Kamis, 26 November 2015

Pengorbanan

Melihat si cikal pulang setelah mondok 2 bulan lebih, ada yang mengiris hati. Dia kurus, berat badannya hampir menghilang 10kg. Saya menahan diri untuk mengelus dada, menahan diri untuk mengatakannya kurus, menahan diri untuk memeluk sambil menangis.

Saya sambut dia dengan rentangan tangan selebar-lebarnya, dan berkali-kali menyebut dia bertambah ganteng. Satu hal yang pertama terlintas adalah, saya, bagaimana pun keadaannya, saya tertap harus membesarkan dia, juga mungkin… membesarkan diri saya sendiri. Oh… ayolah, cuma kehilangan berat badan!

Setelah bicara, terungkitlah, bahwa penyebabnya bukan karena jatah makannya yang dibatas, bukan juga karena dia tak betah (Alhamdulillaah, hal yang saya takutkan tak terjadi). Masalahnya hanyalah, dia jadi tidak ngemil, karena memang tak ada sesuatu untuk dijadikan cemilan. Padahal biasanya, si cikal ngemil nasi atau mie instan dua bungkus. Haha!

Saya kira… ini hanya soal pendisiplinan saja. Dan saya sangan mendukung hal itu. Saya pikir… pengendalian pertama, pendisiplinan pertama, adalah dari perut. Seseorang yang sudah mudahmengendalikan nafsu perutnya, maka dia akan mudah mengendalikan nafsu yang lainnya.

Sekarang, setelah si cikal kembali ke pesantren beberapa minggu lalu, seliweran itu masih saja terdengar. Teman bilang saya terlalu tega kalau membiarkan, ada yang usul juga, saya harus mengambil anak saya dari pesantren tersebut karena kwalitas gizi yang buruk, padahal anak asuh sedang dalam masa pertumbuhan, dan… entah apalagi.

Saya? Seperti biasa, tak terllau peduli. Saya mendapat rekomendasi pesantren yang bersangkutan, langsung dari Allah. Saat kami hampir dipuncak lelah, dengan waktu semakin terdesak, kami minta petunjuk pada-Nya. Dan kontan, Allah menjawabnya. Jadi,dengan berbagai pertimbangan, kemantapan hati kami (saya dan suami) tak akan luntur hanya karena anak saya jadi kurus. Bayarannya sangat tak sebanding, jika mimpi besar saya, harus saya buang hanya karena kasihan tabungan berat badan anak saya hilang perlahan. Terlalu konyol.

Saya tak kasihan? Kemana hati saya sebagai ibu? Sebagai seorang ibu, hati saya lebih miris daripada siapa pun. Tentu saja. Tapi sekali lagi, mimpi saya terlalu besar jika harus ditukar perasaan saya yang terlalu remeh. Yah, anggap saja ini pengorbanan yang harus kami bayar untuk kemenangan besar (fauzan 'adzim) dimasa datang.

Pada akhirnya, saya titipkan dia pada Yang Memiliki dia, saya serahkan penjagaannya pada Yang Tak Pernah Tidur, saya wakafkan dia untuk Allah. Mempersiapkan dia, menjadi panglima penting dalam pemerintahan Imam Mahdi kelak. Maka Allah, terimalah…




Mimpi Besar

Di antara keluarga, diantara teman-teman, di antara segala jaringan dalam komunitas, saya selalu menjadi seseorang yang berbeda. Mulai dari karakter, kebiasaan, sampai gaya saya yang berbeda.

Orang bilang, mata saya terlalu tajam kalau melihat, bibir saya terlalu ketus untuk bicara, dan tawa saya terlalu keras dan membahana. Haha… Selain dari itu, saya tak tahu pandangan orang lain, dan mungkin… saya tak perlu peduli. Saya… tak pernah merasa terganggu dengan pandangan orang, terlebih jika itu menyangkut prinsip.

Satu hal itu adalah tentang cara saya memandang pendidikan. Saya tak terlihat berbeda dengan orang-orang, sampai saya punya anak. Dari sejak mengandung, orang sudah tahu, saya berbeda.

Orang menganggap saya aneh karena saya membaca buku dengan suara nyaring, orang menganggap saya gila, karena mengajak janin saya bicara. Orang juga mengerutkan kening, ketika saya memberi anak saya buku sebagai mainan mereka.

Anak bertambah usia, saya semakin terlihat aneh. Saya mengenyahkan TV dari rumah, saya memilih menghabiskan jutaan untuk membeli ensiklopedi daripada membetulkan genteng rumah. Saya juga memilih sekolah yang agak mahal dan jauh, tapi juga tak terlalu peduli ketika nilai ulangan anak saya jelek.

Saya… lebih peduli tentang membangun minat daripada membangun hafalan anak. Saya juga lebih senang mereka menghabiskan uang jajan dengan mengeksplor kreatifitas lewat mainan sekali pakai, daripada makan jajanan. Saya juga tak terlalu ingin tahu berapa rangking kelas anak saya, karena bagi saya sekolah adalah membangun minat, bukan menilai anak.

Sekarang, orang juga memandang aneh pada saya, ketika saya memutuskan untuk menyekolahkan anak pada sebuah gubuk terpencil disisi kota. Bukan gedung mewah dengan lab lengkap dan makan siang menggiurkan selera.

Bagi saya sih simple saja, ini hanya tentang mimpi besar…

Sabtu, 21 November 2015

Mozaik Cinta (Bagian VII)

Pertemuan Hanan dengan Tante Diah berjalan lancar. Luna yang ternyata sosok yang cukup jangkung untuk ukuran anak perempuan, ternyata sangat menyukai gaunnya. Sederhana tapi terkesan mewah dan mahal. Juga berkelas tentu saja. Itu kata Luna. Tapi Hanan harus sedikit merubah bagian pinggul agar jahitannya tak terlalu dibawah, supaya tubuh menjulang Luna sedikit tersamar. Luna setuju, bahkan gadis cantik bermata sipit itu berterimakasih berkali-kali.

Ia harus berterimakasih pada Sarah. Ia menelepon Sarah tadi malam, sebelum ia merancang gaunnya, meminta masukan Sarah tentang gaun yang cocok untuk konsep yang diinginkan Luna. Sesuai dugaannya, masukan Sarah ternyata sangat berguna.

“Aku tak tahu kalau kau menelepon Sarah,” kata Sami ketika siang itu lagi-lagi ia datang. Ia bertanya tentang tanggapan Tante Diah atas gaun hasil rancangan Hanan. Dan Hanan menceritakan detailnya pada Sami.

“Aku sudah kenyang,” kata Hanan. Bukan menjawab Sami, tapi menolak suapan Sami yang keempat.

“Baru satu suap, kau sudah kenyang?”

“Tiga,” Hanan mengoreksi.

“Tiga suap kecil, sama saja dengan satu suap kan?”

Hanan tertawa, “Satu suapmu terlalu besar!”

Sami melotot.

“Aku minta maaf.”

“Untuk?”

“Acara kita yang batal.”

“Kau mengatakan maaf untuk itu sudah seribu kali. Jangan ditambah meski satu kali lagi,” Sami menggigit ‘cincin cumi renyah’-nya.

“Bagaimana kalau aku menebusnya?” Hanan mencondongkan tubuhnya kearah Sami. Dan Sami menjawab ide Hanan dengan kening berkerut. Soalnya, mulutnya sedang penuh dengan nasi.

“Sekarang, aku ikut kekantormu ya?”

“Hah?”

“Pulangnya nanti, aku akan mengajakmu kesebuah tempat. Bagaimana?”

“Kujemput saja nanti.”

“Aku tak boleh tahu kantormu?”

Sami meneguk minum. Makannya sudah selesai.
“Bukan begitu, tapi kau bisa mati karena kesal.”

“Tidak akan...,” Hanan melingkarkan tangannya di lengan Sami, marajuk. “Kalau ada Sami, pasti tak akan bosan. Ya..., kecuali kalau kau meninggalkanku meeting sampai malam.”

Sami mendesah. Sebenarnya, masalah utamanya bukan itu, Hanan. Tapi bagaimana menjelaskannya padamu...

“Tak bisa ya?” Hanan menatap Sami sedih.

“Kau begitu ingin tahu kantorku ya?”

Hanan mengangguk. Aku ingin tahu kau lebih banyak. Itulah alasannya. “Kau sering datang kemari, tapi aku tidak pernah ketempatmu. Aku ingin kenalan dengan semua teman kerjamu, nah, aku bisa memberi brosur butikku kan?”

Ide Hanan membuat Sami tertawa, tapi ia mengangguk juga. Sudahlah, masalah yang akan timbul, jika memang akan ada masalah, biarlah terjadi. Kali ini, Sami hanya ingin menganggap Hanan lebih dari sekedar teman. Itu saja.

Jadilah hari itu, Hanan pulang lebih cepat.

“Map-nya aku bawa saja, nanti biar kupelajari dirumah,” Hanan berhenti dimeja Rani sementara Sami lebih dulu melangkah keluar.

“Ya, Bu.” Rani menyerahkan map berisi arsip para pelamar yang diingankan Hanan.

“Ini yang sudah kamu seleksi kan?”

“Tentu dong, Bu. Masa saya nambahin kerjaan Ibu, gak tega. Mana pengantin baru lagi...,” Rani melirik Sami dengan ujung matanya, menggoda Hanan. “Saya senang, sekarang Ibu lebih banyak tertawa.”

“Bisa saja, memangnya dulu aku banyak marah?” Hanan memukul bahu Rani dengan ujung map. “Sudah ya, aku pulang.”

Setelah mengucap salam pada semua dan menyapa pelanggannya sebentar, Hanan menyusul Sami ketempat parkir. Sami sudah siap berangkat ketika Hanan tiba, mobilnya sudah dibibir pintu keluar parkir.

“Maaf ya.”

“Menambah karyawan?”

Mobil mulai melaju kejalanan yang agak lenggang.

“Ada penjahit yang mau keluar, sebentar lagi melahirkan, katanya mau mengurus anak saja dirumah. Tapi sekalian juga menambah, dua penjahit lumayan keteteran,” Hanan memasang sabuk pengamannya.
“Jauh tidak?”

Hanan belum pernah kekantor Sami. Hanya dengar alamatnya saja. Dan perlu tahu, Hanan buta peta. Hanan tidak mengerti, Jalan Merdeka, tempat kantor Sami berdiam itu ada dimana.

“Sepuluh menit juga nyampe,” kata Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya. Lampu kuning, dan Sami memilih berhenti daripada menerobos cepat-cepat sebelum lampunya berubah merah. Mobil dibelakang Sami membunyikan klakson, tapi Sami tak peduli. Dan sedetik kemudian, lampu itu memang berubah merah.

“Jauh juga...,” Hanan tersenyum.

“Jauh tapi senang. Kok aneh!”

“Habis, Sami mau bolak-balik dua puluh menit cuma untuk makan siang bersamaku, aku benar-benar merasa senang,” Hanan melonjak sembari duduk. Maksudnya, kalau saat itu diluar mobil, Hanan pasti sudah loncat-loncat.

Sami tersenyum. Pandangannya beralih kedepan lagi, tapi tangan kirinya terulur kesamping dan mengambil jemari Hanan untuk ia remas. Hanan memandang tangan Sami dipangkuannya, lalu ia melihat wajah Sami. Katakan padaku, kalau sikapmu ini bukan sekedar untuk membahagiakan aku, Sami...

Sami benar soal meloncat-loncat itu. Hanan memang melakukannya saat ia mengingak teras kantor Sami. Hanan memang ekspresif, Sami menggeleng tersenyum.

“Pantas saja Ibu selalu memanggilmu gadis kecil,” kata Sami.

“Apa?”

“Tidak, bukan apa-apa,” Sami lagi-lagi tersenyum.
Setiap bertemu orang yang berpapasan dengannya, mulai dari satpam, cleaning servis sampai pegawai berdasi, Hanan selalu menyapanya. Senyum lebar tak pernah lepas darinya. Dan hebohnya, Hanan selalu memperkenalkan dirinya. “Saya Hanan, istri Sami.” Hhh! Bikin malu. Tapi, mungkin malu yang menyenangkan.

Sami menggenggam tangan Hanan dan menariknya, ketika langkah Hanan terhenti pada beberapa foto yang terpajang didinding lobi lantai dua. Kebanyakan foto-foto gedung atau rumah.

“Itu foto-foto hasil kerjamu?” Hanan tercengang. Kebanyakan adalah hotel dan kantor perusahaan terkenal. “Hah, ternyata kamu hebat ya?” Hanan meninju bahu Sami.

“Bukan hasil kerjaku, hasil kerja kami.”

“Ya... sama kan?” Hanan bertanya pada dirinya sendiri. Apa beda ya?

“Tentu saja beda,” jawab Sami ketus. Tapi Hanan tersenyum.

“Sami berubah berwibawa kalau dihadapan anak buah ya?”

Sami menoleh pada Hanan. Maksudnya? Sami melontarkan kata-kata itu lewat matanya.

“Ya..., berwibawa tapi cenderung galak.”

Sami berbalik dan tanpa diduga, mencubit pipi Hanan.

“Aw!” Hanan mengusap-ngusap pipinya. Sami mencubitnya keras sekali.

“Hati-hati kalau bicara! Dasar gadis kecil!” Sami meninggalkan Hanan dan membiarkannya berlari menyusul langkah-langkah lebar Sami.

“Apa? Aku bukan gadis kecil!”

Sami sudah masuk kedalam ruangannya, sementara Hanan tertinggal beberapa jarak. Langkah Hanan tertahan oleh sesuatu. Di pertigaan koridor Hanan berpapasan dengan perempuan berambut coklat itu. Sepupu Sami, Huda. Mereka saling memandang terpaku.

“Hai,” kata Hanan. ia berhasil menguasai diri lebih cepat. Seperti biasa, senyumnya mengembang lebar.
Huda membalasnya juga dengan senyuman, tapi senyuman Huda itu senyuman anggun. “Kau baru pertama kali kemari ya?”

“Mh,” Hanan mengangguk. Apa aku tak salah, kenapa mata Huda seperti itu? terlihat sendu? Bahkan sedih? Huda memang tersenyum, tapi matanya menangis. Entah kenapa, Hanan merasa seperti itu.

“Hanan, kau nyangkut dima...,” Sami mebuka pintu dan kalimatnya terhenti ketika dilihatnya Hanan tengah bersama Huda. Sami dan Huda berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya Sami masuk kedalam ruangannya kembali. Ada satu kilatan dimata Sami yang membuat Hanan menelan ludah. Tidak, ini cuma perasaanku saja!

“Baru selesai makan siang, ya?” tanya Hanan mengalihkan perhatian. Hanan melihat kotak makan siang yang didekap Huda. Huda melihat arah pandangan Hanan sebelum kemudian ia mengangguk ragu.

Hanan tak perlu tahu kalau kotak itu adalah kotak makan siang untuk Sami yang tak dimakannya. Ya, Huda baru mengambilnya kembali, dan makanannya utuh tak tersentuh. Apakah kau sudah benar-benar mengambil dia dariku, Hanan?

“Ruanganmu sebelah mana?”

“Ruangan sebelum ujung lorong ini,” Huda menunjuk dengan telunjuknya, dan Hanan mengikuti arah itu.

“Aku boleh kesana nanti ya?”

Huda mengangguk. Lalu Hanan pamit menuju ruangan Sami. Dada Hanan berdegup keras, kilatan dimata Sami itu...

Hanan menghela nafas. Tidak, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Sami masih menyimpan Huda didalam hatinya. Tapi sesuatu yang wajar bukan? Hanan baru beberapa saat masuk kedalam dunia Sami, sementara Huda, telah bersamanya berbilang tahun. Jadi butuh waktu bagi Hanan untuk menggeser posisi Huda. Ya, ini hanya masalah waktu. Tapi, bukankah aku juga harus berusaha?

Hanan tersenyum sebelum membuka pintu Sami. Ya, ia akan berusaha. Cinta Sami akan ia perjuangkan, dan ia yakin, perjuangannya akan membuahkan hasil yang baik.

Sami sedang menelfon seseorang ketika Hanan masuk. Ia berdiri (atau duduk) bersandar pada meja besar miliknya. Melihat Hanan, Sami melambai padanya untuk mendekat. Hanan menurut.

“Yah, masalah harga bisa kita negosiasikan lah,” Sami meraih tangan Hanan dan memainkannya. Hanan memutar pandangan mengelilingi ruangan. Interiornya sangat mirip dengan di rumah. Minimalis, dengan dominasi warna putih. Ruangan itu tampak lapang dan terang. Satu pohon anthurium diujung sana menambah hiasan untuk mata. Terlepas pohon itu palsu atau tidak.
Sami tertawa, membuat kepala Hanan menoleh padanya. Mata Sami juga sedang memperhatikan Hanan. “Tentu saja! Asal Bapak cocok dengan gambar kami. Bagaimana?”

Sami menarik Hanan semakin mendekat.

“Ya..., saya tahu lah bagaimana Bapak. Ya, tenang saja. Kami yakin Bapak puas,” Sami memandang tepat kemata Hanan.

“Memang lebih bagus kalau Ibu juga ikut dilibatkan, nantinya beliau kan yang akan sering ada dirumah?”

Orang diseberang Sami mengatakan sesuatu yang membuat Sami tertawa lagi. Lalu setelah menutup percakapan dan mengucap salam, Sami meletakkan telefonnya.

“Proyek besar?” Hanan bertanya antusias.

“Begitulah,” Sami memainkan lagi jemari Hanan, kali ini dengan kedua tangannya. “Beliau pejabat penting di Kejaksaan. Mau renovasi rumah. Dan ya, seperti Tante Diah-mu itu, dia ingin aku yang menggambar sendiri. Bukan karyawanku.”

“Baguslah,” Hanan tertawa. “Sekarang, giliranku yang menemanimu begadang. Mh?”

Sami mengangguk. “Eh, bagaimana kantorku?”

“Sangat Sami sekali!”

“Kalau begitu, Sangat Hanan juga. Benar kan?”

Senyum Hanan menguncup. Tentu mereka punya selera yang sama.

“Kenapa? Kau tak suka selera kita sama?”

Hanan diam untuk beberapa saat.

“Ada apa?”

“Tidak, sebenarnya aku agak terganggu dengan kata-kata yang sering kudengar.”

“Yang mana itu?”

“Bahwa suami istri itu punya sifat yang saling melengkapi.”

“Lalu karena kita punya selera sama, kita tak bisa saling melengkapi. Begitu menurutmu?”

“Kumohon katakan, keresahanku salah.”

“Hanan... Hanan,” Sami mengacak kepala Hanan. Kali ini bukan rambut, karena Hanan memakai kerudung. “Kau perempuan, aku laki-laki. Perbedaan itu cukup untuk membuat dua orang manusia memutuskan untuk bersama. Benar kan?”

“Cukup itu saja?”

“Cukup. Aku malah lebih senang selera kita sama, aku kadang tidak tahan dengan perbedaan.” Aku dan Huda jauh berbeda, jika kata-kata Hanan benar, itukah alasannya aku begitu sulit melupakan Huda?
Hanan merenung.

“Sudahlah. Bantu aku kerja ya?”

Sami melepaskan tangan Hanan dan berjalan mengitari meja lalu duduk dikursinya. “Ambil kursi dan bantu aku periksa ini,” Sami menyodorkan sebuah map tebal pada Hanan. Hanan menerimanya dan membukanya.

“Sini duduk,” Sami berdiri dan meminta Hanan duduk dikursinya. Ia baru sadar, tak ada kursi lain selain sofa diruangan ini.

Tapi bukannya membaca isi map yang diberikan Sami, Hanan malah melihat benda-benda diatas meja Sami. Hanan bertopang dagu dengan cemberut.

“Kenapa?”

“Kalau aku lihat di sinetron, diatas meja direktur selalu ada foto.”

Sami tersentak. Dimejanya memang ada foto, tapi bukan foto Hanan, melainkan foto keluarganya. “Memangnya dimejamu ada fotoku?”

“Tentu saja,” Hanan tersenyum. “Kamu tak memperhatikannya? Foto pernikahan kita.”

“Kamu memajang foto pernikahan kita?”

Hanan mengangguk kuat. “Kenapa kau tidak?”

Sami menutup mapnya dan menyimpan di meja. Kenapa ia tidak. Karena sama sekali ia tak ingat. Tapi jangan coba bicara jujur deh.

“Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang?”

“Eh?”

Sebelum Hanan sempat mengatakan apa-apa, Sami mengambil foto Hanan. “Nah bagaimana?” Sami menunjukkan hasilnya pada Hanan.

“Jelek!” Hanan mau merebut ponsel Sami, berniat menghapusnya. Ia tidak siap saat Sami mengambil gambarnya. Tapi Sami menarik kembali tangannya menghindari sambaran tangan Hanan.

“Jangan dihapus, ini bagus. Akan kuberi judul, gadis kecil yang sedang bengong,” Sami tertawa, apalagi setelah mulut Hanan mengerucut, tawanya semakin keras. Tak menyadari sama sekali, kalau tawanya mengundang tanya dan senyum dari para karyawannya.

“Pak Sami tertawa? Sekeras itu? hah, istri berpengaruh sangat besar ya!” dan komentar-komentar itu membuat Huda kesal tanpa sebab. Tanpa sadar, tangannya meremas kertas yang tengah dipegangnya.

Sami menyuruh Hanan berdiri. Lalu setelah Sami duduk dikursinya, tanpa aba-aba, ia menarik Hanan kepangkuannya. Hanan benar-benar kaget, sampai tak bisa bereaksi ketika Sami mengambil gambar mereka berdua.

“Heh? Gadis kecil ini suka bengong ya!” Sami melihat hasilnya. Hanan masih tak  bereaksi. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak karena ruang dadanya tiba-tiba berasa sempit. Ya Tuhan, aku duduk dipangkuan Sami! Apa Sami tak merasa gugup seperti dirinya?

“Hei, santai saja...,” Sami tersenyum pada Hanan. Hanan menoleh, tapi begitu menyadari bahwa wajah Sami begitu dekat, kegugupan Hanan semakin tak terkendali.

“Ayo lihat sini, lalu senyum yang lebar. Aku tak mau fotomu yang sedang bengong yang menemaniku kerja, nanti aku malah tertular bengongnya,” Sami mendekatkan kepalanya ke kepala Hanan, sementara tangan yang lain menjauhkan ponsel sejauh tangannya bisa terulur. “Senyum...” Sami mengambil gambar mereka beberapa kali. Lalu saat itu juga, Sami memprint hasilnya. Seperempat bagian kertas HVS.

“Nanti aku minta Rian memprint-nya di kertas foto. Lalu pulang dari sini, kita beli figuranya, ini untuk sementara saja,” Sami melipat kertas hasil print itu sedemikian rupa sehingga bisa berdiri. Sami menyimpannya disamping foto keluarga. “Kau senang sekarang?”
Hanan tersenyum. “Rian itu siapa?”

“Sekretarisku.”

Hanan membulatkan mulutnya, menyebut ‘oh’ panjang.
Setelah acara memotret itu selesai, Sami berniat kembali bekerja. Tapi keberadaan Hanan didekatnya, membuat konsentrasinya hilang sempurna. Bukannya menekuni layar laptopnya, Sami malah menekuni wajah Hanan yang tengah membaca isi map yang tadi diberikannya. Dan semakin melihat Hanan, Sami semakin tidak bisa bekerja.

Sejarah! Sami tak pernah seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada yang bisa mengalahkan perhatiannya dalam bekerja. Jadi, apa ini namanya?

*   *   *

 Sore itu Sami mendapatkan kejutan dari Hanan. Sebenarnya tak bisa dibilang kejutan juga. Karena tempat yang mereka kunjungi bukan tempat istimewa. Tapi tetap saja diluar dugaan Sami. Masalahnya, bagaimana Hanan tahu Sami sangat suka tempat ini? Tebak apa! Yup! TOKO BUKU!

“Simple saja, karena aku juga suka tempat ini...,” Hanan mengedipkan mata. “Jadi kau memaafkan aku?”
Sami tertawa lebar, sebelum akhirnya ia merengkuh Hanan. “Tentu saja, asal kau yang traktir!”

“Apa? Tidak! Tabunganku bisa habis semalam!” Hanan menghindar tertawa. Tapi sebenarnya, keduanya tak peduli siapa yang membayar. Asal kerakusan mereka disini bisa tersalurkan, jadi tak akan ada orang yang mengusir mereka karena mereka berkeliling berjam-jam tanpa membeli. Jadi selama mereka bisa pulang dengan segunung buku, tak masalah. Dari siapapun uangnya.

Tapi hindaran Hanan mungkin ada benarnya, karena setiap mereka berdiri dikasir, Selalu Sami yang mengeluarkan isi dompet. Tangan Hanan selalu dipegang Sami, jadi tak ada kesempatan baginya untuk menyumbang. Hanan membiarkan saja, karena ia tahu, lelaki sangat senang jika hasil keringatnya sangat berguna bagi istrinya.

“Mau membuatkanku?” Sami memperlihatkan sebuah buku yang terbuka pada Hanan. Sebuah kue tart penuh lapisan coklat. Hanan memperhatikan dan menangguk yakin. “Bagus! Kita beli ini,” Sami memasukkan buku resep itu kedalam tas belanjaanya.

“Kau suka coklat?”

“Sangat. Kenapa?”

“Tak aneh. Aku juga suka. Sangat!” Hanan mengerjapkan matanya.

“Oh? Bagus! Pulang dari sini, kita langsung beli bahannya ya?”

“Tidak mungkin!” Hanan meringis. “Ini sudah lewat dua puluh menit dari waktu Isya,” Hanan berbisik.
Sami tersentak melihat jam tangannya. Ajaib! Bukankah ia baru melakukan shalat maghrib satu menit yang lalu? Sami melihat sekeliling. Sudah hampir sepi.

“Ayo pulang,” Sami menggamit lengan Hanan.
Mereka membayar buku mereka untuk benar-benar pulang dan benar-benar kaget dengan prilaku mereka sendiri saat meminta kembali barang-barang yang dititipkan.

“Sebanyak ini?” mata Hanan membulat, bola mata birunya hampir meloncat. Petugas itu memberikan mereka tiga kresek penuh buku. Dan itu belum semua, petugas itu masih mengeluarkan isi kotak penitipan mereka.

“Tak ada yang terlewat kan?” petugas itu bertanya. Sami dan Hanan saling bertukar pandang, memangnya mereka ingat? Harusnya kan yang bertanya ‘masih ada yang tertinggal?’ itu kan mereka.

“Maaf, soalnya kotaknya kepenuhan, jadi kami simpan di bawah. Tapi seingat saya memang segini, di kotak yang lain nggak ada lagi kresek berisi buku,” kata petugas itu menggaruk kepala. Ya sudah. Tapi Sami dan Hanan kaget juga, mereka belanja gila-gilaan, seperti mau buka toko buku saja!

“Kita ini pasangan luar biasa!” Sami berbisik ditelinga Hanan. Tampak sekali ia merasa berat dengan kantong-kantong yang dibawanya. Tapi ketika Hanan mau membantu membawanya satu kantong saja, Sami menolak keras. Oh, baiklah, Sami sedang menikmati perannya sebagai lelaki. Sebagai suami.

“Apa kau... tak merasa lapar?” tanya Sami setelah mereka masuk mobil. Ia baru ingat, mereka belum makan. Makanan terakhir yang masuk keperutnya adalah dari nasi kotak makan siang yang dibuatkan Hanan.

“Mau kubuatkan sesuatu?”

“Bagaimana kalau... nasi goreng?”

“Sami... setiap pagi kita makan nasi goreng, apa menu makan malam juga harus nasi goreng?”

“Yup, nasi goreng ayam spesial buatanmu!”

Hanan menghembuskan nafas. Paling tidak, untuk urusan nasi goreng, ia tak semaniak Sami. Well, ini perbedaan yang cukup melegakan.

“Tapi kalau kamu capek, kita makan diluar saja,” Sami memutar kemudi ke arah kiri. Untungnya jalanan seputar Dago tak pernah sepi. Jadi tak perlu merasa pulang paling malam. Tapi memang tak terlalu malam sih, ini kan baru jam delapan. “Ke Ampera?”

“Ehm..., kau lebih suka dirumah Sami?”

Sami melirik Hanan dan tersenyum. Ya, ia lebih suka di rumah. Ia bersyukur Hanan begitu mengerti.

“Cuma masak nasi goreng sih tak perlu banyak energi,” Hanan tertawa, membuat Sami lega.

“Tenang, bantuan siap datang,” balas Sami.

Setelah makan, Hanan baru punya kesempatan melihat-lihat buku yang baru mereka beli. Cuci piringnya besok saja deh!

Bukunya sudah Sami keluarkan dari kantong kresek dan dikelompokkan secara bertumpuk. Sami melakukannya ketika ia sibuk membuat nasi goreng. Ya, Sami membual soal bantuan itu. Alih-alih Sami langsung membuka kantong belanjaannya. Tapi Hanan malah senang, kalau Sami membantunya mengiris bawang lagi, proses membuat nasi goreng bukannya ekspres, tapi malah setahun lebih lama.

Novel, buku tentang bangunan yang Hanan tak mengerti, buku Sejarah yang Hanan sukai, buku tentang busana, resep, sampai buku tentang politik, sudah bertumpuk berkelompok dengan teratur. Yang terakhir, tangan Sami yang paling banyak mengambil. Meski badannya agak lelah, tapi begadang sebentar untuk menyelesaikan satu novel rasanya bisa.

“Jangan pernah berpikir untuk membaca malam ini,” Sami tahu apa yang Hanan pikirkan.

“Meski satu buku?”

Sami menggeleng. Ia duduk disofa dengan kaki diselonjorkan keatas sofa disebelahnya. Tivi menyala dihadapannya, tapi matanya menekuri satu buku. 'Bung Tomo Suamiku', Hanan membaca judulnya. Nah, egoisnya Sami muncul lagi! Orang seperti ini perlu diberi pelajaran kan?

Hanan tiba-tiba merebut buku itu, membuat Sami tersentak dan mendongak. Tangan Sami terulur untuk mengambil buku dari tangan Hanan, tapi Hanan sengaja memutar-mutar tangannya, menghindari Sami.

“Hanan...,” Sami memelas meminta bukunya kembali. Jika buku yang terlanjur dibaca belum selesai, ia tak akan bisa tidur.

Hanan cuek, ia malah membuka-buka buku tadi.

“Sepertinya, aku akan membacanya lebih dulu... Eits!” Hanan menghindari Sami yang kembali hendak merebut. Kalau Hanan membuka lembaran lebih banyak, ia akan semakin tak bisa dihentikan.

“Baiklah, ok!” Sami menyerah. “Malam ini, silahkan membaca,” Sami mengangkat kedua tangannya. “Jadi, bisa kau kembalikan buku itu?” tangan Sami terulur meminta.

“Terimakasih,” Hanan tersenyum menang. “Ini..., tapi... kubaca dulu deh!”

Nah, benar kan, kalau sudah terlanjur membaca, meski cuma alenia pertama di Kata Pengantar, Hanan tak akan bisa berhenti. Ya..., sama seperti Sami kan?

“Baik, cukup sudah main-mainnya,” Sami mendekat kepada Hanan dan berdiri dihadapannya dan mengunci pergerakan Hanan. “Berikan atau tidak?” tanya Sami tepat didepan wajah merona milik Hanan. Mata coklat Sami lekat memandang bola mata biru milik Hanan.
“Berikan atau tidak?” ulang Sami setelah Hanan menggeleng dan menyembunyikan buku itu dibelakang tubuhnya. Tangan Sami melingkari tubuh Hanan, Hanan semakin erat memegang bukunya.

“Aku cuma penasaran dengan kehidupan pahlawan ini, kau lihat gambar dibelakangnya, dia dia menggendong istrinya. Aku hanya membacanya sebentar saja, setelah itu aku ber...”

Hanan salah. Sami bukan hendak mengambil bukunya, tapi merengkuhnya. Ya, merengkuh tubuhnya. Mulut Hanan mengunci, kata-kata tak mau keluar lagi. Ia hanya terhenyak takjub dalam dekapan Sami.

“Sami...”

“Sudah kudapatkan,” kata Sami pasti. “Kamu sudah kudapatkan, kamu tak bisa menghindar lagi, Hanan. Tak akan bisa.”

“Sami...”

Tapi bisikan Hanan tak didengar Sami. Ia terus mendekap Hanan untuk beberapa lama. Allah, apakah getaran tak beraturan ini? Apakah aku mulai mencintai gadis kecil ini? Ataukah getaran ini hanya getaran seorang laki-laki saat seorang perempuan bebas berkeliaran dirumahnya? Apakah hanya itu?
Dan Sami merengkuh Hanan semakin erat...

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 6
Berikutnya; Bagian 8

Jumat, 20 November 2015

Kevin (Say No To LGBT!)

Kevin? Ah, jangan berkerut kening begitu… Kevin disini bukan orang terkenal macam Kevin Aprilio, Kevin Julio, atau Kevin-Kevin yang lain (lagian, mana saya kenal sama mereka). Kevin cuma nama tokoh dalam novel terbaru saya. Masih ingat kan? Saya sedang menulis Novel tentang LGBT yang bikin saya menahan mual.

Kevin adalah tokoh utamanya. Seorang cowok ganteng dengan latar belakang disakiti Ibu, tumbuh di lingkungan para lelaki yang tanpa sadar membuatnya mencintai lelaki lain.

Jujur saja, ada pergolakan dalam batin saya, banyak pergolakan, ketika kata demi kata saya tuliskan tentang dia. Ada keinginan kuat untuk berhenti dan mencerca, ada keinginan untuk membuat tokoh Kevin demikian menyebalkan hingga membuat semua orang yang membaca akan benci pada pelaku homoseks.

Tapi pada sisi lain, saya juga ingin menampakan sisi manusiawi seorang Kevin, seorang pelaku pengimpangan seksual. Saya ingin menyelami dirinya, membaca apa yang dia pikirkan, juga menerka apa yang dia rasakan.

Saya memilih opsi kedua. Saya kira, memahami sosok Kevin membuat kita bisa menyayangi mereka bukan dengan menghakimi, tetapi rasa sayang yang membuat kita menaruh kasihan, lantas mengulurkan tangan. Harapan yang saya sematkan pada tokoh perempuan, Vera.

Pilihan yang saya ambil cukup sulit, tapi juga tantangan yang memacu adrenalin. Saya banyak berhenti ketika menulis. Berpikir, bagaimana cara pelaku penyimpangan mencintai? Bagaimana mereka memandang cinta itu sendiri? Bagaimana juga mereka memandang diri mereka ssndiri yang berbeda dari lingkungan?

Selebihnya, pertanyaan menjadi lebih mendetail dan rumit. Kerumitan yang, jika saya tak punya tujuan besar untuk menulis, akan membuat saya jatuh putus asa dan memilih berhenti. Kerumitan itu diantaranya, bagaimana pelaku homoseks berbicara? Jujur, atau manipulatif? Bagaimana intonasinya? Bagaimana cara dia memandang sebuah masalah? Bagaimana cara dia memilih pakaian? Memilih warna? Berjalan? Makan? Minum kopi? Cara dia duduk? ETC.

Oh Tuhan… sepertinya saya menenggelamkan diri saya dalam kemuskilan tak berujung… haha…

Baiklah, akhirnya… simak saja nanti novelnya ya… in sya Allah, tak lebih dari sebulan akan saya selesaikan. Mohon doa, semoga Allah memberi saya kemudahan… aamiin…

Rabu, 18 November 2015

Say No to LGBT!

Hadeeuuhhh... Ngeri banget deh baca yang beginian. Ceritanya kan saya lagi cari literatur dan segala macam artikel untuk bahan novel terbaru saya. Lah, saya malah terdampar pada kubangan lumpur menjijikkan dan bikin mual!

Masa nih ya, ada suami istri transgender (si suami dulunya cewek, si istri dulunya cowok), terus karena kepengen punya baby, si suami yang merasa sayang untuk buang rahim saat operasi trans, akhirnya memutuskan buat hamil! Di fotonya ya, diperlihatkan, si suami yang brewokan dengan dada rata tapi perut besar, diusap-usap tuh perutnya sama si istri. Hueekk! Bikin muntah nggak tuh!

Gila ya! Mereka nggak mikir tuh, kalau peran mereka dalam keluarga jadi ambigu. Siapa Daddy, siapa Mommy. Oowwhh... Dunia memang sudah kacau beliau!

Parahnya ya… ternyata… (hiiyy... merinding saya nulisnya juga) realitas seperti itu ada disekitar kita!

Ada dua cewek nih, duduk berdua dengan mesra sambil ngebaso. Yang satu cewek banget, satunya berkedok cowok dengan rambut cepak.

Ada lagi nih, saat nunggu angkot ngetem di terminal, saya juga lihat cewek-cewek gandengan mesra banget! Oh My God!

Lagi nih, lagi! Pas belanja ke mini market karena haus banget, lewat lorong sambil larak-lirik cari tempat minum, saya temukan fenomena itu. Dua cowok pelayan mini market lagi bisik-bisik dan senyum-senyum malu-malu, juga… pegangan tangan!

Guys! Yang cerita paling atas tuh, itu di negeri antah berantah di luar sono. Nah yang selanjutnya, itu di negara kita! Kagak jauh-jauh Bro Sist, itu di Bandung! Di dekat kita sendiri!

Itu yang baru kelihatan sama sepasang mata saya (dua pasang ding, sama mata suami), lah gimana dengan yang tersembunyi, yang nggak kelihatan, yang nggak ditemukan? Soalnya kan saya jarang bepergian, paling sekali dua dalam seminggu. Nah, gimana kalau saya perginya tiap hari ya?

Oh Allah... Astaghfirullah...

(Bersambung…)

Selasa, 17 November 2015

Tentang Kaa


"Rindui aku Za..., sebab setelah ini, aku hanya akan hidup dalam kenanganmu..." kau usap air matamu dengan ujung kerudung sutramu.

* * *

Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.

Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.

“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.

Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.

“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.

Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.

“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”

“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”

Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.

Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.

Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.

Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.

Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?

Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.

Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?

Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.

Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.

Kau datang Kaa? Kau datangkah?

Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.

KAA...
)* uzlah : meyendiri

Minggu, 15 November 2015

Jeda

Selesai lagi sebuah novel sekuel. Lega, senang, happy, luar biasa, amazing, wow!

Tapi setiap menuliskan kata 'selesai' pada ujung novel, pikiran saya kadang selalu tertahan disana. Butuh waktu sehari dua hari untuk kembali move on.
Pikiran saya masih terpenjara pada cerita yang baru saya selesaikan. Kenapa ya?

Sekarang, saat jeda, saya sedang mengumpulkan bahan dan tema untuk tulisan baru saya. Kali ini tentang seorang homosexual. Lumayan menantang, tapi sekaligus bikin saya ngeri.

Hhhh... Bismillaah...

Sabtu, 07 November 2015

Mozaik Cinta (Bagian VI)


Lampu kamar Hanan masih menyala. Bukan itu saja, pintu gesernya juga terbuka lebar, dan gordennya apalagi, masih terkumpul disatu sisi. Ia tengah menekuni sesuatu di meja kerjanya. Wajahya tertunduk, dan pensil (atau bulpoint?) yang tengah digenggamnya bergerak-gerak lincah. Rambutnya digulung keatas, beberapa lembar terjatuh dikening juga lehernya. Sami bisa melihatnya, sebab Hanan sesekali mengangkat wajah dan mengganti pensilnya. Bajunya hanya kaus pendek ketat. Tanpa baju hangat. Dengan jendela terbuka seperti itu, memangnya dia tidak dingin?

Sami bersidekap dada memperhatikan Hanan dari ruang tengah. Apa yang tengah dikerjakan Hanan? Apa pesanan design Tante Diah itu? Tapi selarut ini? Sami melihat jam dinding. 11.40. Ini bukan hampir tengah malam lagi, tapi memang tengah malam.

Sami melangkah menuju pintu, tapi ragu sejenak. Kalau lewat pintu, ia harus mengetuk dahulu, lalu menunggu Hanan menyuruhnya masuk. Itu kalau Hanan tak mengunci pintunya, tapi kalau Hanan menguncinya, ia harus menunggu Hanan membuka pintu. Terlalu mengganggu kan? Lagipula, terlalu formil bagi seorang suami memasuki kamar istrinya dengan terlebih dahulu mengetuk pintu. Tapi jika ia tak mengetuk? Ah.
Sami akhirnya memilih jalan yang lebih mudah. Ia membuka pintu kaca diruang tengah menuju taman, lalu memakai sandal dan berjalan menuju pintu kaca dikamar Hanan yang juga menghadap taman. Dua pintu kaca yang memungkinkannya melihat Hanan dari sejak ia membuka pintu kamarnya.

Demi mendengar suara langkah, Hanan mengangkat wajah dan menoleh pada Sami. “Eh, belum tidur?” tanya Hanan kaget.

“Pertanyaan itu seharusnya aku tujukan buat kamu kan?” Sami membuka sandal dan naik keteras lalu berjalan mendekati Hanan. “Baju pengantin pesanan Tante Diah itu?” Sami melihat pekerjaan Hanan, tanpa menyadari, kalau Hanan masih belum sadar dari rasa kagetnya.

Sami masuk kamarku?

“Bukannya, untuk satu design, kau biasanya menyelesaikan cepat?” pertanyaan Sami menyadarkan keterkejutan Hanan.

“Masalahnya, butikku bukan bridal, lagipula, aku tak membuat satu design saja. Biar Luna bisa memilih.

“Yah, besok ya?” Sami mengeluh, mengingatkan Hanan akan sesuatu.

“Eh, ke pantai itu bukan besok kan?” tanya Hanan ragu. Jelas sekali ditelinganya, Sami mengajaknya ke pantai besok. “Ah, Sami, maafkan aku..., aku benar-benar...”
Melihat Sami yang diam saja sembari menunduk memperhatikan gambar Hanan, Hanan mulai ketakutan. Apa Sami akan marah? Apa moodnya berubah sekarang?

“Apa aku perlu menggagalkan pertemuanku dengan Tante Diah dan Luna?”

“Kenapa?” Sami melihat Hanan. Air mukanya belum berubah.

“Karena besok kita ada rencana kan?” tanya Hanan hati-hati.

“Seharusnya kau menyadari itu ketika kau membuat janji, bukan sekarang.”

Hanan mengerut. Ia tak tahu apa yang harus diucapkannya.

“Bercanda,” Sami mengacak rambut Hanan. Membuat Hanan terpana. Sami yang egois dan warkaholic bisa mengacak rambutnya?

“Masih lama? Mau kubuatkan kopi?”

Tawaran Sami membuat Hanan mengerjap. “Tak merepotkan?”

“Bilang saja ‘iya’,” Sami mengacak rambut Hanan untuk kedua kalinya. “Sebentar ya,” Sami menjauh darinya, kini melewati pintu kamar.

Hanan terus melihat Sami dari tempat duduknya, Sami yang berjalan melewati ruang tengah, Sami yang berdiri di pantry dan membuat kopi. Saat menyendok gula, tanpa Hanan duga sama sekali, Sami melihat kearahnya, membuat Hanan tersentak dan menunduk lagi, menekuni kertasnya kembali.

Melihat Hanan yang malu karena kepergok tengah memperhatikannya, Sami tersenyum. Nah, dari jauh saja, bisa kelihatan kalau wajahnya yang malu seperti itu sangat manis. Hanan benar-benar girly, cewek banget. Kok berbeda dengan Huda ya? Gerakan tangan Sami tiba-tiba berhenti. Huda lagi? Kenapa ia memikirkan Huda? Sami menggerutu. Kapan ya wajah Huda bisa benar-benar keluar dari pikirannya?

“Minum dulu,” Sami membawa dua cangkir kopi. Kepulan asap yang membawa harum kopi di penciuman Hanan, serta merta membuatnya melepaskan pensil dan memutar kursinya menghadap Sami, dengan senyum sumringah menghias wajahnya.

“Harumnya...,” Hanan memejamkan mata dan menghirup wangi kopi yang menggugah seleranya. Karena Hanan hanya melihat pada cangkir kopi yang dibawa Sami, Hanan sama sekali tak menyadari kalau wajah Sami berubah tegang.

Sami menyimpan cangkir dimeja, agak jauh dari kertas-kertas Hanan karena khawatir kertas itu menjadi kotor. Hanan mengambil cangkir itu dan meminumnya sedikit.

“Ugh! Masih panas!” Hanan mengibas-ngibaskan tangannya didepan mulut. “Tentu saja, bodoh ya aku ini?” Hanan tertawa dan mengalihkan pandangannya pada Sami. Tapi demi dilihatnya wajah Sami yang tegang, tawa Hanan berhenti seketika.

“Kenapa?” tanya Hanan hati-hati.

“Ah, tidak,” Sami menjawab dengan senyum dibuat-buat, menutupi kepanikannya.

“Ada yang salah denganku ya?” Hanan meraba rambutnya. Tak ada sesuatu. Sami sudah terbiasa melihat rambutnya. Tangan Hanan turun kewajah dan mengusap-usapnya. Lalu matanya menunduk melihat bagian tubuhnya yang lain. “Oh, Ya Tuhan!” Hanan memekik. Kini kepanikan Sami beralih padanya. Ya, ya. Hanan baru sadar, kalau ia tengah mengenakan kaos agak ketat, dan celana pendek. Ya, celana pendek!

Hanan berdiri seketika, dan hendak berlari membuka lemarinya dan meraih apapun yang bisa menutupi pahanya. Tapi tangan Sami memegang tangan Hanan.

“Sudahlah, tak apa kan?”

“Ehm..., maaf. Tapi tadi aku gerah, jadinya...”

“Kelihatan.”

“Hah?”

“Ya, kamu buka pintu lebar gini, tengah malam pula, apalagi kalau bukan karena panas?”

“Oh.”

“Padahal udara sedang dingin begini.. Tapi langitnya cerah. Purnama pula,” Sami melihat langit dari ambang pintu kaca. “Mau rehat sebentar?” Sami menoleh pada Hanan yang masih berdiri kaku ditempat tadi Sami menahan langkahnya. “Sini duduk,” Sami memindahkan dua cangkir kopi ke bawah dan duduk diambang pintu menghadap taman. “Sini,” Sami menoleh lagi dan mengulang perintahnya.

Hanan menurut. Ia melangkah pelan dan duduk disamping Sami, agak jauh, sampai Sami tersenyum dibuatnya.

“Hei! Kau takut padaku?”

“Eh, tidak! Kenapa harus takut?” Hanan tergagap.

“Kalau begitu kenapa duduk jauh-jauh?”

Hanan senyum terpaksa. Masalahnya, ia memakai celana pendek, dan tentu saja, akan semakin menyusut kalau ia dalam keadaan duduk. Jadi ia agak menjaga jarak.

Melihat Hanan tak bergerak, akhirnya Sami yang mengambil inisiatif menggeser duduk dan mendekat ke Hanan. Sekilas, Sami melihat kaki Hanan yang putih. Kaki yang belum pernah tersentuh sinar matahari. Kaki yang perawan dari pandangan lelaki manapun. Dirinya, orang pertama yang melihat kaki itu. Dan jantung Sami berdetak tak berirama. Atau berirama, tapi iramanya kacau sekali. Menghentak tak jelas. Berdebum keras.

Beberapa saat mereka terdiam, sebelum akhirnya Sami mengulurkan tangannya. Hanan melihat wajah Sami yang tersenyum, lalu melihat tangan Sami yang terkepal kecuali bagian kelingking yang ia biarkan terjulur.

“Mau memaafkan aku?” tanya Sami pelan.  Hanan melihat wajah Sami lalu melihat kelingking lagi. Tak ada reaksi.

“Pasti dosaku sangat besar ya...,” Sami menarik tangannya lagi dengan kecewa. Ia pikir, Hanan tak akan seperti dirinya dulu. Tapi mungkin memang seperti yang ia katakan, kesalahannya yang begitu besar, sampai jauh didalam hati Hanan, kebencian pada dirinya tumbuh sempurna.

“Eh, bukan begitu,” kata Hanan tiba-tiba. Tangan kirinya, mengambil tangan kanan Sami, lalu menautkan jari kelingkingnya yang kecil, pada jari kelingking Sami. Sami memandangnya terpaku. “Ini tanda perdamaian kita,” Hanan tertawa pelan, dan matanya menyipit. Ini mimik wajah Hanan kedua yang Sami sukai. Matanya tertarik kesamping jika ia tertawa. Meski mata birunya tersembunyi, Hanan tetap manis.

Sami juga tersenyum lebar. Hanan memaafkannya.

“Meski aku sudah mengabaikanmu selama ini?”

Hanan mengangguk.

“Meski aku suka ketus padamu?”

Hanan mengangguk.

“Meski aku suka marah?”

“Juga pelit, kasar, egois....,” Hanan melanjutkan, tapi wajahnya masih sesumringah tadi. “Asalkan itu cuma masa lalu.”

Kelingking mereka masih bertaut untuk beberapa saat, mata mereka saling pandang dan senyum mereka saling bertukar.

“Terimakasih,” kata Sami.

“Aku juga mau minta maaf, Sami.”

“Untuk?”

“Jangan dikira hanya kau yang punya salah. Aku juga. Aku tak pernah menyediakan keperluanmu.”

“Itu bukan kewajiban istri kok. Kewajiban istri kan cuma..., taat pada suami,” Sami akhirnya menemukan kata yang tepat. Hampir saja, barusan ia mengatakan kalau kewajiban istri cuma melayani suami. Kata-kata yang bisa membuat Hanan tersenyum malu lagi, tapi selain itu, Sami juga akan malu setengah mati. Kelihatan sekali, kalau ia mulai menginginkan Hanan. Untung saja, ia menemukan kata yang lebih tepat, sehingga ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Meski sebenarnya, ia menyesal mengetahui dirinya masih sepengecut ini. Kalau ia mau, tak kenal rasa malu, ia bisa langsung bicara pada Hanan, Hanan pastinya tak akan menolak. Tapi...

“Jadi mulai besok..., kita... berteman?” pertanyaan Hanan membuyarkan lamunan Sami yang liar.

Sami mengangguk mantap. Tak apalah berteman dulu, ia ingin kehidupan mereka berjalan dengan alami. Tapi Sami tak tahu, kalau sebenarnya, Hanan menginginkan lebih dari sekedar pertemanan.

Memangnya, kapan sepasang teman ini bisa berubah menjadi sepasang kekasih?

Tapi, well. Bagaimanapun juga, Hanan tetap harus bersyukur. Allah sudah memperbaiki hubungan mereka, padahal sebelumnya, baik Hanan maupun Sami, mengira bahwa hubungan mereka tak akan pernah membaik, selamanya. Tapi Allah memang berkuasa memutar keadaan hanya dengan sekali sentuh, bukan? Termasuk tentang pertemanan ini. Walaupun mereka hanya mengakui sebagai teman, Allah menginginkan lebih. Buktinya, malam itu, tangan Sami terulur menggenggam tangan Hanan erat sekali.

“Mau kutemani bergadang?” tanya Sami mengejutkan Hanan. “Kuambil dulu laptopku ya?” Sami berdiri dan berjalan kekamarnya. Sementara dada Hanan masih berdebar keras. Ia pandangi tangannya yang masih hangat bekas genggaman tangan Sami.

Ia ingat kata-kata Sarah dulu, Sami egois, sulit berkomunikasi, keras kepala. Tapi Hanan melihat kenyataan lain hari ini, Sami ternyata bisa bersikap manis dan lembut. Bahkan jika selamanya mereka hanya berteman, Hanan sangat bersyukur.
Sami datang ketika Hanan masih memandangi tangannya.

“Tanganku meninggalkan kotoran disitu ya?”
Hanan mengerjap. Ia berdiri dan kembali duduk dikursinya, lalu membereskan kertasnya, menyediakan tempat untuk Sami.

“Tak apa, keras butuh alas yang keras, tapi laptop tidak. Kalau boleh, aku disini saja,” meski kesannya Sami meminta persetujuan, toh tanpa menunggu jawaban Hanan, Sami menyibak bad cover dan duduk di tempat tidur Hanan. “Cuma perasaanku atau memang kenyataannya begitu, tempat tidur ini rasanya lebih empuk dibanding tempat tidur disana?”

Hanan tersenyum. Apa telinganya tak salah dengan? Sami mengatakan tempat tidur disini, dan tempat tidur disana, bukan tempat tidurku dan tempat tidur kamu. Hah, sekarang Hanan mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan yang Sami berikan. Termasuk kejutan yang terjadi malam itu juga. Sami mendengkur diatas tempat tidurnya!

*   *   *

“Kau bukan tak tidur karena aku kan?”

Mereka sedang menyantap sarapan pagi. Seperti biasa bersiap ke kantor. O ya, acara piknik harus mereka tunda untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

“Aku tidur kok!” Hanan menyuapkan nasi kemulutnya.

“Sungguh?”

Hanan mengangguk.

“Tapi saat aku bangun subuh tadi, tempat disampingku kosong.”

“Itu karena aku bangun lebih cepat dan kau bangun kesiangan,” Hanan tertawa. Membuat mulut Sami sedikit mengerucut.

“Tapi sungguh kau tidur kan?” Sami tampak khawatir. Dan kekhawatiran Sami sedikit menghilang ketika Hanan menganggukkan kepalanya.

Sebenarnya, Hanan memang hampir tak memejamkan mata kecuali sangat sebentar. Bukan sengaja. Sungguh. Hanan hanya tak bisa tidur dengan wajah Sami tepat didepannya. Sepanjang malam, mana bisa ia tertidur tenang, sementara jantungnya berdebar keras. Jadi bukan salahnya kan?

“Dengkurmu memang keras sih,” Hanan berkata pelan hampir pada dirinya sendiri.

“Hah? Masa?” Sami menyimpan suapannya.

“Bercanda!” Hanan tertawa. “Maksudku, memang keras. Tapi tak mengganggu, malah, aku senang, serasa ada yang menemani. Ibu juga dulu mendengkur.” Hanan berdiri dan berjalan sembari membawa piringnya yang kosong. Sami belum selesai makan. “Kamu melamun apa sih? Bukan makananku yang tak enak kan?”

“Eh, bukan tentu saja. Aku cuma...,” Sami tak melanjutkan. Ia sedang memikirkan keajaiban dirinya sendiri. Apa yang terjadi denganku? Berani sekali aku tidur disana? Lagipula, kenapa ia yang tidur duluan? Seharusnya Hanan yang terlebih dulu tidur, agar ia bisa melihat wajah Hanan sepuasnya. Hah, lagi-lagi... Sami menggelengkan kepala mengusir pikirannya.

“Maaf ya,” Sami menghampiri Hanan yang sedang mencuci piringnya. Ia meletakkan piring kotor dihadapan Hanan, dan Hanan menerimanya sebelum piring itu benar-benar tersimpan.

“Untuk?” Hanan mengambil busa sabun dan menggosok piring bekas Sami.

“Karena aku tidur ditempatmu.”

“Tempatku? Tempat tidurku, tempat tidurmu juga kan?” Hanan menyelesaikan pekerjaannya. Tangan Sami mengambil lap kering dan memberikannya pada Hanan.
“Atau..., kau tak merasa begitu?” Hanan mendesah. Tangannya bergerak pelan. Beberapa saat mereka berdiri berhadapan tanpa berkata sepatah kata pun.

“Tentu saja, aku berpikir sama,” Sami mendekat lagi.
Kini mereka berdiri tak berjarak. Sami memandang wajah Hanan seksama, sementara Hanan mengalihkan pandangannya kearah lain.

“Boleh tidak, aku memelukmu Hanan?”

Hanan mendongak. “Apa?”

Sami semakin mendekat dan memang memeluk Hanan. Semakin lama semakin erat, sampai-sampai dadanya merasa sesak.

“Sami?”

“Sebentar, biarkan aku seperti ini untuk beberapa saat. Biarkan aku....”

Hanan bingung. Suara Sami berbeda dari biasanya. Lemah, tapi berat. Ada sesuatu yang Hanan tak tahu. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sami. Apa? Tanpa Hanan sadari, tangannya terangkat membalas pelukan Sami. Dagunya menempel kuat pada bahu Sami.

“Semua akan baik-baik saja...” Hanan mengusap punggung Sami.

“Semua akan baik-baik saja...”

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 5
Berikutnya; Bagian 7