Senin, 15 November 2010

Pelataran Kasih X (Awan Yang Tersibak)

Awan Yang tersibak

Rana

Aku melongokkan kepala kedalam ruangan yang terlihat sepi. Kalau tak salah, memang ini ruangannya. Ruanngan kerja Dimas. Ada beberapa berkas yang harus kusampaikan segera pada Pak Nanta. Dia bilang, rumahnya dilewati Dimas setiap hari. Berkas ini bisa dititipkan padanya supaya sampai lebih cepat.

Agak jengah sebetulnya. Aku lebih suka kalau aku mengutus orang lain yang kemari. Soalnya, Dimas kan satu ruangan dengan Krishna. Aku tak mau bertemu dengannya. Sudah cukuplah, perlakukan ketus yang dilontarkan anak-anak buahku sendiri padaku, tak perlu ditambah Krishna. Tadinya kupikir dia sudah berubah ramah. Nyatanya, Krishna tetaplah Krishna. Benar-benar membingungkan.

“Cari siapa?” seseorang menepukku dari belakang.

“Oh, eh... cari Pak Dimas!” kataku tak bisa menutup rasa malu.

“Bu Nai ya? Ada perlu apa sama saya?” Dimas tertawa.

“Nitip ini buat Pak Nanta. Beliau bilang, rumahnya dilewati oleh bapak. Benar ya?”

Dimas, yang kutaksir seumuran Krishna, mengangguk sambil tersenyum.

“Sini, dijamin sampai dengan cepat dan tanpa cacat.” Dimas menngambil alih berkas yang cukup tebal.

“Maaf, merepotkan.”

“Ah, kalau untuk Pak Nanta sih, tak masalah! Tapi kenapa tidak menyuruh Hani saja?”

“Ah, dia saya minta mengerjakan hal lain.”

“Kalau orang lain?”

Dimas membaca kebimbangan dalam wajahku. Dia mengerti, aku tak mungkin menyuruh orang lain selain Hani. Masalah tentang aku kan sangat populer dikantor ini.

“Maksud saya, kamu kan bisa manggil saya?”

“Masa yang minta tolong manggil yang mau nolong sih!” aku tertawa, menutupi kekakuan yang tiba-tiba tercipta.

“Terimakasih, ya.” Aku segera pamit, mumpung belum bertemu Krishna.

Aku berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Kalau sampai bertemu Krishna, bisa bertengkar lagi deh! Aku lagi malas.

Langkahku yang terburu-buru tiba-tiba terhenti seketika. Sebuah benda didekat vas bunga menarik perhatianku. Perlahan aku menghampirinya. Tak salah, benda ini milik Bernard. Bahkan setelah aku memungutnya dan memperhatikannya seksama. Benda ini memang miliknya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan. Bernard itu... kelihatannya memang sangat sempurna, tapi sebenarnya dia sangat ceroboh...

* * *

“Pak Bernard bilang, langsung saja,” kata Jamie sembari menutup telepon. Aku berjalan beberapa langkah mnuju pintu ruangan Bernard. Bernard mempersilahkanku masuk sebelum aku sempat mengetuknya..

“Ada sesuatu yang penting?” tanyanya to the point. Seperti biasanya. Padahal waktu kecil dulu, dia tak seperti ini. Meski memang, sekarang ada yang mulai berubah.
Dulu, dia akan bertanya seperti itu sambil menghadap pada layar komputernya. Sekarang, dia berdiri sambil sedikit menyandarkan tubuhnya pada mejanya yang kokoh. Dia sengaja menyambutku.

“Kamu itu, kelihatannya saja sangat sempurna, tapi ternyata cerobohnya minta ampun!” aku bersidekap dada, berdiri beberapa langkah darinya.

Bernard mengerutkan keningnya.

“Coba deh, raba semua saku, apa ada sesuatu yang hilang?”

Bernard mengikuti saranku. Dirabanya semua saku. Mulai dari saku kemeja, lalu saku
celana bagian depan dan belakang. “Apa?” tanya Bernard akhirnya.

“Nih!” aku menyerahkan saputangan berwarna pink itu kehadapannya. “Lain kali, barang sepenting ini jangan dibiarkan jatuh sembarangan! Untung yang menemukannya aku. Kalau orang lain, bisa langsung membuangnya tahu nggak!”

Bernard tak bergerak. Matanya terpaku pada sapu tangan ditelapak tanganku. Dia benar-benar membeku.

“Bernard?’ tanyaku meyakinkan kesadarannya.

Diluar dugaan, dia membuang nafas cepat. Muka putihnya tiba-tiba memerah.
“Hh! Ternyata begitu... kenapa selama ini aku...”

“Bernard? Kenapa?”

“Jadi ini maksud dari kata-katamu? ‘Kamu memang selalu nyusahin aku’, ‘Sejak dulu kamu memang tak berubah’, ‘Kamu terus-terusan bikin aku menunggu,’ ... terus apa lagi? O ya, 'kamu masih suka bola?”

“Bernard?” aku semakin tak mengerti dengan sikapnya.

“Bola... bola...,” Bernard bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa aku begitu bodoh, Rana? kenapa aku begitu bodoh?” Bernard tertawa pahit.

“Bernard? Sebenarnya ada apa?”

“Ada apa?” Bernard memandangku. Matanya berkaca, dan kaca itu hampir-hampir saja terpecah berserakan, dan melukai jiwanya. Aku mulai menduga-duga...

“Sapu tangan itu milik Nana kan?” Bernard balik bertanya. Dan aku mengiyakan dengan anggukan kecil.

“Dia di ruang ilustrator, bagian buku anak. Berikan sendiri benda itu padanya. Dia pasti sedang mencarinya sekarang.” Bernard menyambar jas yang tergantung disandaran kursi, kemudian ia memakainya sembari beranjak.

“Jadi Nana itu bukan kamu...,” kataku pada diri sendiri. Mencoba mengutarakan prasangka yang mulai tak kukuasai.

“Krishna. Pemilik sapu tangan itu Krishna.” Dan setelah itu Bernard benar-benar berlalu.

Aku terduduk disofa terdekat. Lemas. Sekarang awan itu telah tersibak. Mentari senja telah jelas terlihat. Dan suara itu terus meraung-raung dalam rongga dadaku.

Krishna. pemilik saputangan itu Krishna...

Allah... aku telah salah menyimpulkan, apa yang harus kulakukan?

Suara seseorang yang membuka pintu membuat tanganku refleks mengusap air mata.

“Rana, kamu baik-baik saja?” Jamie berjalan mendekat kearahku. “Maaf, tapi aku melihat Pak Bernard tak seperti biasanya. Apa kalian bertengkar?” Jamie duduk dihadapanku. Air mukanya berubah ketika melihat sapu tangan yang tengah erat kugenggam. Melihat Jamie seperti itu, pertahananku untuk bersembunyi hancur sudah. Air mataku beruraian dihadapannya.

“Kenapa tak kamu bilang sejak awal? Kamu tahu kenyataan ini sejak dulu kan? Atau kamu memang sudah bersekongkol dengannya? Dengan laki-laki itu? Dengan Krishna? Dengan Nana?”

“Maaf...”

“Kenapa? Kenapa dia tak bilang sejak dulu. Sejak dilift itu, sejak ia melihat diriku yang sebenarnya. Sejak ia menyadri kalau aku adalah Rana yang tengah dicarinya...”

Jamie hanya terdiam.

“Mencari...? Jamie, apa Krishna mencariku selama ini?”

“Krishna duduk menatap senja. Setiap hari...”

Seribu sembilu tiba-tiba menusuk jantungku. Membuatku tak bisa lagi merasakan desah nafasku.

Tak lagi kulihat Jamie. Yang ada dalam pandanganku sekarang hanyalah Krishna. Krishna dengan bola mata berbinar, tengah mengulurkan tangannya padaku.
Aku berdiri, lalu melangkah menjauhi Jamie.

Aku harus menggenggam bayangan yang selama ini merajai mimpi-mimpiku.

* * *

Jam istirahat baru dimulai sepuluh menit yang lalu. Tapi laki-laki itu belum satu sentipun keluar dari ruangannya.

“Ah! Dimana sih?” tubuh itu membungkuk dibawah meja.

“Dikoridor tidak ada, disini juga tidak ada! Tunggu... waktu dipanggil tadi, aku sedang megang itu, lalu kusimpan dimana ya?” dia berdiri dan berpikir beberapa saat. “Aaarrgghhh!!! Bagaimana sih aku ini!”

Aku memperhatikannya diam-diam. Atau lebih tepatnya mengintip? Ah terserah. Yang pasti, aku tak mau melepaskan pandanganku. Menyamakan Krishna dengan Nana yang nakal itu. Kalau diperhatikan, memang sangat mirip. Bahkan sikapnya pun, memang sikap Nana yang dulu. Ah, kenapa selama ini aku buta? Tidak, aku tidak buta. Aku hanya terlalu bahagia karena menemukan sesuatu yang menyempurnakan nyawaku. Ya, aku terlalu bahagia, jadi buta.

Tapi sekarang, aku tak mungkin salah lagi.

“Mencari ini?” aku mendekati tubuh Krishna yang masih membungkuk.

“Oh, God! Terimakasih banget. Aku udah nyari ini dari tadi tahu nggak? Jangan...”
Krishna mengambil saputangan dari tanganku dengan cepat. Lalu kata-katanya berhenti diudara, ketika dia menatap si pemilik tangan. Aku.

“Jangan apa? Jangan bilang siapa-siapa?” aku tersenyum padanya. Sungguh! Anganku sudah meloncat kearah Krishna dan memeluk erat tubuhnya. Benarkah ini Nana? Benarkah aku sudah menemukan Nana? Tapi jasadku hanya diam membeku. Menatapnya tengah terpaku, semakin membuat perasaanku bergolak, namun lemas. Aku terlalu bahagia. Jadi mukamu memerah, dan aku mulai menangis. Menangis sembari tersenyum.

“Rana?” suara Krishna terdengar pelan.

Aku mengangguk. “Ya, aku Rana. Nairana. Yang dulu menunggumu sampai tiga jam.” Aku tertawa, sambil beruraian airmata. Inikah saatnya? Inikah saatnya aku menumpahkan kerinduan yang lama terpendam?

“Oh, sapu tangan ini... dia memang ceroboh ya?” Krishna menimang-nimang saputangan itu. “ Kemarin, aku memungut benda ini, ya... karena aku tahu kalau dia memang ceroboh. Lalu tadi pagi, saat aku mau balikin ini kedia, aku dipanggil bos. Dimas bilang, bos mau negur aku karena kerjaanku nggak beres. Jadi aku panik, Ran. Aku lupa deh sama sapu tangan ini. Jangan marah sama aku ya, ini salah Dimas. Dia yang bikin aku panik. Padahal tahu nggak? Bos mala ngasih aku kerjaan lagi. Tebak! Dua buku!” Krishna mengacungkan dua jari tangannya kewajahku. “Biar kuberikan pada Bernard,” katanya mengakhiri ceracaunya yang tak jelas.

“Bernard yang memberitahuku siapa pemilik saputangan itu.”

Langkah Krishna terhenti. Tubuhnya berbalik dan menatapku masygul.

“Bernard?”

Aku mengangguk.

“Tapi...”

“Aku yang menemukan sapu tangan itu. Lalu aku memberikannya pada Bernard, karena kupikir Nana itu... Hah! Bodohnya aku!” aku menutup mukaku sambil mengusap air mata. “Kumohon Nana..., jangan berbohong lagi, Jangan membuatku menunggu lagi...”
Krishna menatapku lama, lalu beranjak pergi...

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar