maaf, sepertinya beliau meninggal dalam perjalanan. Kami tak sempat melakukan perawatan apapun.” 
Seketika, kekuatan yang tak habis-habis itu kini hilang tak berjejak. Jiwa yang goncang membuat sisa energinya terkuras, hingga untuk berdiripun ia merasa lemas. Meninggal? Ibu Rei?
“Sekarang dimana?”
“Putrinya membawa beliau pergi.”
“Kemana?”
“Maaf, kami tak tahu.” 
Edhu terduduk lemas. Tidak tahu, berarti pencariannya buntu. Kemana? Rei kemana? Kedua tangan Edhu meremas kepalanya. Malam itu… andai aku menuruti semua orang untuk tak meninggalkan Rei sedetikpun. Andai aku bersabar barang semalam dan pergi bersama Rei keesokan harinya. Kenapa?!
Ibu Rei meninggal dan Edhu tak ada disisinya. Padahal saat-saat seperti ini seharusnya Edhu ada disamping Rei. Merengkuh dan membenamkan luka hatinya dalam dekapanku, merangkulnya dan membiarkannya menangis sambil aku mengelus kepalanya. Gara-gara aku, Rei melalui semua sedirian. Menantang api, mengawal dan menjaga Ibunya hingga akhir. Rei, istrinya sendirian. Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku pergi? Suami macam apa aku ini?
Seorang perawat menepuk bahunya dan mengajaknya menepi. Tapi Edhu tak peduli. Penyesalan itu begitu menguras hati dan jiwanya. 
Rei… dimana aku bisa menemukanmu….

* * *

















































Rei duduk termanggu, disamping gundukan tanah yang masih basah. Matanya menatap nanar pada pusara.
“Ya Allah, lapangkanlah kuburnya. Terangilah sekelilingnya, dan damaikanlah tidurnya. Ampuni kesalahannya, maafkan kekhilafannya dan terimalah amalnya. Engkau Yang Penuh Kasih dan Ampunan. Engkau Yang Mendengarkan dan Mengabulkan. Allahumma…” Berulang-ulang bibir Rei melantunkan do’a. Cintanya, damainya, akan Rei kenang sepanjang masa.
Berkelebat kenangan-kenangan Rei bersama Ibunya sejak lalu. Sejak Rei kecil dulu. Semuanya seperi terjadi kemarin. Peluk dan ciumnya masih hangat dipipi dan kening Rei. Genggam tangannya yang hangat seolah masih menemani Rei.
Untuk kesekian kali, airmata menganak sungai dipipi Rei.
“Kita pulang.” Sebuah tangan menyentuh pundak Rei. Sudah dua jam ia berdiri menunggu Rei selesai. Tapi kapan akan selesai jika Rei terus mengenang? Bagi siapapun, kenangan manis bersama Ibu takkan pernah rampung terangkum.
Rei mendongak, menatap matahari senja. Didalam rangkulan Nara Rei berdiri dan beranjak.
“Ibu selamat tinggal. Selamat beristirahat…”

* * *

“Habiskan Rei! Dari pagi buta sampai malam seperti ini, dua sendok tak cukup untuk memenuhi energi tubuhmu. Kau tahu itu.” Nara menyodorkan lagi piring yang sudah dijauhkan Rei.
“Aku tak bisa, Ra.” Rei tersenyum.
“Habiskan! Kalau nggak, awas!” Nara berkacak pinggang pura-pura galak. Rei tersenyum. Disuapkannya nasi sesendok demi sesendok, meski terpaksa. Nara senang melihatnya.
Rei sudah terlihat lebih fresh dibanding tadi. Rei sudah mandi, berganti pakaian dan sekarang sedang berusaha mengisi perutnya. Mata Nara tiba-tiba menangkap sesuatu yang berkilau. Di jari manis tangan kiri Rei. Nara terpana.
“Nara, terimakasih.” Nara mengangguk. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi sudah tepatkah? Rei selesai menghabiskan semuanya.
Nara sangat baik, sejak dari RS tadi keluarga Nara yang mengurus segalanya. Bahkan mentransfer sejumlah uang kerekening Rizman untuk biaya perawatan selama di Cianjur tadi. Rei merasa berhutang, padahal dulu Rei sangat benci Nara. Tapi sekarang justru Nara yang menolongnya. Tiba-tiba Rei merasa bersalah.
“Dulu itu… maafkan aku…”
“Jangan minta maaf. Aku yang salah. Lagipula jangan diungkit lagi, aku ingin melupakan, aku sangat menyesal. Kumohon jangan diungkit lagi ya?” Ya, Nara benar-benar ingin mengubur kesalahannya dimasa lalu. Dia sudah merusak hati Rizman. Tapi, yang berkilau dijemari Rei itu… apakah luka itu sudah berlalu? Rei dan Rizman, mungkinkah?
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya.”
“Kau sudah bertunangan?” hati-hati dan pelan-pelan. Nara takut ia menyentuh sisi-sisi sensitif Rei.
“Menikah, Ra. Kemarin.” Meski tak berlinang, mata itu terlihat begitu sendu. “Edhu tak ada, sekarang dia pasti mencariku…” Dada Rei sesak lagi. Edhu, Rei benar-benar menginginkan kehadiran Edhu…
“Tunggu. Edhu?”
“Ya.”
“Bukan Rizman?”
“Bukan Nara, bukan Rizman.”
“Edhu yang bermata teduh itu?”
“Ya, Edhu yang sangat tampan dan baik. Aku merasa sangat beruntung, Ra.”
“Lalu sekarang dia mencarimu? Aku tak mengerti.”
“Sebenarnya…”

* * *

Menyusuri jalanan Bandung sejak siang tadi, membawanya pada sebuah pemberhentian terakhir. Masjid Raya Bandung.
Edhu baru saja selesai berdzikir ba’da shalat Isya. Dadanya yang remuk dan gelisah seolah tertata rapi kembali. Tak perlu seandainya-seandainya lagi, semua sudah terjadi. Mungkinkah mencarinya lagi malam ini? Atau lebih baik istirahat dan menyiapkan tenaga untuk esok?
Tiba-tiba Edu merasa sangat lelah dan pegal. Seluruh tubuhnya kaku dan perutnya keroncongan.
Ah, Ya Allah… aku lupa makan sejak pagi! Rei… segeralah kesisiku, aku benar-benar kacau!
Edhu keluar Masjid dan mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Banyak sekali orang berjualan dipelataran Masjid, tapi tak satupun yang mampu menggugah selera Edhu. Ah bodoh! Saat seperti ini makanan seperti apapun takkan menggugah selera. Apa saja! Asalkan ada energi untuk mencari Rei esok pagi.

* * *

“Edhu mencarimu ya, kalau begitu dia pasti datang dan bertemu dengan Rizman.” Nara menatap Rei dalam.
“Mungkin.”
“Kalau begitu…” Nara beranjak keluar kamar dan menghampiri telefon. Rei mengikuti Nara dari belakang.
“Jika dugaanku benar, maka…” Nara memijit nomor.
“RSU Cianjur? … Bisa dihubungkan ke ruang ICU? Bruther Rizman. … ya, baik.”
Rei menatap Nara penuh harap.
“Dinas pagi? Ada nomor telefon rumahnya?” Nara mengambil bulpoint yang tersedia disamping telefon dan menuliskannya beberapa angka dalam notesnya. Lalu tanpa menunggu lama Nara menutup telefon dan menghubungi nomor yang baru saja ia dapat.
Nara memandang Rei, lelu menyerahkan gagang telefon pada Rei. “Rizman” katanya tanpa bersuara. Rei menerimanya dengan hati yang bergetar. Mungkinkah ini peluang untuk bertemu Edhu?
“Assalamu’alaikum. Kak Riz?”
“Wa’alaikum salam. Rei? Bagaimana Ibu?”
“Sudah meninggal kak Riz, sekarang aku ditempat Nara.”
“Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un… kau baik-baik saja?”
“Ya. Kak Riz, apakah tadi kakak bertemu Edhu?”
“Edhu? Kau belum bertemu dengannya?”
“Maksudnya…”
“Edhu tadi datang, lalu dia menyusulmu ke Bandung. Apa kalian belum bertemu?” 
Rei tak bisa menjawab, ia hanya terisak.
“Dia mengkhawatirkanmu. Sangat.” 
Rei kembali terisak. 
“Dimana kau sekarang? Bisa kucatat alamatnya? Aku harap Edhu menghubungiku lagi.”
“Oh, iya. Alamat rumahmu Ra?” Rei berpaling pada Nara. Diserahkannya gagang telefon pada Nara. Tapi Nara menggeleng, dia hanya menuliskan di notes dan minta Rei membacakannya untuk Rizman.
“Aku akan berusaha Rei.”
“Tolong ya, Kak!”
“Sabar ya, Rei!”
“Terimakasih. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Klik.
“Bagaimana Rei? Apa katanya?”
“Edhu memang datang Ra, langsung menyusul ke Bandung.”
“Ke Bandung… berarti ke RS!” Nara kemudian mengambil lagi gagang telefon dan memijit nomor yang sudah ia hafal dengan cepat.
“RSHS? Emergency, ya terimakasih.” Beberapa saat, mereka menunggu dalam diam.
“Hei Assalamu’alaikum! Put DM ya? Yanti, dinas sore masih ada? … Oh, gak apa. Makasih. Biar kutelefon ke kosnya. Makasih ya Put! Assalamu’alaikum!” Nara menutup telefon dan langsung mengangkatnya kembali. Dibukanya buku telefon mungil di meja. Dan setelah membuka beberapa lembar, Nara menghubungi seseorang kembali.
“Assalamu’alaikum! Bisa ke Yanti? Dari Nara … Yan? Kamu dinas sore tadi ya? Ada seseorang mencari Rei? … Oh, keluarga Ny Sona yang tadi siang meninggal. Siapa? Apa? … “ Nara menatap Rei bimbang. Rei menatap Nara was-was.
“Kenapa tak bilang ada bersamaku? … Oh, ya. Maaf. Lalu?” Nara menghela nafas panjang.
“Ok, Yan. Thank’s ya! Sorry udah ganggu istirahat kamu. Assalamu’alaikum.” Nara menyimpan telefon dengan lemas. Rei pesimis. Kalau jalannya terang Nara takkan bereaksi seperti itu.
“Rei, sabar ya…” Rei hanya menatap Nara penuh tanya, menunggu kata-kata selanjutnya.
“Yanti bilang tadi memang ada seseorang mencarimu. Laki-laki, memakai celana hitam dan sweater putih. Dia terlihat sangat kusut dan panik. Dia…” 
Rei pasrah.
“Dia menangis dan berkali-kali menyebut ‘Rei’.” 
Air mata Rei berlinang kembali.
“Yanti bahkan sempat menawarinya minum dan perawat lain memapahnya duduk dikursi. Sayang, Yanti tak tahu kau pergi bersamaku. Kalau saja dia tahu…”
“Sekarang dia dimana?”
“Yanti tak tahu. Setelah menangis agak lama, dia pergi…”
Rei menutup wajah dengan kedua tangannya. Lalu bahunya terguncang, dia terisak lagi. Nara merangkul dan memeluknya.
“Pasti bertemu Rei, pasti.”

* * *

Rizman memandang telefon untuk kesekian kalinya. Ini hari keempat setelah malam itu Rei menelefon. Edhu tak menghubunginya. Apa ia sudah menemukan Rei? Tidak, kalau sudah bertemu, Rei pasti memberitahunya. Lalu mengapa Edhu tak jua menghubunginya? Rizman resah…
Tuuuuut…. Tuuuuut….
Rizman mengangkat gagang telefon ragu. Edhu kah? Ah, sejak beberapa hari yang lalu ia harus kecewa. Sekarang harapan itu tak perlu terlalu besar.
“Assalamu’alaikum.” Rizman menyapa seseorang di sebrang telepon.
“Wa’alaikum salam. Rizman ya?” suara Andi, ruang Emergency. Pasien baru. Nggak ada santai-santainya. Baru keluar dua orang, datang lagi pasien baru…
“Pasien baru, Ndi?”
“Bukan, ada telefon dari luar.” Rizman terlonjak. Mungkinkah?
“Hallo, assalamu’alaikum…”

* * *

Kakinya melangkah ragu. Jl. Sumatra No. 21. Ia melihat kertas digenggamannya. Alamatnya cocok.
Diketuknya pintu agak keras. Rumahnya besar, ia khawatir suara ketukannya tak terdengar sampai ke dalam jika terlalu pelan.
“Ya?” Pintu terbuka, dan dilihatnya Nara terbeliak. “Edhu?”
“Assalamu’alaikum. Nara ya?”
“Wa’alaikum salam. Cari Rei?” 
Edhu mengangguk mantap. Pencariannya telah menemui titik akhir setelah beberapa hari kemarin ia berkeliilng tak menentu. Lelah rasanya, tapi semuanya berakhir sekarang. Rizman bilang Rei disini, dirumah Nara. Dan ia menunggunya. Memang, Rizman pernah menyukai Rei, tidak, bukan pernah tapi masih, namun Rizman bukan type orang jahat seperti di sinetron yang mencoba memisahkan orang yang dicintainya dengan pilihannya. Ya, Rizman tak mungkin berbohong. Ia yakin itu.
“Masuk dan duduk dulu?”
“Makasih, tapi Rei?”
“Rei? Sebenarnya…” 
Edhu mulai curiga, kenapa reaksinya bimbang begitu? Apa dugaannya tentang Rizman salah?
“Rizman bilang Rei menunggu disini.”
“Ya, kemarin dia masih disini…”
“Apa maksudmu?”
“Dia memaksa pergi, mencarimu. Takkan bisa bertemu kalau hanya menunggu. Begitu katanya.”
“Pergi mencariku? Kemana?”
“Kerumahmu.”
“Jakarta? Dia tak tahu rumahku!” Tak menunggu lama, Edhu berbalik dan berlari menuju mobilnya.
“Edhu! Edhu! Rei…” Nara berlari menyusul Edhu. “Edhu! Edhu!!!” Nara terlambat, mobil Edhu sudah berlari dengan cepat.
“Edhu… kamu nggak tahu Rei kemana…” Nara menghela nafas kesal.

* * *

“Ya ampun, Rei! Pangling banget!” Pipan memeluk Rei erat. “Aku kaget waktu Nara bilang kamu mau kesini. Eh, katanya kamu udah kawin ya? Sama Edhu? Aduh, aku ikut senang lho! Kasihan juga Rizman ya? Ah, tapi itu salah dia sendiri sih!” 
Rei nyengir. Pipan tak berubah, tetap nyerocos seperti dulu.
“Eh, kamu istirahat dulu deh, perjalanan Bandung Jakarta pasti bikin capek! Sok, sini dulu. Ini kamar aku. Kamu istirahat aja, ngobrolnya nanti ya? Aku mau dinas dulu. Kesiangan mampus deh!” Pipan pergi, dan Rei sendiri. Perasaan sejak tadi Rei belum sempat ngomong apa-apa. Rei tersenyum dan angkat bahu.
Ah, Edhu… aku ada dikotamu sekarang…
Mata Rei mengelilingi kamar. Tampat tidur mungil, lemari Olimpyc kecil, dengan pernak-pernik lucu memenuhi bagian atasnya, meja dan kursi. Dindingnya penuh dengan gambar Winnie The Pooh. Sprei, jam dinding, karpet, dan lima boneka di tempat tidurnya, semua bertema Winnie The Pooh. Dindingnya juga bercat kulit si Winnie. Rei geleng-geleng kepala lagi. 
Kalau Winnie itu manusia, pasti akan senang diidolakan sejauh ini. Kalaupun ada yang tak berhubungan dengan Winnie cuma foto seseorang diujung sana. 
Rei terkesima. Foto itu…

* * *

“Wah, sulit juga ya, Jakarta kan luas, Rei.” 
“Aku tahu.” Rei melempar pandangan ke atas meja, foto itu sudah tak ada.
“Terus rencanamu?”
“Mungkin aku bakal kerja, sambil terus nyari.”
“Kerja? Wah, kebetulan ditempat kerjaku lagi butuh beberapa orang Rei.”
“Benar?”
“Yup. Bukan Rumah Sakit besar sih, cuma Rumah bersalin biasa. Ada perluasan beberapa kamar, jadi butuh penambahan tenaga paramedis. Saranku coba saja, soalnya nyari kerja disini susah! Aku masuk juga karena Bu Wida, Bidan yang punya tempat ini teman baik Mama. Jadi… Kolusi…” Mata Pipan menyipit, tertawa.
“Sudah kenalan kan sama penghuni disini?” Rei mengangguk. Semuanya ada 6 orang. Masing-masing kamar satu orang, kecuali kamar ujung yang diisi dua orang. Kalau tak salah merka Anya dan Wina. Yang empat lagi Rani, Anna, Sari dan Maya. Semuanya baik dan ramah. Tak ada yang asli Jakarta, sebagaimana Rei dan Pipan, mereka perantauan, dan semua perawat. Kerjanya juga ditempat yang sama. Memang RS Bersalin yang dimaksud letaknya tak jauh dari tempat Pipan Kos. Jelas saja, Ibu Kosnya kan yang punya RS Bersalin ini, yaitu Bu Wida. Beruntung sekali mereka.
Besok Rei berniat menemui Bu Wida, dengan Pipan. Minta pekerjaan atas nama kepercayaan. Jelas kepercayaan. Bagaimana tidak? Rei melamar pekerjaan tanpa Ijazah, tanpa struk nilai, tanpa KTP. Ya, semua sudah terbakar malam itu. Harapan Rei cuma do’a. Mudah-mudahan Bu Wida percaya padanya dan Pipan. Semoga.

* * *

Edhu melangkah gontai menuju rumahnya. Pintu terbuka sebelum ia mengetuknya. Ayah menatapnya cemas dengan sorot pertanyaan yang butuh jawaban segera.
“Aku ngebut, ada goresan disana-sini. Maaf.” Edhu menyerahkan kunci mobil ke tangan Papanya, lalu berlalu melewatinya.
“Lalu?”
Edhu berbalik.
“Rei menyusulku kesini. Padahal dia tak tahu dimana rumahku. Dia menyusulku, Ayah…. Jakarta…” Edhu terduduk di sofa ruang tamu. “Seharusnya dia tak kesini, ini Jakarta, bukan kota asalnya yang damai. Ini jakarta. Seharusnya dia tak kesini…” Edhu terguncang lagi. Dia laki-laki dan dia menangis lagi. Tapi peduli amat! Dia cuma ingin menangis!
Ayah meremas bahunya, untuk pertama kalinya dalam hidup Edhu.
“Tidak, bukan Rei…. Aku, seharusnya aku tak meninggalkannya saat itu…” Remasan tangan Ayah semakin kuat Edhu rasakan. Kekuatan tiba-tiba menjalar dalam setiap aliran darahnya.
Meski tak mengatakan apapun, Edhu tahu, Ayah tak ingin ia menyerah.

* * *

“Yang ini juga bukan. Padahal ini yang terakhir.” Pipan menutup buku telefon yang sangat tebal. “Mungkin ada nama didepan kata Gunawan, Rei.”
“Seingatku tidak. Hanya Gunawan Raharja.”
“Tapi kok tak ada ya?”
“Ya sudah, mungkin nomornya tak terdaftar.”
“Maaf.”
“Aku nggak apa-apa kok. Lagipula kamu tak perlu minta maaf.”
Sudah 4 bulan Rei tinggal dan bekerja disini. Sudah empat bulan pula Rei mencari. Namun jejak Edhu tak ia temukan, setapak pun. Keliling kota, ngubek-ngubek pusat pertokoan, kantor dan coba-coba nomor telefon. Hasilnya selalu nihil. Rei jadi mulai terbiasa.
Tapi bagaimanapun juga, harapan itu tak pernah padam. Hanya seperti dian, dian yang takkan pernah kunjung padam.

* * *

Edhu membuka jasnya, lalu melipat dan melemparnya kedalam mobil. Ini wawancara pertama yang ia jalani, masih ada rangkaian prosedur lain yang harus ia jalani esok hari. Tapi entahlah, Edhu sudah merasa bosan. Mungkin karena bekerja di perusahan properti ini bukan kehendaknya. Lalu kehendak siapa? Ayah? Ah, bukan. Ayah akhir-akhir ini sangat sibuk. Bahkan beberapa kali, Edhu memergoki ayah berbicara serius dengan 2 orang yang gaya bicaranya tegas, serius dan jarang tersenyum. Khas Ayah. Jadi saat-saat sibuk seperti itu, bagaimana bisa ia mengurusi urusan tektek bengek macam urusan anaknya ini? Ia hanya ingin mencari rutinitas. Jadi kalaupun tak diterima, Edhu tak terlalu kecewa.
Edhu sudah duduk dimobilnya, ketika sekilas dilihatnya seseorang diluar pagar tengah berjalan dan tersenyum kearahnya. Edhu terhenyak, lalu secepat kilat ia keluar dan berlari ketempat tadi Rei berdiri. Namun tak ada. Edhu berlari menyusuri trotoar kearah kanan. Mencari sosok yang dicarinya selama ini. Setelah tak menemukan Rei disana, Edhu berbalik kearah kiri dan melakukan hal yang sama seperti tadi. Namun tetap, bayangan Rei tidak ia temukan.
Tak salah, tadi memang Rei. Tapi kemana? Atau ilusi? Mungkinkah? Didalam ruanganpun tadi ia melihat Rei, tersenyum dan membuka tangan menyambutnya. Tapi…ah! 
Edhu kembali ke mobil dan menepis bayangan Rei yang terus bergelayut dimatanya.

* * *

“Wajahnya pada ceria banget ya, Rei? Padahal kerjaan mereka belum tentu menyenankan tuh! Gaji juga belum tentu gede!” 
Rei tersenyum mendengar celoteh Pipan. Ya jelas gajinya gede dong, Pan. Ya... sekecil-kecilnya perusahan Properti tak akan sekecil gaji perawat. Kecuali mungkin OB-nya, bukan orang-orang berdasi dan ber-blazer yang ditunjuk Pipan.
Mata Rei melihat-lihat kearah dalam. Kalau-kalau ia menemukan wajah Edhu. Ya, barangkali saja Edhu bekerja disini. Dia kan seorang arsitek.
“Yuk, nyebrang!” Pipan menarik tangan Rei. Tapi tunggu, sepertinya Rei mengenal sesuatu! Sampai sebrang, Rei mematung beberapa jenak.
“Apaan Rei?”
“Mobil itu…”
“Banyak yang punya mobil kayak gitu. Lihat, tuh!” Pipan menunjuk sebuah Honda Jazz hitam.
Benar juga, mobil seperti itu banyak yang memilikinya. Rei dan Pipan akhirnya berlalu. Tapi mereka tak tahu, pengemudi mobil yang ditunjuk Pipan adalah Edhu. Andai mereka mau berdiri beberapa detik lagi…

* * *

Edhu merebahkan badannya di sofa teras belakang. Tapi belum lagi terlelap, langkah sepatu yang tergesa-gesa menarik perhatian Edhu. Dua orang itu lagi. Dan kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Tidak, lebih tepatnya lagi panik. Sebenarnya ada apa?
Rasa ingin tahu mengalahkan rasa lelah yang mendera tubuh Edhu. Selesai wawancara, Edhu kembali berkeliling Jakarta, ketempat-tempat yang selama ini belum terjamah. Barangkali saja dilihatnya sosok Rei melintas, dan baru pulang setelah senja seperti ini.
“Mereka datang tiap hari ya?” Edhu mencegat seorang pembantu, setelah ia mengantarkan air dan makanan kecil.
“Tidak tiap hari, tapi sering sekali.”
“Apa yang mereka bicarakan?”
“Wah saya kurang tahu, nggak ngerti. Paling yang tedengar pengadilan-pengadilan gitu.” 
Edhu tersentak. “Pengadilan?”
“Ya, sekilas,” kta pembantu itu sambil berlalu. 
Ada sesuatu yang janggal. Dua orang itu dengan kesibukan Ayah akhir-akhir ini. Ya, Ayah memang sibuk, tapi kesibukannya kali ini seperti lain dari biasanya. Edhu menghampiri ruang kerja ayahnya. Beruntung pintunya sedikit terbuka. Edhu bisa sedikit mencuri dengar.
“Mereka punya saksi kunci. Itu yang menyulitkan kita.”
“Selain itu, barang bukti yang mereka punya cukup untuk membuat kita terpojok.”
“Tak ada lagi yang bisa kita lakukan?” 
Itu suara Ayah. Sebenarnya ada apa? Edhu semakin tak mengerti.
“Menurut saya ada dua pilihan.”
“Apa itu?”
“Pertama, Bapak menyerah sejak awal. Itu meringankan hukuman, menghemat tenaga, menghemat biaya. Meski tentu saja, resikonya, harta Bapak disita, Bapak dipenjara.”
“Lalu?”
“Kedua, Bapak melawan, meski dengan cara yang kasar.”
“Kemungkinannya?”
“Fifty-fifty.”
“Yang pertama takkan ada masalah, dan akan mudah tentu saja. Kedua… jika berhasil Bapak tenang, harta selamat, Bapak pun bebas. Tapi jika kalah, mungkin akan lebih parah…”
Hukuman? Cara-cara kasar? Apa maksud semua ini? Sebenarnya siapa yang akan dapat hukuman? Kesalahan apa? Edhu tak tahan mendengar semuanya. Dibukanya pintu ruang kerja Ayah perlahan. Semua tersentak, terlebih Ayah. Dilihatnya Edhu mematung dengan wajah memerah.
“Edhu?”

* * *

















 “Apa yang kalian bicarakan?” 
Dua orang itu saling pandang, dan Ayah tertunduk seperti pesakitan. 
“Apa yang kalian sembunyikan?” Edhu melangkah perlahan menghampiri mereka yang tengah bimbang.
“Tak apa Edhu, hanya masalah kecil. Duduklah!” Seorang diantara mereka menyembunyikan kebimbangan dengan ketenangan luar biasa. Pintar sekali. 
Edhu menurut. Ia duduk, tepat disamping Ayah. Ia memperhatikan wajah Ayah dari samping. Wajah yang kusut masai, yang tak bisa lagi menyembunyikan kepanikan jiwanya.
“Ada laporan penyalahgunaan yang dialamatkan pada Ayahmu. Tapi jangan khawatir, tuduhan itu tidak mendasar.”
Edhu melihat laki-laki itu tanpa reaksi, menunggu penjelasan palsu yang akan dia katakan selanjutnya.
“Mereka memang punya bukti yang kuat, namun…”
“Sudahlah!” Sebuah suara membuat Edhu berpaling kesamping kanan, ke wajah Ayahnya. “Dia sudah besar dan dewasa. Sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kalaupun disembunyikan serapi apapun, dia tetap bisa menilai.” Ayah melihat Edhu, beberapa jenak pandangan mereka beradu.
Dalam tatapan itu, Ayah seolah membuka tabir yang selama ini menutup batinnya. Edhu bisa melihat itu. Tak seperti biasanya, menatap Ayah kali ini seolah menembus hati dan kalbu Ayah. Edhu bisa meraba setiap kegamangan di kisi-kisi jiwanya, sekaligus kekhawatiran, kepanikan, gundah, rasa bersalah.
Ayah kemudian berpaling, keatas meja dan merapikan berkas-berkas yang berserakan disana. Lalu dalam sekejap, berkas-berkas itu sudah berpindah ke tangan Edhu.
“Kau bisa baca ini. Semuanya ada disitu. Ada kata-kata yang sulit dimengerti, tapi Ayah yakin kau mengerti.” 
Edhu menerima kertas itu dengan perasaan yang tak menentu.
Sebenarnya Ayah tak perlu menyuruhnya membaca, lewat mata tadi, Edhu sudah tahu semuanya. Tapi diturutinya juga kata-kata Ayah. Pikirannya ia fokuskan untuk mencerna kata demi kata yang tertera jelas dalam lembaran-lembaran itu. Semuanya lengkap, mulai dari berkas tuduhan, kwitansi-kwitansi pengeluaran uang, laporan keuangan, proposal permintaan dana, dan berkas-berkas lain yang Edhu tak mengerti apa.
Tak butuh waktu lama, Edhu kemudian menyimpan berkas-berkas itu. Edhu tak membaca semuanya, tapi itu cukup untuk membuat kepala Edhu pening dan sakit. Hatinya goncang, jiwa yang sudah rapuh itu rubuh seketika.
Kemarin Rei, sekarang Ayah. Entahlah, ia merasa, Ayah akan segera meninggalkannya.
Edhu menarik nafas panjang. Lalu ditatapnya Ayah dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Dalam keadaan seperti ini, aku… seharusnya bersama Ayah. Tapi aku malah… disibukkan dengan urusanku sendiri. Maaf…”
Ayah terpana. Reaksi seperti ini benar-benar diluar dugaannya. Bukankah seharusnya Edhu marah? Merutuk dan mengadili Ayahnya dengan suara keras sekalipun? Tapi Edhu…
“Maafkan aku, Ayah…” Edhu menggenggam punggung tangan Ayah kuat. Edhu mengalirkan kekuatan, dan melakukannya sema persis seperti Ayah melakukannya dulu. Edhu ingin Ayahnya bertahan, apapun keadaannya…

* * *

Edhu berdiri di depan meja, dikamarnya. Dipandanginya sebuah benda dan disentuhnya perlahan. Lalu diambil. Rasanya sudah lama ia tak memainkannya.
Edhu berjalan kearah jendela dan berdiri diatas balkon kamarnya, berdiam memandang taman menghampar di bawah kakinya.
Dipandangnya biola dalam genggaman tangannya. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dadanya. Bayangan Rei dan Ayah menjelma bergantian. Edhu memejamkan mata dan menarik nafas berat.
Lalu beberapa saat kemudian mengalun melodi lembut lewat busur dan dawai biola yang bergesekan mesra. Perasaannya hanyut seketika. Ditatanya kembali cinta yang porak poranda, seirama melodi yang menjangkau penjuru jiwanya.
Edhu merasa sedih. Namun tak ada air mata, ia hanya merasa sepi dalam kegundahan yang tiada berbatas.
Cintanya hancur porak poranda. Bukan karena keadaan, bukan karena keterpaksaan, apalagi pengkhianatan. Semua ini akibat perbuatannya sendiri.
Rei…, Edhu meninggalkan Rei karena ingin merasakan kehadiran ayah, lalu takdir mendahuluinya. Ya, dia sendiri yang membentangkan jarak hingga tak bisa menggapai Rei. Dan Rei pergi dengan mencerabut energi cintanya tak tersisa.
Sekarang Ayah…
Irama yang Edhu mainkan meninggi, seirama perasaan Edhu yang bergolak menggeledak. Melempar dan menjatuhkan jiwanya yang sudah sendiri dalam kesepian gelap sunyi.
Ayah… seharusnya Edhu bisa membaca mata itu sejak dulu. Menyentuh hatinya yang rapuh, dan merangkul jiwanya yang butuh pegangan. Ya, andai Edhu bisa menatap dan menyelusup. Kenapa ia tak pernah berani memandang mata itu? Mata dengan sorot kesepian yang sama seperti dirinya.
Ayah butuh teman, butuh seseorang. Ia perlu teman bicara, teman diskusi. Ia butuh seseorang yang menguatkan. Dulu, ada Mama yang menjadi labuhan hati Ayah, namun sejak Mamanya pergi, seharusnya Edhu-lah yang jadi penggantinya. Ya, seharusnya ia menggantikan posisi Mama, menjadi seseorang tempat Ayah mencurahkan keluh kesahnya.
Ia malah menunggu Ayah untuk bicara dan mendekat padanya. Padahal Edhu bisa mengambil inisiatif lebih dulu, dan menatap mata sepi itu.
‘Time for us’ terus mengalun.
Mata Edhu terperjam, tubuhnya sedikit bergoyang, sebagaimana gesekan busur yang naik turun menggesek dawai biola.
Tempo bertambah cepat, menuju coda (bagian akhir), sampai akhirnya musik benar-benar berhenti. Matanya terbuka, kedua tangan ia turunkan. Sebuah nafas ia hembuskan perlahan.
Ia ingin menangis, tapi air matanya sudah habis.
Beberapa saat ia terdiam, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu pada seseorang yang berdiri tak jauh dibelakangnya.
“Aku takkan menyarankan apapun. Ayah tahu jalan yang harus Ayah tempuh. Aku cuma berharap…” Edhu berbalik, lalu memandang lekat pada Ayah yang sudah berdiri sejak ‘Time for us’ baru saja dimainkan. “…Ayah tetap kokoh, seperti aku biasa mengenal Ayah.” Edhu tersenyum pada Ayah tulus. Edhu meletakkan biola diatas meja, lalu berjalan menghampiri Ayah, dan merangkulnya erat.
“Ayah… tak ingin melakukannya. Ayah hanya hanyut dibawa arus sistem yang begitu kuat. Ayah tak punya kekuatan untuk melawan…” Isakan itu berubah menjadi tangisan.
“Maaf… seharusnya aku mengulurkan tangan saat Ayah membutuhkan pegangan…”
Lalu setelah itu tak ada kata-kata. Waktu membiarkan mereka hanyut dalam luapan emosi dua jiwa yang berbaur untuk pertama kalinya. Jiwa sepasang anak beranak.

* * *

“Mampus Loe!”
“Dihukum berapa tahun?”
“Tiga.”
“Kok cuma tiga?”
“Hartanya kan sudah habis disita.”
“Harusnya kan duhukum mati, biar tahu rasa! Makan pake duit rakyat.”
“Bener! Mestinya mati! Wong orang miskin aja banyak yang mati kelaparan atau gantung diri karena duitnya habis sama mereka.”
“Wush! Wush! Udah mending dia mau tobat dan nyerahin diri, ganti uang negara lagi, nggak kabur ke luar negeri kayak koruptor lainnya.”
“Iya sih!”
Ramai sekali teman-teman satu kos mengomentari berita di TV. Rei yang sedang memasang kerudung penasaran juga. Dihampirinya mereka yang tengah mengerubuti TV.
“Apaan sih?”
“Koruptor nyerahin diri.”
“Wah, bagus tuh!”
“Yup!”
“Dinas Rei?”
“Ya…” Rei memasang peniti terakhir, sambil sesekali matanya melihat layar TV.
Seorang lelaki setengah baya tengah dikawal dan dimasukkan ke mobil tahanan. Beberapa wartawan mengerubuti dan mendesaknya dengan beberapa pertanyaan. Kening Rei berkerut, rasanya pernah lihat! Oh, tentu saja, dia kan pejabat! 
Rei berpaling dan beranjak. Ia harus segera pergi. Sudah hampir jam 07.30. Kasihan Pipan jika ia terlambat. Ya, ia dinas menggantikan Pipan. 
Masih sayup terdengar di telinga Rei, teman-teman yang masih ramai membicarakan koruptor itu.
“Eh, ini anaknya.”
“Kasihan ya? Tadinya kaya raya, langsung nggak punya apa-apa.”
“Mana cakep lagi.”
“Sst! Nggak kedenger tuh apa komentarnya!”
Rei selesai memasang sepatu dan siap berangkat.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Mereka menjawab pelan, karena ingin mendengar komentar Edhu. Volume diperkeras.
“Saya mendukung Ayah. Dan atas nama Ayah, saya minta maaf pada semua rakyat Indonesia.”
“Kabarnya harta Bapak Gunawan disita?”
“Ayah saya mengembalikan semua yang pernah beliau ambil, dan sekali lagi, saya sangat mendukung beliau.”
Presenter masih bertanya dan Edhu masih menjawab. Namun Rei sudah jauh dan tak mendengar suara Edhu, kecuali hanya sekilas. Ya, sekilas saja…

* * *

Hidup Edhu berubah. Ya, berubah total. Semua harta Ayahnya habis, kecuali satu mobil yang memang atas namanya, dan satu rumah sederhana hadiah Ayah dan Mama saat merayakan ulang tahun terakhir. Dia bukan lagi seorang anak pejabat Eselon I yang berpengaruh, bukan juga seorang anak dari seorang Busnessman terkenal. Sekarang Edhu hanya orang biasa, yang bahkan lebih rendah dari masyarakat biasa. Dia sekarang anak dari pesakitan yang dicerca dan dituduh berlebihan.
Tapi jujur, dibalik semua ‘kekurangan itu’, Edhu merasakan suatu perasaan yang tak pernah ia rasakan dulu. Sebuah ketenangan, kemantapan hati, kenyamanan perasaan. Dan Edhu merasakan kesenangan. Meski dulu tak pernah tahu kalau harta yang Ayah bawa bercampur dengan harta orang lain, tetap saja, dirumah, Edhu merasakan udara panas, kegelisahan, dan ketidak nyamanan. Sekarang, berkat dilepaskannya semua itu, Edhu bahkan mendapatkan lebih dari sekedar ketenangan, yaitu keakraban dan kehangatan yang dulu sangat ia dambakan. 
Hujatan dan pandangan miring memang masih terasa menghujam. Edhu tak pungkiri itu, ia masih sangat terluka. Namun beberapa teman di kampus dulu, mengirimkan SMS memberikan dukungan dan kekuatan. Edhu terseyum dan trenyuh membacanya. SMS-SMS mereka, sadar atau tidak, adalah energi besar yang membantu Edhu bertahan.
Satu SMS membuat mata Edhu tak berkedip melihatnya; 
Ttp kuat ya, Ayhmu skrg bth alirn kkuatnmu. Support semua u/ kmu. Msh ingt aq? Andri.
Kening Edhu berkerut. Teman sefakultasnya tak ada yang bernama Andri.
Andri? 
Edhu membalas SMS-nya.
Jd lpa ya? Qta prnh brdemptan saat shlat Jum’at, hbs tu qta knlan.
Oh ya, Edhu ingat waktu siang itu. Tapi bagi Edhu kenalan itu sekilas. Bahkan sampai ia msuk ruang kuliah, Edhu sudah lupa dengan nama Andri. Lalu kenapa tiba-tiba ia memberi perhatian besar?
Diantara SMS lain yang bunyinya senada. SMS itu bagi Edhu terasa sangat berbeda. Itu satu-satunya SMS yang menyantumkan nama Ayah, bahkan memintanya memberi dukungan pada Ayah.
Inilah awal kedekatan Edhu dengan Andri.

* * *

































“Ayah terlihat sangat segar.” Ya, setelah beberapa hari tak menengok Ayah, rasanya pangling. Seperti tak bertemu berbulan-bulan saja. Ayah memang lebih kurus sekarang, tapi kulit beliau terlihat lebih putih, dan wajah beliau terasa sangat bercahaya. Seperti purnama.
“Ya, Ayah banyak shalat sekarang, Dhu. Meski ayah tak tahu dosa Ayah diampuni atau tidak, Tapi Ayah lebih tenang sekarang.” Ayah tersenyum menatap Edhu.
“InsyaAllah, Allah mendengar do’a Ayah. Alhamdulillah.”
“Kau sendiri?”
“Pekerjaanku? Baik-baik saja. Hanya ada beberapa gambar pesanan yang membuatku sedikit begadang.” Sudah dua bulan ini Edhu bekerja. Bukan di perusahaan besar dan ternama saat Edhu dulu wawancara, namun gaji yang ia terima cukup untuk biaya hidupnya sehari-hari. Juga sedikit bisa ia tabungkan untuk kehidupan masa depan bersama Rei nanti. Tiba-tiba air muka Edhu berubah keruh.
“Rei?” Ayah tahu benar apa yang membuat air muka Edhu berubah seperti itu.
“Oh, ya. Ayah tahu Praha Orchesta?” Edhu mengalihkan pembicaraan.
“Kalau tak salah tampat Andri main?” Ayah sudah dekat dengan Andri, sejak SMS dulu itu, Edhu sering menjenguk Ayah bersama Andri.
“Ya, mereka mengajak aku bergabung. Bagaimana menurut Ayah?”
“Bagus. Kau bisa menyalurkan hobi.”
“Ya.” Edhu tersenyum riang. Dan beberapa saat keheningan menyelimuti mereka.
“Ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu.”
“Sesuatu yang penting?”
“Mungkin.”
“Tentang apa?”
“Reina, istrimu.” 
Edhu mengerutkan kening. Ditatapnya mata Ayah tak mengerti. Ayah berpaling, menghindari tatapan Edhu. Beberapa kali, Ayah menarik nafas panjang. Namun Edhu tetap menunggu dengan sabar.
“Sudah berapa lama kau menunggu Reina?”
“Baru sebentar.”
“Tiga tahun?”
“Lebih sedikit.”
“Kau tak berniat berhenti?”
“Maksud Ayah?”
Ayah menarik nafas panjang, “Mungkinkah hatimu diisi oleh nama lain?”
“Aku tak mengerti.” Edhu berpaling, ia ingin menghentikan pembicaraan.
“Maafkan Ayah… tapi melihatmu sangat tertekan, membuat Ayah berpikir, kamu mungkin harus menikah lagi…” 
Edhu tersentak dan menatap Ayah tajam. 
“Apa maksud Ayah?” 
“Mungkin dengan menggantikan posisi Rei dengan orang lain, kau akan keluar dari rasa tertekan itu.”
 Edhu ingin berteriak sekerasnya, atau menangis sejadi-jadinya. Menghapus nama Rei dari hatiku dan menggantinya dengan nama lain? Rei… maafkan aku…, maafkan Ayahku… Dia tak mengerti tentang cinta yang sudah tumbuh diantara kita, dia tak mengerti bahwa sesuatu yang merajai jiwa kita takkan bisa tergantikan dengan apapun, apalagi kalau harus mencopot dan menggantinya dengan begitu mudah.
Edhu memejam dan menarik nafas panjang. Lalu berdiri dan beranjak meninggalkan Ayah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut Edhu.

* * *

Mata Edhu menerawang. Cuaca panas, jalanan macet, pengamen yang menjual suara disampingnya, seolah berada diluar dimensi. Bahkan demonstrasi yang hampir ricuh antara Pro dan Kontra RUU APP di sebrang jalan, benar-benar tak tersentuh penglihatannya.
Pikirannya dipenuhi perkataan Ayah yang telah mencerabut nyawanya, meleburkan kepingan hatinya. Tangan Edhu sesekali menggerakkan stir. Tapi belok kanan atau kiri, Edhu tak tahu pasti. Ia hanya mengikuti kemana roda mobil membawanya.
“Mungkin dengan menggantikan posisi Rei dengan orang lain, kau akan keluar dari rasa tertekan itu.”
Tidak, seharusnya Ayah tak berkata seperti itu. Meski dulu Ayah selalu melakukan itu, menekankan keinginan Ayah pada setiap keputusannya. Memilih sekolah, menentukan jalur kuliah, atau sekedar menetapkan kelas Ekskul. Tapi itu dulu. Sekarang tak bisa lagi Edhu menuruti kehendak Ayah. Sekarang biarkan Edhu memilih dan menetukan apa yang Edhu inginkan, meski itu sebuah pil yang sangat pahit yang harus Edhu telan. 
Mencari Rei dan menanti saat-saat pertemuan itu begitu menyakitkan dan membuatnya tertekan, tapi mengganti posisi Rei dihatinya seperti menikam dan membunuh dirinya sendiri.
Air mata Edhu hampir saja berderai, jika ia tak menahannya. Lalu haruskah ia marah pada Ayah? Andaikan ia bisa. Nyatanya, ia tak bisa marah pada Ayah, meski ia sangat terluka dengan kata-kata Ayah.
Ya Allah… bagaimana luka ini bisa kuobati, sementara luka-luka karena kesalahanku sendiri masih menganga berdarah. Bisakah Rei, obat yang bisa menyembuhkan sakit ini Kau kirimkan segera? Kumohon…
Dua jam berlalu. Kemacetan luar biasa tadi berubah menjadi jalanan lenggang. Edhu sudah menyusuri jalanan yang berlawanan arah dengan rumah mungilnya. Jalanan yang lenggang membuat kaki kanannya sedikit menginjak gas. Tanpa Edhu sadari sama sekali, sebuah mobil, dengan kecepatan tinggi menuju kearahnya dari tikungan sebelah kiri. Dan Edhu baru menyadarinya ketika mobil yang berbelok tak terduga itu hanya berjarak dua meter didepannya. Menghindari tabrakan, Edhu membanting stir ka arah kanan. Namun sebuah benturan keras tetap tak bisa terelakkan. Tubuh Edhu terpental kedepan…

* * *

Rei berjalan tergesa menuju tempat kerjanya. Dia ketiduran tadi siang, jadi perginya agak terlambat.
Sebuah mobil berjalan perlahan dan menjajari langkahnya.
“Maaf, Mbak!” 
Rei menoleh keasal suara. Seorang lelaki 30 tahunan, duduk dibelakang kendali mobil.
“Mau tanya, kalau RS bersalin Asy-Syifa sebelah mana ya?” lelaki yang seperti tergesa-gesa itu mungkin menunggu kelahiran anaknya.
“Sebentar lagi. Seratus meter dari sini. Lurus saja.” Rei menunjuk arah jalan.
“Terimakasih, Mbak!”
Rei mengangguk tipis. Mobilpun melaju dan Rei tersenyum lagi. Setiap Ayah muda yang menunggu perjuangan istrinya selalu punya wajah tegang seperti tadi. Dimata Rei, ketegangan dan rasa khawatir yang terpancar dari wajah mereka melukiskan pemandangan yang luar biasa.
Jika nanti, ia sudah bertemu Edhu, dan melahirkan anak dari Edhu, Edhu pasti punya mimik wajah seperti itu… Rei mengangkat bahunya sembari tersenyum lagi. Lalu kakinya kembali melangkah, menuju RS bersalin Asy-Syifa, tempatnya bekerja.

* * *

Sebuah mobil baru saja memarkir dirinya di pelataran parkir RS. Bersalin Asy-Syifa. Seorang lelaki muda dengan kemeja sedikit kusut keluar dari mobil dan berjalan tergesa menuju gedung berlantai dua itu.
Langkah cepatnya berhenti setelah mendapati seorang perawat dimeja administrasi. Dia menanyakan keberadaan dan keadaan seseorang yang ingin ia temui.
“Dia baik-baik saja, hanya ada sobekan yang harus kami jahit. Tak banyak, hanya tiga jahitan. Tapi keadaannya secara umum baik.” 
Mendengar jawaban perawat yang ramah itu, khawatirnya sedikit menghilang.
“Mari saya antar. Tempatnya agak keujung…” Perawat itu mendahuluinya berjalan. “Dia… benar-benar sudah menikah?” 
Pertanyaaan perawat itu membuat kening lelaki itu berkerut.
“Ya, kenapa?”
“Tapi belum punya anak ya?”
Kening lelaki itu berkerut kembali. “Kenapa memang?”
“Tidak apa-apa, hanya saja sepertinya dia belum terbiasa mendengar jeritan seorang ibu yang mau melahirkan. Dia agak syok. Karena itu, kami menempatkannya diruangan yang agak jauh dari ruang bersalin.”
Lelaki itu tersenyum mengerti. Jangankan dia yang belum punya anak, aku saja sudah beranak dua, merinding juga mendengar jeritan seorang ibu yang menyambutnya ketika memasuki ruangan ini tadi.
Perawat itu pamit setelah menunjuk pintu ruangan yang dimaksud. Perlahan dibukanya pintu yang setengah bagian atasnya dibuat dari kaca yang sedikit buram.
“Assalamu’alaikum.” Katanya sambil melongokkan kepala. “Bagaimana? Sudah selamat? Bayinya sehat? Katanya dijahit tiga…” Blup! Sebuah bantal mendarat diwajahnya sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Lalu dia tertawa lepas.
“Teman sakit malah tertawa…” Edhu yang melempar bantal terlihat agak kesal.
“He…he… maaf.” Andri, lelaki itu menutup mulutnya menahan tawa.
“Cepat, kita segera keluar dari sini.” Edhu turun dari tempat tidur dan memakai jaketnya.
“Eit, tunggu dulu. Perawat itu bilang, kalau kamu masih pusing jangan dulu pulang.”
“Kalau begitu aku akan dirawat istrimu saja.” Edhu bercanda. Tapi tak urung, sikap tergesanya yang langsung berdiri, membuat kepalanya pening. Dirabanya dahi yang tertutup perban. Rasanya perih juga…
“Tuh kan… duduk dulu gih!”
“Nggak. Lebih lama disini, aku bisa gila.” Katanya sembari memaksa berdiri. “Heran, apa tak ada Puskesmas atau Dokter praktek disekitar sini sampai-sampai aku dibawa ke RS. Bersalin segala…”
“Eh…nggak tahu diuntung. Sudah mending mereka mau nolong kamu. Lagian kamu sendiri, pakai nabrak tiang listrik segala…” 
Setelah kecelakaan itu terjadi, Edhu tak sadar. Ia tak ingat kalau masyarakat sekitar yang melihatnya, langsung memberikan pertolongan dengan membawa Edhu ketempat yang bisa mengobatinya dengan segera. Bahkan mereka juga yang menghubungi Andri. Masyarakat baik yang tanpa pamrih. Mereka pulang setelah memastikan Edhu ditangani dengan benar, dan mengecek Andri berkali-kali. Ya, mereka pulang sebelum Edhu tersadar dan sebelum Edhu bisa mengucapkan terima kasih. Uang, Tanda pengenal, ATM, SIM, dan Hp masih berada ditempatnya. Tak ada yang memanfaatkan kesempatan. Edhu beruntung. 
Andri memapah Edhu dan membawanya keluar dari ruangan itu. Setelah menyelesaikan administrasi dan pembayaran ini-itu dengan menenteng sekantong kecil obat-obatan, Edhu keluar juga dari tempat yang katanya bisa membuat gila.
“Kau tunggu saja disini, aku bawa mobil dulu.” Andri berlari kecil menuju mobilnya. Dan Edhu duduk menunggu disebuah kursi diteras.
“Menunggu istri melahirkan juga?” Seorang lelaki sebaya dengannya, berdiri didekatnya.
“Oh, tidak.” Edhu menggeleng pelan.
“Oh, saya pikir…”
“Anda?”
“Ya, tapi yang mau melahirkan adik saya. Suaminya mendampingi didalam. Tapi saya diluar saja ah, ngeri…” Dia meringis, dan tangannya bersedekap dada. “Kalau dipikir-pikir… jadi wanita itu repot juga ya…”
Edhu tersenyum. Memang repot, pikir Edhu. Sudah membawa beban diperutnya selama berbulan-bulan, mengeluarkannya juga penuh kesakitan, setelah itu menyusuinya dan mengasuh makhluk kecil yang gemar sekali menangis. Edhu sampai tak habis pikir, kesabaran dan ketegaran yang dipunya seorang wanita itu berapa lapis sih?
Edhu terus terlibat obrolan ringan dengan lelaki itu. Lelaki yang berdiri didekatnya dan menghalangi pandangannya dari sosok seorang perawat yang melintasi pintu yang berjarak hanya beberapa meter dari tempatnya duduk.
“Hai, Assalamu’alaikum.” Rei menyapa Anya, teman sekos yang ia gantikan sore ini.
“Wa’alaikum salam.”
“Maaf ya, terlambat.” Rei menyimpan tas dimeja.
“Cuma lima menit.”
“Semua beres?”
“Yup. Kecuali ada pasien laki-laki tadi.”
“Laki-laki? Melahirkan?” tanya Rei pelan dan ragu.
“Ngaco! Kecelakaan. Tapi luka kecil kok, jadi bisa diatasi.”
“Oh. Sudah pulang?”
“Ya, tuh masih didepan.”
Rei berpaling ke arah pintu. Dilihatnya lelaki yang tadi bertanya padanya memasuki mobil. Oh, kukira dia menunggu istrinya melahirkan, rupanya saudaranya kecelakaan. Rei hampir berpaling lagi, ketika sosok lelaki yang memakai sweter hitam dan berjalan memasuki mobil menahan pandangannya seketika. Orang itu, bukankah… 
Waktu seolah berhenti.
“Pasien post partus dua orang, dan satu orang diruang bersalin. Masih pembukaan tiga dan…” kata-kata Anya sudah tak mencapai telinganya. Rei masih terpana menatap Edhu yang baru saja memasuki mobil.
“Edhu…!” Teriaknya sambil berlari kearah depan.
“Edhu! Edhu!” Teriaknya lagi ketika mobil benar-benar melaju. Rei menuruni teras dan berlari menyusul mobil yang tak menghiraukan teriakannya.
“EDHU!” Teriaknya lagi sekuat tenaga. Kaki-kakinya terus saling menyusul. Seperti mempunyai tenaga cadangan, ia terus berlari dan berlari. Mobil itu masih terlihat, dan harapnya masih tersimpan.
Edhu, orang yang sangat dicintainya, orang yang selama ini dicarinya, sudah ia lihat, sudah ia temukan. Jadi jangan sia-siakan! Jangan biarkan dia pergi lagi dan membiarkan luka karena rindu itu menganga lagi. Edhu harus lihat Rei. Edhu harus tahu Rei disini!
Mobil masih terus mamasuki jalan raya. Meski kecepatannya sedang, dan langkah kaki Rei cepat, namun jarak yang tercipta tak jua dekat. Tapi Rei tak berhenti, ia terus berlari dan berlari. Menyusuri jalanan, berpacu dengan kendaraan, menyebrang jalan, menerobos lampu merah. Beberapa mobil berhenti tiba-tiba, ketika Rei melintas secepat kilat didepannya.
“Kenapa sih tuh cewek? Cari mati?” lalu dengan gelengan kepala, mereka berlalu lagi. Rei terus berlari mnyusul mobil Edhu yamg masih terlihat. Sampai serombongan orang-orang dengan spanduk besar-besar memotong pandangnya. Rei tersentak, Edhu tak terlihat. Rei berlari lagi, berusaha menembus orang-orang yang bersuara lantang.
“RUU APP mengekang wanita!”
“RUU APP melawan Emansipasi, membatasi kreasi seni.”
“TOLAK RUU APP! TOLAK RUU APP!”
Mereka lalu saling berlari dan berdesakan. Rei terbawa arus, sulit melawan. Pandangan Rei tertuju pada mobil Edhu yang terus menjauh. Tak mungkin menyusul lagi, harapannya sirna sudah.
Mereka berdesakan lagi, menyeret tubuh Rei yang lelah. Rei berusaha keluar, tapi sesuatu melintas kilat dirasakan menyentuh tangan kirinya. Rei menoleh, seketika ia panik.
“Cincin! Cincin saya! Siapa yang ambil?” 
Para pendemo terus berteriak, mengumandangkan tuntutan mereka.
“Kita susul keDPR!”
“Tolak RUU APP!” 
Mereka berlari, dan Rei terseret lagi.
“Cincin saya, ada yang mencuri cincin saya!” Teriakan Rei hampir tak terdengar. Mereka berdesakan, tapi Rei berusaha menggapai-gapai setiap orang. Menanyakan cincinnya yang tercerabut begitu saja. 
Mereka berdesakan lagi, dan setelah terbawa berpuluh-puluh meter, Rei terlempar keluar. 
Rei terpaku memandang kerumunan itu menjauh. Cincin maskawin dari Edhu…
Rei lalu berpaling ke arah jalan raya yang tak menyisakan jejak Edhu sedikitpun.
Angin meniup kerudungnya hingga sedikit berkibar.

* * *

“Kenapa lihat terus kebelakang? Ada yang ketinggalan?” Andri menoleh pada Edhu yang duduk disampingnya.
“Tidak. Tidak apa-apa kok! Hanya saja… pengalaman di RS tadi membuatku sedikit terpengaruh.” Itu salah satuya, sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat Edhu berbalik kebelakang. Suara Rei. Ya, ia seperti mendengar Rei memanggil-manggil namanya. Tapi dilihat kebelakang, tak ada siapa-siapa, kecuali orang-orang yang mengacung-ngacungkan tangan menolak UU yang akan melindungi mereka dari pelecehan. Edhu tersenyum sinis. Orang-orang bodoh. Padahal kalau laki-laki baik pasti menginginkan semua wanita berkerudung seperti Rei. 
Edhu menoleh lagi kebelakang, hanya suara mereka, tak ada Rei yang berteriak memanggilnya. Hhh, kerinduan yang menyesakkan ini selalu saja memunculkan halusinasi.
“Maksudmu?” Andri bertanya tanpa menoleh. Ia tak ingin sedikitpun berpaling dari jalanan, takut kejadian yang tadi pagi menimpa Edhu terjadi lagi.
“Maksudmu?!” Edhu balik bertanya, pikirannya tentang Rei membuat konsentrasinya sedikit buyar.
“Terpengaruh itu?”
“Oh, ya. Jeritan mereka yang mau melahirkan. Aku baru tahu sakitnya separah itu. Apa Mama juga seperti itu?”
Andri tertawa. “Tentu saja, semua wanita yang melahirkan pasti sakit.”
“Lalu Rei… jika nanti kami punya anak…” Bisik Edhu perlahan. Matanya menerawang….

* * *




























Malam mulai larut, dan Rei belum pulang. Mereka berpencar mencari Rei, termasuk Bu Wida. Tapi mereka sudah berkeliling hampir 2 jam dan belum menemukan jejak Rei sedikitpun.
“Bu, berhenti Bu!” Anya yang duduk disamping Pipan meminta Bu Wida menghentikan mobilnya.
“Kamu lihat Rei?” Tanya Bu Wida.
“Disana…” Tangan Anya menunjuk trotoar yang membelah jalan jadi dua. Pipan lekas-lekas turun dari mobil dan menyebrang ketempat yang Anya tunjuk. Didepannya Rei tengah terduduk lesu. Pakaian putihnya kotor disana-sini. Jilbabnya kusut dan tatapnya kosong.
“Rei…” Pipan menyapa Rei lirih. Rei menoleh perlahan. Lalu tiba-tiba matanya berkaca dan berairmata. Pipan berjalan menghampiri, lalu memeluk Rei erat.
“Edhu…” Lirih Rei berucap diantara isaknya.
“Pasti bertemu…” Pipan mengusap punggung Rei. Bu Wida dan Anya berjalan menghampiri mereka.
“Dia tak melihatku, Pan..” Isaknya tertahan.
“Aku tahu Rei… aku tahu…”
“Kalau saja aku tak kesiangan, kalau saja aku sedetik lebih cepat…” Rei mencoba melepas sesal yang menekan hatinya.
Pipan melepaskan pelukannya. “Kita akan mencarinya lagi besok. Ok?!” Pipan mengusap air mata yang menganak sungai dipipi Rei.
“Sekarang kita pulang dulu Rei…” Bu Wida menghampiri Rei. “Lagipula kau demam…” Tangan halus Bu Wida meraba kening Rei. “Edhu akan cemas kalau tahu kau begini.”
Rei menatap Bu Wida.
“Kita pulang ya?” 
Mereka memapah Rei, menuju mobil…

* * *

“Bagaimana Rei?” Bu Wida masuk kamar Rei.
Malam itu semua penghuni kos kecuali Anna, Maya dan Sari menjaga Rei (mereka kebagian dinas malam), mengajaknya bicara tentang banyak hal, kecuali tentang Edhu tentu saja. 
“Setelah shalat, Rei terlihat lebih tenang.” Pipan yang menjawab.
“Demamnya?”
“Sudah turun Bu, sekarang dia tertidur…”
“Alhamdulillah. Ibu ke rumah, kalau nanti ada sesuatu panggil Ibu ya?”
“Ya, Bu. Makasih…” Setelah Bu Wida menghilang dibalik pintu, pandangan mereka kembali pada Rei. Pipan mengelus kening putih Rei. Dan Anya mengoles luka lecet di jari kaki Rei dengan betadine. Mereka terdiam , menyelami keadaan Rei yang sedemikian rupa.
“Kasihan Rei…” Wina mendesah.
“Tapi Rei tetap beruntung….” Anya berkata seperti berbisik pada dirinya sendiri.
“Beruntung karena berpisah dengan suaminya beberapa jam setelah menikah?” Wina menatap Anya heran.
“Beruntung karena dia punya kekasih seperti Edhu.” Kata Anya. Tangannya terus mengobati luka dikaki Rei.
“Maksud kamu?” Pipan bertanya tak mengerti.
“Tadi siang, sesaat setelah dia sadar, dia membicarakan Rei…”
“MEMBICARAKAN REI?”
“Sstt!” Pipan menyadarkan teman-teman mereka yang berbicara dengan volume keras.
“Waktu mengisi administrasi, aku tanya nama dan status maritalnya. Dia bilang…” mata Anya menerawang , dibibirnya tersungging senyuman kekaguman. Tangannya berhenti mengobati. “ ya, aku sudah menikah… kau tahu… aku menikahi seorang gadis yang sangat cantik, ya, dia masih muda dan cantik. Tapi dia sangat dewasa, meski kadang dia menangis kekanakkan. Tapi dia sangat lucu. Berada didekatnya, membuatku menjadi seorang lelaki. Aku ingin menjaganya, sepanjang umurku. Tapi disaat aku tak bersamanya, dia membuatku sangat rindu…” Anya diam beberapa saat.
“Lalu?” Wina mengusap air matanya haru.
“Siapapun yang meninggalkan dia, adalah orang yang paling bodoh didunia. Lalu dia diam. Menarik nafas panjang. Raut muka yang memendam kesedihan mendalam membuatku tak berani bertanya lebih jauh…”
“Apa dia bilang kalau istrinya bernama Rei?” Rani yang sedari tadi terdiam, kali ini tak tahan untuk bertanya. Anya hanya terdiam.
“Kalau Edhu bilang nama istrinya Rei, sekarang mereka pasti sudah bersama.” Pipan menjawab mendahului Anya.
“Di akhir pembicaraan, dia bilang istrinya juga perawat sepertiku. Maaf… seharusnya aku bertanya…”
“Bukan salahmu kok, Allah belum menakdirkan mereka bertemu. Itu saja.” Sambut Pipan bijak. Dilihatnya Rei yang tertidur pulas. Paracetamol yang sudah diminum Rei tadi, sudah terasa khasiatnya.
“Kisah cinta yang tragis…”
“Menyedihkan…”
“Tapi akan sangat romantis kalau mereka bertemu nanti.”
“Kau yakin mereka akan bertemu, Pan?”
“Ya, yakin sekali!”
“Aku heran bagaimana Rei punya energi luar biasa untuk bertahan dan bersabar?”
“Karena cinta, Anya. Cinta memberinya nyawa. Nyawa untuk tetap berharap, dan harapan itu memberinya energi besar untuk tetap bersabar…”
“Wah, Pipan bicaranya seperti nenek-nenek sekarang…”
“Karna cinta. Ha…ha…ha…” Kata mereka kompak.
“Ssst!” Lalu mereka menutup mulut serempak.
“Keluar yuk! Kasihan Rei…” Satu persatu mereka beringsut perlahan meninggalkan Rei sendirian.
Dan ketika pintu tertutup, dan Rei benar-benar sendirian. Mata Rei terbuka, dan Rei kembali menguraikan airmata.
“Bagaimana rupa Edhu itu, Pipan?” Terdengar suara ramai di ruang tengah.
“Anya yang lebih tahu, dulu kalau aku melihatnya selalu dari jauh. Tapi sekilas dia ganteng.”
“Tampan. Alisnya tebal dan hitam, bola matanya hitam kelam, rambutnya hitam, …”
“Bajunya hitam, tasnya hitam, sepatunya hitam, kulitnya juga hitam.” 
“Nggak, kulitnya justru pucat, tidak bukan putih pucat, tapi kuning. Bibirnya merah seperti tak terkena nikotin. Tingginya sedang…”
“Kelihatannya cakep.”
“Seperti Cover Boy.”
“Yup! Makanya Rei suka…”
“Tidak. Rei menerima Edhu bukan karena dia tampan.” Pipan menyela. “Dulu Rei pernah menolaknya. Dia sempat jadian sama cowok yang lebih kece dari Edhu, tapi dia kurang ajar. Rei akhirnya menerima Edhu, karena Edhu serius dan tak punya niat untuk mempermainkannya.”
“O ya? Bagaimana ceritanya?”
Dan obrolan itu terus berlanjut, semakin seru dan seru.
Rei dalam kamar hanya mendengar, namun yang ia dengar bukan obrolan mereka, tapi pembicaraan Edhu pada Anya tadi siang.
“Dan saat dia tak bersamaku. Dia membuatku sangat rindu…”
Air mata Rei tak berhenti mengalir dan mengalir. Benarkah? Kau juga merindukanku Edhu?

* * *

“Libur?” Rei menghampiri Anya yang tengah mencuci piring bekas sarapan pagi.
 “Ya. Kau sudah baikan?”
“Ya, Alhamdulillaah. Mh.. aku ingin bertanya sesuatu. Boleh?” 
“Ya, tentu saja.” Tangan Anya mematikan kran air, pekerjaannya sudah selesai. ”Tentang Edhu?” Anya menatap Rei lekat. Rei mengangguk.
“Kemarin itu.. dia… terluka? Kenapa?”
“Dia membanting stir menghindari tabrakan, tapi dia membentur tiang listrik. Kata masnyarakat yang mengantar, benturannya keras, mobilnya juga rusak berat. Tapi jangan khawatir Rei, dia baik-baik saja.”
“Lukanya?”
“Hanya luka sobek 4 cm didahi..”
“Innalillahi…dalamkah?”
“Tidak, tidak dalam.”
“Tapi dia pingsan kan? Apa tak sebaiknya dirujuk ke neurologi? Mungkin saja dia gegar otak ringan?”
“Saat kutanya, dia ingat segalanya, hanya sedikit pusing. Dia baik-baik saja Rei. Lagipula Bu Wida sudah memberinya obat untuk dimakan dirumah. Bu Wida tahu apa yang dia lakukan. Kau percaya dia kan?”
Rei mengangguk gamang.
“Kamu… tak tidur semalam? Matamu sembab. Mengkhawatirkan dia?”
Rei berjalan ke arah pintu yang terbuka, lalu duduk memeluk lutut. Matanya memanas lagi. Awan yang mendung dan udara berkabut mengingatkan Rei pada Edhu.
“Aku jatuh cinta padanya.” Rei menatap awan.. “Kau tahu bagaimana rasanya?
“Ya, aku ingin selalu ada didekatnya,” Anya menghampiri dan duduk disamping Rei.
“Dan aku tak bisa melakukan itu An.”
“Aku mengerti...”
“Tapi yang lebih buruk lagi, tanda ikatan yang menggantikan kehadirannya juga hilang. Tinggal ini saja...” Rei membuka gengaman tangannya. Sebuah bros melati mungil menyembul disana.
”Bros yang sangat bagus.”
“Ya, ini hadiah ulangtahun darinya, untuk pertama dan terakhir.”
“Tidak Rei, bukan yang terakhir. Kalian akan bertemu lagi.”
Rei menatap Anya yang tersenyum padanya. Bibir Rei pun membentuk senyuman seperti Anya. Ya, bukan yang terakhir.
“Aku sangat merindukannya. Rindu yang kurasakan bukan lagi sebuah melodi indah yang menghiasi cinta, tapi sudah mencabik dan membuat luka yang sakit tak habis-habis.”
Anya memeluk Rei erat.

* * *





























Angin...!
Sampaikan galau ini ketiap lekukan bumi
Bawa resah ini kepelosok awan putih
Tiupkan gamang ini ketengah badai menari
Sebab aku,
Telah lelah menunggunya sendiri..







Rei menjajari langkah Pipan. Gadis di sampingnya ini memang tak punya rasa lelah bila berurusan dengan belanja. Padahal keperluan utamanya belum terbeli. Tapi Rei ikut saja, toh sikap Pipan yang nyerocos dari tadi, mengomentari ini-itu, menghibur Rei juga. Segala sesuatu tak luput dari pengamatan Pipan. Mulai dari baju yang warnanya terlalu mencolok untuk dipakai seorang gadis dan terlalu centil untuk ibu-ibu, sampai sepatu yang hak-nya ketinggian, atau dompet yang kesempitan untuk menyimpan uang kertas. Rei rasa, Pipan cocok jadi pengamat fesyen. Mendengar komentar Rei, Pipan tertawa terbahak, keras sekali. Sampai-sampai orang-orang yang sedang memilih barang melihat mereka heran. Dan keadaan itu membuat Rei menarik paksa tangan Pipan keluar dari kerumunan.
“Lihat ini dulu, yuk!” Pipan menunjuk sebuah toko mas lalu berjalan mendahului Rei. Rei menggeleng. Kalau dari tadi Pipan berniat melihat-lihat, pasti ada sesuatu yang dibelinya. Tapi sekarang? Kata ‘lihat’ sepertinya benar-benar bermakna melihat-lihat saja. Tapi seperti tadi, Rei ikut saja.
“Coba yang itu, Mbak!” Pipan menunjuk, berlagak akan membeli, tentu saja. Si Mbak menurut saja, dia mengambil cincin berbentuk rantai bermata empat yang ditunjuk Pipan.
“Ah, kayak emak-emak ya, Rei?” Pipan mendekatkan jari manis kirinya kehadapan Rei. Rei hanya angkat bahu.
“Kalau yang itu, Mbak!” Pipan menunjuk lagi. “Nah, kalau yang ini lucu untuk gadis seperti kita, Rei.” Kali ini cincin dengan melati mungil ditengahnya. “Anggun ya, Rei? Eh, tapi kok permatanya hijau Mbak, ada yang putih nggak?”
Rei tersenyum. Pipan bisa saja, tapi tak urung komentar-komentar Pipan membuat Rei penasaran juga. Dilihatnya perhiasan-perhiasan yang berderet rapi di etalase kaca dihadapannya. Ah, bagi Rei semua perhiasan itu sama lucunya. Tapi tunggu, sebuah cincin di dalam sebuah cepuk yang terpisah menarik perhatian Rei. Rasanya Rei mengenalnya…
“Lihat yang itu, Mbak!” Rei menunjuk. Pelayan berkuncir satu itu mengambilkan cincin yang dimaksud, lalu menyerahkannya pada Rei.
“Berminat juga…” Pipan menyenggol Rei. Tapi cincin kawin yang tengah dipegang Rei membuat senyum Pipan sedikit demi sedikit memudar. “Itu kan…? Mirip sekali, Rei!”
“Tidak Pan, bukan mirip, tapi memang cincinku…” Rei menunjuk bagian dalam cincin itu. Meski kecil namun terlihat jelas, dua nama terpahat disana. R&E. Ya, memang inisial, tapi Rei yakin benar kalau cincin itu memang miliknya.
Pipan menelan ludah, kok bisa? Berjodoh sekali? Memang sudah hilang selama enam bulan, tapi bisa ditemukan lagi, itu sebuah keajaiban.
“Kamu bawa ATM kan Rei? Kalau kurang kutambahin dulu!” Pipan mengompori Rei.
“Berapa gram, Mbak?”
“Lima.”
“Berarti 600 ribu?”
“Harga emasnya memang segitu, tapi harga berlian ditengahnya 20 juta.”
“APA?!” Pipan dan Rei menganga lebar, lalu saling berpandangan. Rei menggigit bibirnya. 20 juta? Batu putih kecil itu 20 juta?
“Kaya juga tuh anak!” Pipan mendesah. Rei hanya menatap cincin digenggamannya pasrah. Meski itu barang yang berharga, tetap saja itu bukan Edhu, jadi Rei harus rela melepasnya. 20 juta…
Perlahan, Rei menyimpan cincin itu, lalu melangkah menjauh. Pipan menyusul Rei.
“Ingin membelinya ya?”
“Pengen sih, tapi kalau 20 juta…”
“Iya lah, nanti saja kalau sudah bertemu Edhu, minta saja yang lebih bagus.” Pipan merangkul bahu Rei. Rei membalasnya sambil tersenyum. Namun tak bisa dipungkiri, segores luka bertambah lagi.
“Si Edhu itu kaya ya?” 
“Memang. Tapi kata Edhu sih, yang kaya itu Ayah, bukan dia.”
“Haah… sama saja. Tapi aku baru tahu, kalau harta juga bisa melukai.”
“Maksud kamu?”
“Iya kan, coba kalau Edhu biasa-biasa saja, dia pasti akan beri kamu cincin mas biasa, dan kamu bisa membelinya dengan harga 600 ribu aja. Tapi karena Edhu kaya… kau kan jadi menderita...”
“Ah, kamu…”
Dan mereka keluar sambil tertawa, tanpa mendapatkan barang yang sebenarnya diperlukan Pipan.

* * *

Pipan menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. Ditatapnya Rei yang tengah duduk memeluk lutut, tak jauh didepannya. Apa yang dipikirkan Rei sampai-sampai tak menyadari kehadirannya? Apalagi sekarang sudah larut.
“Memikirkan Edhu?” Pipan duduk disamping Rei. Rei memandangnya tersenyum. Matanya memancarkan selaksa kerinduan yang terpendam jauh didalam dadanya. Ditariknya nafas dalam-dalam, kembali mengubur kerinduan yang hampir membuncah tak tertahan.
Pipan memandang iba. Sudah empat tahun. Cukupkah untuk menahan rindu?
“Kamu menyesal?” pandangan Pipan belum berpaling dari wajah Rei.
“Menyesal untuk apa? Untuk pertemuanku dengan Edhu?”
“Untuk perpisahan yang tak pernah mempertemukan. Pernah mempertemukan, namun hanya sedetik. Itu sama saja seperti menyiram air garam di luka yang menganga.”
“Kalau dipikir selintas memang sangat menyesakkan. Tapi kalau aku berpikir positif, berbaik sangka pada Allah, justru akan terpikir sebaliknya.”
“Bisa kutahu apa itu?”
Rei memandang langit malam, menghitung bintang.
“Malam itu, kerinduanku berada dipuncaknya. Tapi energiku hampir habis, harapanku hampir pupus. Aku mulai ragu dengan kesetiaan Edhu. Lalu kau tahu, Pan? Kedatangannya mengobati kerinduanku, meski sedikit tapi sangat membantu. Lalu kata-katanya tentang aku, membuatku tahu, bahwa dia masih mencariku. Coba kau pikir…” matanya beralih pada Pipan. “Bukankah Allah begitu sayang padaku? Takdir untuk bertemu belum sampai, tapi dia berbaik hati memperlihatkan Edhu padaku, supaya aku tahu kalau Edhu tak pernah berhenti mencariku. Dan dengan begitu harapanku, energiku, tak kan pernah habis. Sampai pertemuan itu sampai.”
Pipan terkesima. Mata yang memendam rindu sangat itu terlihat sangat tegar. Tak ada kata-kata, hanya senyuman dan rangkulan hangat yang Pipan berikan.
“Kalau dipikir lagi, aku ini jahat ya, Pan?”
“Memangnya kenapa?”
“Aku sempat meragukan Edhu, sampai-sampai Allah memperlihatkan kalau Edhu tak seperti dugaanku. Sementara Edhu tak pernah meragukanku sedikitpun.”
“Karena Allah tak perlu menguatkan Edhu dengan memperlihatkanmu padanya?”
Rei mengangguk.
“Tidak jahat Rei, wajar saja. Empat tahun… bukan waktu yang sebentar untuk membuat seseorang sanggup bertahan.” Pipan melihat bintang. Cinta benar-benar memberi nyawa pada kehidupan.
“So… setelah kamu lihat dia, apa dia semakin tampan?” Pipan mengernyit nakal.
“Dia terlihat sedikit kurus dan bertambah tua lima tahun, matanya juga sedikit cekung. Tapi bagiku dia 10 kali lipat bertambah tampan.” Rei tertawa. Tapi hatinya, ikut tertawakah? Entahlah, Rei hanya merasa, gelombang rindu itu bertambah besar, menghentak hati tak henti, dan bergulung didada menyesakkan nafasnya. Tapi apa bisa dilakukan? Tak ada. Sekarang, dia hanya bisa memperpanjang untaian do’a yang tak lelah ia rangkai. Dan ia yakin, Allah Mendengar dan Tersenyum padanya…

Aku tak sanggup meminta apapun
Karena aku malu.
Penderitaanku,
Tak seperi kerinduan Hawa pada Adam.
Dan lukaku,
Tak sesakit Hajar saat ditinggalkan
Namun Robbi…
Bolehkan air mata ini kuurai?
Untuk sebuah permohonan,
Yang sangat.
Bukan untuk pertemuan yang t’lah ditakdirkan,
Atau perjumpaan yang t’lah digariskan.
Hanya untuk,
Perlindungan, baginya dari petaka.
Naungan untuknya, dengan awan Kasih-Mu.
Ketenangan, dari kerinduan yang menghujam…
Ketentraman, 
Dan Cinta-Mu.

Seuntai doa terpanjat lagi dalam sujud panjangnya dipenghujung malam. Hanya dihadapan-Nya ia merasa pantas untuk meratap. Karena Dia yang memisahkan, Dia juga yang berhak mempertemukan.

* * *

Edhu bersila diatas sajadahnya. Lima menit menjelang shalat shubuh. Edhu meraih tas dan membuka dompetnya. Dikeluarkannya sebuah cincin dan diperhatikannya dengan seksama.
Tak mungkin, tak mungkin milik orang lain. Dia sendiri yang membuat design-nya dan memesannya khusus untuk Rei. Ya, dia memesannya khusus untuk hadiah pertunangan kemudian berubah menjadi mas kawin. Jadi tak mungkin salah.
Malam tadi, Andri memperlihatkan cincin itu padanya.
“Bagus kan?” 
Edhu terperanjat. Diraihnya benda berkilau itu dari tangan Andri dengan cepat.
“Menurutmu, istriku akan suka?” 
Edhu tak menjawab. Matanya berkaca. Ia seperti melihat wajah Rei, dan merasakan kehadiran Rei, nyata. Melihat Edhu seperti itu, air muka Andri berubah. Edhu merindukan seseorang.
“Berapa kau membelinya?” Tanya Edhu parau. Rasanya dia ingin menangis. Tapi melakukannya didepan Andri? Tidak, lebih baik ditahan saja.
“20 juta 600 ribu.”
Edhu melangkah kekamar dan keluar dengan kartu ATM digenggamannya.
“Aku tak sekaya dulu. Tapi tabunganku sudah melebihi nilai itu. Aku mau membelinya dan kuharap dengan sangat, kau mau menjualnya.”
Andri menerima kartu yang disodorkan Edhu dengan segudang pertanyaan. Namun pertanyaan itu tertahan, ketika jiwanya merasakan aura kesedihan memancar dari tubuh Edhu.
Andri menimang-nimang kartu itu. Saat itu, Andri baru menyadari kalau masalah yang dimiliki Edhu bukan hanya tentang ayahnya.
Melihat Edhu hanya terdiam memandangi cincin tanpa bergeming sedikitpun, membuat Andri akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Edhu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. 
Dan sekarang Edhu menatap cincin itu lagi. Kekhawatiran muncul dibenaknya. Sulitkan kehidupan Rei sehingga harus menjual barang berharga ini? Atau dia sudah bersama orang lain sehingga tak lagi membutuhkan cincin ini? Ah, Rei bukan orang seperti itu! Lalu kenapa? Jangan-jangan Rei dirampok? Ah, tidak! Mudah-mudahan tidak!
Ya Allah… lindungi Rei-ku…
Suara adzan menepis kegamangan yang melingkupi jiwa Edhu. Kegamangan, yang membuat Edhu ingin terbang sesegera mungkin kesamping Rei kembali…

* * *

Edhu keluar dari sebuah Gedung Rumah sakit. Langkahnya agak tergesa. Ini Rumah Sakit ketiga untuk hari ini. Dan nama Rei tak tercantum dalam daftar paramedis yang bekerja disini. Tak apa, masih banyak Rumah Sakit lain di seantero Jakarta ini yang masih mengantri untuk diperiksa.
Sebenarnya Edhu pernah melakukan ini tiga tahun lalu. Tapi Rei tak ia temukan. Ya, mungkin saja dulu Rei belum diterima, dan sekarang mungkin sudah bekerja. Who knows? Daftar RS sudah ia dapatkan dari berbagai sumber, kini tinggal menjelajahnya.
Edhu menghampiri mobilnya dengan bersemangat. Setiap hari minggu ia melakukan ini. Menjelajah Jakarta, mencari Rei. Ya, hanya hari minggu. Karena di hari-hari lain, Edhu harus bekerja.
Sebelum menstrater mobilnya, ia membuka dompetnya dan mengeluarkan benda berkilauan yang memberinya semangat bertambah-tambah. Cincin inilah yang memberi tahu Edhu, kalau Rei kemungkinan besar masih di Jakarta.
Baik, perjalanan dimulai lagi. Rei, tunggu aku….

* * *




Lagi-lagi, Rei menemani Pipan menghabiskan uangnya. Sekarang sudah mau akhir bulan, dua hari lagi mereka akan menerima gaji, tapi uang dalam dompet Pipan masih tebal. Jadilah Pipan wajib belanja. Tabu baginya jika menerima gaji sementara tangannya masih memegang uang. Untuk masalah ini, Rei ditunjuk jadi duta untuk merubah prinsip nyelenehnya Pipan. Soalnya yang lain sudah angkat tangan dengan helaan nafas panjang. Tapi Rei juga tak yakin kalau ia bisa. Sekarang sudah menginjak tiga tahun sejak ia dilantik, dan perubahan itu tak pernah mengarah kearah perbaikan sedikitpun. Rasanya Rei mulai putus asa...
“Buku sebanyak itu memang kebaca?” Rei menunjuk tumpukan buku yang tersusun tak beraturan diatas meja kasir. Ini salah satu kemajuan yang sudah Pipan capai. Ia sudah mau mengalihkan hobi belanjanya ke barang-barang yang lebih bermanfaat. Buku. Meski memang sih yang Pipan beli cuma buku-buku novel semua. Tapi... tetap saja itu termasuk kemajuan kan?
“Santailah Rei, pasti habis kulahap deh! Lagian kan sayang kalau nggak dibeli! Diskon!” Mata Pipan setengah membelalak. 
Rei menggelengkan kepalanya. Pasrah. 
Saat tengah berdiri menunggu kasir selesai menghitung tagihan, sepasang mata tengah memandang Rei lekat. Sepasang mata yang tengah membelalak memuntahkan kerinduan yang tiba-tiba keluar meluap-luap. Cinta yang terkubur oleh waktu sekian lama, dan kini menyeruak seperti pohon besar yang tumbuh subur dalam waktu sangat singkat. 
“Benarkah itu Rei?” mulut kakunya berucap lirih. Bertanya pada dirinya sendiri, tanpa mengharapkan jawaban dari siapapun, kecuali dari orang yang tengah ia pandang saat ini.
Ia memejam dalam. Mengumpulkan kembali konsentrasi yang buntu tiba-tiba. Lalu ia menarik nafas panjang. Mengisikan oksigen kedalam jantungnya, agar ia kembali berdetak setelah beberapa saat berhenti, lalu memompakan darah keseluruh tubuh agar ia bergerak dan melangkah mendekat kearah perempuan itu.
“Rei...,” sebuah suara lirih kembali terdengar. Kali ini tepat dibelakang Rei. 
Rei menoleh cepat.
“Rei? Sungguhkan ini kau?” mata lelaki itu memanas. Tapi menangis? Tuhan, tolong... jangan sampai itu terjadi...
Mata Rei terbeliak. “KAK RIZ!” Rei setengah memekik. 
Suaranya membuat Pipan menoleh. Rizman? Lelaki itu disini? Benar. Bayangan lelaki jangkung berulit putih itu tertangkap retina matanya. Meski bahunya bertambah lebar dan suaranya terdengar semakin besar, tapi pemilik mata elang itu memang Rizman. 
Sesuatu yang tersembunyi dibalik tatapan yang memancar dari wajah Rizman, membuat harapan Pipan yang melambung jauh tiba-tiba jatuh berdebum lalu hancur. Bahkan dia tak memandang hal lain selain wajah Rei...
Pipan mengeluh.
“Dua ratus tiga puluh ribu empat ratus rupiah.” Kata-kata kasir itu membuat Pipan tersentak dari khayalnya. Lekas ia membuka dompetnya, dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah.
“Belanja buku?” Rizman bertanya pada Rei. Membuat Pipan merutuk dalam hati. Apa matanya buta? Yang membayar buku ini aku! Bukan Rei. jadi mestinya dia tahu kan kalau yang belanja itu aku. Aku! Pipan! Atau nama Pipan memang tak nyantol sedikitpun dalam ingatannya? Bahkan mungkin wajahku ini sudah masuk recycle bin dalam memori otaknya. Ada, tapi ditempat sampah!
“Terimakasih.”
Pipan tak membalas ucapan kasir laki-laki itu meski dengan seulas senyum. Padahal kalau keadaannya normal, Pipan akan bereaksi lebih dari sekedar ucapan ‘kembali’. Karena tahu tidak? Kasir laki-laki itu punya wajah seganteng Vic Zou! Dan untuk itu Pipan akan tersenyum, mencuri pandang, mengerling, dan semua prilaku yang membuat Rei mencubit lengannya dengan keras. Nakal sekali.
Tapi sekarang? Hanya wajah Rizman yang memenuhi otaknya.
Pertemuan dengan Rizman adalah sesuatu yang diinginkannya sejak keluar sekolah dulu. Tapi bukan pertemuan semacam ini!
“Bukan aku yang belanja kok! Pipan,” Rei menunjuk Pipan. Barulah Rizman menoleh pada Pipan. Sesaat. Sekali lagi, se-sa-at.
Dan sebelum sebuah ucapan terdengar lagi, Pipan menarik Rei keluar dari toko. “Yuk! Aku sudah selesai belanja!”
“Oh, kau bersama Pipan ya? Apa kabar kalian?” setengah berlari Rizman menyusul mereka.
Rei tersenyum melihat tingkah aneh Pipan. Anak ini kadang berubah sikap secara mendadak. Tanpa sebab. Apalagi jika dengan sebab yang jelas seperti sekarang?
Rei melepas tangan Pipan yang tengah menggamitnya, sehingga mereka berhenti berjalan. Tepat dipintu. Beberapa orang melewati mereka.
“Kalian sudah makan siang? Bagaimana kalau...”
“Kami sibuk. Masih ada acara. Permisi!” Pipan memotong kalimat Rizman. Tapi ia tak bisa apa-apa ketika Rei menatapnya dengan tatapan lembut yag membuat Pipan jengah. Rei tak setuju dengan sikap ketus Pipan.
“Kami sudah makan siang. Pipan tadi yang traktir aku,” kata Rei menjawab ajakan Rizman yang belum selesai. “Tak berubah ya? Masih suka buku?” sambung Rei.
“Ya... aku tak pernah berubah Rei.” Bahkan cintakupun belum pernah berubah meski berbilang tahun kita tak bersua. Rizman menambahkan kata-kata itu dalam hatinya. “Kau sendiri? Mencari buku? Kau juga senang membaca kan?”
“Ah, tidak! Aku hanya menemani Pipan. Lagipula kesukaanku pada buku tak seperti kegilaan Edhu. Kak Riz tahu? Kalau sudah masuk toko buku seperti ini, Edhu harus kucubit dulu baru bisa keluar. Dan aku akan mencubitnya kalau dia sudah menjelajahi semua isi toko setelah berjam-jam!” Rei tertawa renyah. Tapi Pipan memandang Rei dengan pandangan duka. Rizman bereaksi seperti Pipan.
Tatapan Pipan dan Rizman membuat tawa Rei berhenti perlahan-lahan. Mereka terdiam beberapa saat. Tak ada suara. Yang terdengar hanya riuh suara orang-orang yang berseliweran didalam toko. Atau suara pelayan toko yang menginformasikan sesuatu. Atau suara musik yang dibunyikan keras-keras.
Tapi keheningan melingkupi mereka bertiga. Yang terdengar hanya suara Edhu. Dan yang terlihat hanya sosok tubuh Edhu.
“Kalian belum bertemu?”
Rei menjawab pertanyaan Rizman dengan gelengan pelan. Senyum diwajahnya mengembang perlahan-lahan. Luka tentang cinta itu hanya milikku. Tak perlu orang lain tahu kan Edhu? Sebab luka karena rindu ini hanya tentangmu...
“Oya, Kak Riz ngapain disini? Berkunjung ke rumah saudara atau...”
“Ya sudah, aku tunggu ditempat parkir,” kembali, Pipan memotong obrolan dengan nada ketus yang sama seperti tadi.
Pipan beranjak meninggalkan mereka berdua. Matanya masih sempat mendelik tak suka pada Rizman. 
“Maaf ya, Pipan kadang suka begitu...”
“Tak apa. Lagipula aku sudah maklum. Aku tahu Pipan... Dia Cuma bersimpati sama kamu, karena aku pernah melukaimu...”
Sendu dimata Rizman tiba-tiba meraja. Luka karena sesal yang tak kunjung sembuh. Andai Rei tak terus menunggu Edhu, mungkin ia bisa disamping Rei. Jika itu memang terjadi, Rizman bersumpah, dia tak akan melakukan hal bodoh seperti yang Edhu lakukan. Dia tak akan meninggalkan Rei sedetikpun.
Tapi mungkinkah? Jika kenyataan yang sekarang bersuara sangat lain dengan keinginannya?
Rei masih sangat mengingat Edhu. Lebih dari itu, Rei selalu merasa Edhu ada menemaninya...
Perlukah aku menunggu waktu berputar lagi, sampai Edhu benar-benar terbang dan menghilang sepert asap dari ingatan Rei? Tapi bilakah itu terjadi? Sementara Edhu pun terus mengikat Rei hingga saat ini. Ya, mengikat Rei bukan saja dengan tali pernikahan yang suci, tapi juga mengikat Rei dengan hati kasihnya yang murni.
Ya, Rei tak mungkin lepas, karena Edhu masih kuat mengikatnya. Dan ingatan mereka akan terus bersatu dalam dimensi yang tak pernah terlihat. Dimensi yang tak dimengerti dirinya.
Pertemuan itu... perlukah Rei tahu?
Membiarkan informasi itu tersimpan bukankah akan memberinya peluang? Tapi menyimpan pun berarti ia tengah mengingkari nurani?
Pertanyaan bodoh! Bukankah Rei memang harus tahu? Rizman membuka mulutnya, mencoba bicara. Mengabarkan sesuatu yang tak diinginkan hatinya. 
“Rei...”
“Ya?” Rei menoleh.
“Aku tahu dimana Edhu...,” Rizman mengatakan itu hanya dalam bilik jantungnya. Sementara mulutnya mengatakan hal lain yang mungkin sama sekali tak Rei butuhkan. “Kau tahu sekarang aku kuliah...”
“Oh ya?” mata Rei terbelalak. Ini berita besar! Bukan untuknya, tapi untuk seseorang. “S1 ya? Dimana?”
“UI.”
“Depok?”
Rizman mengangguk.
Allah... pembicaraan seperti ini... adalah obat untuk rasa sakit yang lekat kurasakan. Aku hanya ingin merasakan sebentar... sebentar saja...
Takkah Kau izinkan aku memilikinya barang sebentar....

* * *


Pipan memandang foto itu lekat. Bodoh! Apa yang membuatku menyukainya dan tak pernah bisa melupakannya? Dia memang tampan, tapi perangainya buruk sekali. Lalu bagaimana bisa aku menyukai orang ini? Dasar bodoh!
“Sudah jangan menangis, mereka cuma main-main kok! Nggak sungguhan.” Kata-kata inilah yang pertama kali diucapkan dia, yang terus terngiang-ngiang di telinga Pipan dengan jelas, seolah baru saja dikatakan.
Saat itu Pipan menangis karena dikerjai kakak kelasnya saat MOS, bukan hanya dikerjai untuk menghitung satu persatu paving blok yang menutupi lapangan, tapi juga dimarahi habis-habisan karena, menurut mereka, hitungan Pipan tidak tepat. Saat itu, hanya cowok itu yang bersikap baik padanya. Dan sejak itu, lelaki bermata elang itu mempunyai kedudukan istimewa dihati Pipan.
“Kau menyukainya?” sebuah suara dibelakangnya membuat dia terkejut. Ditelungkupkannya foto berbingkai Winnie the Pooh, yang lupa ia simpan ketika Rei pertama kali datang.
“Kapan kau masuk?” Pipan bertanya gugup pada Rei yang sudah berada disampingnya.
“Pertanyaanku belum kau jawab. Kau menyukainya?”
“Maaf,” Pipan menundukkan kepalanya.
“Maaf hanya untuk sebuah kesalahan, dan kau tak melakukan kesalahan apapun.”
Pipan memandang Rei.
“Dia hanya masa laluku. Kau berhak punya perasaan khusus padanya. Aku minta maaf, karena dulu aku tak peka...”
Pipan menggeleng. “Tidak, aku memang tak ingin orang lain tahu.”
“Kalau begitu, mulai sekarang dia berhak tahu.”
“Tidak Rei, dia tak pantas untuk dicintai. Aku saja yang bodoh, menyukai orang seperti itu.”
“Tidak Pipan, itu bukan kesalahannya. Lagipula kalaupun iya, setiap orang pernah punya kesalahan. Tapi sekarang dia sudah berubah.”
“Maksudmu?”
“Nara bilang padaku, kalau dia menipu Kak Riz. Dia mengatakan pada Kak Riz kalau aku menunggunya di tempat itu, lalu Nara melakukannya.”
“Dan Rizman diam saja.” Pipan berpaling tak suka.
“Jika aku tak keburu datang, Rizman pasti sudah menampar Nara.”
“Bagaimana kau tahu itu?”
“Rizman mengatakannya dan aku percaya.”
“Lalu kenapa kau memutuskannya?”
“Karena luka itu terlalu sakit…” Rei menghela nafas panjang. “Tapi jangan khawatir, semua sudah berlalu. Sekarang aku sangat bahagia mempunyai Edhu.” Rei tersenyum ceria.
“Oh ya, yang menelefon barusan itu Kak Riz. Aku menyimpan nomor telefonnya, kau mau?”
Pipan menggeleng.
“Jangan pura-pura…”
“Aku tidak butuh!”
“Lalu kalau kubilang Kak Riz ada disini untuk kuliah, apa kau tak tertarik?”
“Apa? Rizman di Jakarta?”
“Nah, senang kan….ha..ha…” Rei tertawa keras. 
“Depok sih. Tapi tetap dekat kan?” kata Rei ketika ia berhasil menghentikan tawanya. “Jangan-jangan... sebentar lagi kalian menyusulku ke pelaminan...”
Rei tertawa lagi. Dan Pipan berkali-kali menimpuknya dengan bantal.

* * *




Rei bertemu lagi dengan Rizman. Kali ini disebuah taman.
Tidak. Sebenarnya, Rizman yang memang sengaja menunggu Rei keluar dari tempatnya bekerja. Lalu dia mengajak Rei ketempat ini, dan mentraktirnya satu gelas es krim. Makanan kesukaan Rei.
Ini bukan pertemuan keduanya dengan Rei. Sudah beberapa kali Rizman melakukan ini. Tapi berbicara hanya berdua dengan Rei, ini yang pertama. Sebelumnya, selalu saja Rei ditemani seseorang. Paling sering Pipan.
Celakanya, Pipanlah orang yang tak disukai Rizman. Dia selalu saja mengatakan suatu hal yang mengingatkan Rei pada Edhu. Apa saja. Malah, pernah satu kali Pipan mengatakan pada Rizman dengan terang-terangan, bahwa Rei sudah ada yang punya.
“Jangan mencari-cari kesempatan. Apalagi berharap, kalau dengan sikapmu itu, Rei perlahan-lahan akan melupakan Edhu. Dengar, itu tak akan terjadi. Tak akan pernah!”
Kata-katanya membuat Rizman merasa semakin berdosa...
“Terimakasih...” Rizman menghapus lamunannya yang menyebalkan.
“Untuk?” tanya Rei.
“Untuk kesediaanmu menuruti ajakanku.”
Rei tersenyum. Satu sendok es krim ia suapkan kedalam mulutnya.
“Aku yang harusnya berterimakasih...”
Rizman terhenyak. Mungkinkah Rei merasa senang ia mengajaknya jalan? Kalau ya, betapa Rizman bahagia. Walaupun kesenangan itu, hanya untuk mengalihkan ingatan Rei dari Edhu. Walau hanya untuk pelampiasan.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang?”
Rei tak langsung menjawab. Ia hanya diam menerawang, meski suapan demi suapan es krim teratur memasuki mulutnya.
Rizman juga diam. Tak ingin tahu dengan segera apa yang akan dibicarakan Rei. Lebih lama pembicaraan ini berlangsung, lebih baik bukan? Apalagi, ia bisa menikmati wajah Rei dengan sangat tenang.
“Dulu, Edhu sering membelikanku es krim. Tapi kalau aku sedang marah saja. Itu bentuk rayuannya karena dia sudah membuatku menunggu lama. Padahal, aku yang lebih sering membuat dia menunggu. Tapi Kak Riz tahu? Dia tak pernah marah!”
Rizman terdiam. Berita tentang Edhu itu membuat kebahagian yang sempat melintas dalam benak Rizman, berlari sudah. Kenapa mulut Rei selalu latah dengan kata ’Edhu’?
“Dia hanya diam. Ya, dia sangat suka diam.”
“Seperti patung,” kata Rizman. Ketus.
“Edhu orang yang jarang bicara. Kalau pertama kali kenal, kesannya pasti seperti itu. Tapi kalau sudah terbiasa, kita akan betah berlama-lama dengannya. Dia akan mengerti kita tanpa kita bicara. Dia juga sangat suka menghibur dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga. Padahal, kita tak pernah mengabarkan kesedihan kita. Kalau dia itu patung... maka dia patung yang hidup. Patung yang memancarkan aura kedamaian.” Rei tersenyum menerawang.
Dalam angannya tergambar wajah Edhu yang tengah tersenyum. Yang dengan senyumnya itu, gundah yang tengah Rei rasakan hilang sempurna.
“Pernah satu kali, aku termenung didepannya. Aku tengah kesal karena nilai ulanganku jeblok. Edhu cuma mengusap kepalaku, lalu duduk disampingku dan termenung seperti aku. Ketika aku tanya kenapa dia berlaku demikian, dia malah diam dan bertambah sedih. Dia bilang, kalau termenung dan cemberutnya dibantu sama dia, pasti rasa kesalku cepat berkurang. Lalu aku tertawa karena kata anehnya...” Rei tertawa lagi...
Rizman menarik nafas. Hampir kesal sepertinya. Sudah berbilang tahun. Masihkah kenangan tentang Edhu lekat dalam ingatannya?
“Bagaimana kalau... kita bicara tentang kita saja?” Rizman memotong tawa Rei. Membuat tawa dan senyum itu benar-benar berhenti.
“Maaf...,” kata Rei sendu. 
“Kau mau bicara apa tadi?”
“Oh, ya. Tentang Kak Riz.”
“Tentang aku?”
Rei mengangguk. “Hubungan Kakak dengan Nara...”
“Jangan bicarakan dia!” Rizman berpaling tak suka.
Rei terdiam. Dari nada bicara itu Rei tahu, hubungan diantara mereka berdua belum ada perbaikan. 
“Kalau begitu... sekarang kakak sendiri kan?”
“Maksudmu?”
“Apa Kakak tidak memikirkan tentang pasangan hidup?”
Mata Rizman terpaku menatap Rei. Bukankah itu juga yang ingin ia bicarakan?
“Tentu Rei, itulah yang ingin aku bicarakan sekarang!”
Rei terpana. “Benarkah?”
Rizman mengangguk mantap.
“Jadi apa yang kuharapkan terkabul?”
“Memang apa yang kau harapkan itu, Rei?”
“Kakak memikirkan dia barang sedikit.”
“Dia?”
“Pipan. Kakak memikirkannya kan? Kakak tak sungguh-sungguh membencinya?”
Rizman terkesiap. Pipan? Kenapa ada nama orang lain lagi diantara mereka?
“Tidak! Aku tak pernah memikirkannya!”
“Tidak pernah? Padahal kupikir...”
“Tidak bisakah kita bicara tentang kita?”
“Tapi menurutku kalian sangat serasi. Pipan cantk. Pintar. Dia juga sangat perhatian. Apa yang kurang dari dia?”
“REI!” Rizman sedikit menyentak. Membuat mulut Rei tiba-tiba terkatup kaku.
“Aku tidak pernah memikirkan seorangpun perempuan! Kecuali kau!”
“Apa?”
“Ya,” suara Rizman memelan. “Sejak dulu, sejak aku mengatakan suka padamu, sejak itu aku hanya memikirkan kamu. Apa kau tak menyadarinya sedikitpun? Aku mencintaimu...” Rizman terdiam. Pandangan matanya mengabur. Apakah mengeluarkan isi hati seberat ini? Padahal bukan itu saja yang ingin ia keluarkan. Banyak. Belum penuh seluruh isi dada ia keluarkan. Tapi mulutnya sudah terasa lelah, dan lemah...
Apakah karena kata-kata itu memang tak seharusnya keluar? Tak Allah izinkan?
Bahkan setitik airmata menetes begitu saja. Biarlah... jika itu akan menguatkan kepercayaan Rei padanya...
Sehembus angin bertiup. Membawa serta waktu yang mengalir diantara mereka berdua. Beberapa lama. Lalu ketika hembusan itu telah pergi, Rei menarik nafas panjang. Matanya berpaling dari wajah Rizman yang memaku tatapnya.
Edhu... maafkan aku... Maafkan aku karena telah membuat seorang laki-laki mempunyai harap...
“Maaf...,” satu kata berhasil keluar dari bibir kelu Rizman.
“Aku yang minta maaf. Karena dadaku... sudah penuh dengan dia... dan perasaan kasih itu, sudah mengakar kesetiap jaringan sel yang menyusun tubuhku.” Rei berdiri. “Jadi maafkan aku Kak Rizman...”
Tatapan Rizman mengiringi langkah-langkah panjang Rei...
“Apa tak terpikir olehmu Rei? Edhu mungkin sudah bahagia. Dia mungkin sudah punya anak dan menjalani kehidupan normal seperti yang lain? Apa tak pernah terbayang olehmu? Mungkin saja Edhu telah melupakanmu? Tidak! bukan mungkin, tapi memang Edhu sudah lupa padamu!”
Rei terkesiap. Langkahnya berhenti. Lalu tubuhnya berbalik otomatis.
“Apa?” Rei berharap apa yang baru saja didengarnya hanya kesalahan angin. Ya, angin yang salah menyampaikan gelombang suara sehingga sampai tak sebagaimana mestinya.
“Waktu bisa merubah seseorang kan Rei...”
Satu tetes airmata jatuh menyusuri pipi merahnya. Pernahkah terpikirkan? Pernahkah terbayangkan? 
Rei menarik nafas amat panjang. Terlintaspun tidak Edhu... 
“Aku tak tahu Kak. Tapi yang pasti... Allah memberiku ketetapan hati, dan Edhu yang selama ini kukenal meyakinkan aku dengan tingkah lakunya. Semua memberi kepastian... bahwa Edhu akan datang...”
“Lalu sampai kapan kau akan menunggu? Sampai beruban?”
Tetes-tetes bening mengalir lagi. Lalu tanpa menjawab, Rei berlalu dari hadapan Rizman. 
“SAMPAI KAPAN KAU MENUNGGU DIA??”
Teriakan Rizman berlalu seiring menghilangnya Rei dari pandangan Rizman.
Satu isakan terdengar ketika mereka telah berjarak. Allah... jangan pertemukan aku dengan laki-laki itu lagi...

* * *

Malam yang dingin. Edhu menarik selimut tebal hingga menutupi seluruh tubuhnya. Kantuk lelap yang seharusnya sudah dicapai, tak kunjung mendekat. 
Edhu membolak-balik tubuhnya, mencari posisi yang enak. Tapi sudah berganti-gantipun, posisinya tak jua nyaman. Angin dinginkah yang telah membuat kantuknya berlari pergi lalu menjauh tak terjangkau? Atau perasaan yang sedari tadi terlepas liar dan melesat lepas dari kendali pikirnya?
Edhu bangkit, lalu duduk tepekur memeluk lututya sendiri. Malam yang senantiasa ia lewati selalu seperti ini. Berlalu tanpa jawab dan jejak. Sampai kapan ia tak akan nyenyak? Sampai Rei terbaring damai disisinya? Sampai senyum Rei menghiasi langit hatinya?
Astaghfirullah... 
Edhu mengusap mukanya. Menarik nafas panjang mengurai sesal. 
Edhu turun dari tempat tidurnya. Menarik gorden dan membuka jendela. Dipandanginya langit yang menaungi dunianya. Dunia Rei dengan dirinya.
Angin masih berhembus. Namun tak ada yang mampu masuk dan menusuk jaringan tubuh Edhu. Kedinginan itu menjauh karena menyerah kalah pada suhu tubuh Edhu yang semakin memanas.
“Katakan padaku Rei... bagaimana lagi harus kutekan gelora ini?”
Angin berhembus lagi. Membawa gelombang bisikan Edhu dan menyampaikannya pada mimpi malam Rei yang tak pernah lelah menunggunya.
“Rei... aku rindu padamu...”

* * *


















Makan malam terasa sangat hambar Rei rasakan. Sebab waktu selalu memutar ulang cerita yang telah berlalu beberapa hari yang lalu. Dan layar ingatannya, selalu menyumbat selera hidupnya dengan gambar seorang laki-laki yang teramat menyebalkan. 
Tapi semua mungkin kesalahan Rei. Karena Rei begitu mudah memaafkan pengkhianatannya, dan bermimpi menjalin pertemanan yang indah. Tapi kenyataan memang tak mudah. Apalagi ketika mimpi Rei untuk meyatukan laki-laki itu dengan sahabat terbaiknya, harus kandas bahkan sebelum Rei menguraikan keinginannya.
Lalu keakraban yang ia jalin telah disalahfahami Rizman. Jika begitu bukankah Rei juga yang salah?
Padahal dia adalah wanita yang telah bersuami.
Mengingat semua itu, Rei merasa bersalah pada Edhu. Sangat.
Namun disisi lain, Rei juga sedikit terpengaruh dengan kata-kata Rizman. Apalagi ketika kerinduan yang ia tekan mulai mencuat tak tertahan. 
Edhu mungkin sudah bahagia. Dia mungkin sudah punya anak dan menjalani kehidupan normal seperti yang lain? Apa tak pernah terbayang olehmu? Mungkin saja Edhu telah melupakanmu...
Dalam gamang itu, kata-kata Rizman mulai membisik dan merasuk kedalam sanubarinya. 
‘Waktu bisa merubah seseorang’. Lalu bisakah waktu juga merubah Edhu?
“Kau tak makan Rei?” Pipan menghampiri Rei yang sudah setengah jam ini hanya memainkan sendoknya.
Rei sedikit tersentak. Lamunannya hilang.
“Tak tahu, sepertinya aku sudah kenyang.” Rei tersenyum. “Kau belum makan kan? Bagaimana kalau kau makan ini? Belum kusentuh kok! Hanya saja jadi sedikit dingin...”
“Memangnya, kamu tak lapar?”
“Tadi diruangan, Anya membawa camilan. Jadi aku kenyang.”
“Benar?”
Rei mengangguk mantap.
“Lalu barusan, siapa yang meneleponku? Bilang kalau tadi siang kamu sama sekali tak menyentuh makanan? Apa itu Anya yang lain?”
Rei menelan ludah.
“Anya, juga kami, mengkhawatirkamu Rei...”
Sudah satu tahun ini Anya tak tinggal bersama mereka. Dia sudah menikah. Tapi Anya masih bekerja bersama mereka, sehingga mereka masih kerap bertemu. Selain Anya, dua orang yang lainpun sudah tak bersama mereka. Ana, Rani dan Sari. Ana dan Rani diterima sebagai PNS, sedang Sari, dia tengah melanjutkan sekolah.
“Ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan, Rei?” Wina yang baru datang tiba-tiba bertanya sembari menyentuh pundaknya. “Apa tentang Edhu?”
“Tidak!” Pipan yang menjawab. “Kamu tak pernah seperti ini kalau sedang memikirkan Edhu. Pasti ada hal lain kan, Rei? Apa tentang laki-laki menyebalkan itu? Anya bilang, beberapa hari yang lalu, dia melihat kau berjalan dengan dia. Apa yang dia katakan?”
“Tak ada...,” Rei tersenyum. Tapi tak bertahan lama. Sesuatu tiba-tiba menyesakkan dadanya. Salahkah jika pertahanannya mulai melemah sekarang ini?
“Rei...” Wina memeluk Rei erat.

* * *

Edhu menghela nafas panjang. Selesai sudah gladi resik yang ia lakukan. Besok, adalah pertunjukan pertamanya dengan Praha Orchesta. Permainan biolanya masih jauh dibawah pemain yang lain, tapi ia akan berusaha keras dengan sepenuh hati dan jiwanya.
Dari tempatnya duduk, Edhu melihat kursi penonton dengan takjub. Besok, kursi itu akan penuh dengan orang-orang yang ingin mendengar permainan mereka. Ini pengalaman pertama Edhu. Jantungnya sedikit berdetak lebih cepat. Ah, apalagi besok? 
Edhu tersenyum sendiri. Rei… andai besok kau disini. Tiba-tiba jantung Edhu berhenti berdetak. Dilihatnya Rei tengah mengacungkan ibu jari sambil tertawa padanya. Sebuah aliran kerinduan tiba-tiba menyeruak keluar dan menyebar hingga keseluruh pembuluh darah kapiler dalam tubuhnya.
Edhu berdiri dan melangkah ke arah Rei. Namun saat matanya bekedip, Rei sudah menghilang lagi. Edhu menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Dadanya meradang, kemana kerinduan yang sudah berkuasa dan menyesakkan tadi ia alirkan? Rei, kumohon… datanglah… agar aku bisa merengkuhmu erat…
Ditengah kerinduan yang memuncak, tangan Edhu menggesekkan busur pada dawai biolanya.

Beatiful girl, whereever you are
I knew when I saw you
You had opened the door 
I knew that I’d loved again
After along, long while
I’d love again

You said hello
And I turned to go
But something in your eyes
Let my heart beathing so
I just kew that I loved again
After along, long while
I’d love again
...

 Semua orang yang tengah beristirahat, menghentikan aktifitasnya, yang berbicara menutup mulutnya, yang sedang makan menghentikan suapannya, yang sedang melap biola mengkakukan tangannya. Semua memandang Edhu masygul. 
Permainan Edhu memang tak sepiawai Idris Sardi sehingga mereka perlu takjub. Mereka hanya terkesima, karena apa yang Edhu mainkan begitu mereka rasakan. Ya, lewat gesekan biola itu mereka tahu, Edhu tengah merindukan seseorang.

It was destiny’s game
For when love finaly came
I rushed in line
Only to find
That you were gone

Where ever you are, I fear that I might
Have lost you forever, Like a song in the night
...

Beberapa gores luka menyakiti hati Edhu. Kenangan bersama Rei tergambar lagi dalam ingatannya. Saat Rei tertidur dimobilnya setelah lama menangis, saat Rei duduk disampingnya, memandang hujan diluar jendela bus, dan terakhir saat Rei mencium tangan kanannya takjim, waktu Edhu akan meninggalkannya malam itu. Saat itu Rei tersenyum mengantar kepergiannya. Namun matanya… memancarkan sorot mata yang memohon Edhu untuk tinggal.
Edhu kembali meradang. Duhai… kenapa Edhu baru menyadari sorot mata itu, justru setelah ia meninggalkan Rei jauh…

Now I knew that I’v love again
 After along long while
I'd loved again …

Rasa menyesal sangat, kerinduan tak tertahan, cinta yang meluap-luap bercampur dan bergolak dalam hati Edhu.

I loved again…

Dadanya pecah dan membuncahkan segala isinya keluar…

And I'm glad that is you…
Beautiful girl….

Segera setelah lagu selesai, Edhu terduduk lunglai, pertahanannya goyah, air matanya tumpah.
Tidak, ya Allah… cinta dan kerinduan ini jangan membuatku lemah. Aku butuh energi untuk terus mencarinya lagi. 
Rei… mengapa engkau tak jua kutemukan? Datanglah padaku cepat, sebelum harapanku habis…
Dan semua yang melihat masih terpaku. Pikiran masing-masing mereka bertanya, adakah gadis yang dirindukan Edhu ini tahu bahwa cinta yang Edhu simpan begitu dalam? 
Edhu masih tergugu dan larut. Dan mereka terus terkesima…

* * *

Edhu terpaku, hampir-hampir saja kata-kata yang baru saja didengarnya membuatnya benar-benar menjadi patung batu.
“Lalu…kenapa anda memilih saya?” Edhu menjawab pertanyaan laki-laki tua dihadapannya dengan pertanyaan pula.
“Setiap Praha Orchesta mengadakan pertunjukan, aku selalu hadir.” Laki-laki tua bermata sipit dan berambut abu-abu itu mengambil tisyu yang menutupi pangkuannya dan menyentuh mulutnya pelan.
Siang itu, Edhu mendapat undangan makan siang dari seseorang yang tak dikenalnya. Andri menyarankannya untuk memenuhi undangan itu, karena katanya orang yang mengundang adalah seorang produser rekaman musik-musik instrumen terkenal dari negeri sakura. Dan dia adalah seorang pecinta musik klasik.
“Terimakasih.”
“Tidak, bukan karena permainan kalian bagus. Tapi karena aku ingin melihat permainan biola seseorang yang terlihat sangat menyentuh.” Laki-laki itu meletakkan gelas jangkung berisi air putih yang hanya seteguk ia minum.
“Maksud anda?”
“Kau, aku hanya ingin melihat permainanmu.”
“Tapi permainan saya biasa saja, saya belum mahir.”
“Memang, permainanmu biasa, tapi dengan sedikit berlatih, akan menjadi permainan yang sangat luar biasa.”
“Lalu, boleh saya tahu mengapa saya?”
“Karena kau memainkan melody bukan dengan biolamu, tapi dengan hatimu.” Lelaki itu memandang Edhu lekat. “Lagipula, kalau kau menerima tawaranku, pencarianmu akan lebih mudah.”
“Saya tak mengerti.” 
“Kau akan terkenal, jadi gadis yang kau cari itu dengan mudah menghubungimu. Atau bahkan dia… siapa namanya?”
“Bagaimana anda tahu tentang hal itu?” Edhu merasa tak enak, itu urusan pribadinya, mengapa harus dihubungkan dengan bisnis seperti ini? 
“Semua yang mendengar permainanmu akan mengetahuinya, bukan hanya aku.”
 “Jadi, berapa uang yang akan saya dapat dan berapa keuntungan yang akan anda terima?” Edhu berusaha menmbunyikan rasa tidak sukanya. Orang berduit selalu pandai mengambil peluang bisnis. Dan melody yang ia mainkan bukan untuk itu. Dia tak mau dimanfaatkan.
Lelaki dihadapannya hanya tersenyum.
“Kau bisa bermain dengan jiwamu, hatimu halus dan jiwamu fokus, dan tubuhmu berada dibawah kendali itu. Aku sudah lama mencari orang seperti itu, sekian lama. Tak disangka, setelah kepalaku beruban, aku baru menemukannya.” Laki-laki itu tersenyum lembut pada Edhu. Dia ingin semua orang menikmati keindahan melody Edhu. Kalaupun bisnis, itu nomor kesekian. Dia ingin Edhu tahu itu. Dan sepertinya Edhu mengerti.
“Lagipula, permainan jiwamu itu kurang bagus untuk permainan berkelompok macam orkestra, kau terlalu menonjol. Tak bagus.”
Beberapa saat mereka terdiam. 
 “Jadi bagaimana?”
“Saya pikirkan.”
“Semoga jawabannya bisa memuaskan.”
Edhu tersenyum tulus. Dan lelaki itu berpamitan, meninggalkan Edhu sendiri. Hidangan sushi yang tadi sangat menggugah seleranya, seketika tak menarik lagi perhatiannya. Matanya menerawang keluar jendela.
Jika aku terima tawarannya, mungkinkah memudahkan pencariannya?

* * *
















Rei menuruni tangga perlahan-lahan. Ada sesuatu yang aneh yang sedang terjadi dalam tubuhnya. Pandangan memudar, kepala seolah berputar. Lalu beberapa detik kemudian, kesadaran Rei benar-benar hilang. Seiring dengan itu, tubuhnya melemas, ia terjatuh, berguling dan berdebum. Menimbulkan suara berisik yang menarik Maya dan Wina keluar dari kamarnya.
“Rei?” Wina menghampiri suara.
“Ya ALLAH... REEII...!” Maya berlari menghampiri Rei yang jatuh tertelungkup.
“Maya! Kenapa?”
“REI, WIN! CEPAT SINI!!”
“INNALILLAAHI...”

* * *

Edhu terhenyak.
Lagi, tidurnya terusik mimpi. Meninggalkan peluh bercucuran, memotong-motong nafasnya hingga terengah patah-patah, memukul-mukul dadanya hingga berguncang bergenderang.
Edhu menghela nafas panjang. Mimpi itu begitu jelas terbayang. Melukis wajah Rei yang pucat berairmata.
“Maafkan aku, Edhu...”
Suara lemah itu sayup sampai pada gendang telinganya. Suara Rei yang telah sekian lama ia rindukan.
Edhu meremas tangan Rei yang melingkar diperutnya. Rei memeluknya dari belakang.
“Bukankah maaf itu untuk sebuah kesalahan?” tanya Edhu dengan berbisik pula.
Punggungnya merasakan, kalau kepala Rei mengangguk pelan. 
“Ya Edhu, kesalahan karena aku telah kalah...”
Kening Edhu berkerut. Namun belum sempat Edhu mengeluarkan suara untuk bertanya, punggung tangan Rei dalam gengamannya, perlahan mengabur hilang. 
Edhu panik. Dibalikkannya badan, lalu wajah berairmata milik Rei tertangkap matanya.
“Jangan menghilang lagi...,” Edhu meradang, mengeluarkan kata yang meninggalkan sayatan luka. Tangannya meraba pipi Rei, namun ia hanya menyentuh angin.  
“Maaf...”
Lalu Rei benar-benar menghilang...

* * *

“Racun apa yang kau jejalkan ditelinga Rei?” 
Sebuah suara membuat matanya memicing. Rizman bangkit dari tempat tidurnya. Ponsel ditangannya ia cengkram dengan kuat. Kata-kata yang dilontarkan suara itu jelas membuatnya marah. Tengah malam lagi! 
“Aku tak tahu apa maksudmu?” 
Jika bukan wanita itu yang menelepon, Rizman akan menutup dan membanting HP-nya dengan kasar. Beruntung saja dia, karena Rizman masih menganggapnya sebagai teman Rei.
“Apa perlu kujelaskan bodoh?”
Mata Rizman membulat. Bilang apa dia?
“Satu bulan yang lalu, siang hari, ditaman kota. Saat itu, apa yang dikeluarkan mulutmu?” suara itu terdengar tegas menekan. Seolah menahan kemarahan yang tengah berkobar.
Perempuan aneh! Bukankah seharusnya aku yang marah?
“DENGAR! AKU...”
“KAU YANG DENGAR! Rei sakit. Koma. Senang?” 
Lalu sambungan terputus.
Apa dia bilang? Rei? Sakit? Koma? Kenapa?
Jantung Rizman berdegup keras, dan pening kepalanya tiba-tiba meyerang.

* * *

Waktu tengah menghitung detik. Namun menit ke menit yang berlalu seperti melambat dan berjarak.
Satu demi satu nafas berhembus. Dan harap demi harap diuntai tak putus. 
Rei tengah terbaring lemah. Tanpa daya. Dengan selang infus menembus kulit lengannya, dan selang O2 menyambung nafasnya. 
Bu Wida duduk disamping jendela, menatap Rei dari jauh. 
Pipan berdiri disamping jendela yang satunya, menatap kehampaan. Keningnya sedikit berkerut, matanya sedikit memicing. Jelas, ada sesuatu yang tengah ia pikirkan. 
Wina dan Maya berusaha menyadarkan Rei dan merangsangnya dengan berbagai cara.
Anya tertunduk. Memanjatkan do’a tak putus-putus.

* * *

“Kenapa?” Andri menyapa Edhu ketika ia menghubunginya.
“Aku tak tahu, Ndri. Aku mengkhawatirkan dia...”
“Dia? Rei?”
“Bisa temani aku?”
“Mencarinya?” kening Andri berkerut. Diliriknya wanita yang tengah terlelap disamping tempat tidurnya. 
Keluar mencari seseorang yang tak jelas keberadaannya di jam satu pagi? Apa Edhu sudah gila? Oh, jika itu mengenai Rei, Edhu memang sudah gila sejak dulu.
“Kenapa tiba-tiba?” Andri turun dari tempat tidur, berjalan perlahan-lahan keluar kamar. Perakapan ini akan panjang, dan ia tak ingin mengganggu tidur istrinya dengan suara berisik.
“Rei dalam bahaya.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Sesuatu mengabarkan padaku.”
“Sesuatu?”
“Cemas. Aku sangat cemas. Kecemasan itulah yang mengatakan padaku kalau ada sesuatu dengan Rei.” Bagi Edhu, kecemasan itu bagai utusan Tuhan yang sengaja memberitahunya tentang keadaan Rei.
Andri tercenung. Sudah sedemikian kuatkah Rei mengikat Edhu? Padahal waktu sudah memisahkan mereka demikian jauh.
“Edhu..., maaf. Kupikir... aku tak bisa membantumu.”
“Tak apa, aku akan mencarinya sendiri.”
“Tidak tunggu! Jangan kau tutup! Dengar dulu...”
“Apa?”
“Kalaupun kau mencarinya sekarang, belum tentu kecemasanmu menghilang. Belum tentu juga Rei lepas dari bahaya. Benar kan?”
Edhu mengangguk, ragu-ragu. Tak terlihat Andri, namun Andri tahu Edhu menyetujui kata-katanya.
“Tapi aku tak bisa berdiam diri disini, menikmati kecemasan?”
“Tentu saja Edhu. Kau bisa minta tolong pada yang lebih mampu.”
“Siapa?”
“Allah, kan?”
Edhu terdiam ia melirik jam dinding. 01.07. Dini hari.
“Shalatlah. Ia akan mendengar pintamu.”
Edhu tercenung. Andri benar. Rei milik Dia. Hanya Dia yang bisa menjaga Rei. Hanya Dia yang bisa ia titipi Rei.
“Aku akan temani. Hari ini, aku akan berdo’a khusus untuknya...”
Edhu tersenyum. “Terimakasih...,” bisiknya lirih.

* * *

“Rei...”
Sebuah suara bergema dalam relung jiwa Rei. Rei terkesiap. Suara itu... suara Edhu bukan? 8 tahun... memang 8 tahun... Tapi ia takkan salah mengenalinya.
“Rei...” Edhu memanggil lagi.
Dada Rei semakin menghentak. “Edhu!”
Suara itu hilang. Sepi.
“Edhu!”
Seseorang menyentuh tangan Rei. Seorang lagi membelai rambut. Seorang lagi memegang kaki Rei.
“Rei...” panggilan pelan terdengar. Edhukah?
Sebuah tirai perlahan-lahan terbuka. Cahaya remang-remang tertangkap kornea mata Rei.
Satu-satu, Rei memandangi wajah-wajah cemas didepannya. Pipan, Bu Wida, Maya,Wina dan Anya. Tak ada Edhu.
Tentu saja. 8 tahun...., lalu tiba-tiba Edhu memanggilnya? Tak mungkin...
“Syukurlah Rei...” Suara Pipan tercekat, terisak.
Satu tetes air mata jatuh menuruni pelipis Rei.

* * *

Pagi jadwal kuliah tengah menanti Rizman. Tapi bukannya melangkah menuju kampus, Rizman malah berjalan tergesa-gesa dilorong RS. Bukan untuk dinas, tapi untuk mengejar Rei. Kata teman Rei di RS. Bersalin Asy-Syifa, Rei dirawat di RS ini. Tapi ruangan mana, mereka tidak memberi tahu.
Sosok seseorang dari kejauhan membuat Rizman tersenyum.
“PIPAN!” Rizman berlari.
Orang yang Rizman tuju berhenti sejenak. Namun setelah ia menoleh pada Rizman, cepat ia berbalik dan berjalan tergesa. Termos air panas dan bawaan yang ia bawa di kedua lengannya, membuatnya tak bisa memberi jarak pada laki-laki itu. Rizman berhasil mengejarnya.
“Tunggu, Pan!”
“Sampai juga kamu disini?” Pipan masih berjalan cepat, menuju keluar RS. Kata-katanya seperti kata-kata yang biasa ia lontarkan pada Rizman. Ketus, dan penuh amarah.
“Dimana Rei dirawat?” Rizman menjajari langkah Pipan.
“Takkan kuberitahu.”
“Pan!” Rizman menarik lengan Pipan, hingga termos yang ia pegang hampir terjatuh.
“Oh, maaf. Tapi demi Tuhan, kamu harus memberitahuku dimana Rei dirawat. Aku benar-benar mencemaskannya...”
“Oya?” Pipan berbalik menghadap Rizman. “Siapa yang kamu cemaskan?”
“Rei tentu saja.” Rizman terpancing, ia kesal. “Bagaimana keadaannya?” suara Rizman melemah.
“Kau tahu? Kalau orang yang bertanya itu Edhu, aku baru akan menjawabnya. Karena...”
“PIPAN!” tentu, kata ‘Edhu’-lah yang membuat Rizman tak sabar. Pipan tahu itu, sehingga seringai sinis kemenangan tersungging dibibir tipisnya.
“Atau, kalau pun bukan Edhu, paling tidak orang itu bukan orang yang membuat Rei sakit.”
“Aku tidak membuatnya sakit.”
“Oh, ada yang merasa?”
“Pipan..., kumohon... aku ingin tahu keadaannya, apa dia baik-baik saja?”
“Ya, dia akan baik-baik saja, jika dia tak pernah bertemu denganmu.”
“PIPAN!!”
“Apa yang kau katakan padanya?”
“AKU TAK MENGATAKAN APA-APA!”
“APA YANG KAU KATAKAN?”
“TIDAK ADA! DIA SAKIT KARENA EDHU!”
“8 TAHUN DIA MENUNGGU EDHU, SELAMA ITU JUGA DIA BAIK-BAIK SAJA. SETELAH DATANG KAMU...”
“YA! 8 TAHUN! KESABARANNYA SUDAH HABIS!”
“KARENA PENGARUH KAMU! KARENA KATA-KATAMU! KARENA RACUN YANG SENGAJA KAMU TENGGAKKAN PADANYA!”
Suara bisik-bisik disekitar membuat pertengkaran mereka terhenti. Mata mereka berkeliling. 
“Bagus! Kita jadi tontonan gratis!” Pipan melangkah pergi. Dan Rizman terdiam ditempatnya dengan pandangan gamang.
KARENA PENGARUH KAMU! KARENA KATA-KATAMU! KARENA RACUN YANG SENGAJA KAMU TENGGAKKAN PADANYA!
Rizman segera menepis suara yang terus bergaung dalam benaknya. Tahu begini, ia tak perlu repot-repot menyusul Pipan.
Masih ditengah bisik-bisik orang lain, Rizman melangkah ke meja informasi. Tentu saja, seharusnya sejak tadi ia melangkah kemari.

* * *

“Maaf, Rei tak bisa diganggu.” 
Seseorang yang membuka kamar tempat Rei dirawat, menyambut Rizman dengan kata-kata ketus. Meski yang ini lebih halus daripada Pipan.
“Aku hanya ingin melihatnya sebentar. Cuma igin memastikan kalau dia baik-baik saja.” Rizman mencoba mencuri pandang dari pintu yang sedikit terkuak. Melihat itu, Wina, yang menyambut Rizman itu, segera keluar dan menutup pintu kamar Rei rapat.
“Aku teman Rei.”
“Aku tahu, Rizman kan?”
“Oh, jadi Pipan yang memberimu pesan macam-macam? Supaya jangan menerima aku karena aku begini dan begitu?”
“Bagus kamu sadar.”
“Perlu kamu tahu, Rei seperti ini bukan karena aku.”
“Aku tak mau dan tak perlu tahu. Tapi yang jelas, Rei baru bisa istirahat. Jadi jangan diganggu. Ok!”
Rizman menatap tajam pada Wina. Membuat Wina sedikit jengah. 
“Lagipula, yang memberiku pesan supaya tak membiarkan seorang laki-laki pun masuk bukan Pipan. Tapi Rei.” Wina berbalik, membuka pintu dan masuk. “Kecuali Edhu,” sambungnya.
Refleks tangan Rizman menahan pintu yang hampir tertutup. “Apa?”
“Artinya, dia tak ingin bertemu denganmu. Faham?”
Dan pintu benar-benar tertutup.
Beberapa saat Rizman terpaku. Rei tak mau menemuiku? Apa Rei membenciku? Karena kata-kataku? Kata-kata yang mana? Kata-kata tentang Edhu kah? Tentang tuduhanku pada Edhu?
Rizman berjalan gontai, mendekati sebuah bangku dan mendudukkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lunglai. Lalu beberapa lama, ia biarkan angannya terbang mengembara...
Didalam, Wina memikirkan kata-kata yang baru diucapkannya. Rei yang menyuruh? Tidak, dia berbohong. Rei bahkan tak pernah mengatakan satu kata pun tentang Rizman, ia hanya diam membaca, atau tersenyum mendengar obrolan kami.
Semua tahu, Rei tengah jatuh. Bahkan mungkin, sekarang, ia tengah jatuh pada titik putus asa. 
Wina berjalan menghampiri Rei yang tengah terlelap. Dipandanginya wajah pucat itu dengan penuh iba. Rasa sedih yang terpendam didalam dasar jiwa Rei, mulai menggerogoti tubuhnya perlahan-lahan. Dulu, cinta itu adalah kekuatannya untuk bertahan. Namun sekarang, justru cinta yang membeku ditengah kobaran itu, yang menjadi sumber penyakitnya. 
Dan yang menyebabkan semua itu adalah Rizman. Ya, Pipan yang bilang begitu. Meski Pipan tak punya bukti, menjauhkan Rizman dari Rei mungkin cara satu-satunya. Bukan untuk menyembuhkan Rei, karena obat untuk menyembuhkan Rei hanya Edhu, tapi sekedar tak membuat penyakit Rei parah. Hanya itu.

* * *
  
Pipan menyimpan piring berisi bubur yang tak dimakan Rei satu suap pun. Sejak tadi, sejak Pipan disini, Rei hanya termenung dan diam. Kalaupun dia bereaksi, paling hanya menanggapi obrolan-obrolan Pipan dengan senyum atau kata-kata yang sangat ringan. Membuat Pipan merasa serba salah.
Tiba-tiba sebuah nada dering ponsel dari saku Pipan membuatnya tersentak. Pipan mengambilnya, lalu menekan tombol, membuka pesan. Dari Bu Wida, bertanya kabar Rei sekarang.
Rei tersenyum memandang Pipan. Bukan tersenyum biasa, tapi tersenyum menerawang.
“Kalau saja... HP sudah semurah sekarang waktu aku bertemu Edhu, mungkin... nasib kami tak akan seperti ini...”
Pipan memalingkan wajah dari layar ponsel, ke wajah Rei yang berkaca. Ia hanya diam, tak tahu harus berkata apa untuk menghibur Rei. Dulu, saat mereka bertemu Edhu, Hp hanya dimiliki kaum borjuis. Edhu, entah punya atau tidak. Yang jelas, Edhu tipe orang yang tak suka kemewahan. Dan saat itu, HP adalah kemewahan, bukan kebutuhan.
“Apa kau... sudah meragukan Edhu Rei?” tanya Pipan tak mampu menahan perasaan jiwanya.
“Waktu bisa saja merubah seseorang. Tapi, aku percaya padanya. Sangat percaya. Hanya saja..., jikapun sekarang dia bersama orang lain..., bukan, bukan karena tak mencintaiku, tapi karena dia harus bersama orang lain... asal dia bahagia, aku akan bahagia...” Rei tersenyum, menutup gemuruh yang mengguncang jiwa dan perasaannya.
Kekuatan Rei sudah melemah. Harapannya sudah habis. Itulah inti dari kalimat Rei. 
Katakan sesuatu! Katakan sesuatu yang bisa menyemangatinya! Pipan berteriak pada dirinya sendiri. Tapi Pipan hanya terdiam, lalu dipalingkannya pandangan keluar jendela, menatap langit yang mendung berawan.
Mendung itu tak juga beranjak dari pagi tadi... 

* * *



Pipan baru keluar dari kampusnya, setelah menyelesaikan administrasi untuk wisuda kebidanannya. Dari kampus seharusnya ada angkot yang mengantarkannya langsung kedepan Rumahsakit tempat Rei dirawat, tapi karena penumpangnya hanya ada Pipan, sopir itu menurunkannya sebelum sampai ketujuan, membuat Pipan jadi kesal.
Ia berjalan cepat sambil bersungut-sungut. Beberapa kernet yang menawari ia abaikan begitu saja. Begitulah Pipan, kalau terlanjur kesal, lebih baik jalan saja meski capek dan sedikit berkeringat.
Berjalan melewati pertokoan, Pipan memperlambat langkahnya. Ia ingin membelikan sesuatu untuk Rei. Tapi makanan apa yang bisa menggugah selera makannya yang buruk? Sementara jus alpukat dan kentang goreng, makanan favoritnya, sudah tak ia lirik sama sekali.
Saat tengah menimbang-nimbang seperti itu, sebuah gambar tersapu matanya, dan sebuah musik menyapa telinganya. Langkah Pipan berbelok ketoko disebelah toko mini market dihadapannya.
Pipan terpaku, menatap sebuah poster yang dipampang besar-besar didepan toko CD dan kaset itu. Hampir saja ia berteriak histeris. Mengeluarkan kegembiraan yang tiba-tiba keluar meluap-luap. Tapi kegembiraan yang amat sangat itu, menguras energinya. Bukannya berteriak dan tertawa, ia malah terduduk dan tergugu. Ya, Pipan menangis. Lama dan hanyut. 
Orang-orang sampai menatapnya kasihan. “Cewek putus cinta,” bisik mereka. Beberapa kemudian memapahnya kesamping. Namun setelah beberapa lama Pipan tertawa, ditengah tangisnya, mereka memandang Pipan aneh dan meninggalkan Pipan begitu saja.
Tak ada waktu untuk menjelaskan, karena sekarang, ia ingin segera terbang kehadapan Rei...

* * *

Pipan menahan langkahnya. Disana, didepan pintu ruangan tempat Rei dirawat, seseorang tengah berdiri kaku. 
Seseorang itu, Rizman tentu saja.
Untuk Rei, Rizman mau menunggu.
Tadi pagi, Wina menengok Rei. Dia bilang Rizman datang. Lalu sekarang? Dia pasti belum pulang. Karena kemarin dan kemarin pun seperti itu. Rizman hanya beranjak saat waktu shalat. Untuk makan? Entah kapan. Padahal Rei sudah dirawat lebih dari lima belas hari.
Pipan menghela nafas panjang. Untuk kesekian kali, satu rasa menguasai cakrawala batinnya. Rasa itu bernama perih.
Pipan kembali mengayunkan langkahnya, kali ini lemas dan lambat. Tak lincah dan tergesa-gesa seperti ia keluar dari toko tadi.
Suara langkah Pipan menyadarkan lamunan Rizman. Kepalanya menoleh. Lalu wajah tampan Rizman berbinar ketika wajah Pipan tertangkap matanya. 
Hati Pipan bergetar. Senyum Rizman adalah mentari baginya. Tapi sebagaimana mentari, senyum itu tak akan bisa termiliki. Tak akan pernah. Sebab mentari akan menyakiti jika ia diraih dan didekap dalam pelukan bukan?
Untuk melupakan luka itu, Pipan memalingkan pandangan dari si mata elang.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi,” kata Rizman, riang menyambut kedatangan Pipan.
Tapi Pipan semakin biru. Memang menungguku, tapi bukan untukku, melainkan untuk memuaskan keegoisanmu sendiri.
“Tak kuliah?” Pipan melewati pintu, melewati Rizman, dan berhenti disisi pagar, menatap kejauhan.
“Bolos.” Rizman juga melangkah, mendekati Pipan. 
“Pengorbanan yang sia-sia,” Pipan bergumam, untuk dirinya sendiri.
Rizman terdiam. 
“Bagaimana keadaannya? Membaik?” tanya Rizman, mengalihkan pembicaraan.
Pipan tak segera menjawab. Ia hanya menatap susunan bunga yang mengelilingi sebuah kolam air mancur berbentuk lingkaran dibawah kakinya. 
Sejak bertemu Rei dulu, saat masuk SPK, Pipan sudah merasa cocok dan ingin dekat dengan Rei. Apalagi ketika Rei pun mendekatinya dan memberinya kepercayaan sebagai penyimpan rahasia. Mereka jadi seorang sahabat yang sangat rekat. Tentang masalah pribadinya, tentang jerawat yang katanya selalu muncul tak diundang (padahal tamu yang satu itu jarang sekali menghampiri Rei), tentang uang jajannya yang hampir habis diminggu kedua (biasanya habis karena beli buku), bahkan tentang cowok yang ditaksirnya. Rizman.
Rei terbuka pada Pipan. Pipan juga, kecuali tentang Rizman, semua yang ada pada diri Pipan Rei tahu.
Pipan tersenyum sendiri mengingat kenangan yang telah jauh tertinggal dimasa yang lama itu. Persahabatan yang sangat indah. Entah apa yang menyatukan mereka, mungkin karena mereka sama-sama anak tunggal. Sama juga seperti Edhu.
Ah, bicara tentang Rei, selalu saja diiringi kata Edhu. Sudah latah. Itu dirinya, apatah lagi dengan Rei, yang memang mengisikan Edhu kesetiap inti sel yang menyusun tubuhnya. Itu artinya, memisahkan Edhu dengan Rei, sama seperti memisahkan matahari dengan panas, memisahkan bintang dengan cahaya. Tak mungkin, sebab mereka telah bersenyawa. Tidakkah Rizman menyadari tentang hal ini? Kalaulah Rizman merasa, walau sedikit saja, ia tak akan berani kurang ajar terhadap Rei.
“Akan kuberitahu, asal kaupun memberi tahu aku satu hal,” kata Pipan setelah lama Rizman tak mengusiknya dari lamunan.
“Tentang kata-kataku pada Rei siang itu? Kalau itu aku tak bisa. Aku sudah bilang, aku tak mempengaruhi Rei sedikitpun.” Rizman menatap koridor yang kosong disisi kanannya, menjauhi tatapan Pipan. Tak mempengaruhi Rei? Rizman tersenyum sinis pada dirinya sendiri. Kata-katanya jelas melukai Rei. Tapi sungguh! Dia tak pernah bermaksud begitu...
“Bukan itu. Lagipula... kalau masalah itu, aku sudah tahu...”
Rizman kembali menatap Pipan tiba-tiba dengan reaksi menyentak yang tak dapat ia sembunyikan.
“Jangan terlalu kaget seperti itu...,” Pipan tersenyum. “Reaksi yang seperti itu justru memberi tanda kalau kau memang mengakui kesalahan itu,” Pipan tertawa hambar. Bodoh! Kalau tak biasa berbohong kenapa memaksakan diri?
“Justru! Aku tidak mengakui!” Rizman sedikit sewot dituduh seperti itu. Sikap kekanakkan khas Rizman yang dulu sering membuat Pipan ingin tertawa. Sekarang pun ingin, tapi Pipan merasa tak berhak.
“Waktu bisa merubah seseorang,” Pipan memandang mata Rizman lembut. “Benar kan, itu yang kau katakan?”
Rizman berpaling lagi. Rei sudah mengatakannya pada Pipan, mereka bersahabat sangat dekat. 
“Rei memang mengatakan kalimat itu, tapi dia tak bilang kalau dia mendapatkan kalimat seperti itu dari orang lain. Bagian yang itu cuma dugaanku saja.” Pipan kembali menatap taman yang menghampar satu tingkat dibawahnya.
“Itu bukan mempengaruhi..., hanya mengingatkan Rei tentang kenyataan sifat manusia...”
Pipan tersenyum sinis. Kenapa tak mengakuinya saja? Sudah jelas-jelas kau bersalah... Kenapa keras kepala? Apa sifat lelaki memang seperti itu? Tak mau walau sekali mengakui kesalahan sekecil apapun didepan seorang perempuan? Gengsi? Tabu?
Tidak! Edhu tak seperti itu. Rei bilang, Edhu selalu mengakui kesalahannya, meski cuma karena terlambat satu detik. Kemudian minta maaf dengan tulus. Lalu kenapa Rizman tak seperti itu? Apa karena sifatnya yang memang buruk? Lalu kenapa aku bisa menyukai lelaki berperangai seperti ini? Lebih parahnya lagi, aku tak bisa membuang bayangannya dari pikiran dan jiwaku! Padahal jelas-jelas dia menampakkan kesalahan didepan mataku...
Pipan memejamkan mata. “Dan, kau sadari atau tidak, kata-kata itu memang diingat Rei. Selalu dan terlalu malah. Sampai-sampai dia tak mau makan, tak bisa tidur, tak konsentrasi bekerja. Yang dia lakukan hanya mengingat itu. Jadi... bisa dikatakan, misimu berhasil kan?” 
Kata-kata Pipan pelan dan datar, namun jelas. Itu adalah pukulan telak bagi Rizman. Muka putihnya berubah merah, dan matanya berkaca pecah-pecah.
“Izinkan aku bertemu dengannya. Kumohon...”
Nada bicara Rizman benar-benar permohonan, menimbulkan iba bagi siapapun yang mendengarnya.
“Satu hal yang kusyaratkan padamu belum kau penuhi.”
“Apa?”
“Saat bertemu ditoko buku waktu itu,” kata-kata Pipan terdengar sangat pelan, sebab kata itu keluar dengan susah payah. Antara enggan dengan berat. Jika pertanyaan itu sudah keluar, siapkah dia mendengar jawabannya? Bagaimana kalau Rizman memang melakukan suatu hal yang selama ini Pipan pikirkan? Sebelum kalimat berikutnya keluar lagi, Pipan menggigit bibir bahwanya. “Kau tiba-tiba berkata pada Rei, ‘kalian masih belum bertemu?’. Bagaimana kau tahu?”
Rizman terkesiap, jantungnya berhenti berdetak. Saat itu, apa ia mengeluarkan kalimat seperti itu? Kalaupun ya, kenapa perempuan ini menyadari hal sesepele itu?
“Akan kucari... sampai energiku habis...” suara Edhu sekitar enam bulan yang lalu terngiang kembali dalam ingatannya.
Saat itu, Rizman bertemu Edhu di sebuah Rumahsakit. Edhu menjenguk istri temannya yang baru melahirkan. Kalau tak salah, namanya Andri. Rizman juga kebetulan tengah Orientasi untuk masa dinasnya selama satu tahun kedepan. 
Allah-lah yang berkehendak mempertemukan mereka...
Mereka bicara banyak. Tak hanya bertukar kabar. Hingga pembicaraan menginjak pada tema ‘Rei’.
“Bagaimana Rei sekarang? Sudah berapa kalian beranak?” tanya Rizman sambil tertawa kering. Tawa yang sangat dipaksakan. Tentu saja mengatakan kata Rei adalah mengingat luka lama yang masih terasa sakit. Luka sesal yang tak kunjung habis. Dan luka rindu yang tak kunjung terobati.
Tawa kering Rizman berhenti, ketika matanya menangkap wajah berkabut milik Edhu.
“Ada apa dengan Rei?”
Edhu membuang nafas berat setelah menghirupnya perlahan-lahan.
“Rei..., kau yang lebih terakhir menemuinya...”
Mata Rizman membulat.
“Delapan tahun... mungkinkah Rei bersabar...” Rizman bicara pada dirinya sendiri.
Edhu menatap Rizman sedih. “Aku tahu siapa Rei, Riz. Aku tahu siapa dia...”
“Waktu berkuasa merubah seseseorang...”
“Allah berkuasa meneguhkan hati hambaNya.” 
Rizman terdiam, Edhu menatapnya tajam.
“Kau ingat, kami sudah menikah...”
Angin dingin berhembus, membekukan udara disekeliling mereka. Saat mereka menyelami perasaan lawan bicara.
Rizman sungguh tahu, Edhu sangat mencintai Rei. Edhu mengatakan itu untuk mengatakan pada Rizman bahwa Allah berada dipihaknya. Sebab Edhu pun tahu, Rizman masih mengharap Rei.
‘Tapi kau meninggalkannya justru setelah kau mengikatnya...’ Rizman mengatakan itu dalam hatinya.
‘Dan kau mengkhianatinya...’ Edhu menjawab juga dalam hatinya.
Kebekuan benar-benar telah mengkristal.
...
Angin berhembus lembut, melambaikan ujung kerudung jingga milik Pipan, menjatuhkan rambut dikening putih Rizman.
“Saat itu, setelah sekian lama kita tak bertemu, bagaimana kau tahu Rei belum bertemu suaminya?” Pipan menekan perkataan pada kata ‘suaminya’, menimbulkan luka cemburu dihati Rizman.
Rizman tak menjawab. Ia memejamkan mata beberapa lama. Ia butuh waktu untuk menetralkan perasaan yang bergolak tiba-tiba. Pertanyaan Pipan benar-benar diluar dugaannya. 
Perlukah dijawab? Ya atau tidak? Berbohong atau jujur? Jujur, seharusnya. Sebab, ia ingin menemui Rei kan? Dan inilah syarat dari pertemuan itu. Tapi apa yang harus ia jawab ketika perempuan ini bertanya ‘kenapa’? Padahal untuk pertanyaan batinnya yang memberontakpun, ia tak bisa menjawab.
Setelah lama terdiam, Rizman akhirnya memutuskan untuk berpaling, lalu pergi. Tak muncul satupun kata kecuali “Sampaikan salamku pada Rei...” 
Untuk apa menjawab? Sedang Pipan sudah tahu jawabannya. Untuk bertemu Rei? Masihkah ia punya muka?
“Kau... bertemu Edhu kan?”
Emosi Pipan mendidih tiba-tiba. Rizman menghindari pertanyaanya. Ini reaksi Rizman yang terburuk yang ia bayangkan. Lebih buruk dari mengatakan ‘ya’ dengan jujur, atau berbohong menggelengkan kepala. Diam tanpa memberikan jawaban adalah pengakuan yang bersembunyi. Pengakuan seorang pecundang. Pengakuan seorang pengecut!
“Kau pernah bertemu dengannya kan?” air mata Pipan jatuh. Dalam hati ia berteriak, ‘berbaliklah!’ Lalu katakan ‘TIDAK!’ dengan keras. Atau paling tidak, akuilah dengan jantan. Agar aku punya alasan untuk tetap menyukaimu...
Tapi Rizman terus berjalan menjauhi Pipan, membuat emosi Pipan semakin menggeledak.
“PENGECUT!!” satu umpatan mengantar Rizman yang menghilang dibelokan.
Pipan memejamkan mata, mengemas emosi jiwanya. Seharusnya aku tak bertanya..., agar dalam pandanganku, kau tetap baik seperti dulu...
“Sulit ya sekolah disini? Kalau nanti punya kesulitan lagi, tanya saja padaku ya! Aku jamin bantu deh!” 
Seorang laki-laki jangkung berkacamata mengulurkan sapu tangan ketika dia menangis dimarahi senior hanya karena keliru melakukan perbeden. Laki-laki itu, siapa lagi kalau bukan Rizman...
Pipan mengeluarkan sapu tangan lusuh dari tasnya. Sapu tangan biru tua khas laki-laki. Diremasnya dan ditangisinya diam-diam...

* * *

Dibelokan koridor, Rizman menghentikan langkahnya. Ia lalu duduk disebuah kursi yang berjajar tiga disamping sebuah pohon pakis kecil yang ditanam didalam sebuah pot besar. Cukup untuk menyembunyikan tubuhnya.
Ia duduk bersandar. Kacamata yang ia kenakan sedikit melorot. Tapi tak ia hiraukan. 
Pengecut... Aku pengecut?
Aku hanya sedang mengejar cinta, mengejar kebahagiaan. Ya, aku hanya sedang menyingkirkan halangan untuk kebahagiaan.
Mereka sudah terlanjur berpisah bukan? Hanya masalah waktu beberapa saat lagi, Rei akan melupakan laki-laki itu, dan Rei akan bahagia bersamaku...
“Bahagia...” Rizman mendesah.
Apa arti bahagia itu? Rizman menutup muka dengan kedua lengannya....

* * *



















Pipan masih mengurai air mata ketika pintu kamar Rei terkuak dengan paksa.
“PIPAN!” Wina keluar dengan muka yang pias. “PIPAN, REI!!”
Pipan terkesiap. Sepersekian detik, Pipan sudah berlari melewati Wina dan masuk kedalam kamar langsung menuju tempat tidur Rei.

* * *

Edhu bersidekap dada. Udara akhir tahun terasa lebih dingin. Malas ia meninggalkan meja komputernya dan meninggalkan pekerjaan baru yang ia tekuni. Hari ini ada 114 e-mail masuk. Kemarin dan kemarin e-mail dari Rei tak ia temukan. Mungkin Rei masih seperti dulu, tak terlalu antusias dengan yang namanya teknologi. Jika ingat itu, Edhu jadi malas melanjutkan pencariannya lewat cara ini. Tapi menurut Andri, jika Rei menemukan kabar tentang Edhu di televisi sekalipun, masalah malas berhubungan dengan teknologi bisa dikesampingkan bukan? Karena itu, Edhu belum bosan menguntai harapan lewat pencarian seperti ini.
Dingin yang semakin menusuk membuat Edhu terpaksa melangkah mendekati lemarinya. Mengambil sesuatu untuk menghangatkan badan. Ketika tangannya refeks mengambil baju hangat ditumpukan paling atas, mata Edhu menyapu sesuatu berwarna putih dibawah baju hangat yang hendak ia ambil.
Tangannya berhenti bergerak. Mata sendunya berubah sedih. 
“Ini rajutanku sendiri. Tak terlalu bagus sih, tapi terima ya, habis aku menghabiskan beberapa malam untuk menyelesaikannya...” 
Wajah Rei yang cerah saat memberikan switer itu terbayang kembali dalam ingatannya. Kalau sedang tertawa seperti itu, pipi Rei akan merekah merah dan matanya akan menyipit. Edhu selalu menggoda Rei kalau dia akan bersembunyi, jadi saat Rei selesai tertawa, Rei akan kebingungan mencari Edhu. Rei akan semakin tertawa bila digoda seperti itu. 
Saat tertawa cerah seperti itulah, Rei kelihatan sangat manis.
Dengan tersenyum Edhu mengambil switer itu, lalu cepat-cepat ia kenakan. Seketika, dingin yang tadi menusuk, berubah hangat dalam sekejap. Tentu saja, dingin itu tak akan berani mendekatinya karena sekarang Rei tengah memeluknya erat. Edhu bersidekap dada, membalas pelukan hangat Rei.
“Edhu...”
Sebuah suara membuat Edhu terhenyak. Rei! Dari mana asal suara itu?
Edhu membuka pintu kamarnya tergesa. Matanya berkeliling rumah, tak ada siapapun, selain ayah.
“Ada apa?” Ayah mengalihkan pandangan matanya dari koran kepada Edhu.
Edhu tercenung sesaat. “Ah, tidak...,” Edhu tersenyum lalu berbalik, hendak masuk kembali kedalam kamarnya.
“Tidak makan dulu Edhu? Dari pagi kau belum makan?”
“Ah, sudah kok!”
“Satu gelas susu?”
“Iya, tapi rasanya masih kenyang, nanti saja...” 
Lalu Edhu hilang ditelan pintu. Ayah mendesah. Switer yang dikenakan Edhu membuat Ayah tercenung lama. Switer itu yang dulu ia pakai saat kehilangan Rei. Sudah delapan tahun yang lalu, mungkin juga lebih, jika Rei memberikannya jauh sebelum mereka berpisah. Jadi switer itu sudah agak lama. Ditambah frekuensi pemakaian yang sangat sering, membuat switer itu sudah kusam. 
Sebuah kekhawatiran menyelinap dalam hatinya. Jika selamanya seperti ini, apakah jiwa Edhu akan baik-baik saja?
Ah, andai ada yang bisa ia lakukan...

* * *

Langkah tergesa beberapa orang perawat membuat Rizman membuka tangan yang menutup wajahnya. Mereka berbelok kearah kanan. 
Arah kanan... arah kamar Rei!
Rizman melangkah mengikuti para perawat itu. Benar! Mereka masuk kamar Rei! Dalam kepanikan Rizman berlari...

* * *

Kondisi Rei memburuk, nafasnya tersengal satu-satu. Seorang perawat dengan cepat, namun tetap terlihat tenang, memasang selang yang menghubungkan tabung 02 dengan hidungnya.
Pipan mengambil tangan Rei. Dingin. Pipan meremas tangan itu, memberi kekuatan.
Allah..., tidak. Kumohon jangan sekarang... Air mata susul menyusul menuruni pipi Pipan.
Rei membuka mata. Lalu ditatapnya Pipan dengan lemah. Senyuman terukir seulas. Hanya seulas saja.
“Kalau Edhu datang...,” kata Rei tersengal. Air mata jatuh dipelipis putihnya. “ Sampaikan pada dia... aku... mencintainya...,” Rei kembali terseyum lemah.
Seorang perawat yang lain, memasang alat tensi dan mulai memompa udara, mengukur tekanan darah Rei.
“Mana dokternya?” Wina bertanya panik.
“Sebentar lagi, sedang kami panggil.”
Wina memegang kaki Rei. Kenapa lebih dingin dari tadi? Allah.... Wina menyeka airmatanya.
“Tidak Rei! Aku tak mau! Kau sendiri yang akan mengatakan padanya. Kau dengar? Kau sendiri yang akan mengatakan padanya....,” Pipan berkata disela isaknya.
Dibelakang, Rizman terpana. Tubuhnya tak mampu bergerak sedikitpun. Matanya terbeliak, wajahnya pucat. Sebuah halilintar menggelegar dalam rongga dadanya.
Disana, ia melihat Rei. Tidak.... mungkinkah itu Rei? Benarkah itu dia? Tak mungkin! Rei tak sekurus itu. Tak mungkin berat badan seseorang turun sedrastis itu dalam hitungan minggu. Tak mungkin! Kulitnya juga lebih pucat! Wajahnya juga tak bercahaya seperti Rei. Pasti bukan Rei! Bukan dia!
“Rei... dengar aku. DENGAR AKU, REI! Kamu yang akan bicara langsung dengannya! Dia yang akan datang kemari dan kalian akan bertemu...”
Apa? Rei? Pipan bodoh! Itu bukan Rei...
Rizman berbalik dan berlari keluar. Ia benar-benar berlari... 
Inikah bahagia itu? Allah... inikah bahagia itu!
Rizman meremas dadanya kuat.

* * *

Lagi-lagi, Edhu terkesiap. Seseorang, ya, seseorang baru saja mengecup pipinya. Edhu meraba pipi kanannya.
Rei! Pasti Rei! Dia menciumku dari belakang. Nafasnya sesak, dadanya tiba-tiba terasa sangat berat. Ada sesuatu yang menghimpit disana.
Mungkinkah Rei tengah merindukannya? Edhu berdiri dan meraih ponsel. 
Aku juga merindukanmu, Rei...
Ia membuka ponselnya, menatap layarnya, lalu diam. Apa yang akan aku lakukan dengan ponsel ini? Siapa yang akan kuhubungi? Rei? Kemana akan kuhubungi dia agar aku bisa mendengar suaranya. Ya, suaranyapun tak apa. Hanya suaranya....
“Edhu...”
Suara itu memang terdengar, dan dua buah tangan membelai kepalanya.
Edhu tergugu...
Rei...

* * *

“Rei... dengar aku. DENGAR AKU, REI! Kamu yang akan bicara langsung dengannya! Dia yang akan datang kemari dan kalian akan bertemu...”
“Pan?” mata Wina yang berair mata menatap Pipan. Apa maksud perkataannya?
“Dengar Rei, Edhu sudah menemukan kita! Sebentar lagi kalian akan bertemu...”
“Pan?” Wina bertanya lagi. Apa Pipan hanya menghibur Rei? Rei juga menatap Pipan dengan pandangan yang sama.
“Tidak, Rei. ini bukan hiburan. Lihat!” Pipan menunjukkan sebuah CD ke hadapan Rei. Rei melihatnya lemah. Pandangannya buram, namun ia berusaha terus memperhatikan. Apa yang akan diperlihatkan Pipan?
Di CD yang Pipan perlihatkan, wajah Edhu memenuhi setengah cover itu, diujung kiri atas, tertulis judul album. TIME FOR US, EDHU. Tidak salah, dia memang Edhu.
Rei mengalihkan pandangan dari Cover CD berwarna coklat itu ke wajah Pipan. “Coklat warna kesukaan Edhu, Pan,” kata Rei tersenyum, dan air matanya meluncur.
Pipan menangguk dan memeluk tubuh Rei yang kurus dan pucat itu. Ia pun tersenyum...

* * *

Pipan membuka gorden kamar. Seketika sinar matahari yang hangat masuk dan menyinari tubuh Rei.
“Bagaimana?” Pipan duduk disamping Rei. 
Sudah satu minggu ini Rei kembali ke rumah. Kondisi kesehatannya terus membaik. Senyumnya terus mengembang, dan pucatnya cepat menghilang. Tapi ada satu hal yang Pipan sesalkan, Rei belum mau menghubungi Edhu. Alasannya, apalagi kalau bukan ‘tak ingin terlihat sakit didepan Edhu’?. Tadinya Pipan kesal, tapi karena Wina, Bu Wida dan Anya mendukung Rei, Pipan tak bisa apa-apa.
“Rei butuh waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi pertemuan itu, Pan. Bukan hanya persiapan fisik, tapi juga hati dan jiwanya. Perasaannya.” Itu yang dikatakan mereka pada Pipan.
“Rasanya berat badanku bertambah sepuluh kilo!” tawa Rei.
Pipan juga ikut tertawa. “Syukurlah, kalau begitu.”
Rei mengangguk. “O ya Pan, bagaimana persiapan wisudamu?”
“Sudah selesai, tinggal tunggu hari H saja.”
“Kapan?”
“Minggu depan.”
“O ya? Secepat itu? aku boleh ikut kan?”
“Jangan ah, kamu belum sehat benar...”
“Satu minggu lagi kan? InsyaAllah, aku sudah sanat sehat!” Rei mengangkat bahunya, berlagak seperti binaragawan memperlihatkan ototnya. 
“Iya, deh! Asal setelah itu, kita langsung menghubungi Edhu. Setuju?”
Rei mengangguk sambil tertawa. Matanya memicing, dan pipinya merona cerah.

* * *

Edhu memasukkan suapan terakhirnya.
“Masakannya enak sekali!” Edhu memuji Ayah tulus. “Padahal Ayah tak perlu melakukan ini.”
“Kamu sediri yang bilang, kalau Ayah harus melakukan kesenangan-kesenangan. Berkebun, lalu mengolah hasil kebun itu, dan menyantapnya adalah kesenangan tak ada tandingnya.” Ayah tertawa. Ya, dibanding dulu, Ayah sekarang banyak tertawa dan bercanda. Edhu senang, karena akhirnya, keakrabannya dengan ayah terjalin kuat. 
Sejak keluar dari penjara, Ayah meminta Edhu membeli sepetak tanah dibelakang rumah ini. Dan beberapa bulan setelah Edhu mengabulkan keinginan ayah, sepetak tanah gersang itu berubah menjadi kebun yang subur. Dan siapa sangka, ternyata ayah berbakat soal ini. Beberapa tahun, kebun itu sudah berkali-kali ganti penghuni dan berpuluh-puluh kali mengeluarkan hasilnya. Tapi Ayah mengambil sedikit untuk mereka berdua, sisanya selalu Ayah bawa kesuatu daerah di pelosok Jakarta dan membagi-bagikannya percuma. Tak banyak memang. Namun sesuatu yang sedikit itu mampu membuat jiwa ayah bahagia. Ya, Edhu melihat pancaran kebahagiaan itu memancar dari sorot matanya.
“Lalu, apa Ayah tak berubah pikiran?”
“Ya, Ayah tetap tak ikut, Dhu. Lagipula kalau Reina datang kesini dan rumah ini kosong, dia pasti amat kecewa…”
Edhu tersenyum.
“O ya, apa Rei sudah mengirimkan e-mailnya?”
Edhu menjawab dengan desahan nafas berat. Entahlah, berhari-hari membuka e-mail dan tak ia temukan tanda-tanda kehadiran Rei disana, membuat hatinya sedikit luka. Edhu takut, jika membuka e-mail lagi dan Rei tak ada. Dan Ayah mengerti hal itu.
“Ayah akan membuka dan mencarinya untukmu.” Ayah menggenggam bahu Edhu kuat. Dan Edhu membalasnya dengan terimakasih yang lirih terucap.
“Oh, aku harus berangkat sekarang, Yah. Aku harus sudah ada di Bandung satu jam sebelum konser dimulai.” Edhu mengecup tangan Ayah. “Do’akan aku.”
Ayah mengantar kepergian Edhu, sampai mobil Edhu melaju dan tak terlihat.
Setelah menutup pintu, Ayah duduk didepan komputer dan membuka e-mail untuk Edhu. Satu persatu, membacanya dengan sabar. Sampai akhirnya, sebuah tulisan membuat Ayah membetulkan posisi kacamata dan membacanya berulang kali…

Assalamu’alaikum. 
Edhu, aku Rizman. Banyak hal yang ingin aku bicarakan, terutama tentang Rei. kapan dan dimana kita bertemu. Aku berjanji atas nama Tuhan, saat pertemuan itu, aku akan membawa Rei serta...

Ayah berlari dan membuka pintu lekas, setengah berlari ia keluar pagar dan melihat jalanan yang ditinggalkan Edhu. Ah bodoh, mana mungkin Edhu tersusul.
Lalu setengah berlari lagi, ia memasuki rumah dan menghampiri meja telefon. Dipijitnya nomor ponsel Edhu. Namun setelah berkali-kali, Hp Edhu tetap mengeluarkan bunyi tak aktif.
“Ah, masih sempat, masih ada 2 hari lagi sebelum ia berangkat…”

* * *

Rei dan Pipan keluar dari sebuah gedung sambil bercengkrama. Pipan baru saja di wisuda, dia sudah jadi ibu Bidan sekarang, seperti Bu Wida. Rei memberinya selamat.
“Saat kita pulang, sang pangeran sedang menunggu kehadiran putri dirumah…” Pipan menggoda Rei. Dan cubitan Rei pun mendarat di pinggang Pipan. Mereka lalu tertawa.
Seorang laki-laki tiba-tiba mencegat langkah mereka. 
“Ikut aku cepat Rei, sebelum telambat!” setelah itu dia berlari lagi kemobilnya. Rei dan Pipan saling pandang. Kenapa dengan dia?
“CEPAT, REI!” suara sungguh-sungguhnya membuat kaki Rei berlari menyusul. Refleks Pipan pun mengikuti Rei.
“Rei, tunggu dong! Aku ikut!” Pipan membuka pintu mobil dan duduk disamping Rei.
“Kita kemana, Kak Riz?”
“Kita ke…”
“Pipan! Rei! Kalian mau kemana?” Orang tua Pipan menyusul, dan memotong perkataan Rizman. Mereka sedikit membungkuk melihat Pipan dan Rei bergantian.
“Kak Rizman mau mengajak Pipan ke suatu tempat, Tante.” Rei menunjuk Rizman yang duduk tepat didepannya.
“Rizman?”
“Oh ya, dia calon menantu Om dan Tante.” Rei bicara asal. Pipan melotot kearah Rei, Rizman juga. Lalu Pipan melihat Rizman dan Rizman melihat Pipan. Pandangan mereka bertemu, lalu saling berpaling muka.
“Oh.” Orang tua Pipan tersenyum senang. Sudah lama mereka meminta Pipan menikah. Tapi Pipan malah memilih sekolah.
“Tenang Tante, ada saya. Mereka takkan bisa melakukan apa-apa.” Rei nyengir.
“Rei! Apaan sih!” Pipan mendaratkan satu cubitan kecil yang membuat Rei meringis sakit.
“Hati-hati bawa mobilnya ya, Nak Rizman!” Ayah Pipan melihat Rizman ramah.
“Eh, iya Om.” Rizman mengangguk kikuk. Menantu? Yang benar saja! Ia ingin menolak, ini terlau cepat. Tapi sudahlah, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan.
Lalu mobil melaju cepat setelah mereka berpamitan.
Orang tua Pipan melihat dari kejauahn.
“Ngebut sekali!” Ibu Pipan mengurut dada.
“Itu artinya dia lelaki.” Ayah Pipan tersenyum bangga.
“Tapi bagaimana kalau ada apa-apa.”
“Tidak apa-apa. Jiwa muda memang seperti itu.”
“Iya sih, lagipula Rizman ganteng. Namanya bagus lagi ya, Pa?” Lelaki yang dipanggil Pa itu tersenyum setuju.
Dimobil, Pipan terlihat sewot. 
“Apaan sih kamu Rei?”
“Sudah, nanti saja. Sekarang kita dengar dulu penjelasan Kak Riz. Kita mau kemana, Kak?”
“Ke Bandung, kita aka menonton konser Edhu. Itupun kalau belum terlambat.”
“Edhu melakukan konser?” Hati Rei berdebar keras, dia akan berjumpa dengan Edhu.
“Ya, di Sasana Budaya Ganesa. Konser yang terakhir, sebelum dia ke Jepang dua hari lagi.”
“Ke Jepang?”
“Ya, dia akan melakukan Tour. Jadi kalau sekarang kita terlambat, beberapa saat kedepan kita takkan bertemu Edhu.”
Edhu akan ke Jepang? Dua hari lagi? disaat detik-detik terakhir penantiannya? Atau mungkinkah harapan itu cuma mimpi semata? Takkan pernah terwujud selamanya? Tubuh Rei lemas, hatinya harap-harap cemas.
“Jam berapa konsernya dimulai?” Pipan memeluk Rei memberi kekuatan.
“Satu jam lagi.” Rizman mengendrai mobil dengan cepat. Jalan tol Cipularang terlihat lenggang, memudahkan mereka sampai lebih cepat.
“Perjalanan 3 jam lebih, dan konsernya dimulai satu jam lagi. Bagaimana ini?”
“Tenang Rei, berdo’a saja…”
Edhu.. kumohon, jangan pernah pergi sebelum kamu sempat melihatku, merasakan keberadaanku, menyadari do’a-do’aku. Edhu…bukankah hati kita menyatu?

* * *

Edhu berdiri di tengah panggung dengan sedikit canggung. Ini pengalaman pertamanya melakukan konser tunggal. Apakah akan dilalui dengan baik? 
Edhu melirik ke arah Kevin, dan lelaki berkacamata itu tersenyum padanya. Kevin adalah seorang pemain Piano yang piawai. Edhu merasa surprise Kevin mau mengiringi permainannya, benar-benar sebuah penghargaan yang sangat besar. Tadinya Edhu meminta Andri yang melakukannya, tapi Andri malah memperkenalkannya dengan Kevin. 
“Aku takut dipecat bos ah, banyak kerjaan yang harus kuselesaikan.” Andri berkilah. Edhu tahu, itu bukan alasan sebenarnya. Andri ingin Edhu bermain total, dan menjadikan Kevin sebagai pengiring, akan sangat membantu Edhu untuk belajar banyak. Asal tahu saja, Kevin seorang Pianis yang diperhitungkan. Koser solonya sudah merambah ASEAN, dengan begitu asam garamnya dalam dunia musik sudah banyak. Dan hal ini tak ingin Edhu sia-siakan.
“Bismillah, Dhu.” Kevin berbisik, memberi Edhu kekuatan lebih. Edhu harus tenang, karena itulah kunci sukses sebuah permainan. Itu kata-kata Kevin saat latihan pertama kali beberapa waktu lalu.
“Bismillah…” Edhu menarik nafas dan memberi aba-aba pada Kevin untuk memulai.
Tepuk tangan memenuhi setiap penjuru Gedung Pertunjukan, dan berhenti tiba-tiba ketika sebuah melodi mulai terdengar. Ave Maria mulai dimainkan, dan semua diam mendengar.

* * *
“Sudah dimulai.” Rizman melihat pergelangan tangannya. Laju kendaraan bertambah cepat, semua mobil yang ada didepan mereka tersusul semua. Keadaan ini membuat tubuh mereka terbanting kekanan dan kekiri.
“Hati-hati Kak Rizman! Bisa sedikit lebih pelan?” Pipan merangkul bahu Rei. Kali ini bukan menguatkan Rei, tapi laju kendaraan yang diluar batas membuatnya sedikit ketakutan.
Rizman memelankan laju kendaraan. Tangannya meraih tape mobil dan memutar gelombang. Tangannya berhenti saat gelombang menangkap symfony yang terdengar menyayat hati.
“Itu Edhu?” Rizman menjawab pertanyaan Pipan dengan anggukan mantap.
Rei menekan dada dengan kedua tangannya, ia menahan hatinya yang tak tahan ingin meloncat keluar.
Duhai… Edhu, aku tahu, aku tahu betapa kau merindukan aku…
Pencarian ini akan segera berakhir. Bersabarlah Edhu. Bersabarlah hatiku…
Airmata tak mampu lagi ditahan, mendengar getar dawai hati Edhu, Rei segera tahu… selama ini Edhu tak pernah berhenti mencarinya.
Tak ada yang bicara, semua larut dalam simfony sendu yang mengombang-ambingkan perasaan setiap yang mendengar. Dan semua larut…

* * *

Setengah berlari mereka memasuki Gedung Sabuga dan menghampiri tempat penjualan tiket. Petugas yang melayani mereka menatap heran. Tentu saja, mereka datang di 10 menit terakhir pertunjukan. 
“Kalian terlambat, tiketnya habis.” Petugas itu langsung menjawab sebelum mereka mengucapkan sepatah katapun 
“Sekarang bagaimana?” Tanya Pipan ditengah nafasnya yang belum teratur.
“Kesini.” Rizman berlari mendahului, menuju pintu belakang. Jika mereka tak bisa masuk dengan tiket, maka menerobos jalan belakang adalah cara satu-satunya.
10 menit lagi, masih sempatkah?
Rizman masih berlari. Ah sial, ini pertama kalinya mereka mengunjungi Sabuga, mereka tak tahu, dimana pintu belakangnya. Lalu mereka berlari lagi ketempat yang terlihat agak ramai. Benar itu pintu belakangnya.
“Maaf, ini hanya untuk panitia.” Seseorang yang berdiri di pintu melarang mereka masuk.
“Kami mohon…” Pipan menghiba. Tapi hanya gelengan kepala yang mereka dapat.
“Rei ini istrinya. Edhu sangat ingin bertemu dengannya. Kalian mau kan mempertemukan mereka?”
“Oya? Anda orang ketiga yang mengaku bernama Rei hari ini.”
“Apa?” 
“Gila aja! Masa ada orang yang mengaku-ngaku bernama Rei? Kurang ajar banget! Yang asli itu....”
“Pipan, sudahlah.” Rizman menenangkan Pipan yang kehilangan kontrol. Edhu menulis nama Rei begitu jelas di albumnya. Tak heran jika ada banyak fans yang mengaku bernama Rei untuk bertemu dengannya.
Lalu Rizman menghampiri Rei yang teduduk lemas dan menguraikan air mata.
Andai aku bisa menyentuhnya..... Rizman memandang Rei lekat.
“Sudah sampai sini. Kau takkan menyerah kan?” Rei tak menghiraukan kata-kata Rizman. Matanya menerawang. Kenapa sulit sekali menemuimu Edhu, kenapa banyak hal yang menghalangi kita? Apakah kita ditakdirkan untuk berpisah selamanya? Rei mulai putus asa. 
“Kita tunggu disini. Dia pasti keluar lewat sini.” Rizman berjongkok didekat Rei.
“Tidak, Edhu takkan keluar lewat pintu itu.” Sebuah suara dibelakang membuat mata mereka menoleh.
Seorang laki-laki berdiri tak jauh di belakang mereka, dibibirnya tersungging senyuman. Rei berdiri dan memandangnya lekat.
“Rei ya? Wajahmu sering kulihat didompet Edhu.” Mereka semua terkejut. Orang ini teman dekat Edhu.
“Kamu… yang menjemput Edhu waktu itu…”
“Kamu…benar juga. Pantas waktu aku melihat foto Rei, rasanya pernah kulihat. Ternyata kamu, mbak yang kutanya jalan menuju RS. Hah, ternyata dunia begitu sempit…”
“Lalu bagaimana caranya Rei menemui Edhu?” Pipan mulai tak sabar.
“Baiklah, ikut aku.” Andri berjalan menuju pintu utama. Rei mengikuti langkah itu dengan tubuh bergetar. Setelah sekian lama mencari inikah saatnya? Sayup terdengar suara biola yang dimainkan Edhu. 
Edhu ada dibalik dinding ini. Dia begitu dekat. Sekarang tinggal menembusnya, dan semua penantian berakhir, semua kerinduan akan terburai, semua luapan cinta menemukan muara. Sesaat lagi…
Pipan menggenggam tangan Rei erat. Ia merasakan tangan Rei begitu dingin. Pipan tersenyum mengerti. Berbahagialah… kau akan bertemu dengan kekasihmu itu…
Rizman berjalan dibelakang Rei. Aku akan mengantarkan orang yang sangat aku cintai menemui kekasihnya, dengan tanganku ini. Aku akan kehilangan dia selamanya. Aku menggali kuburku sendiri… Allah.. beri aku kekuatan untuk memberikan cintaku kebahagiaan. Ia menarik nafas panjang, menekan kembali air mata yang hampir meluap. Aku gila? Mungkin saja. Cinta memang sudah membuatku benar-benar gila.
Pintu terbuka. Dan Rei melewatinya dengan nafas yang sesak dan jantung yang berhenti berdetak. Disana, jauh didepannya Edhu tengah berdiri dibawah lampu yang menyala satu-satunya. Ditengah kegelapan dan kesenyapan, hanya Edu yang bersinar dan hanya musik hati Edhu yang didengar. Disana, dibawah cahaya itu Edhu memainkan ‘Time for us’ dengan begitu sempurna. Symponi cinta yang mendalam, symponi hati yang kesepian, simponi kerinduan yang menyesakkan. 
Rei menitikkan air mata lagi. Dia ingin berlari, menyeruak ditengah kegelapan, menembus harapan dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Rei ingin berlari, menumpahkan seluruh cinta, meluapkan segunung rindu. Rei ingin berlari memeluk Edhu erat, mencium tangannya, mencium keningnya, dan menghabiskan air mata didadanya. Rei ingin mendengar ceritanya, ingin tertawa bersamanya, lalu merajut rasa bersama.
Tapi bisakah? Kakinya hanya kaku terpaku ditempatnya berdiri. Memandang Edhu sembari menahan gejolak yang tak henti bergolak. Ya, energinya sudah habis untuk itu. Habis. Dia sudah lemas untuk sekedar berjalan, apatah lagi jika berlari. Rei hanya mampu memandang, dan memandang. 
‘Time for us’ sudah selesai Edhu mainkan. Tepuk tangan dan sanjungan tercipta seketika. Lampu menyala, kegelapan berganti cahaya. Edhu melihat sekeliling, melihat orang-orang yang bertepuk dan berdiri untuknya. Edhu memandang mereka dengan pertanyaan. Apakah mereka bisa merasakan derita cinta yang mendera kalbuku? Atau mereka cuma ingin mendengarkan saja? Sebagaimana dia sendiri yang cuma ingin memainkannya tanpa peduli reaksi disekitarnya.
“Rei, majulah kedepan. Biarkan Edhu menyadari kehadiranmu.” Rizman berbisik di telinga Rei. Rei menoleh padanya dan menatap Rizman, Pipan dan Andri satu persatu. Mereka mengangguk setuju.
Rei menurut. Dilangkahkannya kaki beberapa kali. Mendekat dan mempersempit jarak antara dirinya dengan Edhu. Rei menghentikan kakinya setelah ia menjajari barisan pertama para penonton. Rei tak tahan, Rei tak kuat lagi melangkah. Kerinduan yang menumpuk bertahun-tahun itu, saling berdesakan dan saling mendahului untuk keluar, membuat dadanya sesak dan sulit bernafas. Berdiri saja disini, biarkan Edhu melihat…
Harapan Rei terkabul. Mata Edhu yang tengah berkeliling, berhenti padanya. Edhu terdiam. Matanya sedikit membulat. Rei? Apakah itu Rei? Mungkinkah? Jasadnya yang tak percaya membawa langkahnya mendekati sosok yang begitu ia rindukan selama ini, lalu berhenti ketika jarak antara mereka beberapa meter saja. 
Mereka saling pandang, mata mereka bertemu beberapa waktu…
Jauh dibelakang Rei, Andri tengah tersenyum melihat pemandangan itu. Pipan mengusap air mata haru. Dan Rizman berbalik dan melangkah undur perlahan. Tangan kanannya meremas dada yang remuk redam.

Lukakah melihat kekasih memadu cinta dengan yang lain?
Sulitkah membiarkannya lepas dari genggaman?
Sakitkah? Membiarkannya bahagia…
Tidak, aku bahagia,
Tapi aku sakit.
Benar-benar sakit…
Matahari pergi tuk biarkan bulan menari…

Tepuk tangan masih riuh terdengar, dan pandangan Rei dan Edhu masih terus berpadu. Mereka saling pandang dan saling tak percaya. Apakah ini nyata?
Tapi tanpa diduga, setelah Edhu menatap Rei beberapa lama, dia memalingkan wajahnya dengan airmata yang hampir menetes. Dan berbalik, lalu melangkah cepat kearah belakang panggung. Rei terpana. Edhu? Pergi? Kenapa?
Rei berbalik menatap Andri? Matanya berkaca, kenapa Andri? Kenapa dia berpaling dariku? Setelah sekian lama tak bertemu. Dia meninggalkan untuk kedua kali. Atau orang yang barusan itu bukan Edhu? Apa dia hanya orang yang berwajah mirip dan bernama sama dengan Edhu? Benarkah begitu?
Pipan pun sama menatap Andri? Kenapa Edhu berpaling dari Rei?
Andri menatap Rei dan Pipan lalu berpaling. Entahlah, jawabnya dalam diam. Tapi Edhu sangat menantikan pertemuan ini. Nyawanya telah hilang setengah, dan pertemuan dengan Rei akan menyempurnakannya. Jadi tak mungkin dia berpaling begitu saja.
“Ikut aku!” Ditengah kerumunan orang yang berdesakan hendak keluar, Andri berlari. Pipan menarik tangan Rei dan berusaha mendesak dan mendahului keluar. 
“Cepat Rei, Andri ke arah sana!” Pipan menarik lagi tangan Rei sekuat tenaga. Tapi Rei melepaskan tangan Pipan dan terpaku ditempatnya berdiri.
“Tidak, dia bukan Edhu.”
“REI!” Emosi Pipan sedikit naik.
“Jika dia Edhu… dia akan menjemputku disini…” Rei berjalan beberapa langkah menuju tangga Gedung dan duduk memeluk lutut. Matanya menerawang gamang.
“Kenapa?” Rizman yang sedari tadi menunggu di luar menghampiri Rei.
“Dia bukan Edhu, Kak Riz…”
Kening Rizman berkerut. Bukan Edhu? Bukankah orang yang tadi menghampiri Rei benar-benar Edhu. Atau apakah…
“Edhu berpaling dan pergi dari Rei…” Pipan menjelaskan untuk Rizman.
“Tidak mungkin…” Rizman berkata sangat lirih pada dirinya sendiri. “Pasti ada alasan…”
“Rei!” Dari kejauhan, Andri berlari kearah mereka. Nafasnya tersengal dan wajahnya sedikit tegang. “Edhu pergi, dan kita harus menyusulnya segera!”
“Pergi?” Mereka memandang Andri tak mengeri. 
“Nanti kujelaskan dimobil. Sekarang kita pergi!” 
“Tidak.”
“Kenapa Rei? Bukankah hari seperti ini yang kau nantikan, kenapa kau …”
“Kalau yang tadi Edhu, dia akan menjemputku disini…”
“REI!” Pipan mengguncang bahu Rei, namun Rei tak bergeming. Mereka terdiam beberapa saat, lalu menarik nafas lemah. Rei menyerah, kenapa disaat-saat terakhir seperti ini?
“Kau masih mencintai Edhu. Kau masih menginginkan kehadirannya. Benarkan?” Rizman berjongkok dihadapan Rei. Wajahnya lurus sejajar dengan wajah Rei. Rei mendongak dan menatap Rizman. “Berusahalah sejengkal lagi. untuk kebahagianmu, untuk Edhu, untuk orang disekeliling kalian yang berdo’a dan menunggu kalian bersatu.” Rizman memberi semangat, tak ingin Rei berhenti justru pada saat-saat terakhir.
“Rei…” Pipan memegang Pundak Rei, lalu membantunya berdiri.
Mereka beranjak menuju tampat parkir, memasuki mobil tanpa bicara dan melaju perlahan meninggalkan Gedung Sasana Budaya Ganesa…

* * *




















Mereka melaju menembus gerimis.
Andri menatap jalanan didepannya, dan mengemudikan mobil yang berjalan merambat karena kemacetan.
Riman duduk disamping Andri dan menatap keluar jendela. Menatap satu persatu tetesan hujan yang membentur kaca.
Rei sama. Dia melihat bayangannya sendiri yang buram terpantul di cermin berembun. Dan Pipan menatap Rei khawatir. Bertahun-tahun berdampingan dengan Rei, baru kali ini ia lihat Rei terlihat bimbang dan gamang. Ketegarannya punah. Rei seperti terguncang dan syok. Itu membuat Pipan benar-benar khawatir.
Semua sibuk dengan fikiran dan bimbang masing-masing. Semua mengisi kekosongan dengan diam.
“Bersyukurlah Rei… Edhu amat sangat mencintaimu….” Rizman memecah keheningan. Matanya masih menatap kaca, demikian Rei, tak bergeming dengan kata-kata Rizman yang seolah menghiburnya. Sekarang Rei merasa tenaganya sudah benar-benar habis.
“Tapi kenapa Edhu meninggalkan Rei begitu saja?” Pipan bereaksi.
“Karena ia tak ingin kecewa lagi.”
“Maksud Kakak apa?”
“Edhu sangat mencintai Rei. Terbentangnya jarak diantara kalian membuatnya sangat menderita. Amat sangat…” Rizman menarik nafas dalam, menekan emosi jiwa yang tiba-tiba menggeledak. “Kerinduannya yang memuncak, membuatnya sering melihatmu menemaninya. Saat dia membuka pintu, dia melihatmu menyambutnya hangat…”
Rei memalingkan wajahnya pada Rizman. Edhu…
“Atau saat dia terbangun dari tidurnya, dia melihatmu tengah tertidur pulas sembari memelukmu. Saat dia bimbang, dia melihatmu tersenyum dan menguatkan pijakannya, dia…” Rizman menarik nafas lagi. Kali ini ia tak bisa menahan lagi. Matanya berkaca. Gejolak itu meluap sesaat.
“Dia sangat bahagia. Tapi sesaat.” Rizman melanjutkan setelah lama terdiam. Tak ada yang menyela, semua meunggu Rizman dengan sabar. “Dia bahagia saat melihatmu ada mendampinginya. Tapi serta merta dia kecewa, karna saat dia menyentuhmu dan hendak menggapaimu, kau menghilang dan tak nyata. Sesering dia bahagia melihatmu, sesering itu juga dia kecewa.”
Rei menatap Rizman tak percaya. “Benarkah begitu kak Riz?”
Rizman mengangguk mantap.
Pipan tersenyum merangkul Rei kuat. “Benarkan Rei, dia takkan berubah…” Rei membalasnya pula dengan senyuman. Jadi begitu Edhu? 
Pipan melirik Rizman dengan ujung matanya. Dari bayangan yang terpantul, Pipan melihat sesuatu yang berbeda dari wajah Rizman. Sesuatu yang membuat batinnya terluka. 
“Dari mana kau tahu?” Andri tersenyum pada Rizman.
“Karena saat kau jauh dan merindukan istrimu, kau begitu bukan?” Rizman melihat Andri disampingnya sembari tertawa. Andri balas tertawa.
“Ya..ya…, kau benar. Hanya saja kekecewaan itu langsung terobati karena aku bisa memijit nomor telepon rumah dan berbicara banyak dengannya. Tapi Edhu…” 
Rei menunduk. Dia mengerti, dia mengerti sekarang. Maafkan aku Edhu… aku sempat meragukanmu… Tidak, tidak. Rei tak meragukan Edhu sedikitpun. Sebagaimana Edhu, Rei juga tak ingin kecewa lagi karena pertemuan yang hampir terwujud gagal kembali.
Sementara Pipan mengeratkan pelukannya lagi pada Rei, sembari ia meraba hatinya. Disana ada luka yang menganga dan berdarah. Hatinya patah berkeping. Rizman belum melupakan Rei. Cintanya pada Rei malah semakin mengembang dan membesar. Ya, bagaimana mungkin dia tahu Edhu demikian kalau dia sendiri tak merasakan? 
Apa yang Rizman katakan tentang Edhu, tak lain karena dia juga merasakan hal yang sama. Ya, karena itulah dia tahu. Dia juga sering melihat Rei menemani hari-harinya dan tersenyum lalu bercengkrama dengan bayangan Rei yang tak nyata.
Gerimis berubah menjadi deras. Jendela mobil yang tertutup rapat tak mampu menahan gempuran cuaca.
“Tanganmu dingin sekali Rei, kau hampir membeku…” Pipan menggenggam tangan Rei.
“Pakaikan jaket ini padanya.” Tangan kiri Andri memberikan jaket hitam pada Pipan tanpa berpaling dari jalanan.
Pipan mengambilnya.
“Tak usah, terimakasih.”
“Jangan sungkan, lagipula itu bukan milikku. Itu kepunyaan Edhu. Mobil ini juga.” Senyuman Andri membuat Rei memandangnya tak percaya. Milik Edhu? Jaket dan mobil ini?
“Edhu memang aneh. Dia tak mau menjual mobil ini, meski mobil ini sudah rusak karena tabrakan waktu itu. Kau tahu kenapa Rei?”
Kepala Rei sedikit pening. Ya Allah… kenapa dia sampai tak menyadari kalau mobil ini adalah mobil waktu itu, waktu Edhu membawanya menjauh dari Rizman. 
“Bukan itu saja. Setiap minggu dia mencarimu keseluruh pelosok Jakarta, ke RS, ke mall, kesegala tempat. Cinta dalam dadanya begitu besar, Rei. Aku mungkin sok tahu, tapi menurutku, seorang laki-laki yang mampu menyimpan cinta dalam massa yang panjang, adalah lelaki luar biasa.” 
Rei mengambil jaket tebal itu dengan tangan bergetar. Ya Allah… ini milik Edhu. Barang yang sering Edhu sentuh kini ku sentuh juga. Rei memeluk jaket itu erat. Bau parfum Edhu yang wangi, bersemilir di penciumannya. Ini bau khas Edhu. Sejak dulu, tak berubah. Rei tentu saja masih mengingatnya. Aroma yang membangkitkan masa lalu. Rei menangis lagi. Edhu sudah semakin dekat…
Sedalam itukah cinta Edhu pada Rei? Semenderita itukah Edhu karena gejolak cinta dalam dadanya? Tapi bukankah aku lebih menderita? Edhu hanya berpisah beberapa saat lalu bertemu dengan Rei. Tapi aku? Aku? Aku harus menekan luapan cinta, aku harus menyiram panasnya gelora. Dan sekarang, aku harus menyerahkan sepotong hati yang membawa separuh nyawaku pada orang lain. Lalu melihat orang lain itu membawa pergi sepotong hati itu, seumpama burung dalam sangkar melihat sepasang kupu-kupu terbang mesra di taman. Allah… bukankah aku ini adalah orang yang paling menderita didunia ini? Rizman cepat-cepat mengusap setetes air mata yang tak mampu dia bendung. Sangat cepat, sehingga tak ada orang lain menyadari kalau dia tengah meradang, menanggung penyakit hati menahun. Kecuali seseorang dibelakangnya. Pipan. Matanya lekat memandang bayangan Rizman yang terpantul dari kaca jendela yang menutup penuh. Mungkinkah aku menghapus dan mgobati luka itu…
Pelan-pelan Pipan melonggarkan pelukan Rei, lalu mengambil jaket dan memakaikannya pada tubuh Rei yang lebih kurus daripada kala datang pertama kali dulu.
“Sehangat inikah pelukan Edhu?” Rei tergugu lagi.
“Edhu bodoh! Dia sudah menikahimu, tapi tak pernah sekalipun memelukmu. Bodoh…” Pipan tertawa hambar. Airmatanya ikut menetes, untuk kebahagiaan Rei. 
Kepadatan mulai terurai, dan mereka mulai keluar dari kemacetan. Jalanan masih basah, namun hujan sudah menghentikan aktifitasnya.
“Kita akan menyusul Edhu kemana?” Pertanyaan Rizman membuat Andri tersentak.
“Ke puncak, kukira.”
“Kukira?”
“Sebelum pergi, dia menitipkan kunci mobilnya padaku sambil berkata, kalau dia takkan mencari Rei lagi, tapi dia akan menunggu Rei sampai datang.”
“Lalu dia bilang akan menunggu di puncak?”
“Tidak itu dugaanku saja. Dugaanku tak salah kan Rei? Lagipula satu hari dalam setahun, dia selalu datang ketempat itu…”
“Apa? Edhu datang setahun sekali? Benarkah?” Rei panik. Andri mengangguk. 
“Bodoh! Kenapa aku bodoh sekali! Kenapa aku tak pernah datang saat dia menungguku? Kenapa aku bodoh sekali. Aku bahkan tak ingat kalau hari ini adalah hari yang sama saat Edhu membawaku kesana. Kenapa aku bodoh sekali…” Rei menangis lagi. Pipan mengusap-usap punggung Rei, mencoba menenangkannya. 
Memasuki jalan tol, mobil melaju lebih cepat. Mengantarkan beberapa potong hati yang biru karena rindu. Hati milik Rei, Pipan dan Rizman.

* * *

Matahari bersinar kemaluan di balik tirai kabut. Angin dingin bertiup lembut mengalunkan nyanyian syahdu, membiarkan daun-daun menari gemulai.
Sebuah mobil berhenti di bibir jalan. Beberapa pasang kaki keluar. Bogor agak sepi kali ini. Mungkin karena hari ini bukan hari istimewa, bukan hari minggu, bukan pula hari libur nasional.
Sepasang mata memperhatikan At-Ta’awun yang tegak diatas bukit dengan megahnya. Masih seperti enam tahun lalu. Senyum tipis tergores dibibirnya. 
“Jadi, dimana dia?”
Pipan berjalan mengitari mobil dan bersandar disamping Rei. Rei tersenyum dan menarik nafas panjang. Dipejamkannya mata, lalu perhatian ia pusatkan pada pendengarannya. Sudah berada disinikah kau, Edhu…
Setelah beberapa saat, Rei membuka kelopak matanya cepat, lalu tertawa pada Pipan.
“Aku mendengar suara biolanya. Dia disini!” 
Rei berlari kearah tebing, lalu menjatuhkan dirinya diatas rerumputan.
“Rei, kemana?”
Rei tak menjawab pertanyaan Pipan yang terburu-buru menyusulnya. Rei menuruni bukit seperti ia main perosotan, lalu ia berdiri dan berjalan beberapa langkah lagi. Didepannya terhampar padang yang tak begitu luas. Lalu diujung tebing itu, berdiri Edhu. 
Rei berdiri terpaku. Sosok yang ada didepannya membuat tubuhnya membeku. Sekarangkah waktunya? 
Edhu berdiri menghadap ke kebun teh yang menghampar, sembari tangannya memegang biola dan memainkan bagian akhir ‘Time for us’ yang sudah akrab ditelinga Rei. Rei diam saja, ia tak mau merusak pemandangan indah yang tengah ia saksikan. Ya, Edhu yang berdiri ditengah-tengah kabut, gunung-gunung berdiri kokoh jauh didepannya, mentari menyinarinya samar, dan hembusan angin yang mempermainkan rambut Edhu adalah pemandangan yang sangat ia rindukan. Rei mengusap air matanya kembali, air mata yang sulit ia tahan, meski sekarang ia sangat bahagia.
‘Time for us’ selesai dan Edhu menurunkan tangannya. Mata Edhu menatap jauh kedepan. 
“Senja hampir sampai, dan musiknya sudah selesai. Apa kau akan membiarkanku menunggu sampai aku beku?”
Ditengah perasaan yang berkecamuk, Rei melangkah mendekat ke tempat Edhu berdiri. Suara rumput yang terinjak membuat tubuh Edhu berbalik. Kaki Rei berhenti. Jika bukan karena cuaca yang membuat tubuhnya kaku, ia sudah tak sanggup lagi berdiri.
“Rei….” Mata kecil Edhu terbeliak. Mereka memang benar-benar membeku beberapa saat.
“Tidak, aku tak bisa bertahan sampai mentari pulang…” Bibir Rei menyunggingkan senyuman. Senyuman yang membuat hati Edhu bergetar.
“Rei…,” ulang Edhu sekali lagi.
“Tak bisakah kau datang menghampiri aku, Edhu…,” Rei mengeluarkan air mata deras, meski bibirnya masih tersenyum.
Edhu melangkah perlahan, lalu berhenti setelah Rei tepat dihadapannya.
“Kaukah itu Rei…” Embun yang keluar bersama bisikan kata yang Edhu ucapkan, membuat Rei tersadar bahwa Edhu sungguh-sungguh ada didepannya.
“Maaf membuatmu menunggu lama…”
“Sungguhkah ini…” 
Rei mengangguk. 
“Kalau begitu berjanjilah, kau takkan menghilang jika aku menyentuhmu…” 
Rei mengambil tangan Edhu dan menciumnya. Lalu menempelkan tangan dingin itu ke pipi kirinya. 
“Nyata. Kau benar-benar ada…,” Edhu menangis. Ditatapnya Rei dan diperhatikannya wajah Rei seksama. 
“Kau… masih sama seperti saat kutinggalkan dulu… sedangkan aku…”
Rei memperhatikan wajah Edhu. Pipi putih Edhu terlihat mengurus, kelopak matanya sedikit cekung, dan rambut Edhu terlihat putih disana-sini. Rei tersenyum.
“Kau terlihat sangat dewasa dari saat ku biarkan kau pergi dari hadapanku…”
Edhu tertawa mendengar jawaban Rei.
“Terimakasih…” Tangan Edhu bergetar mengusap air mata Rei. “Aku akan membawamu serta kemanapun aku pergi…”
Lalu Edhu merengkuh Rei. Lama... Rindu yang tersumbat dan mendesak itu kini mengalir dan menemukan muara.
“Kau akan membawaku kemanapun kau pergi?” tanya Rei ketika dekapan itu lepas. Edhu mengangguk.
“Meski kau mau buang air?”
“Ya!”
“Jahat sekali!”
“Memang!”
Mereka lalu tertawa sembari mengeluarkan air mata.
“Oh, aku sudah memainkan biola lebih serius. Mau dengar?”
“Khusus untukku?”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Untuk mereka juga.”
Rei mengikuti pandangan Edhu. Dibelakangnya, tiga orang yang menyertainya tadi tengah berdiri. Andri tersenyum sambil melipatkan tangannya ke dada. Pipan mengusap airmata. Dan Rizman, tersenyum riang… Entahlah, Rei baru ingat kalau mereka tak berdua…
Lalu mengalirlah The Power Of Love dari biola Edhu.
Rizman membawa tubuhnya mundur, dan naik lagi menuju mobil. Lukanya belum sembuh! Haruskah melihat mereka tertawa dan menangis bahagia. Sanggupkah ia?
Aku orang yang bahagia. Aku sangat beruntung karena bisa dengan jantan mengantarkan kebahagian tertinggi untuk orang yang ia cintai.
“Aku bahagia…” katanya tergugu…

The Power Of Love masih mengalun lembut. Menemani perasaan masing-masing hati yang penuh dengan kekuatan cinta.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar