Sabtu, 23 Februari 2019

Pangeran Istana Langit (8)


“Luruskan posisi punggung, tegakkan kepala, dan betulkan posisi kakimu. Kemarin aku sudah mengajari kalian tentang hal ini bukan?” Tanya Husain tegas. Matanya menatap lekat pada sasaran yang telah ia buat, menunggu anak panah Mei Lin menancap disana.
Mei Lin menatap sasaran anak panah yang harus anak panahnya tuju. Jantungnya bergetar lebat. Kekhawatiran menyeruak dalam dadanya. Bisakah ia melakukannya? Melesakkan anak panah ini tepat ke lingkaran sekecil itu?
“Cara berdirimu masih salah,” kata Husain setengah menyentak. Menghentak tubuh Mei Lin hingga benar-benar kaku tersengat.
Husain menunggu Mei Lin membenarkan posisinya. Tapi tubuh Mei Lin yang menegang benar-benar tak bisa digerakkan.
Husain mendesah dalam hati. Yu Lan lebih cepat belajar dibanding mereka. “Kita sudah lelah, kita lanjutkan lagi besok.” Husain lalu memberi salam, dan beranjak.
“Istirahatlah Mei Lin, kau terlihat lelah...,” seorang teman menepuk pundaknya pelan. Mereka, kelompok prajurit wanita-pun bubar teratur.
Mei Lin membuang nafas. Ia merutuk dirinya sendiri. Telah selesai? Latihan ini telah selesai? Padahal latihan ini baru dimulai beberapa saat yang lalu. Mengapa ia membuat latihan ini selesai lebih cepat?
Mei Lin berusaha melemaskan tubuhnya. Berhasil. Tangannya luruh. Busur dan anak panah jatuh dari kedua lengannya.
Akhir-akhir ini ia memang sibuk. Mungkin, dari luar akan terlihat seperti itu. Dari sejak shubuh belum lagi datang. Mei Lin sudah menyiapkan makanan untuk disantap saat sarapan pagi hari. Lalu ketika matahari merambat naik, ia menjadi komandan pasukan perempuan. Siang, ia mengajari anak-anak dan sorenya, giliran ia yang mengkaji ilmu dengan Syeikh Abdul Aziz. Menjelang malam, ia menyiapkan makan malam, setelah itu ia lanjutkan dengan merancang materi latihan juga materi kajian esok harinya.
Memang sangat sibuk. Sekali lagi, mungkin.
Tapi adakah yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Mei Lin tersenyum sinis. Tidak, ia tidak sesibuk kelihatannya. Ia hanya tengah mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan. Ia hanya menyibukkan dirinya sendiri dan membuat pikirannya sejenak melupakan perasaan sakit yang memporak-porandakan batin keperempuannya.
Sungguh, sepanjang umur, ia baru merasakan perasaan kacau semacam ini. Bukan terluka, bukan juga kecewa. Hanya perasaan suka. Suka yang membuat warna-warna dihatinya bercampur aduk tak menentu. Tiba-tiba panas menyengat. Sedetik kemudian dilanda badai dahsyat.
Sebenarnya peasaan itu indah, tapi begitu menyiksa.
Mei Lin terduduk diatas rumput yang embun didaunnya sudah menguap sejak tadi.
Satu hal yang membuat rasa itu tak indah lagi bagi Mei Lin. Ia hanya ingin, segala yang ia kerjakan, tak ternoda sedikitpun. Hanya itu...

*   *   *

Abdul Aziz memperhatikan Mei Lin sedari tadi. Pikirannya mengembara, menyelami segala kemungkinan yang seharusnya tejadi. Memikirkan sekap yang harus segera ia ambil.

*   *   *

Yu Lan merasa terkejut. Pangeran ke-14 mengunjungi dirinya!
“Pangeran Yinti!” Yu lan terlihat sumringah. “Ada angin apa gerangan yang membawa hati Pangeran kemari...,” Yu Lan bersegera menyambut Yinti.
“Tak ada angin yang aneh, Putri. Hanya angin persaingan...,” Yinti tertawa. Ia duduk ditempat yang dipersilakan Yu Lan.
“Sho Chan, buatkan teh untuk Pangeran!” Yu Lan melihat Sho Chan, lalu perhatiannya kembali pada Yinti.
“Aku senang ada orang yang masih mengingatku hari ini.... Tapi aku tidak mengerti, angin persaingan apa yang Anda maksud?”
“Pesaingan para Pangeran untuk mendapatkan posisi khusus dimata Kaisar,” Yinti tertawa lagi. Tapi tawanya tiba-tiba memelan, melihat wajah Yu Lan yang memuram.
“Sebenarnya, perlukah ini dibilang sebagai lelucon, Kakak?”
Lalu tawa Yinti benar-benar menghilang. “Benar, maafkan aku. Padahal, aku datang kesisni karena ingin menenangkan diri.”
Sho Chan datang membawa teh untuk mereka berdua. Lalu ia memberi hormat dan beranjak mundur.
“Rupanya masalah ini mengganggumu, Kakak?”
“Apa kau tidak merasa terganggu, Yu Lan?”
“Seluruh Istana terbakar. Istana Bunga Mesim Semi tak bisa menghindar dari panasnya kobaran itu.”
Yinti terdiam. Benar, siapa yang bisa menghindar? Siapa yang bisa tak peduli? Sebab kobaran itu kini telah menghanguskan seluruh dataran negeri.
Kobaran api itu membakar Istana, ketika beberapa hari yang lalu, Putra Mahkota Yinreng tertangkap basah tengah melakukan perbuatan yang sangat memalukan dengan seorang anak perempuan yang sengaja ia beli dari perbatasan. Lebih parahnya lagi, bukan pertama kali ini ia melakukan pembelian anak perempuan dibawah umur dari daerah Jiangsu untuk menjadi korban kekejian nafsunya.
“Aku merasa kasihan pada Yang Mulia...,” Yu Lan bergumam lirih.
“Benar, jika mengingat betapa Yang Mulia menaruh harapan besar pada Yinreng.”
Perhatian Kang Xi pada Yinreng memang melebihi pada putranya yang lain. Pada Yinreng, Kang Xi turun tangan untuk mengajari Yinreng banyak hal. Ia juga mendatangkan guru khusus untuk Yinreng. Membawanya ke Perbatasan, mengajarinya taktik berperang. Singkat kata, Kang Xi mengajari Yinreng langsung dengan tangannya sendiri. Mengingat betapa harapan Kang Xi tertumpah ruahnya pada Yinreng, membuat Yu Lan merasa kasihan pada Kaisar. Sikap Yinreng bukan hanya mengecewakan Kaisar, tapi juga Permaisuri, juga seluruh istana.
 “Aku sangat tidak suka dengan sikap Yinreng. Sama tak sukanya dengan sikap para pangeran yang saling berlomba mencari perhatian Kaisar untuk menggantikan posisi Putra Mahkota.” Rahang Yinti mengeras.
“Mengapa Anda tidak ikut persaingan itu saja, Kakak?” tanya Yu Lan.
Yinti terhenyak menatap Yu Lan. Namun melihat senyum diwajah Yu Lan, rahangnya mengendur, dan hatinya melunak. Ia pun tiba-tiba tertawa.
“Mengapa anda tertawa?”
“Sampai kapanpun, aku ini tidak akan jadi Kaisar, Yu Lan.”
“Mengapa tidak? Reputasimu baik dimata semua orang. Bahkan mendiang Ibu Suri dan Permaisuri pun sering memuji Anda. Berbeda dengan kau...,” kata Yu Lan.
“Bahkan jika sikap baik semua orang berkumpul padaku, Yu Lan. Darah rakyat jelata yang mengalir dalam tubuhku, tak mengizinkan hal itu.”
Yu Lan dan Yinti terdiam sejurus.
“Kalau kau laki-laki, Baba akan memilihmu, Yu Lan...”
“Tidak, Pangeran. Anda salah. Kita ini sama. Kau, anak dari selir berkasta rendah. Sedangkan aku, meski ibuku seorang bangsawan, bahkan keturunan kerajaan, tapi aku membawa darah Han.”
“Darah, leluhur, keturunan,..” lanjut Yu Lan, “Mengapa tiga hal itu berpengaruh pada nasib kita, Kakak? Padahal kita tidak pernah memilih oleh siapa kita dilahirkan.” Yu Lan memandang Yinti.
“Tanyakan pada Dewa, mengapa ia membuat manusia berkasta.”
Yu Lan terdiam. Ia ingat satu kalimat yang Husain ucapkan. “Andaikan Tuhan menilai manusia dari perbuatannya, alangkah adilnya...” kata Yu Lan bergumam.
Namun gumaman Yu Lan yang tak disangka membuat Yinti terhenyak.
“Apa yang kau katakan?”
“Ah, tidak! Aku tak mengatakan apapun!”
“Tuhan menilai manusia dari perbuatannya?”
“Aku hanya mengulang kata-kata orang lain...”
“Orang lain? Siapa?”
“Ah,bukan siapa-siapa...,” Yu Lan mulai merasa jengah.
“Maafkan aku. Hanya saja, kata-kata itu begitu asing terdengar. Tapi... maknanya yang mendalam.... ah, andai memang seperti itu...”
Yinti terdiam. Kata-kata Yu Lan seperti kata-kata seorang Yisilan Jiaou. Ibu Yu Lan seorang Han, orang Han bisa saja seorang Yisilan Jiaou. Apalagi jika dia bermarga Ma. Apakah Yu Lan...
Tiba-tiba Yinti merasa kecemasan yang beberapa hari yang lalu ia rasakan, terulang kali ini.
“Jika seperti itu, Yang Mulia pasti tidak akan repot-repot mengajari Yinreng yang memang sulit, tapi Baba pasti akan langsung mengangkatmu sebagai penggantinya....”
“Kau ini bisa saja...”
Mereka lalu tertawa...

*   *   *

Malam yang gelap. Senyap. Hanya satu suara yang terdengar. Desahan nafasnya sendiri yang berjalan tak beraturan, mengiringi langkahnya yang ia atur diam-diam.
Kepalanya sesekali menoleh kesamping kanan, kekiri, atau kebelakang. Lalu setelah sampai disebuah daun pintu berwarna merah, laki-laki itu berhenti dan mengetuk sejenak.
Tak menunggu lama, seseorang dari dalam membuka pintu.
“Pangeran ke-14?”
“Verbiest, maaf mengganggumu malam-malam. Ada yang ingin aku bicarakan, penting sekali!”
“Lekas masuk!”
Lalu pintu berderit tertutup, melahap dua tubuh itu hingga tertelan...

*   *   *

“Berita tentang Istana sudah sampai kepada Anda, Syeikh?”
Suatu hari, Ketua Ma kembali mengunjungi Syeikh Abdul Aziz.
“Tentang Putra Mahkota? Aku sudah mendengarnya...”
“Sebenarnya, saya tidak terlalu peduli dengan berita itu,  tapi paling tidak, kekisruhan ini, bisa kita manfaatkan...”
“Saya mengerti kemana arah pembicaraan Anda, Tuan Ma.”
Abdul Aziz dan Ketua Ma tersenyum cerah.

*   *   *

“Tiga ratus prajurit, seratus kavileri, tujuh puluh pemanah, seratus sepuluh tombak, sisanya pedang.”
“Terimakasih, Ketua Chou, Anda Ketua Ma?”
“Aku tidak bisa mengerahkan semua kekuatan seperti Ketua Chou. Tapi seribu limaratus prajurit, kupastikan berbagung.”
“Subhanallah,” semua berdecak.
“Tujuh ratus orang pedang, limaratus tombak, sisanya pasukan panah,” Ma Xia Wu menimpali ucapan ayahnya.
“Jika ditambah dengan prajurit kami, jumlahnya tak lebih dari dua ribu orang.”
“Kita masih menunggu utusan dari Mongol,” Abdul Aziz mendesah. Ia teringat dengan pasukan Kang Xi yang banyaknya bisa berlipat-lipat.
“Menurutku tak akan lebih dari duaratus orang, Ayah,” kata Husain.
“Itupun jika mereka membantu, Syeikh,” Ma Xia Wu mendesah.
“Pasti memberi bantuan. Mereka tak akan mengingkari kesepakatan kita. Sebab keimanan mereka tetap bersama kita,” timpal Abdul Aziz, membuat ketua Ma mengangguk tersenyum.
“Menurutku jumlah tak perlu kita khawatirkan, Ayah. Jika semangat jihad para prajurit berkobar.”
“Kau benar, Husain. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan jumlah.”
“Selain keadaan pasukan kita, kurasa, kitapun harus tahu keadaan musuh. Bukankah begitu?” tanya ketua suku Hui Chi.
“Benar sekali Ketua Chou, itu yang tengah aku pikirkan. Bagaimana Ketua Ma?”
Ma Yun Chen menarik nafas berat. “Banyak memang orang Han yang masuk istana, tapi mereka tak mempunyai misi apapun, selain kepentingan pribadi mereka semata,” Ketua Ma meremas pangkuannya. Terlihat sekali, ia sangat menyesal dengan keadaan yang tengah ia ceritakan.
Ma Xia Wu memperhatikannya dengan iba.
“Bagaimana caranya...,” Abdul Aziz bergumam. Keningnya berkerut melipat-lipat.
“Berarti, kita harus menunggu. Menyerang tanpa perhitungan sama saja menghancurkan pasukan kita sendiri.”
“Anda benar, Ketua Ma. Lagipula tujuan kita bukan untuk menghancurkan Kang Xi, kita mengumpulkan pasukan hanya untuk bertahan.”
“Tapi kesempatan tak datang dua kali,” kata Abdul Aziz tersenyum, membuat semua orang yang ada diruangan itu melihat kearahnya. “Maksudku, manfaat kelengahan Kang Xi kali ini, dengan menguatkan konsolidasi kita, mengatur jalannya komunikasi antara kita, agar jarak yang jauh menjadi demikian dekat, lalu…”
Pembicaraan masih berlanjut, tapi mata Husain menerawang jauh.
Sekarang, kepalanya selalu menambat wajah Yu Lan jelas-jelas.

*   *   *

Pagi masih lagi buta. Fajar belum terlihat nampak. Tapi kaki Yu Lan sudah menapak satu-satu dipermukaan bukit Xi Hu.
Terlalu pagi, memang terlalu pagi. Sejak pertama kali bertemu Husain, pertemuan dengannya adalah sesuatu yang sangat dinanti-nantikan Yu Lan. Tapi bukan itu alasannya untuk datang sepagi ini.
Ia ingin menghindari Kun Lan. Kali ini, ia tak ingin Kun Lan tahu. Pertemuan kali ini, Yu Lan ingin hanya pertemuan antara dirinya dengan Husain saja. Lagipula, pada pertemuan terakhir Husain menyebut nama Kaisar Kang Xi.
Langkah Yu Lan terhenti. Ia melihat sosok Husain. Seperti biasa, diujung bukit. Tapi kali ini tidak sedang membelah matahari. Ia sedang melakukan sesuatu hal. Hal yang Yu Lan tidak mengerti. Husain berdiri, lalu membungkukkan badan, lalu bersujud seperti orang melakukannya pada Kaisar.
Ini bukan pertama kali Yu Lan melihat Husain melakukan itu. Saat pertemuan-pertemuan yang lalu, Husain kerap melakukannya. Dua kali selama pertemuan sehari. Saat matahari berada dipuncak, dan saat pertengahan antara itu dengan senja. Husain sedang bertemu Tuhannya, itu yang Husain katakan ketika ia bertanya.
Yu Lan melihat Husain duduk dan menengokkan kepalanya kekanan dan kekiri. Setelah itu Husain menggumamkan sesuatu. Dulu, Yu Lan mengira, apa yang diucapkan Husain itu adalah bahasa Persia, tapi sekarang, Yu Lan tahu, sesuatu yang diucapkan Husain sambil menengadahkan tangan itu adalah Bahasa Arab.
Yu Lan menunggu dengan syahdu. Suara Husain membuai telinganya. Hatinya tenang, keresahannya hilang.
Yu Lan tersenyum. Dalam keadaan seperti itu Husain seperti berada ditempat yang sangat jauh, tak bisa tergapai...
Setelah Husain puas bercumbu dan bercengkrama dengan Tuhannya, ia berdiri. Dan sebuah suara desahan nafas jauh dibelakangnya, membuat tubuhnya refleks berbalik. “Putri Yu Lan? Sejak kapan Anda disana?”
Yu Lan tersenyum. “Kau baru saja mengingkari janjimu...”
Husain pun tersenyum. “Maaf, sejak kapan kau disana?”
“Sejak kau memulainya.”
“Selama itu? Mengapa tak beritahu segera setelah aku selesai?” Husain bertanya menyesal. Sungguh, jika ia tahu sejak tadi Yu Lan dibelakangnya, ia tak akan melanjutkan shalat shubuhnya dengan muroja’ah al-Imran-nya hingga usai.
“Tak apa Husain..., tak akan ada yang berani mengganggu keasyikan semacam itu. Ah, kalau saja, keasyikan dan ketentraman itu bisa juga aku rasakan...,” Yu Lan menerawang. “Eh, ngomong-ngomong, mengapa kau disini? Sepagi ini?” tanya Yu Lan kemudian.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu? Seorang gadis tak baik keluar pagi buta seperti tadi...,” Husain mengambil jubah yang menghampar di tanah dan dikenakannya kembali, membuat jubah itu bersuara berkelebat. Jubah itu ia pakai untuk alasnya shalat.
“Ah, benar juga,” senyum Yu Lan. “Aku ingin menghindari Kun Lan. Aku ingin, pembicaraan kali ini tak ada seorangpun yang mendengar, apalagi jika pendengarnya orang istana.”
“Aku pikir sekarang pun Kun Lan akan bersama kita.”
“Ya Ampun, Husain! Kau pun tahu tentang hal itu?”
Husain mengangguk. “Cara-cara dia memata-matai terlalu mencolok. Tapi aku baru tahu kalau itu Kun Lan.”
Yu Lan tertegun. Tidak, tidak mencolok. Jika Husain orang lain, kehadiran Kun Lan tak akan disadarinya. Sebab tak ada rumput yang bergoyang karena kehadiran tubuh Kun Lan, tak ada pula angin yang tertahan, bahkan binatang pun tak akan memaku pandangannya pada kehadiran sosok asing ditengah-tengah mereka. Jika Husain tak cerdas dan waspada, jika dia orang biasa, dia tak akan tahu...
“Jadi karena itu ya, kau datang jauh lebih pagi? Kau juga ingin menghindari mata-mata itu?”
“Tidak, bukan karena itu...,” Husain menggeleng. “Aku tak meragukan sama sekali, orang yang kau percayai...,” Husain bergumam. Gumaman yang cukup menghentak Yu Lan.
Lelaki ini..., sejak awal membiarkan Kun Lan mendengar, hanya karena percaya padaku? Tidak, bahkan Kun Lan pun tidak pernah mempercayaiku sedalam itu...
“Aku datang sepagi ini hanya untuk menenangkan pikiran...,” wajah Husain bersabut muram.
“Kau sedang dilanda sebuah masalah?” tanya Yu Lan.
“Sebaiknya kita segera bergegas, Yu Lan. Tak akan lama lagi, mentari datang. Ikuti langkahku, aku punya tempat yang bagus...”
“Ah, ya, sebelumnya, lepaskan tali kekang kudamu, biarkan ia berkelana, atau pulang sendiri jika ia tahu jalan...,” sambil berkata seperti itu, Husain turun bukit dan menghampiri tempat dimana kuda milik Yu Lan ditambat. Ia lepas talinya, lalu ia tepuk pantatnya. Kuda itu berjalan menjauh, perlahan.
Husain naik lagi, ketempat Yu Lan memandangnya, lalu berjalan kearah hutan mendahului Yu Lan.
Yu Lan diam. Ia tak banyak bertanya. Mulutnya terkatup rapat selagi kakinya melangkah cepat-cepat dibelakang langkah-langkah Husain yang melangkah perlahan-lahan.
Tak perlu ditanyakan. Yu Lan gadis pintar. Ia mengerti dan paham maksud dan prilaku Husain. Husain ingin Kun Lan benar-benar kehilangan jejaknya. Tapi ia tak ingin beranjak jauh-jauh. Sebab tempat yang paling dicurigai, justru tempat yang paling aman.
Hutan yang lembab. Tanahnya agak basah, dan cahayanya tak cerah. Pohon-pohon besar menjulang susul-susulan. Akar-akar beringin yang menjuntai sesekali menghalangi jalan mereka. Yu Lan terus mengikuti lagnkah-langkah Husain. Langkah-langkah yang tak pernah menginjak tanah. Husain melangkah dari rerumputan ke daun-daun berserakan, jika ada tanah, dia akan meloncatinya dengan cekatan.
Yu Lan tersenyum lagi, Husain itu pintarnya bukan main. Tanah, apalagi sedikit basah, akan meninggalkan jejak-jejak langkah.
“Kau bisa mengikutiku Yu Lan?” tanya Husain tanpa menoleh.
“Aku adalah putri yang nakal, Husain.”
Jawaban Yu Lan membuat Husain tertawa kecil. Putri nakal ya? “Sebentar lagi kita akan sampai dipohon yang tidak terlalu tinggi...”
Tak seberapa lama, Husain memang berhenti berjalan. Ia lalu mendekati pohon yang katanya tak terlalu tinggi itu.
Yu Lan melihat keatas. Pohonnya sangat tinggi! Tapi dibanding pohon-pohon disekitarnya, pohon ini seperti adik terkecil. Sebab Yu Lan masih bisa melihat puncaknya, tidak seperti pohon yang lain. Dahannya pun tak selebar rentangan tangan. Yu Lan masih bisa memeluknya, meski tangan mungilnya belum tentu sampai.
Husain mulai memanjat, kakinya berpindah dari satu dahan kedahan lainnya. Tak mendengar kaki Yu Lan mengikuti, Husain sedikit menoleh padanya.
“Tiang Istana bisa kau panjat. Ini lebih mudah,” Husain tertawa.
“Tentu saja,” Yu Lan tersenyum. Husain salah, ia bukan ragu untuk memanjat. Pohon-pohon sepenuh Istana sudah ia jajaki. Ia hanya terlalu kagum dengan Husain, hingga pandangannya tak pernah bisa lepas dari sosok lelaki itu.
“Disini,” Husain berdiri disebuah dahan yang cukup besar untuk menopang tubuhnya.
Yu Lan berhenti memanjat. Ia duduk tepat disamping Husain. Sebuah dahan besar, sebagai dahan utama ada diantara mereka.
Yu Lan menghirup napas panjang. “Segar sekali...”
“Kau lelah?’
“Sama sekali tidak.”
“Lihatlah kebelakangmu.”
Yu Lan melihat Husain yang tengah tersenyum cerah. Cahaya mentari yang menembus celah-celah daun tak seterang wajah Husain.
Yu Lan lalu menoleh kebelakang perlahan. Seketika napas Yu Lan terhenti. “Duhai...”
“Bagaimana?”
Pandangan Yu Lan menangkap pemandangan luar biasa. Sinar matahari yang hangat baru saja menyibak kabut tipis yang menyelimuti barisan bukit-bukit yang hijau. Di kejauhan, Yu Lan bisa melihat Wisma Paman Hu samar-samar.
“Serupa istana langit...,”  bisik Yu Lan menyatakan kekagumannya.
“Benar, serupa surga,” timpal Husain.
“Surga?”
“Istana di langit. Tuhan kami menjanjikan kami istana di langit untuk kami...”
Kening Yu Lan berkerut, Husain tersenyum.
“Tuhan kami, Allah, menciptakan manusia untuk berbuat baik. Berbuat baik pada dirinya sendiri, pada keluarganya, pada alam, pada sekitarnya. Berbuat baik demi agama kami. Jika kami melakukan itu, Allah menjanjikan kami Istana di langit. Istana yang luasnya sepenuh bumi, dengan sungai-sungai susu, lampu permata bercahya yang bergantung tanpa pengikat, batu-batu pijakan mutiara, juga dayang-dayang penurut yang tak membantah.”
“Setelah mati kalian mendapat semua kesenangan itu?”
Husain mengangguk, sementara Yu Lan tersenyum samar.
“Alangkah irinya, Dewa kami malah akan mengirimkan kami kembali kebumi setelah kami mati.”
“Reinkarnasi?”
“Kembali menjalani kehidupan yang membosankan,” kata Yu Lan tanpa menjawab pertanyaan Husain.
Husain kini tersenyum samar. Tentu saja, bagi orang yang menyukai kebebasan seperti Yu Lan, hidup diistana bagai dalam penjara.
“Tiap hari kesini, Husain?”
“Tidak tiap hari, hanya sering sekali. Jika sudah ada disini aku selalu lupa pulang...,” Husain tertawa.
“Tentu saja. Disini, kau seperti telah mendapatkan Istana langit sebelum waktunya...”
...
“Jadi, apa yang baru saja kau  fahami dari Baba, Husain? Bolehkah aku tahu?”
Husain menghela nafas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Sikap Kang Xi pada kami.”
Kening Yu Lan berkerut. “Yang kutahu, Baba tidak menyukai kalian.”
“Benar, dia tak menyukai penganut Yisilan Jiaou, tapi sikapnya tak begitu pada orang Han. Padahal orang Han banyak penganut Yisilan Jiaou. Awalnya aku tak mengerti mengapa, tapi kurasa, jika Ibumu orang Han, semua bisa kumengerti.”
“Mama?”
Husain mengangguk.
“Itu yang menyebabkanmu menduga kalau ibuku orang Han?”
Husain mengangguk lagi. “Itu kalau duagaanku benar.”
“Benar.”
Husain melihat Yu Lan terkejut. “Kau sudah tahu?”
Yu Lan mengangguk pelan, wajahnya terlihat sedih. “Paman Hu menceritakannnya padaku. Mama memang orang Han.”
Allah..., jadi dugaanku benar? Ibu Yu Lan orang Han? Sekarang teka-teki tentang Kang Xi terjawab sudah.
“Lalu mengapa kau masih bersedih? Kau sudah tahu tentang ibumu. Bukankah kau menginginkan itu? Atau kau memang mengharapkan ibumu bukan orang Han?”
“Ah, tidak. Bukan begitu Husain. Aku senang. Siapapun ibuku, aku tak akan merasa tak senang pada orang yang telah memberiku nyawa. Tapi... aku hanya belum menemukan jawaban pertanyaan lain.”
“Apa itu?”
“Sapu tangan, tanda kekaisaran dan kitab itu. Untuk apa Ibu menyembunyikannya untukku?”
“Dia ingin kau tahu, kalau dia penganut Yisilan jiaou.”
“Lalu setelah aku tahu?”
“Dia ingin kau mengikuti jejaknya.”
Yu Lan terdiam.
“Kau sudah tahu bukan? Ah, tentu saja kau sudah tahu. Kau pintar, bahkan kau lebih pintar dari yang kau duga. Atau justru itukah yang membuatmu khawatir?”
Yu Lan tersentak. Itukah yang selama ini membuatnya khawatir? Khawatir kalau itu yang memang ibunya inginkan? Khawatir kalau Mama menginginkannya menjadi penganut Yisilan Jiaou?
Yu Lan merasa malu tiba-tiba. Ia merasa Husain telah menelanjangi dirinya.
“Tak apa Yu Lan, kekhawatiranmu beralasan. Kau tahu bagaimana sikap Kaisar pada kami.”
Yu Lan tertunduk dalam.
“Kau tahu tulisan yang tertulis disaputangan sutra itu? Aku belum sempat memberitahumu bukan?”
“Apa itu?” tanya Yu Lan ingin tahu.
“Fatimah.”
“Apa itu?”
“Fatimah adalah nama putri terakhir Muhammad, Nabi kami. Jika itu bukan nama ibumu, maka aku yakin, itu namamu.”
“Ibuku memberiku nama Fatimah, bukan Yu Lan?”
Husain mengangguk. “Atau, itu nama ibumu sebelum ia dipanggil Selir Su Zu.”
Yu Lan menekur, kepalanya tertunduk dalam dan matanya terpejam. Lalu ia berkata; “Apakah aku harus mengikuti Mama? Menganut Yisilan Jiaou?”
“Seseorang memeluk Yisilan Jiaou bukan karena paksaan,” jawab Husain. Artinya, ia memberi kesempatan Yu Lan untuk berpikir lebih jauh. “Aku mengerti Yu Lan, memilih Yisilan Jiaou, berarti memilih untuk bersebrangan dengan ayahmu. Aku tahu itu sulit...”
“Aku tidak dekat dengan Baba. Sebagaimana dia memang tak ingin dekat dengan aku.”
“Tak ada ayah yang tak ingin dekat dengan anaknya, Yu Lan.”
“Tapi kenyataannya memang begitu. Ia terlalu disibukkan dengan ribuan perempuan daripada puluhan anak.”
Husain diam prihatin.
“Aku butuh waktu karena memang aku butuh lebih banyak tahu.” Yu Lan memandang bola matahari yang terus meninggi dengan bola mata hitam pekatnya. “Fatimah...,” gumam Yu Lan. “Jadi Mama memberi saputangan itu untuk  memberitahu bahwa namaku bukan Yu Lan, lalu Mama memberi kitab itu agar aku banyak belajar Yisilan Jiaou, lalu bagaimana dengan tanda kekaisaran, Husain?”
“Sampai saat ini kita belum tahu.”
“Kau tak bisa menduganya?”
“Tidak, maaf. Lagipula dugaanku tak selalu benar.”
Yu Lan tertawa lembut, “Selama ini dugaanmu selalu benar...”
Husain pun tersenyum.
Yu Lan mengeluarkan kitab yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. “Sekarang, apa yang bisa aku lakukan dengan menggenggam sesuatu yang tak kumengerti, Husain? Bagaimana aku bisa tahu darinya?”
Husain tersenyum lebar. Itulah perkataan yang terus ia nantikan sejak pertemuan pertamanya dengan Yu Lan. Ternyata kata itu lebih cepat keluar daripada dugaannya...
Dan ruang batinnya terus tertawa gembira.

*   *   *

“Kemana saja kau?” Kun Lan menghampiri Yu Lan selepas makan malam disajikan dan disantap sekedarnya oleh Yu Lan.
“Kau yang kemana saja? Sejak sore aku sudah sampai di rumah,” Yu Lan menjawab ringan. Ia lalu berjalan keluar dari kamarnya. Ia ingin duduk ditaman, menikmati lebih dalam ketentraman yang baru kali ini ia rasakan.
Tadi siang Husain mengajarinya macam-macam. Ia diajari untuk membaca tulisan Yisilan Jiaou, juga menerangkan makna salah satu tulisan itu. Sedikit tapi sangat-sangat berisi. Husain menceritakan tentang istana dilangit. Husain juga menceritakan tentang kasta kemanusiaan yang didasarkan pada kebaikan, kedalaman kepercayaan, juga kualitas dari sebuah perbuatan. Bukan karena darah warisan leluhur, apalagi harta peninggalan yang tak dibawa sedikitpun ketika mati.
(...) ayat al-Qur’an
Yu Lan bersidekap dada, memandang bintang. Bertabur tak beraturan, gemerlap seperti mutiara. Senyumnya mengembang cerah. Apakah keindahan langit itu bisa menyamai keindahan hatinya sekarang? Tidak. Bintang-bintang dilangit hatinya lebih indah dari itu.
“Aku mengkhawatirkanmu, Yu Lan. Aku terus menunggumu dibukit Xi Hu.” Kun Lan telah berdiri dibelakang Yu Lan.
“Kau menungguku dibukit Xi Hu?” Yu Lan berbalik.
Kun Lan menjawab dengan anggukan mantap.
“Untuk apa?”
“Menunggumu.”
“Untuk apa menungguku?”
“Karena aku mengkhawatirkanmu.”
“Jika mengkhawatirkanku kenapa tak mencariku?”
Kun Lan terdiam. Ia tak punya jawaban.
“Seharusnya jika seseorang mengkhawatirkan orang lain, ia akan tergerak untuk mencarinya bukan? Bukan hanya diam menunggu ketidakpastian.”
“Aku memang sudah mencarimu.”
“Kemana?”
“Kukelilingi bukit Xihu.”
“Kau mendapatiku?”
“Aku mendapatimu disini.”
“Jika tidak mendapatiku dibukit Xihu, kenapa tidak mencariku ketempat lain?”
Kun Lan terdiam lagi.
“Lagipula untuk apa mengkhawatirkanku, jika kau tak pernah mempercayaiku?” Yu Lan menatap Kun Lan sedih, setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Kun Lan.
“Kau berubah Yu Lan.”
Kalimat pendek Kun Lan membuat Yu Lan berhenti berjalan dan berbalik menatapnya.
“Sejak kau bertemu lelaki itu,” lanjut Kun Lan.
“Apa yang berubah dariku?”
“Kau menjadi sangat pendiam. Kau tak pernah meledak-ledak, kau juga tak pernah memanjat.”
“Bukankah itu bagus?” Yu Lan berbalik lagi, dan sekarang benar-benar meninggalkan Kun Lan sendiri.
“Bagus? Bukankah itu artinya sebentar lagi kau akan meninggalkan aku? Tak membutuhkanku lagi?” pertanyaan Kun Lan tak terjawab. Sebab pertanyaan itu memang ia tujukan pada hembusan angin yang ditinggalkan Yu Lan.
Ia menengadah. Menatap bintang. Memandang sesuatu yang tadi dipandang Yu Lan.
Tapi binar dimata itu memang ada setelah pemuda itu datang...
Kun Lan menghela nafas sesal.

*   *   *

Mata Yu Lan memang terlihat berbinar-binar. Air mukanya riang. Sikapnya ceria. Yu Lan memang selalu terlihat ceria dan lincah. Tapi mata Yu Lan yang gemerlap seperti permata itu, baru pertama kali Kang Xi lihat.
“Akhir-akhir ini Anda sering berkunjung kemari, Yang Mulia.”
“Aku ingin sedikit menenangkan pikiranku. Apa kau tak senang?”
“Ah, tidak. Tak ada yang tak senang dikunjungi Yang Mulia. Aku turut prihatin dengan peristiwa yang menimpa Putra Mahkota.”
Kang Xi mengangguk-angguk saja. Yu Lan tahu, jika bersikap seperti itu, artinya Kang Xi tak ingin membicarakannya.
“Lalu ada apa dengan binar diwajahmu itu?” tanya Kang Xi.
“Maksud Baba?”
“Kau terlihat sangat bahagia.”
“Ah, aku...,” Yu Lan mencari jawaban. Tak mungkin ia menjawab sejujurnya, kalau ia tengah sangat bahagia, karena Kitab yang akhir-akhir ini selalu digenggamnya erat, karena tulisan Arab yang baru saja dipelajarinya dari Husain, karena namanya Fatimah, dan karena cahaya yang selalu memancar dari mata Husain ketika lelaki itu melihat kearahnya.
“Kau sedang menyukai seseorang? Kun Lan kah?”
“Ah, tidak! Lagipula, kenapa kebahagiaanku selalu saja dihubungkan dengan dia? Aku hanya bahagia karena kunjungan Anda. Aku bahagia, karena akhirnya, Yang Mulia datang menemuiku, bukan karena kenakalanku..., bukan karena ingin menghukumku...,” akhirnya Yu Lan menemukan jawaban. Tapi jawaban Yu Lan membuat Kang Xi sedikit muram.
“Jadi begitukah kau memandangku, Yu Lan? Seseorang yang kau takuti.”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia. Aku tidak takut pada Anda. Hanya saja, karena kenakalanku, Anda menjadi jengkel padaku. Aku tidak menyalahkan Anda sedikitpun...” kata Yu Lan tertunduk. Tidak, yang seharusnya ia katakan bukan seperti itu. “Aku ini anak yang tidak patuh....”
“Kau anak yang luar biasa, Yu Lan.”
Yu Lan memandang Kang Xi berkaca. “Aku minta maaf jika aku besikap kasar padamu dulu. Lagipula sekarang kau sudah berubah.”
“Berubah? Maksud Anda?”
“Kun Lan mengatakan padaku, kalau sekarang kau menjadi anak yang patuh dan baik. Kau tak banyak bermain. Bahkan Permaisuri mengatakan, kalau sekarang kau sangat jarang keluar dari Istana Bunga Mesim Semi. Apa itu benar?”
Mata Yu Lan buram. Harapan dan kebahagiaan yang sempat mencuat kembali tertekan dan terkubur dalam. Kang Xi mengunjunginya karena ia sekarang sudah menjadi Putri sebagaimana layaknya, bukan karena Kang Xi merindukan dirinya sebagai anaknya. Menyadari hal itu Yu Lan tersenyum samar. Tentu saja, mengharapkan Kang Xi mememenuhi keinginannya adalah mimpi.
“Benar, Yang Mulia. Akhir-akhir ini aku memang tidak keluar istana. Banyak hal yang sedang aku pikirkan...”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Tentang hidupku, masa depanku, masa laluku.” Yu Lan memandang mata ayahnya itu dalam. “Juga tentang orang-orang yang terikat dengan hidupku.”
Kang Xi juga memandang Yu Lan, mencoba menebak kemana arah pembicaraan Yu Lan.
“Aku tengah memikirkan Anda, Yang Mulia. Juga Mama,” Yu Lan mengamati wajah Kang Xi yang tersentak.
“Mengapa kau tiba-tiba memikirkan ibumu?”
“Ini tidak tiba-tiba. Pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya terus bergelayut dalam benakku sejak masa kanak-kanak silam. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah Yang Mulia jawab, pertanyaan-pertanyaan yang akan terus jadi pertanyaan tanpa jawaban. Sebab jawaban itu adalah Yang Mulia sendiri.”
Kang Xi tiba-tiba berdiri, dan beranjak. Diambang pintu Istana Bunga Mesim Semi ia berhenti lalu mengatakan, “Selir Su Zu hanya milikku sendiri,” tanpa berbalik.
Yu Lan mengantar kepergiannya dengan mata yang berkaca.

*   *   *

“Satu, tak beranak tak juga diperanakkan.”
“Tak beranak, juga tak diperanakkan. Sama.”
“Sama?”
“Tuhannya juga begitu. Dia bilang, “Tuhanku tak mempunyai anak...”
“Dia?”
“Seseorang. Husain, aku sudah lama mencari Tuhan seperti ini. Tuhan yang tak bersekutu, Tuhan yang satu. Bagaimana bisa kau datang memberikan jawaban itu padaku? Bagaimana bisa, jawabannya selama ini ternyata berada begitu dekat denganku? Bukankah itu karena Kehendak Tuhan?”
“Benar, semua sudah direncanakan Dia...”

Yu Lan memandang pohon Magnolia yang tumbuh di taman istananya. Tapi ingatannya mengembara pada percakapan-percakapannya minggu dengan Husain. Tak beranak, juga tak memiliki ayah ibu. Satu, berdiri sendiri. Tak bergantung pada apapun. Benar-benar sama dengan Tuhan pemuda itu. Dan, bukankah Tuhan seperti itu yang dicarinya selama ini? Hingga ia hampir-hampir saja merasa putus asa. Dan untung saja, ia telah menemukannya sekarang.
Serombongan Kasim dan pelayan berjalan beriringan. Pandangan Yu Lan mengikuti langkah-langkah mereka. Tiba-tiba Yu Lan merasa sedih untuk mereka.
“Allah memandang manusia itu sama, Yu Lan. Laki-laki, perempuan. Tuan, pelayan. Atasan, bawahan. Hanya manusia egois yang menciptakan kasta. Padahal mulia hinanya seseorang dihadapan Allah, hanya dilihat dari takwa.”
Apakah ia juga termasuk manusia egois seperti yang diceritakan Husain? Sebab sejak kecil dulu, dirinya hidup dalam lingkungan seperti itu.
“Tuan Putri,” sebuah suara dibelakangnya membuat Yu Lan bangun dari lamunannya. Tubuh Yu Lan berbalik ke asal suara. Sho Chan sedang berdiri disana. Ada sebuah hentakan dalam dadanya yang datang tiba-tiba. Hentakan yang membuat rasa sedihnya menyeruak cepat.
“Tuan Putri? Ada apa?” Sho Chan memandang Yu Lan khawatir.
Yu Lan menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan cemas yang tersirat di wajah Sho Chan. Tapi usaha Yu Lan tak membuahkan hasil, wajah sedih Yu Lan tetap membuat cemasnya berdiam dan bersarang.
“Bisa kau panggilkan yang lain, Sho Chan? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Sho Chan masih memandang Yu Lan. Kali ini, rasa cemasnya bertambah menjadi sebuah pertanyaan. Tapi ia tak ingin membantah. Hingga tak lama berselang, ia, Sho Er, Chan Lu dan Chan Hu telah berkumpul dihadapannya.
“Duduklah.”
Mereka menurut. Dulu, waktu pertama kali mereka datang pada Yu Lan beberapa tahun lalu, butuh waktu lama untuk membuat mereka mau duduk sejajar dengan Yu Lan. Tentu saja, mereka telah diajari tata karma Kota Terlarang, bahwa mereka adalah budak yang sama sekali tak berharga. Budak yang kehormatannya ada di kaki majikan mereka dan hidupnya ada di ujung cambuk Kaisar. Ya, butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka, kalau duduk sejajar adalah sesuatu yang membuat Yu Lan, majikan mereka, merasa nyaman.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Kami mendengarakan, Tuan Putri,” kata mereka serentak.
“Akhir-akhir ini aku banyak berpikir tentang kehidupan yang kita jalani.” Yu Lan memandang mereka satu persatu, mencari riak perubahan diwajah mereka. “Apakah kalian bahagia dengan hidup kalian?”
Mereka saling pandang. Dalam ketidak mengertian mereka, terselip suatu ketakutan yang dalam.
“Seperti kalian tahu, aku orang yang tak puas dengan hidup. Tak puas, karena aku merasa tak bahagia.”
Mereka tertunduk. Yu Lan tahu, mereka tak bahagia. Memangnya manusia mana yang bahagia dengan kehidupan seperti yang mereka miliki? Tak ada harta, tak ada harga diri. Tak ada yang mencintai, tak ada juga yang bisa dicintai. Tentu saja, bagaimana bisa mencintai jika mereka dikastrasi? Jalinan apa yang bisa dirangkai dengan orang yang sama sekali tak dianggap ada?
“Aku tahu apa yang kalian pikirkan,” Yu Lan berdiri dan berjalan perlahan menuju jendela yang terbuka. “Ada seseorang yang mengatakan padaku, bahwa  manusia itu sama. Laki-laki, perempuan. Tuan, pelayan. Atasan, bawahan. Manusia egoislah yang menciptakan kasta. Tingkatan, derajat, kehormatan seseorang hanya ditentukan oleh perbuatannya.” Yu Lan memalingkan pandangannya dari magnolia yang berbunga pada wajah mereka. “Kalian setuju dengan kata-kata itu?”
Mereka kembali saling pandang sebelum akhirnya mereka turun dari kursi itu untu berlutut. “Kami tidak pernah berani, Tuan Putri! Kami tidak mungkin berpikir seperti itu.”
“Aku setuju dengan kata-kata itu,” kata Yu Lan tenang. “Aku tak peduli kalian setuju atau tidak. Tapi bagiku ini adalah sesuatu yang masuk akal. Jika hanya untuk menjadi manusia yang bukan manusia, untuk apa manusia dibuat? Lagipula, tidakkah kalian ingin mendapatkan kebahagiaan? Memiliki keluarga, memiliki cinta?”
Seperti Yu Lan yang mulai merasa sebak, mereka pun terisak. Yu Lan tahu, ia tengah mengorek impian mereka yang telah terkubur dalam.
“Aku tak ingin pasrah menerima hidup. Aku ingin berjuang untuk kebahagiaanku, meski aku tahu aku harus berhadapan dengan siapa. Kalaupun aku mati, aku akan mati dengan terhormat. Kalian tahu mengapa aku mengatakan hal semacam ini pada kalian?”
Tak ada jawaban selain isak tertahan.
“Karena kalian keluargaku, dan aku mencintai kalian…”

*   *   *