Selasa, 03 Desember 2013

Mozaik Cinta (Bagian 3)

3

Sami membuka lemari pakaiannya. Tiga buah kemeja tergantung disana. Putih  polos, biru kotak, dan merah terang. Sami memegang satu persatu. Putih tak mungkin ia pakai. Bukan ia tak suka warna putih, tapi pakaian ini pernah dipakai saat akad nikah. Ia tak sudi memakainya. Biru kotak tak mungkin juga, warnanya sudah memudar di bagian pundak. Sedikit sih, tapi tetap kelihatan. Kecuali ia tahan memakai jas terus menerus dari datang hingga pulang saat cuaca Bandung sedang panas-panasnya. Merah terang? Hei, siapa sih yang membeli baju warna norak seperti itu?
Sami mendengus. Kemana baju-baju yang lain? Ia berkacak pinggang berbalik membelakangi lemari dan matanya berkeliling. Mencari belasan baju yang menghilang dari lemarinya. Matanya tertuju pada kotak cucian diujung kamar. Tutup kotak itu sudah menganga, tak bisa menutup lagi dikarenakan isinya yang terlalu berjejal melebihi kapasitas dirinya. Sami membuang nafas. Apa sih kerjaan cewek sialan itu? Kenapa pula bajunya menumpuk semua disitu?
“HANAN!” Sami bergegas keluar kamar, jalannya menghentak kuat. Sami lupa, ia tak memakai pakaian kecuali sehelai handuk yang menutup hingga lututnya.
Hanan sedang makan dengan tenang ketika ia mendengar teriakan itu. Ketenangannya tak terusik sedikitpun kecuali setelah ia melihat Sami yang bertelanjang dada. Tolol! Hanan mendengus. Tapi dadanya berdetak tak karuan.
“Heh! Apa sih kerjamu?” Sami melihat sekilas omelet yang menjadi santapan pagi Hanan. Perutnya lapar tiba-tiba.
“Banyak,” kata Hanan dengan tenang. “Tapi kerjaanmu adalah marah. Tanpa alasan jelas.” Hanan membuka koran pagi yang baru ia baca headlinenya sembari mengunyah makanan. Biasanya, Hanan benci makan sambil baca, karena secara otomatis, kenikmatan makanan akan teralihkan dengan sebaris berita hangat. Tapi untuk sekarang, ia butuh pengalihan. Sami terlalu berbahaya untuk dilihat.
“Banyak? Apa banyak itu tak termasuk mencuci baju? Apa nyuci terlalu repot bagimu?”
“Kenapa aku harus mencuci bajumu?”
“Tentu saja! Itu kerjaan perempuan kan?”
“Kenapa perempuan itu harus aku?”
Sami hampir membuka mulutnya, tapi kemudian mengatup lagi. Ia jelas tak punya jawaban. Kenapa harus Hanan? Karena Hanan adalah istrinya. Tapi jika ia menjawab seperti itu, sudah pasti akan jadi bumerang buat dirinya. Memang ia suami bertanggung jawab sampai harus menuntut istrinya melakukan sesuatu untuknya?
“Karena otot perempuan lemah, jadi ia mengerjakan pekerjaan sepele seperti nyuci!”
Hanan memandang wajah Sami takjub. Berani sekali dia berkata seperti itu. “Kalau begitu Tuan Sami, aku ingin tahu, apa laki-laki yang punya otot kuat tak sanggup mengerjakan pekerjaan sepele seperti mencuci?”
“Kau pikir aku tak bisa? Kau menyepelekan aku ya?” intonasi Sami semakin meninggi.
“Aku yakin kau bisa Tuan Sami, jadi kau akan melakukan sendiri pekerjaan mudah itu. Benar kan?” Hanan tersenyum menang, Sami mendengus kesal. “Satu lagi, pastikan dulu kau berpakaian sebelum keluar kamar,” sambung Hanan menghentikan langkah Sami menuju kamarnya.
Sami berbalik dengan wajah marah berkali lipat dari sebelumnya. Sebenarnya malu, karena ia sama sekali lupa. Jadi ia merasa sangat kesal pada ‘lupa’-nya. Tapi ia tak mungkin marah pada diri sendiri kan?
“Kau tahu, Nona Hanan? Ini rumahku, aku bebas mamakai apa saja yang aku inginkan,” Sami membungkukkan wajahnya  dan berbisik tepat ke telinga Hanan yang berbalut kerudung sutra. Wajah Sami yang terlalu dekat membuat Hanan berpaling menjauh, tapi ia tak bisa menutup hidungnya dari aroma sabun tubuh Sami. Aroma maskulin.
“Aku bahkan bebas untuk tak memakai baju sekalipun. Kenapa? Kau tergoda?” kata Sami setelah ia melihat rona merah menyebar tiba-tiba dipipi Hanan. Darimana datangnya rona merah itu ya? Kenapa menyebarnya begitu sempurna? Pipi Hanan jadi kelihatan lebih manis dari manis yang sebelumnya.
Sebelum pikirannya berlari lebih jauh, Sami menjauhkan kepalanya dari Hanan dengan senyum. Ia lalu beranjak meninggalkan Hanan yang terpaku sendirian.
Sami sialan!

*   *   *

Sami menjauhkan kotak sarapannya. Lalu dengan pasti, ia menutupnya kembali. Omelet Hanan tadi kelihatan lebih enak.
Tak cukup sampai disitu, kotak makan siang juga ia singkirkan begitu saja bahkan sebelum ia melihat apa isinya. Sami malah berlari ke kantin untuk meredakan rasa lapar yang menguasai pencernaannya dan mengambil alih pikirannya. Tujuannya satu. Ia mencari balado terong di kantin kantor. Entah kenapa, tiba-tiba mulutnya ingin makan itu. Untungnya ada, dan Sami makan dengan lahap. Tapi ditengah lahapnya ia masih sempat membayangkan balado terong buatan Hanan yang pernah ia siapkan suatu malam. Balado terong yang tak pernah disentuhnya itu bumbunya lebih banyak dan lebih merah dari yang tengah dimakannya. Bayangan itu tiba-tiba merengguk lahapnya, berganti rasa kenyang yang tiba-tiba. Hasilnya, setengah piring makanan ia tinggalkan sempurna. 
 Lalu kotak makan malam? Sama saja. Sebab Sami hari ini keluar kantor sesudah ashar. Rasanya ia ingin segera pulang...

*   *   *

Sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat didepan outletnya membuat Hanan terkejut. Ia kenal mobil itu. Sangat akrab malah. Tapi kenapa? Apa mau orang itu? Sebelum Sami sempat keluar dari mobil, Hanan sudah berbalik dan segera naik ke lantai dua, ke kantor pribadinya.
Hanan ingin berlari menghindar. Tapi mungkinkah? Sementara langkah Sami yang menaiki tangga sudah demikian dekat. Akhirnya Hanan berpura-pura duduk serius menekuri pekerjaannya dibalik meja besar. Hanan mengambil pensil dan menggoreskan sesuatu diatas kertas. Tak ada ide yang keluar tentu saja. Jadi ia memutuskan untuk mengulang design yang yang terakhir ia selesaikan. Sebuah gaun warna maroon yang dipadu kerudung warna kuning.
Langkah Sami berhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok Hanan. Sangat berwibawa dan anggun. Inikah keseharian Hanan? Ia kembali melanjutkan langkahnya mendekat.
“Ada sesuatu?” tanya Hanan tanpa menoleh. Sami berdiri didepan Hanan dan mengamati apa yang dilakukan Hanan. Sangat cepat tangan itu membentuk manusia, sangat lihai. Apa semua designer membuat gambar secepat itu?
“Ada sesuatu yang bisa kubantu, Tuan Sami? Tidak biasanya kau kemari.”
Sami tak menjawab. Ia malah berjalan menuju sofa coklat muda di bawah jendela. Sami duduk menyamping sehingga memungkinkan tubuhnya melihat pemandangan dari jendela besar dengan leluasa. Matanya berkeliling memandang langit, beralih memandang jalanan dibawahnya. Pemandangan pertokoan biasanya tak terlalu indah untuk di lihat. Tapi dilihat dari jendela Hanan rasanya berbeda.
“Sami?” suara Hanan menarik kembali keasyikan Sami, membuat ia menoleh pada Hanan sehingga kedua pasang mata mereka bertemu. “Ada perlu apa? Jujur saja, aku cukup terkejut dengan kedatanganmu.”
“Selesaikan pekerjaanmu, aku akan mengajakmu kesebuah tempat,” Sami membetulkan posisi tubuhnya hingga bersandar.
“Apa?” sekarang rasa terkejut Hanan melebihi rasa terkejut karena kedatangan laki-laki ini. “Kau mau mengajakku kemana?”
“Ke sebuah tempat.”
Hanan meletakkan pensilnya lalu bersidekap dada dan bersandar. Ia tersenyum tak percaya. “Kau? Mau mengajakku ke sebuah tempat? Kau ini salah makan obat atau apa?”
“Apa saja, terserah.” Sami berdiri dan kembali mendekat.
“Sepertinya kau sudah selesai,” Sami memegang pergelangan tangan Hanan dan menariknya kasar.
“Hei!”
“Kau harus ikut.” Sami menyambar tas Hanan yang tertidur begitu saja di atas meja.
“Kau benar-benar tak tahu cara bersikap pada perempuan!” kata Hanan berbisik. Ia tak mau karyawannya tahu keanehan pasangan pengantin baru ini. Tangan kirinya berusaha membuka jari-jari tangan Sami yang mencengkeram pergelangan tangan kanannya. “Sakit!” Apa yang dilakukan Sami? Apa ia tak sadar kalau aku bisa jatuh karena terus diseretnya bahkan saat menuruni tangga? Bagaimana pula jika karyawannya melihat kejadian ini! Ia bisa malu seumur hidup! Kalau saja bisa, ia ingin memecat dirinya sendiri sebagai pemilik butik ini. Tapi emang bisa?
“Oh, kau ingin diperlakukan seperti perempuan? Baiklah!” kata sami juga dengan berbisik. Sami melepas cengkeramannya, tapi secepat kilat sebelum Hanan bisa menghindar, tangan kekar itu beralih mencengkeram bahunya. Hanan ingin berontak, tapi bisikan Sami ditelinganya membuat ia terdiam. “Bersikap manislah, atau karyawanmu akan tahu apa yang terjadi di antara kita!” entah bagaimana Sami melakukannya, tapi ia mengancam Hanan dengan tersenyum. Membuat Hanan kesal setengah mati. Untuk beberapa saat, Hanan harus bertahan berada dalam pelukan Sami. Sebenarnya, jauh dilubuk hatinya, ia menikmati keadaan itu. Apa salah? Hanan ingat betul, ini adalah rangkulan Sami yang pertama. Peduli amat ia melakukannya dengan hati atau tidak, tapi Hanan ingin, Sami melakukan itu selama ia bisa...
“Tidak apa-apa bosnya saya culik ya?” kata Sami tersenyum. Bukan hanya karyawannya yang menoleh dan tertawa, tapi pelanggannya juga. Kedengarannya sangat tulus, dan terlihat sangat tulus juga Sami membawakan tas Hanan dan merangkul bahunya. Lebih dari itu, Sami membukakan pintu butik untuk Hanan, juga mempersilahkan Hanan masuk mobil setelah ia membukakan pintu mobil untuk Hanan. Tapi setelah dari sini apa Sami akan menghempaskannya? Jika benar begitu, alangkah lihainya Sami bersandiwara.
Sampai mobil melaju, tak ada yang bicara. Hanan masih asyik merasakan debaran jantungya dari kehangatan dibahunya yang ditinggalkan tangan Sami. Sementara Sami, entah apa yang dipikirkannya. Hanan penasaran dan menoleh perlahan mencari wajah Sami. Di luar dugaan, Sami membisu dengan wajah kesal. Atau lebih dari itu, marah? Hanan mendesah kecewa. Sami benci telah merangkulnya seperti tadi.
Hanan memalingkan wajah keluar jendela disamping kirinya. Kaca riben membuat keadaan lebih mendung dari cuaca sebenarnya. Dan membuat perasaan Hanan lebih terluka dari yang seharusnya. Apakah Sami begitu membenci dirinya sampai telah bersikap lembut pun ia menyesal? Hanan memutar bola matanya keatas. Ia menahan air mata yang terlanjur menggenang agar jangan tumpah dan meluncur tak tertahan. 

*   *   *
Mulut Hanan asli menganga. Pemandangan didepannya benar-benar membuat ia syok. Suatu tempat yang Sami katakan itu adalah Supermarket! Hah! Yang benar saja? Kenapa Sami tak langsung bilang saja? Daripada membuat imajinasinya membayangkan hal-hal lain  karena kata misterius Sami. Seorang laki-laki kalau mengatakan mengajak ke ‘suatu tempat’ biasanya akan mengajak ke tempat yang romantis kan?
“Ayo cepat! Kau ingin aku menahan pintu ini sampai kapan?” Sami berteriak kesal. Bodoh! Bukankah seharusnya aku yang kesal? Hanan mendengus.
Ia menurunkan kakinya dari mobil dan menjejak dengan enggan. Keengganan yang membuat lagi-lagi, Sami menarik lengan Hanan dengan paksa. Hanan melangkah teseret oleh tenaga kuat Sami. Beberapa orang yang berpapasan memandang mereka heran. Bahkan ada yang terang-terangan tertawa atau memutar kepala melihat mereka berdua meski mereka sudah jauh didepan. Hanan benar-benar malu. Ya Allah, beri aku izin untuk memukul kepalanya dengan benda apapun yang kulihat sekarang... Hanan mengerang.
“Sami kumohon, langkahku pendek! Jangan menyeretku...” Hanan memohon pelan.
Seolah baru tersadar, Sami berhenti tiba-tiba lalu melangkah pelan. Seperti saat di butik tadi, Sami ganti merengkuh bahu Hanan.
“Sekarang berkelilinglah, beli barang apapun yang kau perlukan.” Sami mengambil tangan Hanan dan menyimpannya di pegangan kereta dorong. Ia lalu membimbing Hanan dan berjalan bersama. Kontras sekali dengan tadi! Sembari berjalan, Hanan memandang Sami dari samping, mengamatinya diam-diam dengan bingung. Sami itu sebenarnya yang mana? Yang kasar atau yang lembut? Yang ketus atau yang tulus? Mana yang sandiwara mana yang sebenarnya? Atau kedua hal itulah Sami yang sebenarnya?
Hanan menghembuskan nafas perlahan. Jika Sami tak bersandiwara, maka ada dua kemungkinan. Pertama, Sami memiliki jiwa yang labil hingga dalam sedetik bisa berubah bahagia dari sedih yang ia alami sedetik lalu. Atau bersikap sangat lembut dari sikap kasarnya sedetik sebelumnya. Kemungkinan kedua jika sami tak labil, maka Sami... gila! Hanan tersenyum. Sepertinya kemungkinan kedua yang benar. Sami gila! Hanan mencibir diam-diam.
 “Apa tak ada barang yang habis di kamarmu?”tanya Sami kembali ketus setelah mereka berkeliling beberapa kali.
“Tidak ada,” jawab Hanan enggan.
“Sabun?”
Mereka melewati lorong sabun mandi.
“Masih ada.”
“Shampo?”
Sekarang dilorong perawatan rambut.
“Untuk mengoles kulitmu?”
Hand body maksud Sami.
“Aku baru beli kemarin.”
“Untuk wajahmu?”
Sami melihat counter kosmetik dari kejauhan. Hanan menghembuskan nafas dan berhenti melangkah. “Kau ini kenapa? Sebenarnya apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin kau belanja. Jadi lakukanlah!”
Hanan memejamkan mata menahan kesal. “Kau menarikku kesini memaksaku meninggalkan pekerjaan untuk membelikanku sesuatu yang sama sekali tak kubutuhkan?”
“Bekerja? Kukira kau hanya menyalin gambar, itu bukan pekerjaan, tapi gak ada kerjaan.”
Kata-kata Sami yang tenang membuat pipi Hanan memerah. Ya Tuhan, dia tahu? Sami memalingkan muka. Melihat pipi Hanan seperti itu, selalu membuat telapak tangannya berkeringat. Tanpa bertanya lagi, kini Sami mengambil botol-botol yang tulisannya pun tak ia baca. Tak peduli isinya apa, Sami memasukkannya kedalam kereta dorong. Terserah Hanan mau pakai atau tidak. Mau dijual lagi atau dibuang juga tak apa. Sami hanya ingin Hanan belanja. Itu saja.
“Aku tak pakai merek ini,” Hanan mengambil sebuah botol Hand body, lalu menyimpannya kembali di rak. Ia berjalan dua langkah, lalu mengambil sebuah botol Hand Body berwarna biru. “Kau ingin aku belanja? Baiklah...,” Hanan mengambil lagi botol pencuci wajah, penyegar, lalu botol-botol yang lain. Sami mendorong kereta dan mengikuti Hanan dengan sebuah senyum. Hanan tersentak, diputar lagi kepalanya untuk memastikan wajah Sami. Memang tersenyum! Tiba-tiba dada Hanan terasa lapang. Seperti bukit-bukit berbunga tersiram matahari pagi. Hanan tak bohong. Senyum Sami sangat cerah seperti matahari pagi.
“Kau suka warna pink?” Sami menundukkan tubuhnya memperhatikan sesuatu di susunan rak.
“Ya, tapi lebih suka warna tanah.”
“Warna tanah...” Sami memilih sesuatu serius. Hanan menghampiri karena penasaran. Apa sih yang mau dibeli lelaki ini?
“Tapi Hanan, tak ada sikat gigi berwarna coklat... atau abu-abu... warna tanah itu apa sih?”
“Warna tanah itu maksudnya warna natural...,” Hanan berdiri dibelakang Sami sambil tersenyum. Ternyata sikat gigi...
“Warna pink juga bagus,” Hanan merebut sikat gigi warna pink lembut yang tengah Sami genggam lalu menyimpannya ke kereta dorong.
“Kau tak mau memilihkan sikat gigi untukku?”
Hanan berbalik dan memandang takjub pada Sami, sejurus kemudian ia tersenyum lebar. Sami banyak memberi kejutan padanya hari ini...

*   *   *

“Kau masih megang uang?”
Keluar dari supermarket dengan bawaan tiga kresek besar, mereka kini melaju menuju rumah.
“Kenapa?”
“Aku masih ingin membeli sesuatu.”
Sami masih memandang jalanan, tapi matanya berbinar dan mulutnya tersenyum diam-diam. Ia teringat percakapan orang-orang dikantornya yang tanpa sengaja ia tangkap saat ia melewati mereka.
“Istriku tiga jam!”
“Tiga jam? Istriku lebih dari itu. Bisa lima jam dia bertahan. Kau tahu, aku sampai kering kerontang kayak tanaman kurang disiram!”
Tawa beberapa orang menyambut kalimat itu. Sami yang kebetulan berdiri dimesin fotokopy, mau tak mau mendengar percakapan itu, paling tidak, sampai mesinnya berhenti mengeluarkan kertas.
“Memangnya, apa sih yang mereka beli?” ini pertanyaan seseorang yang Sami kenal. Dia Anto, karyawannya yang termuda, satu bulan lagi ia menikah. Sami mengangkat alisnya. Oh, masalah belanja.
“Ya urusan kita juga sih. Masakan, buat dandan, terus kepentingan anak-anak.”
“Tapi kadang tak beli sesuatu juga. Ya kan?”
“Ya, sih.”
“Hah? Tak beli sesuatu tapi keliling pasar? Ngapain?” itu suara Anto lagi.
“Cuman ngebandingin harga. Cari yang paling murah.”
“Bete banget. Kita yang cari uang mereka yang ngabisin.”
Sami tersenyum. Hanan tak pernah memakai uangnya satu rupiah pun. Jika orang lain, apakah orang itu akan menghabiskan uangnya seperti para istri menghabiskan uang mereka?
“Nggak juga,” seseorang menjawab.
“Sebenarnya ada kenikmatan tertentu sih saat mereka belanjain uang kita.”
“O ya? Kayak apa?”
“Ya..., semacam perasaan merasa dibutuhkan.”
“Kalau aku, senang aja lihat anak istri kita tersenyum karena jerih payah kita. Senang bisa ngebahagiakan mereka.”
“Susah sih ya ngejelasin  sama orang yang belum nikah. Pokoknya, perasaan senang itu baru dirasakan kalau kamu udah ngalamin. Percaya deh!”
Mesin fotokopi berhenti. Sedikit membungkuk Sami mengambil kertas hasil fotokopi dan membuka bagian atas mesin untuk mengambil kertas aslinya. Waktu istirahat sebentar lagi habis. Saatnya karyawan itu kembali bekerja. Tapi Sami masuk keruangannya masih dengan percakapan tadi. Rasa senang dan bahagia saat uang kita bisa dipakai istri? Ia sudah menikah, tapi ia belum merasakannya. Apakah ia yang tolol atau Hanan yang terlalu... tak berhitung mungkin?
Sami mengangkat bahunya. Bagaimana pun, ia ingin mencoba merasakan perasaan bahagia semacam itu.
“Uangmu habis ya?” tanya Hanan membuyarkan lamunan Sami.
“Masih ada, memangnya kau mau beli apa?”
“Beberapa baju.”
Sami menoleh. Baju? Hanan kan punya butik?
“Aku cuma ingin punya baju dari hasil keringatmu. Itu saja.”
Sami mencari tempat parkir dan memutar stir saat menemui tempat kosong.
“Tunggu saja, aku sebentar.” Hanan membuka pintu mobil. “Mau kubelikan makanan?”
Sami menggeleng. “Kita sudah beli banyak makanan, kita makan dirumah.”
Setengah berlari Hanan menuju toko tujuannya. Setengah ragu, ia mengambil beberapa helai pakaian berwarna lembut sebagaimana yang disukainya. Tapi kali ini, Hanan memilih pakaian yang sangat ‘bukan dirinya’.
Belanja kilat ala Hanan berhenti di kasir dengan bingung. Ia lupa bawa uang!
“Katanya mau pakai uangku?” Sami tiba-tiba ada dibelakangnya? Tangannya lalu terulur menyerahkan uang sesuai nominal yang terpampang dikomputer milik kasir. Setelah transaksi selesai, kasir itu menyerahkan satu kresek baju yang Hanan beli dan Hanan merebutnya. Sikap Hanan membuat kening Sami berkerut. Hanan tersenyum misterius. Tapi pipinya kembali bersemu merah dan tangannya menyembunyikan kresek dibelakang tubuhnya. Apa sih yang dibeli gadis ini?


*   *   *

Sebelumnya ; Bagian 2
Berikutnya; Bagian 4

tunik 5

Kalau yang ini sudah dijahid sama adikku sendiri, hasilnya keren lho. bagian tengahnya dibuat sulaman bunga, lalu disamping ada tali sebagai aplikasi. karena waktu itu dia sedang menyusui, maka bukaannya dibuat bagian depan dengan resleting jepang. yang mau, mangga... ditiru aja... gratis ko...
semoga bermanfaat...



tunik 4

Yang ini sudah dipakai baju sama ponakan. dengan warna yang sama. hasilnya? maniiis sekali. yang mau, coba saja jahit. dijamin nggak nyesel deh.... Cuma, untuk penjahit pemula, memang agak ribet di pemasangan renda bagian dada, karena renda tidak hanya ditempel, tapi memakai sistim tumpuk. oya, rendanya dibuat dari bahan kain corak dengan warna malam dari warna utama.
selamat mencoba...


tunik 3

Tuniknya manis ya...., apalgi warnanya pink. aplikasi quilt dibagian dada, juga pita dibagian tangan, menambah kesan remaja. tapi jangan salah, tunik ini bisa dipakai untuk anda juga yang sudah dewasa namun berjiwa dan bersemangat muda.
Kain yang disarangkan ; Tissue.



tunik 2

Tunik ini sebenarnya berwarna hijau, tapi karena pakai kamera, warnanya jadi nggak 'puguh' gitu ya... hehe
mudah-mudahan modelnya tetap terlihat. Tunik ini sangat simple, hanya memberi aplikasi belahan dibagian depan agak kesamping, tambahkan aksen pita untuk mempermanis. jadi deh tunik untuk anda yang mobile. 
semoga bermanfaat...


Tunik

Tunik ini dibuat dengan model baby doll, atau sambungan kain melintang di bagian dada. corak lebih bagus bunga setaman, di modifikasi dengan bahan polos yang lebih tua di bagian dada. aksen kancing shang hai nya membuat tunik ini makin manis. 
bahan yang bisa dipakai ; katun atau tessa.
semoga bermanfaat.










Sabtu, 23 November 2013

Mozaik Cinta (Bagiab II)

Ijab kabulnya berjalan sangat lancar. Sami berjabat tangan dengan wali hakim dari Hanan. Pesta diadakan hari itu juga. Tamu yang datang jumlahnya mencapai ribuan. Tentu saja, keluarga Sami memiliki banyak relasi, belum lagi tamu-tamu dhuafa yang sengaja diundang keluarga Sami untuk menambah keberkahan. Dhuafa yang selalu rutin mereka santuni setiap bulan.
Pipi Hanan rasanya sudah pegal terus tersenyum mengaminkan do’a para tamu. Ia hampir tak duduk karena kedatangan tamu yang tiada henti. Lalu ketika mereka berkesempatan duduk, Hanan memberanikan diri menggenggam tangan Sami. Hanan tertawa dalam hati. Seharusnya, pengantin laki-laki yang melakukan itu kan? Tapi biarlah, mereka tak harus sama dengan pengantin lainnya.
Tangan Sami hangat, tak seperti tangannya yang dingin beku. Apakah Sami tidak tegang seperti dirinya? Hanan melihat wajah Sami, ia tersenyum seperti biasanya. Tak ada ketegangan sama sekali. Tapi Sami tak menepis tangannya, itu sudah cukup.
Sejak kepulangannya dari rumah Sami hingga saat kemarin, Hanan banyak berpikir. Berpikir tentang masa depannya yang belum tentu, berpikir tentang keputusan yang mungkin masih bisa berubah. Ya, mengingat sikap Sami yang tak terlalu peduli, juga kata-kata ketusnya, berkali-kali Hanan berpikir untuk mundur. Tapi jika mengingat balas budi itu, pikiran untuk mundur ia buang jauh-jauh. Lalu Hanan juga teringat akan rumah itu. Rumah yang sengaja Sami buat untuk dirinya. Sami begadang dua malam untuk menyelesaikan semua itu. Bukankah itu tanda, bahwa setidaknya Sami memperhatikan dirinya? Ya, Sami memperhatikan dirinya, dengan caranya sendiri.
“Apa kau lelah?” Hanan berbisik di telinga Sami.
“Tidak,” kata Sami tegas. Hanan menunggu kata-kata berikutnya. Bukankah seharusnya setelah kata itu akan ada kata berikutnya?
‘Tidak, kau? Apa kau lelah?’ seharusnya begitu kan? Tapi Sami tak mengatakan apa-apa lagi. Hanan melihat wajah Sami dari samping. Alangkah tenangnya wajah itu. Ketenangan itu membuat Hanan tersenyum.
Kening Hanan berkerut. Wajah Sami tiba-tiba berubah. Tidak, bukan wajahnya, tapi sorot matanya. Sorot mata tenangnya menjadi panik seketika. Dan pandangannya terpaku pada sesuatu. Hanan mengikuti pandangan itu.
Jauh disana, diantara para tamu yang hadir, Hanan melihat sosok itu. Perempuan cantik berwajah campuran berambut coklat. Dia juga sedang memandang terpaku pada Sami. Mereka saling berpandangan tanpa menyadari sekeliling mereka. Mereka asyik tertarik pada dunia mereka sendiri di tengah banyaknya orang mengelilingi mereka. Mereka diam berdua di dunia sepi mereka sendiri di tengah bisingnya suara musik dan suara senda gurau orang-orang. Hanan terhenyak, tangan Sami yang tengah ia genggam berubah dingin. Ia jelas merasakannya meski tangannya terbungkus sarung tipis.
Inikah riak dihatimu itu Sami?

*   *   *

Hanan membuka peniti yang menyemat kerudungnya perlahan. Setelah selesai, ia membuka ikatan rambutnya dan menyisirnya perlahan. Hanan tersenyum pahit. Kalau di sinetron, pengantin laki-laki akan membuka kerudung wanitanya perlahan saat mereka berhadapan. Pengantin laki-laki juga yang akan membuka ikatan dan mengurai rambut pengantin wanita. Tapi kenyataannya, ini bukan sinetron. Ini adalah kehidupannya dengan seorang suami bernama Sami. Sami yang dingin dan kaku. Jadi mana tahu dia sikap yang seharusnya dari pengantin laki-laki!
Jangankan saling berpandangan malu, Hanan malah duduk dihadapan cermin sendirian, dan Sami berdiri mematung di pintu (atau jendela?) menatap ke taman. Sarah salah. Inilah kamarnya, bukan yang disisi kiri.
Hanan memandang lagi dirinya, mengamati garis-garis wajahnya. Lalu ia teringat akan perempuan berambut coklat itu. Jika ia boleh sedikit memuji dirinya, kecantikan dirinya tak kalah oleh kecantikan perempuan itu. Perempuan itu memiliki kecantikan khas timur tengah, sebangsa dengan keluarga Sami yang keturunan Persia. Sementara dirinya memiliki kecantikan pribumi berpadu dengan kecantkan Eropa. Ya, kecantikan Eropa. Hidungnya mancung, matanya biru, kontras dengan kulitnya yang bersih dan rambutnya yang hitam. Kecantikan yang dihargai sangat tinggi yang dulu membuatnya harus terus berlari dan menghindar. Jadi Sami sangat keterlaluan kalau menyia-nyiakan dirinya.
Baiklah, jika Sami yang tak ingin memulai, maka dia yang akan memulai.
Hanan menyimpan sisir diatas meja riasnya. Lalu ia berjalan mendekati Sami. Hanan bersandar pada sisi jendela mengikuti cara Sami bersandar. Mereka kini berhadapan.
“Sami?”
Sami tak menoleh, tapi Hanan tahu Sami mendengarnya.
“Boleh aku tahu apa yang kau pikirkan?”
“Aku tak memikirkan apa pun,” Sami menghindar.
“Kau tahu Sami, sejak Ibuku meninggal dulu, aku hidup sendirian. Aku tak punya teman bicara, tak punya teman tertawa, apalagi teman berbagi tangisan. Aku menanggung semuanya sendiri.” Hanan diam sesaat menanti reaksi Sami. Tak ada. Tapi Hanan kembali melanjutkan, Sami tidak pergi, itu artinya, dia mau mendengarkan.
“Aku selalu bermimpi untuk memiliki seseorang. Siapapun dia, asal dia mau mendengarkanku, dan aku bisa mendengar dia. Apa menurutmu, keinginanku ini terlalu muluk?”
Sami memandang Hanan. Mata biru gadis ini terlihat sangat bening. Cahaya rembulan membuat mata itu terlihat begitu indah. Tapi wajah Huda telah memaku pandanganku...
“Boleh aku meminta sesuatu darimu, Sami?”
“Apa?” tanya Sami ketus seperti biasa. “Apa kau minta aku menyentuhmu?”
Hanan merasa tertusuk. Ia tak berpenampilan seronok. Pakaian tidurnya berbentuk gaun lebar berbahan katun. Bukan kain pendek berbahan satin tipis. Apa dimata Sami, membuka kerudung dihadapan suami begitu seronok? Hanan ingin menangis, tapi ia tak ingin berhenti mencoba.
“Bolehkah aku menjadi temanmu?” Hanan mengacungkan kelingkingnya kearah Sami. “Mau berdamai denganku Tuan Sami?”
Sami menatap wajah dan kelingking Hanan bergantian. Ia belum memutuskan.
“Ayolah! Kita akan hidup serumah, lho! Memangnya kau tak akan kesal terus bermusuhan denganku? Jika hubungan kita tidak baik, tak akan ada orang yang memasak untukmu, juga tak akan ada orang yang mencuci dan menyetrika pakaianmu. Benar kan?” Hanan membujuk seperti ia membujuk anak kecil. Tapi anak yang ini, ia tak suka permen.
Senyum yang mengembang dibibir Hanan layu perlahan-lahan. Melihat tak ada reaksi dari Sami, Hanan menarik kembali tangannya. Masygul ia sekarang.
“Apa kau ingin, malam ini aku tidur di sofa?” Hanan memandang bayangan purnama didalam kolam.
“Tidak. Kau akan tidur disini, Hanan.” Sambil berkata seperti itu, Sami meninggalkan Hanan keluar kamar. Dari tempatnya berdiri, Hanan memperhatikan Sami berjalan melewati ruangan tengah, lalu masuk kedalam kamarnya. Ya, kamar Sami. Ternyata untuk itulah Sami membuat dua kamar. Karena mereka akan tidur terpisah...

*   *   *

Hanan terus berpikir positif. Ia meyakinkan dirinya, kalau Sami akan berubah. Sikap Sami padanya akan menghangat. Entah kapan, tapi waktunya pasti datang. Ia hanya butuh bersabar.
Hanan melihat jam dinding. Pukul sepuluh malam, dan tanda-tanda Sami akan datang belum kelihatan. Hanan melihat makanan yang terhidang dihadapannya, tak ada lagi uap seperti tiga jam yang lalu. Pastinya makanan itu sudah dingin.
Apakah sekarang Sami pun tak makan di rumah?
Hanan berdiri dan mengambil tudung saji. Seharusnya ia makan saja sekarang, tak perlu lagi menunggu Sami. Tapi selain karena tak lapar, Hanan masih berharap Sami membuka tudung saji ini. Hanya membukanya saja, itu pun tak apa...

*   *   *

Sami bergegas keluar dari mobilnya dan menaiki tangga memasuki kantornya.
“Pagi sekali Pak Sami?” seorang Satpam di pintu depan menyambutnya. Sami menjawabnya dengan senyum ramah.
“Ya, banyak hal yang harus dikerjakan.”
“Pastinya,” kata satpam itu mengantar kepergian Sami yang tergesa. Sami mendesah pelan. Sebenarnya bukan hanya pekerjaan, tapi ada alasan khusus mengapa ia harus datang pagi-pagi sekali. Ia harus bertemu dengan seseorang yang menyelinap ke dalam ruangannya pagi-pagi sekali. Ia sudah tahu siapa orang itu, tapi ia hanya ingin bertemu dan melihat wajahnya sekilas saja.
Tepat di belokan, ia melihat sosok itu. Sosok yang baru saja keluar dari ruangannya. Itu pasti dia!
Mendengar langkah mendekat, orang itu menoleh dan tersentak. “Sami?”
“Huda?” Sami terpana. Ia menghentikan langkahnya tepat dihadapan Huda. “Sudah kuduga...”
“Aku hanya...,” Huda mencari alasan, tapi ia tak segera menemukan.
“Terimakasih,” kata Sami menghentikan Huda. Huda memandang Sami heran. Sami tak marah? Ia bahkan tersenyum? Huda merasa sangat lega. Ia beranjak dari sana setelah mengatakan permisi pada Sami.
Setelah Huda tak terlihat, Sami memasuki ruangannya dengan sumringah. Perutnya terasa lapar tiba-tiba, maka dihampirinya meja dengan tergesa-gesa. Tanpa membuka mantel dan jasnya, Sami lekas duduk dan memandangi sebuah benda yang setiap pagi selalu tersedia disana. Sekotak sarapan, lengkap dengan satu gelas jus jeruk hangat. Sami mengambil sendok dan membuka tutup kotak perlahan. Nasi gorengnya kelihatan sangat enak. Jika sekarang nasi goreng, menu makan siang nanti apa? Apakah rendang yang pedas seperti kemarin siang? Atau ikan seperti kemarin malam?
Seperti siang dan malam? Ah ya, Sami mendapati kotak itu bukan hanya saat sarapan, tapi juga saat makan siang dan malam hari sebelum ia pulang. Dan hati Sami selalu menanti-nanti kedatangan kotak itu. Sebenarnya bukan kotaknya, tapi seseorang yang membawa kotak itu. Huda...
Sementara Huda menekur di meja kerjanya. Ia menikmati senyum Sami yang baru saja didapatkannya. Entahlah, setelah Sami menikah, ia begitu takut bertemu laki-laki itu. Takut, jika Sami tak lagi memberikan senyum untuk dirinya. Tapi ketakutannya sama sekali tak terbukti. Ternyata Sami masih memberikan senyum untuknya! Huda benar-benar merasa lega.
Jadi karena Sami sama sekali tak marah ia memberinya makan, maka ia akan melanjutkan rutinitas itu sampai Sami yang memintanya berhenti. Tapi bagaimana dengan istri Sami? Senyum Huda tiba-tiba menguncup. Tidakkah ia bersalah pada wanita itu? Huda meremas tangannya sendiri. Tapi ia begitu ingin mendapat senyum itu. Tak apa kan? Ia hanya meminta sedikit, dari bagian wanita itu yang mendapat senyum Sami setiap saat? Maka Huda mendapat pembenaran. Rasa bahagia mendapatkan kenyataan bahwa Sami memperhatikannya telah menutup rasa bersalahnya. Maka berlangsunglah kebiasaan itu terus menerus. Entah sampai kapan.

*   *   *

Hari minggu. Sami tak mungkin pergi. Maka pagi-pagi sekali, Hanan menyiapkan sarapan untuknya. Nasi goreng kecap dengan dadar telur. Ibu bilang, itu sarapan kesukaan Sami.
“Sami?” Hanan mengetuk pintu kamar Sami yang tertutup. “Sarapan sudah kusiapkan.” Tak ada jawaban dari dalam.
“Sami?” Hanan mengetuk lagi. Kali ini dijawab dengan dengusan kesal.
“Aku tak lapar!”
Hanan mendesah. Apakah Sami tak pernah lapar sepanjang hidupnya? Setiap hari selama sebulan ini, Sami belum pernah terlihat makan. Memangnya dia roh halus yang tak butuh makan? Apa aku harus masak darah biar dia mau makan? Hanan mulai merasa kesal.
Dilihatnya dua piring nasi yang tersaji manis dimeja makan. Hanan memandanginya seperti ia memandang dua pasang makhluk paling menyebalkan di dunia. 
Sementara Hanan sibuk dengan kekesalan yang mulai menggunung dihatinya, Sami sedang tepekur dikamarnya. Mempertanyakan sikap Hanan. Kemana dia? Bukankah biasanya dia akan terus mengetuk kamar tanpa rasa bosan? Ia baru akan berhenti ketika Sami keluar rumah dan pergi bekerja. Ia akan dengan sabar meminta Sami menyentuh makanan. Tapi sekarang kemana dia?
Hati Hanan diliputi rasa kesal, sementara hati Sami diliputi rasa penasaran. Sami membuka pintunya perlahan-lahan, berusaha tak mengeluarkan suara sedikit pun. Diantara celah yang ia buat, Sami melihat Hanan duduk mematung dimeja makan. Matanya berkaca. Lalu tanpa diduga, Hanan berdiri dan mengambil dua piring nasi goreng itu dan... membuangnya!
Sami kaget. Ini reaksi yang tak diduganya sama sekali. Bukankah selama ini Hanan bersabar menghadapi dirinya? Tak digubris, dimarahi, bahkan dianggap tak ada, Hanan selalu bersikap seperti seorang istri layaknya. Tapi sekarang? Apakah batas kesabarannya telah habis? Sebersit rasa bersalah melintas dihati Sami. Aku pasti sudah berlebihan.
Brak!
Hanan membanting pintu kamarnya. Sami benar-benar syok. Setelah sepi yang lama, Sami baru benar-benar keluar kamarnya dan menghampiri tempat sampah. Disana teronggok sedih dua piring nasi goreng. Sami tak mengada-ada, Hanan memang membuangnya bersama piringnya sekaligus! Sami mengerjap. Kelihatannya gadis itu benar-benar marah. Ia mengambil dua piring itu lalu mencucinya. Ditempatnya berdiri, ia memperhatikan dapur sekeliling. Pisau dan talenan bekas mengiris bumbu, wajan bekas memasak, mangkuk bekas mengocok telur. Beberapa saat sebelum nasi goreng itu matang, Hanan pasti tengah sibuk disini. Sementara ia tak menyentuh hasil kerepotan gadis itu sama sekali! Dan ironisnya, Sami malah memakan masakan orang lain yang sebenarnya tak punya kewajiban memasak untuknya! Parahnya lagi, ia baru sadar, bahwa ia telah melakukan itu selama lebih dari satu bulan! Sami mendesah berat. Sekarang rasa bersalah itu bukan lagi sebersit, tapi melebar luas memenuhi rongga dadanya.
Salah apa gadis itu hingga Sami memperlakukannya sedemikian rupa? Tapi Ya Tuhan, aku tak mencintai gadis itu! Sami mencari alasan. Alasan yang langsung mendapat bantahan dari sisi hatinya yang lain. Perlukah sebuah cinta untuk memberi kebaikan pada orang lain?
Sami berjalan lemah menuju sofa. Ia lalu terduduk disana. Memikirkan banyak hal. Menunggu Hanan keluar. Paling tidak, ia mungkin perlu meminta maaf, dan berkata baik-baik, kalau Hanan tak perlu repot-repot memasak untuknya. Hhh telat, seharusnya Sami memikirkan itu sejak sehari pernikahan mereka.
Hanan duduk memeluk lutut. Sudah hampir beberapa hari ini selera makan Hanan hilang sama sekali. Perut yang kosong sudah bosan mengeluarkan bunyi, mereka lelah berdemo. Entah kapan tuntutan mereka untuk mendapat jatah makan bisa Hanan penuhi. Ia terlalu sibuk berpikir. Tentang sikap Sami sebulan ini, tentang kesabarannya menghadapi Sami.
Jika dipikir, ia seperti orang gila bila ada dihadapan Sami. Bertanya, tak pernah dijawab. Membuat kelakar, tak pernah mengundang tawa. Menyentuh, selalu ditepis. Ngobrol selalu sendiri. Nah, apalagi disebutnya seseorang yang bersikap seperti itu kalau bukan gila? Hanan tertawa pahit. Kesabarannya sudah habis. Benar-benar habis. Ia balas budi hanya kepada Ibu. Bukan pada makhluk itu (maksudnya Sami). Jadi, ia hanya punya kewajiban berbuat baik pada wanita itu, dan kebaikan itu tak berlaku pada Sami. Memangnya siapa dia yang berhak menerima kebaikanku begini rupa?
Tapi bukankah biduk rumah tangga yang sudah terlanjur terbangun harus ia pelihara? Sisi hatinya bersuara. Tapi kemudian Hanan ingat kata-kata Sami, walau bagaimana pun ia tak mencintai Hanan, laki-laki itu tak akan pernah menceraikan Hanan. Jadi jika laki-laki itu kuat bertahan, ia akan tetap jadi istri Sami. Tapi jika laki-laki itu tak berhasil mempertahankan rumah tangga mereka, kesalahan bukan ada padanya. Mukanya di depan Ibu tak tercoreng sedikit pun. Hanan tersenyum. Ia sudah membuat keputusan.
Berpikir dan membulatkan tekad untuk menjadi dirinya sendiri mulai saat ini ternyata butuh waktu lama bagi Hanan. Ia baru keluar kamar selepas dhuhur. Hanan merutuk dirinya sendiri. Sial. Kenapa ia membutuhkan waktu selama itu untuk berpikir, sementara Sami bahkan tak perlu berpikir untuk memperlakukannya seperti ini.
Hanan agak tersentak ketika mendapati Sami tengah duduk di sofa ketika ia keluar kamar. Tumben ia ada dirumah dan duduk disofa memandangi tivi yang tak hidup sama sekali. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi sekilas saja. Hanan dapat mengendalikan keterkejutannya dengan cepat. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan santai menuju dapur. Keterkejutan kedua ia dapatkan di pantry ini. Barang-barang kotor yang ia tinggalkan tadi, kini sudah bersih. Hanan memandang Sami dari belakang. Konsep rumah yang tanpa sekat memungkinkan Hanan melihat Sami dimanapun, kecuali di kamarnya. Diakah yang mencuci dan membereskan semuanya? Hanan kaget tentu saja. Tapi sebentar saja, sebab kemudian ia mengangkat bahu tak mau tahu. Dia yang mencuci atau bukan peduli amat. Kalau hantunya sekali pun yang mencuci karena hantunya Sami merasa iba padanya, Hanan tak peduli. Nah, hantunya Sami saja memungkinkan merasa iba padanya, kenapa ia tak iba pada dirinya sendiri? Hanan semakin bulat untuk mulai bersikap.
Hanan membuka kulkas dan meneliti isinya. Hah! Tak ada yang bisa dimasak selain telur! Sekarang, saat ia mau makan, tak ada yang bisa di makan. Kemarin-kemarin, ia masak segala macam setiap hari, ianya yang tak mau makan. Hanan mendesah. Sepertinya nanti sore ia harus belanja lagi. Hanan mengambil satu telur dan satu buah tomat. Tapi baru saja ia menutup kembali kulkas, gerakannya berhenti seperti kehabisan baterai tiba-tiba. Hah? Belanja? Ngapain juga? Kenapa ia harus repot-repot membuka dompetnya untuk sesuatu yang seharusnya bukan kewajibannya? Hanan menepuk kepalanya. Tolol sekali sih? Selama sebulan ini ia menghabiskan uangnya untuk hal yang sangat sia-sia!
Setelah mengorak-arik telur seadanya, Hanan mengambil nasi dan makan dengan lahap. Berapa hari ya ia tak bertemu nasi? Tanpa Hanan sadari Sami menoleh padanya.
“Kau masak apa?” tanya Sami berusaha lembut. Tapi usahanya gagal total, karena intonasi yang ia hasilkan terdengar ketus. Hanan menghentikan suapannya. Tapi cuma sebentar. Selanjutnya, ia meneruskan makan.
Sami mendekat dan duduk diseberang Hanan. Ia melihat piring Hanan. Kuning dan putih warna telur, merah warna tomat, dan hijau warna cabe rawit membuat air liur Sami hampir menetes. Ia juga belum makan dari pagi, karena nasi goreng yang seharusnya sudah dicerna dengan baik, kini malah jadi penghuni tempat sampah.
“Kau tak membuatkan makan untukku?” Sami bicara dengan intonasi yang sama. Membuat kemarahan Hanan yang belum menemukan muara hampir meledak sekarang. Tapi ia bertahan. Bertahan hingga suapannya benar-benar tandas. Setelah itu ia akan masuk kamar dan tak perlu makhluk menyebalkan ini lagi. Lagipula kenapa minta makan? Kemarin-kemarin kemana dia?
Melihat Hanan tak mempedulikannya, Sami mulai bicara lagi. Nadanya lebih ketus dari dua kalimatnya yang pertama. “Hei? Kamu tuli ya?” setelah mengatakan itu Sami merutuki dirinya sendiri. Seharusnya bukan seperti itu. Seharusnya ia mengatakan maaf terlebih dahulu. Maaf. Apa susahnya? Tapi memang susah Sami rasakan. Lidahnya benar-benar kelu. Kata maaf itu tak bisa keluar meski ia hanya berupa desahan.
Hanan melihat Sami sekilas. Ia baru mengacuhkan Sami tak lebih dari satu jam, tapi reaksinya sudah seperti ini. Apa Sami tak sadar kalau dia sudah mengacuhkan Hanan lebih dari satu bulan? 
“Apa?” tanya Hanan cuek.
“Apa kau tak membuatkan makanan untukku?”
“Heh, kenapa aku harus membuatkan makan untukmu?” Hanan menyelesaikan suapannya. Ia lalu meneguk air putih tiga kali tegukan.
“Aku belum makan sejak pagi.”
“Lalu?”
Hanan mengambil piring dan gelas lalu mencucinya. Tak sekalipun ia menoleh pada Sami.
“Lalu? Tentu saja aku lapar! Sekarang buatkan makanan untukku!” kini Sami bicara dengan kesal.
“Oh, Tuan Sami mau makan? Kenapa tak memasak sendiri? Atau keluar cari makan seperti biasanya?” Hanan selesai mencuci piring dan mematikan keran air.
“Apa?”
“Kenapa? Malas? Oh ya. Aku baru ingat ada makanan!” Hanan tersenyum sembari berjalan menuju kamarnya. Lalu pada saat ia didekat Sami, ia condongkan badannya sehingga kepalanya berdekatan dengan kepala Sami, ia bisikkan sesuatu tepat ketelinga Sami, “di tempat sampah!”
Dan melihat Sami menatapnya dengan mata murka ia tersenyum menang. Entah kapan terakhir ia tak merasa sesenang ini.
Cewek sialan! Padahal aku tadi hendak mengibarkan bendera damai, dia malah kembali mengajak perang! Tolol! Apa dia pikir bisa menaklukkan aku dengan cara seperti ini? Geraham Sami berderak-derak.
Dan, dimulailah perang itu...


*   *   *

Sebelumnya ; Bagian 1
Berikutnya ;Bagian 3

Kamis, 21 November 2013

Mengulas pidato Erika (Bagian I)

Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech

by Erica Goldson

Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.

Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.

I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.

John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.

H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?

This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.

And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.

We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.

The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.

For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.

For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.

So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.

I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html



 http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts&feature=player_embedded#!

Selasa, 19 November 2013

Mozaik Cinta (Bagian I)


1

Udara lembab. Tetes hujan terakhir telah turun beberapa saat yang lalu. Meninggalkan genangan-genangan di trotoar jalan yang lebar. Tapi angin dingin masih mau singgah menyibakkan ujung kerudung coklatnya. Matanya terpejam lama. Meresapi aroma tanah basah yang telah lama ia rindukan. Hujan pertama di awal musim selalu terlihat indah.
Suara kendaraan yang berhenti tepat didepannya membuat matanya perlahan terbuka. Seorang laki-laki dengan switer warna merah bata keluar dari pintu kemudi. Ia lalu berdiri menatap Hanan. Diam tak bergerak. Hanan mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Hidung yang mancung, alis tebal hampir bertaut, mata hitam teduh, juga jambang tipis terawat. Rasanya Hanan mengenal wajah ini. Tapi dimana? Hanan sama sekali tak ingat. Tapi mengapa laki-laki ini terus memandangnya? Hanan memalingkan muka segera.
“Hanan?”
Hanan menoleh ke asal suara. Seorang wanita setengah baya keluar juga dari chevrolet itu. Suara yang sangat ia kenal baik, juga sosok yang sangat tak asing. Sekarang Hanan ingat, ia belum pernah bertemu lelaki itu, tapi garis wajahnya sangat ia kenal baik, karena laki-laki itu sangat mirip wanita ini.
 “Ibu?” Hanan terbeliak bahagia. Langkah kakinya mendekat dan meraih tangan untuk dikecupnya dengan khidmat.
“Apa aku mengganggu keasyikanmu, gadis kecil?” wanita itu meraih bahu Hanan dan merengkuhnya kedalam pelukan hangat. Pelukan yang telah dirindukan Hanan beberapa waktu ini.
“Ibu sehat? Kemana saja Ibu akhir-akhir ini?”
Ibu melepaskan pelukan dan memandangi wajah Hanan tanpa berkata sedikit pun. Hanya sesungging senyum menyertai tatapan rindu itu.
“Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam?”
Ibu mengangguk setuju. Lalu mereka melangkah masuk ke sebuah outlet pakaian yang sedari tadi mereka punggungi. Sementara laki-laki itu mengikuti mereka dari belakang tanpa bicara sepatah kata pun.
Beberapa orang tengah melihat-lihat pakaian saat mereka masuk. Seorang wanita masuk kedalam kamar pas membawa satu set pakaian, sementara yang lain keluar, juga dengan sehelai pakaian. Seorang lain tengah duduk mengamati, seorang lagi tengah duduk membaca majalah. Suara ‘Ku Bersujud’ milik Afgan menemani kesibukan mereka.
“Outletnya laku, Hanan.” Ibu berbisik di telinga Hanan. Dan Hanan tersenyum sembari mengaminkan perkataan Ibunya.
“Kita ngobrol diatas ya, Bu? Atau... Ibu mau melihat-lihat dulu?”
“Lihat-lihatnya nanti saja. Ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan.”
Hanan mengangguk.
“Siapkan teh untuk kami berdua ya?” kata Hanan pada seorang pegawainya ketika ia melintas di meja kasir. “Eh, apakah putra Ibu akan naik juga?”
“Sami?”
“Oh. Sami.” Hanan mengulang nama itu. Ibu kadang menyebut nama Sami ditengah obrolan mereka, tapi Ibu tahu, Hanan orang yang sangat sulit mengingat nama.
“Bagaimana Sami?” Ibu menoleh pada laki-laki berswiter merah bata itu. Ia tengah mengamati sebuah lukisan. “Ya atau tidak?”
Sami memandang Hanan sejenak lalu menoleh kepada ibunya kembali. “Terserah Ibu saja,” katanya tersenyum tipis. Dan jawaban itu serta merta membuat Ibu tersenyum lebar.
“Kita berdua saja,” Ibu menggamit lengan Hanan.
“Siapkan juga teh untuk dia,” bisik Hanan kembali pada pegawainya. Pegawai itu mengangguk dan beranjak setelah Hanan menaiki tangga.
Hanan belum mengerti, bahwa jawaban Sami itu adalah gerbang kehidupannya masa datang. Masa datang yang tak pernah diduganya. Masa-masa penuh rasa perih yang mengiris hatinya. Jika saja Hanan tahu, Hanan tak akan pernah menerima kedatangannya. Tapi bukankah takdir berlaku tak bisa terelakkan?

*   *   *

Hanan memandang Ibu angkatnya tanpa berkedip. Kalimat yang dikeluarkan wanita itu benar-benar membuatnya shock. Tak tahu harus mengatakan apa, dan tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Hanan?”
Kata-kata halus itu membuat Hanan tersentak. Tapi jangan berharap kekagetannya akan menghilang begitu saja. Hanan mengatur nafas. Diambilnya cangkir teh yang tersaji dihadapannya dan meneguknya perlahan. Air hangat itu lumayan bisa menetralisir perasaannya.
“Bagaimana? Kau mau kan menikah dengan putraku?”
Hanan memandang kembali wajah Ibu angkatnya. Dua kalimat yang sama. Tapi dua desakan yang berbeda. Kalimat pertama tadi, hanya penawaran. Tapi kalimat barusan, lebih seperti desakan. Apalagi ketika Hanan memperhatikan sorot mata wanita setengah baya itu. Benar-benar sangat berharap Hanan menerima tawarannya. Hanan memandangi lagi tehnya, belum ada satu jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Ibu tahu ini sangat mendadak. Tapi..., Ibu sudah memikirkan ini masak-masak, Hanan. Ibu yakin, jika bersama, kalian akan jadi pasangan yang hebat,” Ibu tersenyum bahagia. Bahagia akan bayangannya sendiri, bahagia akan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Hanan menekur. Sudah hampir lima bulan ini, Ibu tak menemuinya sama sekali. Pada pertemuan ini, Hanan hanya berharap, mereka bisa ngobrol banyak untuk membebaskan kerinduan. Bukan berita mengejutkan seperti ini. Lagipula siapa Sami? Hanan memang sering mendengar sesuatu tentang Sami dari Ibu. Tentang bagaimana Sami begitu serius kuliah, tentang Sami yang sangat sulit tidur, tentang sarapan Sami diwaktu pagi, atau tentang lelucon-lelucon Sami yang membuat wanita itu kerap tertawa. Hanan sering mendengar itu. Tapi cukupkah?
Hanan menghela nafas berat. “Apa Ibu begitu ingin aku menikah dengannya?”
“Berharap, Hanan. Ibu sangat berharap.” Ibu memandang Hanan yakin. “Tapi Ibu tak bisa memaksa. Ini menyangkut kehidupanmu masa datang. Putuskan sesuai keinginanmu.” Tangannya mengenggam tangan Hanan hingga kedua tangan mereka bertaut diatas meja.
“Jangan berpikir tentang sesuatu yang telah aku berikan padamu, Hanan. Putuskan saja sesuai keinginanmu. Ok?” kata Ibu menutup percakapan.
Hanan mengangguk pelan. Tapi anggukan itu untuk sebuah pengingkaran. Memutuskan tanpa memikirkan segala sesuatu yang telah wanita itu berikan? Bisakah? Setelah semua yang dilakukan wanita itu untuknya, siapapun yang ada di posisi Hanan sekarang, pasti tak akan bisa melupakan semuanya.
Hanan masih duduk ditempat yang sama untuk beberapa saat setelah Ibu dan Sami pulang. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Pikiran akan masa lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, Hanan bukanlah seorang manusia. Tapi ia seorang budak. Bangun sebelum subuh datang, dan tidur setelah larut malam adalah hal yang biasa. Tak ada yang dilakukan, selain bekerja. Bekerja untuk menghidupi dirinya dan ibunya, juga untuk menebus diri mereka sendiri agar bebas dari ‘jaga malam’. Tapi sampai kapan ia bertahan? Hanya sampai ibunya bisa melindunginya. Setelah itu? Setelah Ibu meninggal, berapa pun ia menyetor uang, selalu tak cukup. Sampai batas kesabaran bosnya habis karena tawaran untuk Hanan begitu tinggi, Hanan juga sudah mencapai batas akhir. Tak ada yang dapat dipertahankan selain dirinya sendiri. Maka ia memutuskan untuk berlari, meski mempertaruhkan nyawanya sendiri. Berhari-hari ia terus berlari. Tapi kemana pun ia bersembunyi, ia selalu ditemukan.
Hanan dilahirkan ditempat yang salah. Besar di lingkungan yang salah. Ia terjebak dalam jaring labirin dan mustahil untuk membebaskan diri. Tapi kemustahilan itu ternyata terjadi. Ia terbebas dari labirin itu. Seseorang manarik tangannya keluar. Orang itu Ibu angkatnya. Ia bertemu dengan wanita itu saat ia dalam pelarian. Ia sedang benar-benar berlari dari kejaran saat ia menubruk wanita itu. Melihat rasa lelah dan rasa takut diwajah Hanan, dan melihat sosok pengejar, tanpa berpikir panjang, wanita itu menarik tangan Hanan masuk kedalam mobilnya.
Pertemuan itu membawa Hanan pada kehidupan barunya. Beberapa kali ia ditemukan oleh para preman suruhan bosnya, tapi beberapa kali juga Ibu menyelamatkannya. Wanita itu bahkan menebus Hanan dengan uang yang sangat besar, yang jika harus membayar, entah kapan Hanan bisa melunasinya. Jadi bisakah ia tak menghiraukan semua kejadian itu? Melupakannya begitu saja?
Hanan lagi-lagi membuang nafas. Tak bisa. Ingatan itu masih utuh. Tak ada yang terbuang. Sedikit pun. Jika tak ada yang bisa dilakukannya untuk membayar semua kebaikan wanita itu, bukankah hanya sekarang peluang membalas budi itu datang? Dan peluang tak akan datang untuk kedua kali bukan?
Hanan memejamkan mata. Ia sudah memutuskan.

*   *   *

Tak ada orang lain dirumah itu selain mereka bertiga dan para pembantu yang menyuguhkan air untuk mereka. Hanan duduk berseberangan dengan laki-laki itu, Sami. Sementara Ibu duduk diantara mereka. Hanan melihat kolam, memperhatikan ikan koi berenang-renang di dalamnya. Pantulan sinar matahari pagi memunculkan kerlap-kerlip bintang di riak-riak air, sedikit menyilaukan, tapi indah. Tanpa sadar Hanan tersenyum.
“Sepertinya, Ibu akan meninggalkan kalian berdua. Bicaralah yang leluasa.” Hanan tersentak mendengar perkataan itu. Tapi dilihatnya sekilas Sami terlihat sangat tenang, membuat Hanan terobsesi untuk bersikap sama. Hanan memandang punggung Ibu yang menjauh. Ia berjalan ke arah dapur. Hanan memalingkan kembali wajahnya dari dalam rumah menuju halaman belakang kembali, tempat mereka duduk kini.
“Aku harap, kau menerima tawaran Ibu,” Sami membuka percakapan.
Untuk itulah aku disini, Hanan menjawab dalam hati. Hanan melihat Sami lekat-lekat. Apa yang dirasakan pemuda itu padanya? Meski tak terus memperhatikan, tapi Hanan yakin, kalau sedari tadi, tak sekalipun Sami melihat ke arahnya. Entahlah, tapi Hanan merasa, kalau Sami tak tertarik padanya sama sekali. Tapi mengapa ia mau menikah?
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
Sami mengangguk membolehkan. “Katakan saja.”
“Mengapa kau tak menikah dengan seseorang yang kau cintai?” Hanan bertanya datar. Tanpa ekspresi. Tapi pertanyaan datar itu cukup membuat raut wajah Sami berubah. Untung saja Hanan tak melihat perubahan wajah itu. Ia masih asyik melihat gerakan lincah ikan koi merah didalam kolam.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Sami balik bertanya setelah ia bisa mengendalikan rasa tegangnya.
“Tidakkah kau mencintai seseorang?”
Sami terdiam. Tak ada jawaban. Apakah gadis ini tahu kalau sebenarnya ia menyukai seseorang? Menyukai seseorang yang tak mungkin dinikahinya?
“Kau sendiri?” Sami kembali membalikkan pertanyaan. Sami tak bisa menjawab jujur, tapi ia juga tak ingin berbohong. Ibu selalu mengatakan padanya, kalau perasaan wanita itu sangat peka. Jadi kepekaan perasaan itu mungkin tengah bekerja pada Hanan. Gadis ini merasakan sesuatu yang tak beres terjadi pada dirinya. 
“Bagi seorang perempuan, dicintai itu lebih penting daripada mencintai.”
Sami tersentak. Apakah itu artinya sebuah ancaman? Jangan menikahiku jika kau tak mencintaiku? Kini Sami yang melihat Hanan lekat-lekat. Ia ingin melihat riak diwajah gadis itu. Apakah yang ia katakan memang sebuah ancaman? Tapi Sami tak menemukan jawaban apa-apa. Ini bukti, kalau perasaan laki-laki tak sepeka perasaan perempuan. Sami tersenyum pahit. Baik, jika begitu, ia akan bertanya langsung.
“Kau mengancamku?”
“Tidak,” jawab Hanan cepat. “Apa aku terlihat seperti sedang mengancam?” Hanan tersenyum. Senyum yang seharusnya menggetarkan hati seorang Sami, calon suaminya. Tapi hati Sami sama sekali tidak bergetar sebagaimana yang seharusnya.
“Jika kau ingin menolak keinginan itu, lakukan saja.”
Hanan melihat Sami. Ia tersenyum pahit. “Apa aku salah bicara?” Hanan merasa, Sami sedang menancapkan bendera perang terhadapnya. “Aku  minta maaf. Tapi aku hanya tak ingin kau terpaksa menikahiku. Itu saja.”
“Kau menikah untuk balas budi kan?” Sami menatap Hanan dengan sorot mata tajam. “Tak apa. Aku juga menikahimu karena tak ingin mengecewakan Ibu. Adil kan?”
Hanan terpaku. Bukan ini yang Hanan inginkan. Allah..., kata-kata mana yang ia keluarkan yang mengoyak harga diri lelaki ini?
“Aku minta maaf...,” Hanan menekan harga dirinya. Tak terlalu sulit, sebab sejak lahir, dirinya benar-benar tak memiliki harga. “Bagaimana jika kita memulai percakapan dari awal?”
Sami diam. Ia bersidekap dada.
“Apakah kita sepakat untuk menikah?” tanya Hanan lebih lembut dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
“Jika itu yang kau inginkan.”
Hanan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Allah, seperti apa laki-laki yang sedang kuhadapi ini? Jika itu yang aku inginkan? Bukankah ini sama-sama bukan keinginan mereka? Apa salahnya jika Sami menjawab ‘ya’? Apa ia sengaja ingin menyakiti perasaanku?
Perasaan Hanan benar-benar berkecamuk. Pembicaraan yang buruk untuk sebuah permulaan.
“Baiklah jika begitu,” Hanan berdiri. “Tadinya aku berharap kita akan memulai semuanya dengan baik. Merencanakan kehidupan rumah tangga kita nantinya. Tapi jika sudah diawali seperti ini, pembicaraan kita tak akan menghasilkan apa-apa. Sekali lagi aku minta maaf kalau aku salah bicara.” Hanan menutup percakapan, lalu beranjak meninggalkan Sami terpaku seorang diri.
Tidak, tak ada yang salah dengan kata-kata Hanan. Dirinya yang salah. Jika dia tak menyukai perempuan yang lain, tak akan ada pembicaraan seperti ini. Ia cukup menjawab ‘tidak’ ketika gadis itu bertanya apa dirinya mencintai seseorang. Tapi kenyataannya memang tak seperti itu. Ia mencintai orang lain...

*   *   *

Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja nantinya? Hanan meragukan itu. Akan banyak hal yang terjadi, dan Hanan harus mempersiapkan dirinya sejak sekarang. Lalu persiapan apa yang harus dilakukannya? Entahlah. Hanan sendiri bingung.
“Bagaimana menurutmu?” Suara Sarah, kakak perempuan Sami membuyarkan lamunan Hanan. Ia masuk ruangan dengan membawa satu stel gamis hitam dipadu rompi warna putih berhias mutiara hitam di bagian leher. Sederhana untuk pakaian pengantin namun terkesan elegan. “Kau suka?” katanya lagi menghampiri Hanan.
Hanan tersenyum dan mengangguk. Jika bukan karena Sami, ia akan berteriak histeris dan mengatakan gaun itu bagus berkali-kali. Tapi pikirannya yang penuh dengan Sami menutup selera itu.
“Rancangan yang bagus, Kak!” Hanan mengambil gaun itu dan mengamatinya. “Entah saya cocok atau tidak memakai ini...”
“Kok bilang gitu? Coba dong! Pasti cocok!” Sarah mendorong Hanan masuk ke kamar, dan Hanan menurut tanpa membantah sedikit pun. Dan Sarah benar, Hanan sangat cocok memakai gaun itu. Tapi wajah Hanan yang biasa berbinar, entah mengapa terlihat redup. Sarah merasakan benar aura itu.
“Ada sesuatu yang kau pikirkan?” Sarah menggamit lengan Hanan dan menariknya perlahan memasuki ruangannya. Ia meminta Hanan berdiri didepan cermin besar sembari mengajaknya bercakap-cakap. Diruangan ini hanya ada mereka berdua, tak ada pegawainya satu orang pun. Ia berharap, Hanan leluasa bicara dengannya.
“Tidak ada,” Hanan tersenyum bersembunyi.
“Kau memikirkan sikap Sami?”
Pertanyaan itu membuat Hanan tersentak.
“Sudah kuduga,” Sarah tersenyum. Tangannya masih sibuk membetulkan gaun Hanan. “Kau mau melonggarkan sedikit dibagian ini?” Sarah menunjuk dada Hanan, dan Hanan mengangguk tanda setuju.
“Bagaimana kakak tahu?”
“Semua orang tahu,” Sarah lagi-lagi tersenyum.
“Maksud Kakak?”
“Sami orang yang dingin, ketus, dan tanpa basa basi. Dia juga keras dan egois. Benar kan?”
Hanan mendesah.
“Kau belum pernah bertemu dengannya sebelum ini kan?”
Hanan mengangguk.
“Itu karena dia tak suka banyak berkomunikasi dengan orang.”
Hanan terdiam. Menyukai kesendirian? Bukankah itu sifatnya juga? Persamaan ini bukan berita yang baik. Sebuah pasangan harus saling mengisi kekurangan masing-masing dengan kelebihan masing-masing. Jika kekurangan mereka sama, dengan apa mereka saling mengisi kelebihan?
“Kamu jangan khawatir, meski Sami seperti itu, ia orang yang perhatian. Dalam diamnya, ia selalu memperhatikan.”
“Apakah dia akan menyukai saya?” tanya Hanan ragu.
“Rasa suka bisa muncul setelah dua orang bersama. Lambat laun perasaan itu akan ada. Tapi tetap saja, kamu harus mengusahakan hal itu. Pada orang sedingin dia, kamu harus pintar mencari perhatian, apalagi kamu punya musuh besar yang sangat sulit untuk dikalahkan,” Sarah membetulkan gaun dikedua pundak Hanan bagian belakang. Sesekali ia melihat wajah Hanan.
“Maksud Kakak?” Hanan mulai merasa was-was. Sami mempunyai seseorang yang dicintainya. Benar kan?
“Pekerjaannya.”
“Apa?”
“Ya. Pekerjaannya. Jika ia sudah menggambar di depan komputer, tak ada yang bisa menarik keinginannya sebelum gambarnya selesai. Tidak makanan, tidak istirahat. Tapi jika kamu, siapa tahu?” Sarah mengerling menggoda, membuat Hanan tersenyum malu. Tapi tanpa Sarah ketahui, kekhawatiran di hati Hanan tak pernah hilang. kekhawatiran yang membuat Hanan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Sami, suatu saat nanti...

*   *   *

“Jadi Sami benar-benar belum mengatakan tentang hal ini padamu?” Sarah melihat Hanan sekilas sebelum matanya kembali pada jalanan yang ada didepannya.
Sepulangnya dari butik, Sarah mengajak Hanan melihat rumah yang kata Sarah, khusus Sami buat untuk mereka berdua.
“Sami sampai bergadang dua hari lho, menyelesaikan gambar ini!” promosi Sarah tadi ketika merayu Hanan untuk mengikuti ajakannya. Ya, tadinya Hanan menolak. Sami belum mengatakan ini padanya, itu artinya, Sami masih mau merahasiakannya kan? Tapi Sarah bilang, Sami belum mengatakannya karena ia tak tahu bagaimana caranya. “Laki-laki dingin seperti dia mana tahu cara bicara dengan perempuan,” Sarah tertawa. Dan akhirnya, disinilah Hanan sekarang. Duduk manis di samping Sarah yang mengemudikan ‘Vorce’-nya perlahan-lahan. Berani sumpah! Hanan yakin kalau Sarah baru bisa mengemudi tadi pagi!
“Memang belum,” jawab Hanan tenang. Ia melihat jalanan lenggang didepannya. Kalau saja ia yang mengemudi, ia akan melarikan mobil ini lebih cepat. Hanan melihat jam tangannya. Hari ini ia tak ada acara sama sekali, tapi tak tahu kenapa, ia ingin cepat pulang dan melakukan apa saja, asal di rumah. Tapi rutinitas seperti ini memang harus dilakukan ketika seseorang menikah bukan? Jadi Hanan berusaha untuk terus bertahan.
“Kau tahu kenapa Mama menjodohkan kalian?” Sarah berubah serius tiba-tiba.
“Boleh aku tahu?” Hanan menghadapkan wajah sekaligus badannya pada Sarah.
Sarah menghela nafas panjang sebelum menjawab. “Mama adalah Ibu kandung Sami. Ayah adalah ayah kandungnya. Aku juga kakak kandungnya. Tapi entah mengapa, kami tidak pernah tahu, apa yang ada di dalam pikirannya. Kami tidak pernah tahu perasaannya. Apakah dia senang, kesal, atau benci sekalipun.”
“Dia tak pernah mengekspresikan perasaannya?” tanya Hanan penasaran.
“Dia tertawa seperti biasa. Di juga tersenyum, terlalu sering malah. Tapi justru itulah yang membuat kami bertanya. Kapan dia merasa tak suka? Kapan dia merasa kesal? Segala sesuatu selalu ia tanggapi dengan senyum segaris. Tak pernah lebih. Tertawa juga tak pernah lepas. Kami merasa kalau senyum dan tawa pelannya hanya wajah yang ia perlihatkan pada kami, bukan yang sebenarnya. Dia hanya ingin membuat kami senang. Hanya itu. Bersamamu, kami harap, dia menjadi dia yang ada didalam hatinya. Dia yang sebenarnya.”
Mereka terdiam sejurus.
“Mengapa kalian menyimpulkan kalau aku bisa membuka hatinya?”
Sarah tersenyum. “Karena kau adalah kau,” Sarah tertawa membuat kening Hanan berkerut. Hanan bertanya lagi, tapi lagi Sarah menjawabnya dengan tawa.
Rumahnya cukup besar untuk diisi hanya oleh berdua. Warnanya di dominasi warna putih. Dinding rumah belakang penuh dengan kaca-kaca lebar, memungkinkan cahaya matahari masuk lebih banyak, dan memungkinkan penghuninya melihat taman asri yang memang menjadi pusat perhatian rumah ini. Ditaman itu terdapat kolam renang mungil berbentuk kurva yang sepertinya hanya berpungsi sebagai hiasan saja. Atau memang Sami suka berenang? Hanan mengangkat bahu, ia tak tahu. Tapi yang pasti ia ketahui adalah, ia tak bisa berenang.
“Ayo masuk! Kita lihat kamarnya!” Sarah menarik tangan Hanan. Rumah itu memiliki dua kamar. Satu diujung sebelah kanan, satu diujung sebelah kiri. Dapur ada ditengah bersatu dengan ruang duduk.
“Satu untuk kamar kalian, satu untuk kamar kerja. Benar kan?” Sarah membuka pintu kamar sebelah kanan dari pintu masuk. “Yang ini pasti untuk kamar kalian,” Sarah masuk ke ruangan luas berlantai parkit itu. Belum ada perabotan, tapi sudah terlihat cantik. Jendela di kamar ini juga sangat besar, seluas dinding, berpungsi juga sebagai pintu keluar. Gordennya warna putih tulang, menghadap ketaman. Hanan mengerutkan kening. Pintu keluar menuju taman? Apakah pikiranku saja yang kuno atau rancangan rumah ini yang aneh? Masa kamar bisa ada jalan keluar?
Menuju kamar berikutnya, Sarah berseru. “Oh ini yang kamar, yang tadi berarti ruang kerja, benar gak?”
Hanan mengangguk setuju. Kamar yang disisi sebelah kiri jauh berbeda dari kamar yang tadi. Jendela yang ini dibuat proporsional dan memang berfungsi hanya sebagai jendela. Menghadapnya pun ke arah depan. Luasnya hampir seukuran dengan kamar satunya.
“Gimana? Betah tidak?”
Hanan tersenyum lebar. Senyum yang menurut Hanan bukan jawaban. Betah atau tidak seseorang disebuah rumah bukan ditentukan oleh rumah itu sendiri, tapi oleh penghuninya. Apakah Sami akan membuatnya merasa nyaman tinggal disini?
Mereka baru akan pergi ketika mendengar suara mobil mesuk ke pekarangan rumah yang dibuat tanpa pagar.
“Sami!” Sarah tersenyum senang. “Kebetulan sekali!” seru Sarah ketika Sami membuka pintu.
“Kalian?” Sami memandang Sarah dan Hanan bergantian.
“Kok tidak bilang akan kesini?” Sami tersenyum pada Sarah. Tapi tidak pada Hanan. Bahkan pandangannya berubah ketika mata itu berdiam di wajah Hanan. Pandangannya seperti menusuk tanda tak setuju. Seketika Hanan merasa sangat tidak enak.
“Ngedadak sih, pulang dari butik, aku ngajak Hanan kesini. Habis, kamu belum kasih tahu Hanan soal ini kan?”
Sami menggeleng.
“Hanan suka kamarnya lho!” Sarah menunjuk Hanan.
“O ya? Begitukah?” katanya bukan pada Hanan, tapi pada Sarah. Sarah benar, Sami akan bersikap seperti bukan dirinya ketika berhadapan dengan keluarganya. Sami hanya ingin menyenangkan mereka, tak ingin kelihatan kalau Sami tak suka Sarah membawa Hanan ketempat ‘rahasia’ Sami. Tapi itu berarti harapan keluarga Sami terpenuhi bukan? Karena pada diri Hanan, Sami memperlihatkan dirinya yang sebenarnya.
“Aku minta maaf, aku datang kesini tanpa memberitahumu,” kata Hanan saat mereka berkesempatan untuk bicara berdua.
“Tak apa. Sudah terlanjur,” kata Sami dingin.
Hanan menarik nafas. Menghadapi laki-laki ini, rasanya ia sudah putus asa bahkan ketika semuanya belum dimulai. Mengapa Sami tak mengatakan, ‘Tak apa. Hanya saja, rumah ini belum rampung. Tadinya aku ingin kamu melihatnya setelah rumah ini memang siap ditinggali.’ Kalimat itu terdengar lebih manis kan? Dan kata-kata yang manis seperti itu kan yang seharusnya dikeluarkan pasangan yang hampir menikah?
“Apa kau ingin aku pulang sekarang?” tanya Hanan hampir menangis.
“Aku tak bilang begitu kan? Aku cuma bilang sudah terlanjur,” Sami sedikit kikuk. Kikuk karena air yang menggenang di mata Hanan.
Hanan mengambil tas yang ia tidurkan tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia lalu menyandangnya. “Lain kali, aku akan meminta persetujuanmu sebelum melakukan sesuatu,” Hanan beranjak keluar dan mengajak Sarah pulang.
Selama perjalanan, Sarah terus membicarakan rumah itu. Memberi masukan pada Hanan tentang mebel yang nantinya harus mereka beli.
“Lebih bagus kalau sofanya warna merah, jadi terlihat kontras. Benar kan?”
Hanan menanggapinya sesekali, sebab ia yakin, Sami tak akan pernah membicarakan hal itu dengan dirinya. Ah, hati Hanan sudah benar-benar berada dirumah sekarang.


*   *   *

Berikutnya; Bagian 2