9
Hanan terus tertawa sepanjang pagi ini. Sebabnya apalagi kalau ajakan
Sami saat shubuh tadi untuk mengunjungi Ibu hari ini. Hanan langsung ceria,
seolah ia akan menemui ibunya sendiri, bukan ibu mertuanya. Keceriaan Hanan berimbas
pada Sami. Ya, Sami juga ikut tersenyum melihat keceriaan Hanan. Hanan bahkan
bernyanyi-nyanyi kecil, dan bernyanyi keras saat dikamar mandi.
Suara Hanan merdu juga, Sami menikmatinya. Diam-diam, Sami juga ikut
menyanyikan ‘Terimakasih Cinta’-nya Afgan mengikuti suara Hanan. Tapi ditengah
kalimatnya, Sami tercenung tiba-tiba. Kaget dengan dirinya sendiri. Aku
menyanyi? Yang benar saja, aku bernyanyi! Hei! Sejak kapan aku bisa bernyanyi?
Pasti Hanan yang menyebabkannya berbunga seperti ini! Sami tertawa. Awalnya
pelan, tapi makin lama makin keras.
Hanan yang baru keluar dari kamar mandi heran melihat tawa Sami. Sami
yang melihat keheranan Hanan bukannya berhenti, tapi tawanya bertambah keras.
Baru setelah perutnya terasa sakit, Sami terpaksa menghentikan tawanya. Ia
beristighfar berkali-kali.
“Kenapa?”
“Ini semua karena kau,” kata Sami bersama sisa-sisa tawanya.
“Aku?” Hanan melihat dirinya sendiri. “Apa aku terlihat seperti badut?”
tapi tak ada yang aneh dengan dirinya, meski ia hanya menggunakan mantel mandi
dengan handuk seperti rumah siput dikepalanya. Tapi memang itu kostum mandi,
kan? Apanya yang aneh?
“Bukan tentu saja,” Sami mendekat.
“Lalu?”
“Terimakasih,” kata Sami tepat dihadapan Hanan. “Terimakasih,” ulangnya,
kali ini disertai pelukan hangat. “Terimakasih, cinta.”
“Apa?”
“Kau bisa nyanyikan lagi lagu itu?”
Hanan mendengus pelan. Ternyata hanya lagu!
* * *
Hanan meloncat turun dari mobil. Sami khawatir Hanan terjatuh.
Benar-benar gadis kecil! Sami menggelengkan kepalanya pelan.
Setengah berlari Hanan menuju pintu depan dan membukanya sembari
mengucapkan salam dengan keras.
“IBU?” Hanan masuk langsung kedalam ruangan tengah. Tempat duduk seluruh
keluarga.
“Tak perlu keras-keras!” Sami memukul kepala Hanan pelan. “Temukan dulu
Ibu, baru kau menyapanya,” Sami sedikit membungkukan badannya, menyamakan
tinggi mulutnya dengan telinga Hanan.
“Kau juga tak perlu berbisik begitu, seperti mengatakan hal yang rahasia
saja,” Hanan mencibir.
“Sudah kuduga kau akan datang, Hanan!” Ibu keluar dari kamarnya sembari merentangkan tangannya. Serta merta,
Hanan menghambur kepelukan Ibunya. “Dan kau, Sami, jangan melarangnya bereriak,
biarkan saja. Cuma Hanan yang bisa membuat rumah ini terasa ramai!”
“Bagaimana Ibu tahu aku akan datang?” Hanan dan Ibu berjalan beriringan
dan duduk diatas sofa.
“Benar-benar kejam,” Sami berkata lirih.
“Apanya yang kejam?” Ibu menoleh pada Sami.
“Ibu melakukan tiga kekejaman padaku,” Sami ikut duduk.
“Tiga?” tanya Hanan.
“Kekejaman?” Ibu melanjutkan pertanyaan Hanan.
“Pertama, Ibu hanya punya firasat tentang kedatanganmu, Hanan. Bukan
aku.”
“Oh, ya Tuhan,” Ibu mendesah.
“Kedua, Ibu hanya memeluk dan menyambut Hanan. Tidak aku. Tiga, Ibu
menyapaku dengan teguran untuk membela Hanan. Sekarang aku bertanya pada
diriku, yang menantu itu siapa?”
“Sami, jangan katakan padaku, kau iri pada Hanan. Dia istrimu.”
“Oh, biarkan saja dia bicara, Ibu. Sekarang katakan padaku, bagaimana Ibu
tahu aku akan datang? Apa ada kupu-kupu indah yang hinggap dirumah ini tadi
padi?” Hanan melebarkan matanya cerah.
Tapi sebelum Ibu menjawab, tawa Sami terdengar tiba-tiba. Membuat Ibu dan
Hanan menoleh.
“Siapa itu yang tertawa?” Ayah masuk dari ruangan belakang.
“Ah, Ayah, maaf tawaku terlalu keras. Bagaimana kabar Ayah?” Sami berdiri
dan mencium tangan Ayah.
“Ayah baik-baik saja. Apalagi setelah mendengar tawamu barusan,” Ayah
tersenyum. “Ayah baru tahu ternyata kau bisa tertawa sekeras itu.”
“Kalian baru tahu?” Hanan melihat Ayah dan Ibu bergantian. “Kau
benar-benar jaim, ya?” Hanan meninju bahu Sami. “Asal Ibu dan Ayah tahu saja,
Sami tertawa seperti itu sejak aku mengenalnya.”
“Oya? Sami sering tertawa seperti itu?” sekarang Ibu yang heran. Sami
belum pernah tertawa seperti itu seingatnya.
“Sering sekali. Bahkan kadang-kadang, dia tidak memberitahuku kenapa dia
tertawa. Sami ingin menghabiskan tawanya sendirian!”
“Bukan begitu,” Sami berpindah duduk, kali ini duduk ditangan sofa agar
bisa dekat dengan Hanan. “Itu karena aku menertawakanmu,” Sami mengacak kepala
Hanan. “Kalian tahu? Hanan selalu mengatakan hal-hal yang aneh! Barusan juga,
Hanan bilang tentang kupu-kupu indah yang memberitahukan kedatangannya.
Benar-benar deh!”
Ibu dan Ayah saling pandang. Sami tertawa hanya karena itu? Mereka
kemudian tersenyum bahagia. Sami sudah berubah banyak. Terutama kali ini.
Setelah ini, pasti akan ada kejutan-kejutan lainnya sepanjang hari ini.
“Kenapa?” Sami melihat Ayah dan Ibunya heran.
“Kau tahu mengapa kami tersenyum Sami, kau banyak berubah.”
Tentu saja Sami menyadari hal itu. Maka dia tersenyum.
“Sekarang aku yang terasing. Sebenarnya ada apa?” Hanan melihat mereka
bertiga bergantian.
“Kau selalu saja ingin tahu,” Sami mengacak lagi kepala Hanan.
“Sudah kubilang, jangan bersikap seolah-olah aku ini anak kecil!” Hanan
menepis tangan Sami.
“Dia sayang padamu, Hanan.” Ayah membela Sami.
“Tapi Ayah tak pernah mengacak kepala Ibu kan?”
Sekarang Ayah dan Ibu yang tertawa.
“Lihat kan? Kau selalu membuat orang tertawa,” Sami berbisik ditelinga
Hanan.
“Aku bukan badut!” Hanan cemberut.
“Kalau kau cemberut, kau semakin terlihat seperti badut!”
“Sami!” Hanan hendak memukul Sami, tapi Sami keburu mendekapnya dari
belakang. Ayah dan Ibu terlihat begitu lega. Sami berubah.
“Ramai sekali....” Sarah tiba-tiba datang dari pintu depan, tangannya
menuntun putra kecilnya, dan dibelakang A’ Ilham mengikutinya. “Sudah kuduga,
pasti ada Hanan!”
Hanan tersenyum dan menyambut Sarah. “Bagaimana kabarmu, Kak?” Hanan
memeluk Sarah. “Lalu bagaimana kabar si tampan ini?” Hanan membungkukkan
badannya meratakan matanya dengan putra Sarah. Lalu menggendongnya sayang.
“Sepertinya ngantuk ya?” Rafli, putra Sarah itu menggosok matanya dengan
punggung tangannya.
“Tadi dia bangun pagi sekali. Pastinya dia ngantuk sekarang,” kata Ilham
sembari berkeliling mencium tangan dan bertukar salam dengan Sami.
“Mana Huda?” Sarah menengok keatas.
“Iya, aku juga belum bertemu,” kata Hanan.
“Kalian juga baru datang?”
“Begitulah,” Sami yang menjawab. Ia mendekat kearah Hanan dan tersenyum
pada Rafli. “Kau tambah besar ya?”
“Dia tampan ya? Mirip Kak Sarah!” Hanan meminta persetujuan Sami.
Sementara Rafli menyandarkan kepalanya didada Hanan. Dia memang mengantuk.
“Oya?” Sami melihat wajah Hanan. “Tampan mana dengan aku?”
Semua terdiam. Terpana dengan kata-kata Sami. Sami mengatakan itu? Apa
itu Sami? Mulut Sarah sampai menganga sembari melihat Ibu, Ayah dan suaminya
bergantian. Kalian dengar itu?
“Memangnya, kau mau dibandingkan dengan anak kecil?” Hanan tertawa.
“Tapi aku belum pernah dengar kau memuji wajahku,” Sami berkata serius.
Hanan menyadari sesuatu yang aneh dari keluarga mereka. “Kau membuatku
malu!” Hanan berbisik.
“Katakan dulu.”
“Kau tampan. Puas?” Hanan mengerucutkan bibirnya. “Aku tidurkan Rafli
dulu ya?” Hanan berpamitan pada semua. Sami benar-benar membuatnya malu...
“Aku paling suka kalau lihat Hanan malu seperti itu. Dia terlihat lebih
cantik. Pipinya jadi merah, seolah-olah segumpal darah berkumpul disana,” Sami
berkacak pinggang memandang kepergian Hanan kemudian menoleh pada keluarganya.
Melihat mereka syok sembari memandangnya, Sami sadar, dia melakukan hal aneh.
Sekarang Sami yang malu. “Eh, aku ... akan menyusul Hanan.” Lalu tanpa menunggu
apapun lagi, Sami benar-benar menyusul Hanan kekamar atas.
“Kalian dengar itu?” itu suara Sarah. “Hanan benar-benar hebat!”
Suara obrolan yang masih sampai ditelinga Sami membuatnya berjalan lebih
cepat. Wiuh! Hanan memang membuatnya banyak berubah! Aku tak pernah malu
seperti ini sebelumnya! Awas saja, gadis itu pasti akan mendapatkan balasannya!
Sami tersenyum riang.
* * *
Hanan dan Sami meninggalkan Rafli dengan gerakan lambat. Khawatir suara
gerakan sekecil apapun, akan membangunkan anak itu. Hanan meninggalkan pintunya
terbuka, jadi jika Rafli menangis, mereka bisa langsung tahu.
Sami menarik Hanan berjalan ke balkon.
“Aku sangat suka melihat langit dari sini,” Sami berdiri di balkon,
tangannya berpegangan pada pagar balkon.
“Ya. Langit adalah pemandangan paling indah. Benar kan?”
Sami membenarkan. Dengan awan yang tebal bergulung, atau awan menyemai
tipis, atau bahkan mendung dengan halilintar, langit tetap hal terindah yang
enak dilihat. Dan langit yang mereka lihat sekarang sedikit kelabu. Sepertinya
akan hujan beberapa saat lagi. Beberapa
saat, mereka asyik dengan pikiran mereka masing-masing.
Sami memandang Hanan dari samping. Bibir Sami menggariskan senyuman,
seolah-olah, Hanan adalah orang yang paling dikaguminya. Dimata Sami sekarang,
keindahan langit telah tersaingi, hanya oleh wajah Hanan tentu saja. Keindahan
yang tak pernah bosan untuk diperhatikan.
“Kau pasti mendapatkan mata itu dari ayahmu, benar?” tanya Sami
tiba-tiba. Itu maksudnya, Sami menyukai mata Hanan.
“Sepertinya,” jawab Hanan ringan.
“Sepertinya?”
“Aku belum pernah lihat wajah ayah, sih!” Hanan meringis tersenyum. Sami
terhenyak. Belum pernah lihat wajah ayah? Dan Hanan mengatakan itu seperti
mengatakan, ‘aku belum ketemu ayah seminggu, sih!’ Ringan banget.
“Kau tak ingin melihatnya?”
Sami berhasil menyentuh hati Hanan yang paling dalam. Sisi paling
sensitif dalam jiwanya. Hal yang paling peka, disentuh oleh Sami, seseorang,
yang entah sejak kapan,menjadi seseorang yang berarti bagi dirinya. Tenggorokan
Hanan menjadi tercekat. Jika orang lain yang bertanya, reaksinya tak akan
seperti ini.
“Dia... adalah ambisiku,” kata Hanan pelan. Menahan gumpalan-gumpalan
emosi yang berdesakan minta dikeluarkan.
Sami melihat kesenduan diwajah
Hanan. Seketika, ia menjadi mengerti.
“Aku tahu,” Sami mengulurkan tangannya dan mendekap Hanan.
“Hidup bersamanya adalah impianku yang paling besar. Kebahagiaanku...,”
Hanan tak sanggup bicara lagi. Ia terdiam menahan isak yang sudah sampai
pangkal lidahnya. Maka ia terus menelan ludahnya. Memasukkan kembali
desakan-desakan isak yang terus berjejal.
“Kau ingat siang itu? Saat kau menangis lama didadaku?” Sami
menelungkupkan wajah Hanan dipundaknya. “Kau bisa melakukannya lagi jika kau
mau.”
Hanan diam. Seolah mengerti dengan kata-kata Sami, isak itu semakin
mendesak keluar, dan pertahanan Hanan roboh sudah. Ia menangis keras.
“Aku ingin bertemu dia Sami...”
Sami mencium kepala Hanan.
“Kenapa dia meninggalkanku? Apa dia tak tahu kalau aku ini ada?”
Sami mengeratkan pelukannya, seolah ingin menyelubungi Hanan sepenuhnya.
Menyelimutinya agar Hanan merasa hangat. Melindunginya, agar siapapun tak
berani mengusik Hanan. Sami memejamkan mata. Hanya dia yang akan menjadi tempat
menangis bagi Hanan. Hanan akan aman bersamanya, akan bahagia bersamanya.
“Apa salahku padanya sampai dia tak mengijinkan aku melihatnya! Apa
salahku?” Hanan terus bicara sambil menangis. Tangis perih. Seperti tangis
seorang anak yang mainan satu-satunya direbut orang lain.
“Kenapa dia meninggalkanku...”
Sami mencium kepala Hanan. Kali ini berkali-kali, bertubi-tubi. Aku
disini Hanan...
Sebuah tangan mengusap airmata. Bukan tangan Sami, juga bukan air mata
Hanan. Tapi tangan seseorang yang mengurai airmata hanya beberapa jarak dari
mereka.
Sami dan Hanan berdiri dibalkon tepat didepan sebuah jendela. Jendela
yang menghubungkan balkon itu dengan ruangan luas penuh buku. Ruang baca. Tanpa
Sami dan Hanan ketahui, sejak tadi, Huda memperhatikan mereka dari dalam.
Huda melihat pandangan Sami pada Hanan, juga perhatian Sami yang begitu
besar pada Hanan. Meskipun mereka sangat dekat, sekalipun, Sami tak pernah
memandangnya seperti itu. Juga tak pernah merengkuhnya seperti tadi. Sami tak
pernah mendengar keluhannya sedetik pun, karena jika mereka bertemu, Sami-lah
yang banyak mengeluh padanya, dan Huda menenangkannya.
Huda mengusap airmatanya sekali lagi. Bukan untuk kesedihan Hanan, tapi
untuk keperihan hatinya karena Sami.
Huda berbalik, tak tahan untuk melihat lagi, ia berlari menuju kamarnya.
Hanya dikamarnya sendiri, ia bisa menangis sesuka hatinya.
“Sudah selesai? Sudah lega sekarang.” Sami mengurai pelukannya dan
sedikit merendahkan kepalanya untuk melihat wajah Hanan. Wajah yang penuh
airmata. Sami meraba saku celananya, mencari sapu tangan. Tapi, memang kapan
Sami punya saputangan? Tapi mengusap airmata seorang wanita biasanya
menggunakan saputangan kan? Gimana dong, Sami kan tak punya?
Entah mendapat ide darimana, Sami menarik ujung kaosnya untuk mengusap
airmata Hanan. Hanan jelas kaget, hingga ia tertawa. Sami melihatnya heran.
Baru saja menangis, sekarang sudah tertawa?
“Maaf,” Hanan menghentikan tawanya. “Kau aneh!” Hanan menjauhkan kaos
Sami dari pipinya. Sami mengerti dan tersenyum.
“Habis, tak punya saputangan, tapi tak apa, bisa membuatmu tertawa lagi
kan?” Sami tersenyum dan mengangkat kedua alisnya yang panjang hingga
melengkung keatas. “Hm?” Sami meminta persetujuan Hanan.
“Terimakasih, Sami.” Hanan mengecup bibir Sami cepat. Mata Sami
membeliak.
“Itu tanda terimakasihnya? Benar-benar tak setimpal.”
“Suatu saat kalau kau butuh tempat untuk bersandar, aku punya ini yang
siap kapanpun kau mau,” Hanan menepuk pundaknya.
“Sungguh?”
Hanan mengangguk kuat.
“Akan kucatat itu.”
“Aku janji.” Hanan mengacungkan jari kelingkingnya. Sami memandangnya
sesaat.
“Janji juga, kau hanya akan menangis padaku?”
“Janji.” Lalu kedua kelingking mereka bertaut, dan mereka tertawa
bersama.
* * *
“Sayang sekali, keramaian ini akan hilang dalam sekejap,” Ibu mendesah.
Mereka berkumpul dan mengobrol banyak setelah mereka selesai makan malam.
Makan malam yang ramai dan menyenangkan. Jarang sekali mereka berkumpul seperti
ini.
Sarah sedang mempersiapkan tas bayinya. Memeriksa isinya, meyakinkan tak
ada yang terlewat. “Minggu depan kami kesini lagi, Bu.”
“Haah..., rasanya seminggu itu lama sekali...”
“Jangan seperti anak kecil,” Ayah tertawa. “Ada Huda yang menemani kita.
Tak akan terlalu sepi.”
“Saya minta maaf, Bu. Kalau saja kami bisa menginap, kami pasti menginap.
Tapi bukan malam ini,” Ilham memakai sepatunya.
“Sini, Rafli. Sama Mama,” kedua tangan Sarah terulur pada Hanan, meminta
Rafli yang tengah tertawa-tawa bersama Hanan. Hanan enggan memberikannya.
“Hanan, berikan Rafli,” Sami menyentuh Hanan.
“Ah,” Hanan masih enggan, tapi tak urung ia menyerahkan juga Rafli.
“Kapan kau pinjamkan Rafli padaku? Sehariiii... saja.”
“Seperti Rafli barang saja,” Sami tertawa.
“Kau buat sendiri lah, jangan pinjam punyaku,” Sarah tersenyum dan
menggendong Rafli.
Hanan terdiam cemberut. “Emang segitu mudahnya bikin anak? Kayak bikin
kue aja!”
“Mudah kok!” Sami berbisik. Bisikan yang cukup terdengar semua orang dan
mengundang tawa. Kecuali Huda.
“Jangan dulu bawa Hanan pulang ya, Sami. Sebentar saja lagi,” Ibu berkata
pada Sami setelah Sarah dan Ilham tak lagi bersama mereka.
“Pulang?” Sami mengerutkan keningnya. “Sepertinya Hanan mau nginep
disini. Iya kan, Hanan?”
Mata Hanan melebar. “Boleh?”
“Tentu saja!” Sami mengambil sepotong brownis dan memasukannya kemulut
dalam sekali suapan.
Bukan hanya Hanan yang kaget, tapi Ibu, Ayah, juga Huda.
Sejak mereka berdua menikah, mereka tak pernah menginap jika berkunjung.
Tak pernah sekalipun. Tapi sekarang? Apa tak salah?
Sami mengambil remote dan memindahkan chanel tivi. Tak menyadari
bagaimana syok-nya orang yang mendengar perkataan Sami. Ya, sebenarnya Sami
menyadari juga kekagetan mereka. Tapi biarkan saja, toh Sami tak bisa
mengutarakan alasannya. Ia tak mungkin bilang, kalau dulu ia tak mungkin
menginap disini, karena mereka belum tidur bersama. Dan sekarang mereka bisa
menginap disini karena sudah tak ada yang disembunyikan. Mereka telah berdamai.
Dan, ya, tidur bersama. Jadi menginap pun tak masalah kan?
Setelah kekagetan mereka hilang, mereka larut dalam obrolan dan tawa
bahagia. Hanan menginap disini! Itu adalah pengalaman pertama! Jelas itu
mengundang kebahagiaan tersendiri bagi Ibu dan Hanan.
“Semalam ini, aku akan punya gadis kecilku lagi, setelah Sarah menikah.”
Ibu memeluk Hanan.
“Ah, Ibu..., kan Huda juga gadis Ibu,” Hanan tak enak pada Huda yang
sedari tadi diam memandang tivi.
“Iya, Huda gadisku. Tapi Huda kan dewasa dan anggun. Tidak seperti kamu
yang ramai!” Ibu tersenyum.
“Ayolah, Ibu-ibu. Kapan kalian tidur? Ini sudah larut!” Sami mengambil
lagi remote dan memindahkan lagi chanel.
“Sami, jangan dipindah lagi! Kau membuatku pusing. Sebenarnya apa yang
Sami tonton?”
“Tidak ada,” Sami mengangkat bahu dengan santai.
“Sudah saja yang tadi. Itu film detektif kan? Ibu ingin tahu, siapa
jadinya pembunuh itu.”
“Yang ini?” Sami memindahkan kembali chanel. Lalu bertahan sebentar di
film Mission Imposible-nya Tom Cruise. Tapi kemudian memindahkan lagi channel.
Dan kali ini tak ada yang protes, karena Ibu dan Hanan kembali ngobrol dengan
asyik.
“Huda? Kau tak ikut ngobrol?” Sami menyapa Huda untuk pertama kali sejak
kedatangannya hari ini.
Huda tersentak. Dan Hanan memanjangkan telinganya. Meski ia melihat bibir
Ibu yang tengah berbicara, ia sebenarnya menantikan jawaban Huda. Apa yang akan
Huda katakan, dan selanjutnya, apa yang akan mereka obrolkan? Apa mereka memang
akan ngobrol setelah kalimat itu? Hanan merasa was-was, dan berusaha setengah
mati menyembunyikan was-wasnya dari Ibu.
Huda menoleh pada Sami. Dan dadanya tiba-tiba terasa berat melihat tangan
Sami yang tersapu matanya. Sial! Tangan itu terus memainkan jemari Hanan sejak
tadi. Apa Sami tak sadar dengan apa yang dilakukannya? Lagipula, ini bukan
rumah mereka, seharusnya Hanan melepaskan diri dari tangan Sami. Dasar
perempuan udik! Tak tahu sopan santun.
“Aku sudah ngantuk. Aku permisi duluan,” Huda berdiri dan beranjak
meninggalkan mereka. Ia terlihat marah. Sami tidak terlalu memperhatikan, tapi
Hanan dan Ibu memperhatikan dan lebih dari itu, mereka tahu apa sebabnya.
“Huaah... Ayah juga,” Ayah menguap dan membubarkan dirinya sendiri.
“Nah kalau Anda berdua Ibu-Ibu yang manis? Kapan Anda berdua akan
mengantuk?”
“Ibu belum mengantuk.”
“Aku juga,” Hanan membeo. “Kami akan bicara sepanjang malam,” Hanan
meringis tersenyum.
“Apa? Terus aku?” Sami melihat Ibu, memelas. “Kau mau cepat punya anak
kan, Hanan?” sedetik setelah Sami mengatakan itu, ia mendapat cubitan keras
dari Hanan.
“Ya sudah Hanan, pergilah tidur.”
“Tapi kan aku masih kangen,” Hanan merajuk.
“Lihat Sami, dia benar-benar sudah ngantuk.” Ibu menunjuk Sami dengan
dagunya.
“Lagipula Hanan, Ibu harus istirahat,” Sami merasa diatas angin.
Akhirnya Hanan memang mengikuti Sami masuk kamar. Tapi sebelum
benar-benar masuk, Hanan berdiri mematung memandang pintu yang tertutup didepan
kamar Sami. Pintu itu kamar Huda. Sudah gelap, tak ada cahaya dibawah pintu.
Tapi apakah telinga Hanan yang salah dengar, Hanan mendengar suara tangisan
sayup. Hudakah? Hanan baru mau melangkah mendekat, memastikan, tapi Sami
menarik tangannya dan menutup pintu.
“Saatnya tidur.”
Tapi bisakah Hanan tidur? Suara tadi memang tangisan. Huda menangis
karena dirinya? Hanan mendesah. Ia juga ingat kemarahan Huda tadi. Hanan yakin,
Huda marah karena Sami begitu memperhatikannya. Lagipula Sami, benarkah ia
memang memperhatikan Hanan? Apakah sikap Sami hari ini, hanya untuk
memperlihatkan pada Huda, bahwa Huda sudah tak boleh lagi berharap padanya.
Atau memang karena Sami mulai mencintai dirinya? Jika harus dibandingkan, ia
sama sekali tak memiliki kekuatan apapun untuk bisa menyaingi Huda. Dari
kecantikan, kecerdasan, apalagi keanggunan. Hanan kalah telak. Apakah Sami
mungkin akan berpaling dari perempuan dengan nilai sempurna kepada dirinya yang
hanya bernilai lima?
Hanan melihat punggung Sami, ia tidur menghadap dinding. Tiba-tiba Hanan
merasa takut kehilangan Sami. Ia cepat mendekap Sami dari belakang.
“Aku mencintaimu, Sami. Aku sangat mencitaimu,” bisik Hanan.
Sami membuka matanya. Diam. Dan ia berpura-pura telah tertidur. Hari ini
banyak yang terjadi. Huda, maafkan aku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar