1
Gadis kecil berkulit kuning itu
menghentikan langkahnya. Sebuah pemandangan membuat matanya terpaku.
Matahari di ufuk barat terlihat
memerahkan padang rumput yang terhampar dihadapannya. Seorang laki-laki remaja
yang memakai jubah coklat membelah bayangan matahari. Ia diam berdiri.
Tangannya menggenggam busur dan anak panah yang siap dilesakkan.
Mata gadis itu berpindah pada arah
anak panah. Nun jauh disana, seekor anak kijang keluar dari rombongannya. Ia
tengah asyik memakan rumput. Beberapa saat kemudian, anak panah itu terlempar
dari busurnya, lalu melesat bagai kilat dan menembus dada sang kijang.
Refleks, gadis itu bertepuk tangan.
“Hebat!”
Laki-laki itu tersentak dan menoleh
keasal suara.
“Kau hebat!” gadis itu tertawa. Tapi
tawanya terhenti tiba-tiba ketika wajah lelaki itu tertangkap matanya. Dia
berbeda dengan dirinya. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan matanya besar.
Rambutnya dipotong pendek, tak memiliki kepang panjang seperti seharusnya.
“Kau dari mana? Apakah putra dewa dari
langit?” gadis kecil itu bertanya penuh rasa ingin tahu.
Mendengar pertanyaan itu, anak remaja
tadi tertawa hingga giginya yang putih terlihat jelas. “Apakah Dewa punya
anak?” tanyanya ditengah tawa.
“Tentu saja,” gadis itu mengangguk.
“Paman Hu bilang begitu.”
“Oh..., maaf,” lelaki itu berusaha
menghentikan tawanya. “Tetapi Tuhanku tak mempunyai anak dan tak lahir dari orang
tua. Aku juga tidak turun dari langit...” anak remaja itu menyibak rambutnya
dari depan kebelakang. Membuat rambut pendeknya tersapu dan sebentar menari
liar. Gadis kecil itu terkesima, tak ada seorang lelaki pun yang pernah
melakukan gerakan seperti itu. Tak ada juga yang memiliki rambut yang
bergerak-gerak nakal seperti rambut milik kakak yang satu itu.
“PUTRI YU LAN!”
Dua orang perempuan berlari lelah
dibelakang gadis itu. Langkah mereka tertatih dan berhenti tepat setelah tangan
mereka menangkap bahu sang gadis yang mereka panggil Tuan Putri.
“Sudah Tuan Putri... kami sudah
lelah.... bagaimana kalau sekarang kita pulang?”
Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya
mengatakan, “Kalian lambat!”, dengan pelan tapi ketus. Gaya bicara khas seorang
putri.
“Benar, kami memang lambat. Kami ini
sudah tua, Tuan putri. Bagaimana jika sekarang kita kembali saja? Yang Mulia
pasti mencari kita.”
Gadis kecil itu menoleh pada kakak
yang kini tengah lekat memandangnya. Pandangan mereka saling memaku beberapa
saat, sebelum gadis kecil itu akhirnya beranjak.
Remaja itu tertegun. Tuan Putri? Tapi
gadis tadi tak seperti Tuan Putri. Paling tidak, tak memiliki ciri-ciri yang
dikatakan ayahnya. Memakai papan hitam tipis di rambutnya, mengenakan dua
cincin panjang dijarinya, melambai-lambaikan sapu tangan, dan memakai sepatu
dengan sol tinggi dibagian tengahnya. Gadis tadi hanya memakai pakaian biasa
yang memang berbahan mahal, dan rambutnya hanya berkepang dua. Tapi ‘Yang
Mulia’ yang dikatakan perempuan setengah baya tadi?
Ah, mungkin gadis tadi memang keluarga
Kaisar yang tengah melakukan perjalanan. Lagi pula tempat ini memang jauh dari
istana.
Remaja itu baru saja hendak beranjak,
ketika sebuah kilau tertangkap matanya. Kakinya berjalan mendekati benda itu.
Sebuah batu bulat-bulat yang membentuk untaian itu tergeletak tepat ditempat
gadis tadi berdiri. Perlahan, ia memungut benda itu. Lalu alisnya bertaut.
“Giok?”
*
* *
“Kemana saja kalian? Yang Mulia sudah
menunggu kalian dari tadi!” suara Permaisuri Yuan menyambut mereka ketika
datang. “Bukankah sudah kubilang, kalau hari ini dia tak boleh keluar selangkah
pun?!” Permaisuri memandang dua inang itu dengan marah.
Yu Lan yang berdiri diantara mereka
memandang inang yang tertunduk dengan rasa bersalah. “Maaf Permaisuri, aku yang
salah. Aku yang memaksa mereka.”
“Memang kau yang bersalah! Dasar anak
nakal! Sekarang juga kau disuruh menghadap Huang-ah-ma! Segera penuhi!”
Yu Lan, gadis cilik berusia 10 tahun
itu segera berlari setelah memberi hormat sekedarnya, meninggalkan gelengan
kepala pelan pada kepala Permaisuri.
Baba memanggilnya. Apa lagi kalau
bukan marah? Yu Lan telah menunda waktu perjalannya. Tapi diwajah gadis itu,
tak tampak sedikitpun kekhawatiran. Dia malah berlari riang, dengan matanya
yang berbinar dan pipinya yang memerah.
“Huang-ah-ma...!” teriaknya lantang.
“Berlutut dan beri hormat!” Kaisar
memandangnya penuh amarah.
Yu Lan menjatuhkan tubuhnya dan
berdiri dengan kedua lututnya. “Semoga Yang Mulia panjang umur.” Yu Lan hendak
berdiri ketika Kaisar kembali berkata, “Terus berlutut! Dan kau akan terus
seperti itu hingga besok pagi!”
Yu Lan tersentak. Berlutut hingga
esok?
Para Pengawal saling pandang, termasuk
Pangeran Hu Zuang, kaki tangan Kaisar yang tak lain adiknya sendiri. Ia
memandang Yu Lan dengan iba. “Yang Mulia, Tuan Putri masih kecil. Saya rasa...
dia belum sepenuhnya mengerti.”
“Tapi mengapa bersujud hingga esok?”
suara Yu Lan mendahului Kaisar yang baru saja hendak membuka mulut untuk
membantah Pangeran Hu Zuang. “Biasanya memukul pantatku, atau menyuruhku
membaca Kitab Budi Pekerti dan menghafalnya, atau...”
“Cukup!” Mata Kaisar hendak keluar
dari tempatnya.
“Berapa lama Huang-ah-ma memikirkan
hukuman yang baru itu?”
“Pembangkang! Berkemas! Kita akan
kembali ke istana sekarang juga! Dan kau,” telunjuk Kaisar menunjuk Yu Lan,
“hukumanmu akan diberikan sesampainya di istana!”
Kaisar meninggalkan tempat tanpa
menoleh lagi pada Yu Lan.
Hu Zuang menghampiri Yu Lan dan
memandangnya lembut, ia diam sesaat menyembunyikan kekhawatirannya. “Mengapa
kau selalu membangkitkan kemarahan Baba, Yu Lan?” kata Pangeran Hu Zuang
setelah ia menarik nafas panjang. Ia mensejajarkan wajahnya dengan wajah Yu
Lan. Di belainya rambut Yu Lan sayang.
“Karena hanya dengan hukuman Baba mau
bicara denganku.” Gadis kecil itu membalas tatapan Pangeran Hu Zuang dengan
sorot yang tak bisa ia terjemahkan. Sorot mata yang membuat dada Hu Zuang
terhenyak.
Gadis ini...
*
* *
Yu Lan memejamkan matanya silau.
Keringat tak henti mengucur dari balik poninya. Ia mulai merasa pening.
Sudah berapa lama ia berlutut disini?
Yang pasti sejak matahari muncul tadi pagi hingga sekarang makhluk bundar itu
sudah berada tepat diatas kepalanya. Ia sangat lelah. Ia pening, dan ia lapar.
Tubuhnya juga sudah matang terpanggang, bahkan kakinya sudah kaku tak berasa.
Tapi ia ingin bertahan. Ia hanya ingin
Babanya tahu, bahwa tubuh kecilnya bisa menerima tantangan seberat apapun dari
Baba. Tapi mampukah ia bertahan? Ketika sekarang pandangannya sudah mengabur?
Lalu ketika matanya benar-benar terpejam, pandangan akhirnya menangkap bayangan
dua inangnya yang berlari kearahnya bersama Hu Zuang.
“Tuan Putri...!”
Sayup-sayup teriakan mereka sampai di
telinga Yu Lan yang mulai tak sadar.
*
* *
“Kau terlalu keras padanya Yang
Mulia...,” suara Hu Zuang terdengar memenuhi Istana Bunga Musim Semi. Istana
yang dikhususkan untuk Yu Lan.
Lelaki yang dipanggil Yang Mulia itu
tak menjawab. Ia hanya menarik nafas berat dan mendesah. Jelas, ia tengah
merasakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Ia ingin mendidik Yu Lan,
bukan menyiksanya. Ia bahkan mencintai Yu Lan melebihi rasa cintanya pada
putra-putri-nya yang lain. Bahkan terhadap Putra Mahkota sekalipun. Tapi Yu Lan
benar-benar seorang pembangkang. Gadis kecil itu, tak pernah mau menuruti
perintahnya. Semua peraturan yang ada, yang harus dipatuhi oleh putri-putrinya
yang banyak itu, hanya akan mengundang hukuman bagi Yu Lan. Karena Yu Lan tak
pernah mau mematuhinya.
Kaisar kembali mendesah. Ingatannya
pada Ibu Yu Lan, Selir Su Zu, menambah kesedihannya bertambah-tambah. Selir Su
Zu, kenapa dia tak mau berlama-lama menemaniku?
“Bagaimana jika Yang Mulia melakukan
kesepakatan dengannya, Yang Mulia?” kata Hu Zuang menyentak lamunan Kaisar.
Dilihatnya Hu Zuang. Adiknya itu selalu melindungi Yu Lan. Dia begitu menyayangi
Yu Lan.
“Kesepakatan bagaimana?” tanya Kaisar.
“Anda yang lebih mengetahui hal itu,
Yang Mulia. Tapi satu hal yang harus kita mengerti, jika kita ingin kelembutan
dari seseorang, maka kita-lah yang terlebih dahulu harus bersikap lembut.
Bukankah demikian Yang Mulia?” Hu Zuang menyatukan lengannya didepan kepala,
tanda hormatnya pada Kaisar. Jika Hu Zuang bersikap resmi seperti ini, itu
artinya, urusan yang tengah dibicarakannya sesuatu yang sangat serius.
Sejenak, Kaisar merenung.
Menimbang-nimbang kata-kata Hu Zuang.
“Kita sudah menerapkan berbagai cara
padanya, tapi cara kita tidak pernah berhasil. Tidak ada salahnya kalau cara
yang ini kita coba juga, anggap saja sebagai cara terakhir.”
Kaisar tersentak. Ia memandang Hu
Zuang yang tengah tertunduk. Namun belum sempat ia mengatakan sesuatu, teriakan
salah seorang inang pengasuh membuatnya tersentak untuk kedua kali.
“Ah, Tuan Putri sudah siuman!” karena
saking senangnya, ia lupa kalau disana ada Kaisar.
Kaisar berdiri bergegas dan
menghampiri ranjang. Dilihatnya wajah Yu Lan dengan khawatir.
“Bagaimana keadaanmu?” Kaisar duduk
disamping tubuh Yu Lan yang tertutup selimut tebal berwarna merah.Tangan
kanannya meraba kening Yu Lan. Tapi Yu Lan merenggut dalam tatapannya. Tidak,
bukan merenggut karena takut, tapi merenggut karena rasa tak percaya. Tak
percaya dengan kebaikan hati Kaisar.
Melihat tatapan Yu Lan yang seperti
itu, Kaisar menarik kembali lengannya. Ia kembali mendesah. Dulu, Selir Su Zu
juga pernah menatapnya seperti itu ketika pertama kali ia datang ke istana ini.
Tapi Hu Zuang menerjemahkan desahan Kaisar sebagai desahan penyesalan atas
sikap Yu Lan.
“Yu Lan, Baba tadi sangat
mengkhawatirkanmu...”
Yu Lan tak meninggalkan tatapannya
dari Baba. Tatapan tanpa kepercayaan.
“Periksa lagi dia, dan suruh dia
makan,” Kaisar berdiri dari duduknya dan berbicara pada tabib istana dan pada
inang pengasuh Yu Lan. Lalu semua mengantar kepergian Yang Mulia dengan tanda
hormat. Tapi tiba-tiba Kaisar berhenti. Ia seperti baru mengingat sesuatu yang
ia lupakan.
“Aku akan mengizinkanmu keluar
istana,” ia berbalik memandang Yu Lan. “Hanya satu hari dalam sebulan. Jika kau
melanggarku lagi, keleluasaan itu akan kucabut.”
Yu Lan tersentak, ia memandang Baba.
Tapi belum lagi pandangannya bertemu pada mata Kaisar, Kaisar sudah
berbalik dan pergi. Sebelum pergi
mengikuti Kaisar, Hu Zuang masih sempat memberikan anggukan senangnya pada Yu
Lan.
“Ah, kami ikut senang Tuan Putri...,”
dua inang dan dua pengawalnya berkata bersamaan. Yu Lan memang senang. Tapi
perasaan senangnya sedikit saja. Selebihnya, malah kekhawatiran dan kecurigaan.
Keluar satu hari dalam sebulan...
Sekarang Yu Lan mulai berpikir tentang
perubahan Baba. Apa dia memang berubah menjadi seseorang yang memiliki cinta,
atau semua karena hatinya sedang senang saja? Mendapatkan seorang selir baru
misalnya? Yu Lan tersenyum sinis. Lalu berapa bulan akan bertahan? Mungkin
hanya sekali, atau mungkin tak akan sama sekali. Ya, kalau berita ini sudah
terdengar Permaisuri dan Ibu Suri, mereka tak akan diam saja peraturan
‘keluarga kerajaan’ mereka dilanggar.
Tapi Yu Lan salah. Keleluasaan untuk
Yu Lan berlangsung berkali-kali. Ya, berkali-kali, bahkan sampai Yu Lan sendiri
lupa untuk menghitungnya. Permaisuri memang mendatangi Kaisar. Baginya,
keleluasaan yang diberikan Kaisar untuk Yu Lan akan berdampak buruk pada Yu
Lan. Ia akan terbiasa dengan kehidupan luar, sehingga jiwa liar Yu Lan tak akan
hilang, sebaliknya akan terus terasah. Tapi Kaisar memberi satu jaminan, yang
membuat Permaisuri terdiam. Suatu jaminan yang mempertaruhkan jiwa Kaisar.
Jaminan yang menunjukkan cintanya pada Yu Lan. Jaminan yang sama sekali tak
diketahui Yu Lan...
*
* *
Acara keluar istana adalah acara yang
sangat dinantikan Yu Lan. Meski hanya menginap di wisma Kecerdasan, wisma tempat
Hu Zuang tinggal, ia sudah merasa senang dan sedikit menikmati kemerdekaannya.
Tak ada yang dikerjakan disana, selain main-main saja dengan Kun Lan. Atau
kadang jika Kun Lan sedang tak ada, ia hanya diam membaca disisi kolam yang ada
di Wisma Kecerdasan milik Hu Zuang yang besar.
Kun Lan adalah saudara sepupu Yu Lan,
putra laki-laki pertama keluarga Hu Zuang. Ia sebaya dengan Putra Mahkota, dan
dua tahun diatas Yu Lan. Yu Lan dan sepupunya itu sangat dekat sejak mereka
kecil, bahkan sejak mereka bayi. Itu karena kematian Selir Su Zu yang terlalu
cepat, bahkan sebelum melihat wajah putrinya, membuat Hu Zuang jatuh kasihan
pada Yu Lan. ditambah lagi sikap para selir kaisar yang iri pada Selir Su Zu
dan tak sempat melakukan pembalasan sakit hati mereka pada ibunya, membuat
mereka melampiaskan kekesalan pada putri kecil Su Zu. Semua itu membuat Yu Lan
dikelilingi bahaya sejak kecil. Karena itulah, Hu Zuang kerap mengasuh sendiri
bayi itu, berbarengan dengan ia mengasuh putra pertama yang sangat
disayanginya.
Tak ada yang lebih menyenangkan dalam
satu hari itu bagi Yu Lan selain diberikannya kebebasan bagi Yu Lan untuk
melakukan apa pun yang dia inginkan. Termasuk memanah. Ya, memanah! Satu hal
yang sangat haram bagi putri kerajaan. Kalau saja Ibu Suri dan Permaisuri
mengetahuinya, ia pasti akan dihukum lagi. Untungnya, seluruh keluarga Hu Zuang
tak ada yang pengadu. Sampai sejauh ini semua aman-aman saja.
Lalu tanpa disadari oleh Yu Lan
sendiri, ia menjadi putri yang baik di dalam istana. Ia mendatangi kelas
membaca dan satra, kelas sejarah Mancuria, bahkan kelas tata krama dan
peraturan-peraturan istana. Ia tak bermaksud membalas kebaikan Baba dengan
prilakunya. Ia hanya ingin agar acara spesial-nya tak dicabut siapapun.
Kaisar sendiri lebih tenang sekarang.
Apa yang menjadi taruhannya pada Permaisuri dan Ibu suri, tak akan pernah
dibayar. Tak perlu. Karena Yu Lan menjadi seseorang yang mereka inginkan.
Seorang putri yang tidak liar sama sekali.
Tapi tak ada yang benar-benar tahu apa
yang sebenarnya ada dalam pikiran Yu Lan. Tak ada yang tahu sisi batinnya. Tak
ada yang tahu keinginan sebenarnya. Tak ada yang tahu, kalau kehendak Yu Lan
hanya sederhana saja. Ia bisa memakai jubah besar, menunggang kuda, dan memanah
rusa dari atas bukit.
Tak ada. Hanya itu. Hanya itu saja...
*
* *
Berikutnya;
Berikutnya;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar