15
Hanan mengangkat wajahnya. Sebuah cermin didepannya memperlihatkan sebuah
wajah pucat. Hanan melap mulutnya yang basah dengan handuk. Ia baru saja
mengeluarkan seluruh isi perutnya. Semua, tanpa tertinggal. Untungnya, ia hanya
mengalami emesis jika pagi saja. Jadi, rasa mual dan capeknya masih terbilang
normal. Hanan mengatur nafasnya. Muntah selalu menguras energi.
Sami... aku hamil... anak kita....
Hanan mengelus perutnya yang sebenarnya masih terlihat rata. Bolehkah aku
memberitahu kabar gembira ini padamu, Sami?
Harry mendekat padanya dan menyodorkan secangkir teh manis hangat. Hanan
sedikit tersentak, tapi kemudian ia menerima sembari berterimakasih. Harry lalu
memapah Hanan duduk. Meski Hanan merasa tak perlu dipapah, tetap saja, Hanan
tak menolak diperlakukan seperti itu.
“Begini ya, rasanya punya adik...,” Hanan meneguk tehnya setelah duduk
didepan meja makan.
“Hanya jika aku yang jadi adiknya,” kata Harry tersenyum nakal. “Apa tak
perlu ke Dokter? Muntahmu semakin parah...”
Hanan menggeleng cepat. “Setelah matahari tinggi, semuanya akan berangsur
baik.” Hanan meneguk lagi tehnya, kali ini hingga tandas tak bersisa. “Kau
harus tahu, Harry, perempuan hamil memang seperti ini. Ini biasa,” Hanan
tersenyum. Gelas teh yang sudah kosong ia letakkan diatas meja. Matanya bertemu
dengan tiga buah pancake yang ditumpuk diatas sebuah piring kecil. Tubuh mereka
belepotan madu. Bukannya tergugah, Hanan malah merasa jijik.
“Kau tak ingin mencoba? Madu bagus untuk wanita hamil kan?”
“Kau pandai masak.”
“Hanya membuat pancake.”
“Sami tak bisa masak. Jangankan membuat pancake, mengiris bawang saja
baru bisa ia selesaikan selama setahun!” Hanan tertawa kecil. Tapi tidak Harry.
“Untung aku bukan pacarmu, kalau ya, aku bisa mati cemburu karena nama
Sami itu,” Harry mengambil sendok dan mulai memakan sarapan pancake-nya. Hanan
tersentak, ia baru sadar, ia terlalu banyak menyebut nama Sami. Tapi mau
bagaimana? Lidahnya seolah latah begitu saja.
“Kau mencintainya kan? Kenapa tak kau hubungi?”
Hanan memandang Harry. Mencintainya? Ya, tentu saja. Sangat.
Menghubunginya? Hanan mendesah. Sami belum pernah menghubunginya. Tapi memang
Hanan yang melarang.
“Mungkin..., dia tengah bersama yang lain...,” kata Hanan pelan.
Dibibirnya tersungging sebuah senyuman samar.
“Kau tak tahu sebelum kau benar-benar menghubunginya.”
Hanan diam. Harry juga. Mereka sama-sama berjalan di pikiran mereka
sendiri.
“Jika kau benar-benar memutuskan untuk menjauh darinya, kenapa kau
menolak ikut denganku?” Harry menatap Hanan tajam. Menelisik Hanan hingga ke
hatinya yang terdalam. “Aku tak bisa selamanya disini. Suatu saat, aku harus
pulang juga.”
Hanan berdiri menghindar. “Pinjam Laptopnya ya? Aku mau cek e-mail.”
“Semua perempuan hamil, membutuhkan dukungan suami. Benar begitu kan?”
Hanan beranjak, tanpa mempedulikan Harry. Ia d1uduk didepan laptop dan
membuka e-mailnya. Banyak kabar dari Sarah. Tentang perkembangan butiknya.
“Hanan... kumohon... kirimkan designmu yang terbaru... pelangganmu banyak
yang cerewet!”
Hanan tersenyum. Itu e-mail kesekian dari Sarah yang bernada sama.
Selebihnya, Sarah banyak bicara tentang kabar keluarga, juga sangat sering
menanyakan kabar Hanan. Tapi dari semua e-mail, tak satu pun Sarah membicarakan
Sami. Senyum Hanan mengerut. Apakah Sami baik-baik saja? Apakah tak ada kabar
tentang Sami adalah tanda, bahwa Sami telah kembali pada Huda?
Hanan memindahkan cursor, menggerakkannya kebawah, melihat kiriman e-mail
yang tak terlihat. Dada Hanan terhenyak. Ada nama Sami disana. Hanan meneruskan
melihat e-mail selanjutnya. Sami lagi. Sami lagi. Sami lagi.
Ternyata kiriman Sami lebih banyak dari kiriman Sarah. Hanan tersenyum,
tapi juga ingin menangis. Kenyataan bahwa Sami masih mengingatnya adalah hadiah
terindah untuk kehamilannya, kebahagiaan yang menerangi seluruh kalbunya...
Hanan membuka kiriman surat Sami yang pertama.
“Apa kabar Hanan? Sungguh, aku berharap kau baik-baik saja, dan kau...
masih mengingatku...”
Tentu saja Sami. Bahkan disaat luka itu masih perih, luapan cinta ini tak
akan pernah berhenti.
Tangan Hanan berpindah pada surat Sami yang kedua.
“Aku menahan diri untuk tak menghubungimu. Tapi aku tak bisa. Kumohon
maafkan aku...”
“Tadi malam, aku mendengar kau memanggilku. Aku tahu aku berhalusinasi.
Kau tak perlu memperjelas itu. Aku hanya berdo’a pada DIA, untuk melindungimu
dimanapun dan bagaimanapun keadaanmu. Dan semoga keresahanku dan kekhawatiranku
yang tiba-tiba menyakitkan, hanya perasaan yang tak beralasan...”
Hanan melihat tanggal kiriman e-mail itu, dan senyumnya mengembang. Itu
tanggal yang sama saat Hanan pingsan. Bukankah itu tandanya ikatan hati
diantara mereka begitu kuat?
“Dia tak terlihat seperti orang yang berkhianat,” suara Harry dari arah
belakang menyentak Hanan. Sejak kapan dia berdiri disitu? Hanan berbalik,
hendak protes tentu saja. Harry selalu bersikap kurang sopan. Tapi Harry sudah
terlebih dahulu berlalu sembari mengenakan jaketnya dan mengambil kunci mobil.
“Kau mau pergi?” tanya Hanan.
“Ya. Kesuatu tempat. Kau pasti butuh sendirian saat bicara dengan suamimu
itu kan?” Harry tersenyum. Dan tanpa menunggu Hanan bicara lagi, ia telah
benar-benar pergi.
Hanan mendesah. Hubungan biologis ternyata tak membuat dua orang serta
merta menjadi dekat. Hanan membetulkan posisi tubuhnya, kembali menekuni e-mail
dari Sami.
“Bagaimana kabarmu hari ini Hanan?”
Hanan tersenyum. Sekarang bukan tulisan. Tapi suara Sami. Sebuah video
kiriman Sami baru saja Hanan buka. Sebuah gambar langit terlihat bergerak di
video itu. Langit yang biru dengan semaian awan tipis.
“Indah kan? Aku sedang melihat langit di balkon rumah.” Hingga video itu
selesai, tak ada lagi suara Sami terdengar. Hanya salam diakhir. Tak ada satu
pun gambar Sami. Hati kecil Hanan menyesal, tidakkah Sami tahu, betapa ia
sangat ingin melihat wajah Sami?
Hanan membuka lagi kiriman video berikutnya, lalu berikutnya. Semua
tentang keluarga. Tapi tak ada satu pun tentang Sami.
“Apa kau melihat perubahan pada lelaki tampan ini, Hanan?”
Sebuah video memperlihatkan gambar Rafli. Dia sedang tertawa sembari
meraih sesuatu ke arah kamera. Sepertinya Rafli ingin mengambil kamera dari
tangan Sami.
“Rafli...,” itu suara Ibu.
“Tidak Ibu, jangan beritahu. Hanan pasti melihat perbedaan itu...,” suara
Sami memotong kata-kata Ibu. Hanan tertawa. Tentu Sami, aku memang melihat gigi
Rafli yang mulai tumbuh.
Pada Video berikutnya, Hanan mulai tak bisa menahan gejolak kerinduannya.
Bukan hanya pada Sami, tapi juga pada semua keluarga. Pada Ibu, Ayah, Rafli,
Sarah, Ilham, juga... Huda. Ada sesuatu yang hilang selama ini dari diri Hanan.
Dan Hanan baru merasakan, betapa besar arti mereka bagi dirinya. Dirinya, yang
tak mempunyai siapa-siapa.
“Hanan, tebak aku ada dimana!”
Kali ini sebuah gambar pegunungan berjalan. Sami seperti mengambil gambar
ini dalam kendaraan yang melaju. Hanan mengusap pipinya yang terjatuhi airmata
beberapa saat yang lalu.
“Di Jalan tol, dengan Ilham. Aku sedang menuju Jakarta sekarang,” gambar
sekarang beralih pada Ilham yang sedang mengendarai mobil.
“Hai Hanan,” Ilham menolah pada kamera sesaat.
Hanan mengerutkan kening. Jakarta? Sami menuju Jakarta!
“Aku sedang menemani Sami untuk...”
“Biasa Hanan, soal pekerjaan.” Suara Sami memotong Ilham.
Kamera sekarang berganti. Menjadi pemandangan langit senja dengan
matahari yang kuning dan semburat awan jingga. Indah sekali.
“Tadinya tak ingin kemalaman Hanan, tapi tetap saja, sepertinya, kami
harus shalat maghrib di jalan. Kami sedang istirahat sekarang, menunggu adzan
sambil makan. Ilham makannya rakus.”
“Apa?” Ada gambar Ilham dengan mulutnya yang penuh. Hanan tertawa.
“Tapi sepertinya, makanku tetap lebih banyak.”
Kamera memperlihatkan wajah Ilham yang tiba-tiba mendongak dan memandang
Sami sedih. Tawa Hanan berhenti. Kenapa Ilham memandang Sami seperti itu?
“Sudah ya Hanan! Aku mau makan dulu!”
Video berhenti. Tapi tangan Hanan belum bergerak. Pandangan sedih Ilham
pada Sami memenuhi pikiran Hanan. Sami ada apa denganmu? Dari semua suara yang
Sami perdengarkan, Sami terdengar baik-baik saja. Dia riang, tak terdengar
menyedihkan. Bukankah itu berarti Sami telah bahagia. Tapi mengapa Ilham
tiba-tiba memandang Sami sendu seperti itu?
Hanan menekan dadanya, ada sesuatu tergores disana. Kenapa kekhawatiran
ini rasanya sakit sekali?
* * *
Sami menekur diatas meja kerjanya. Ingatannya melayang pada Hanan. Sejak
kepulangannya dari Jakarta beberapa hari yang lalu, pikiran tentang Hanan
semakin merajai hatinya. Bukan hanya tentamg kerinduan yang terus mendesak
dadanya, tapi juga tentang kekhawatiran.
Hanan jelas tak tahu tentang ayahnya. Sedikit pun. Maka kemungkinan Hanan
menyusul ayahnya sudah terhapus. Tapi jika demikian, dimana Hanan sekarang?
Tapi perkataan Tante saat mereka berpisah benar-benar mengusik pikirannya.
“Kau orang kedua yang bertanya tentang Ibu Hanan.”
“Orang kedua?”
“Belasan hari lalu, ada seseorang bertanya hal yang sama padaku.”
“Anda kenal dia?”
Tante mengeleng. “Mungkin, seseorang yang juga jatuh cinta padanya,
sepertimu,” Tante tertawa.
Benarkah? Beberapa hari Hanan meninggalkannya, Hanan sudah menemukan
seseorang yang mencintainya? Tapi mungkinkah, seseorang yang baru mengenal
Hanan, tiba-tiba tahu tempat dimana Hanan menghabiskan masa kecilnya? Rasanya
tak mungkin. Sami menggelengkan kepalanya. Memang tak mungkin. Jika begitu,
siapa orang lain yang mencari Hanan seperti dirinya?
Sami menghembuskan nafas. Memikirkan Hanan, selalu berakhir dengan
pertanyaan yang tak berjawab.
Sami mengerjap, mencoba menyingkirkan segala ingatannya tentang Hanan. Ia
kembali menekuri layar laptopnya. Tak ada yang bisa benar-benar menyingkirkan
Hanan sebenarnya, tapi menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit membantu.
Baru saja sekali Sami menggerakkan cursor, sebuah ringtone sms menghentikan
tangannya.
Dengan malas Sami mengambil ponsel. Paling dari Ibu. Jam segini, biasanya
beliau mengingatkan Sami untuk makan. Tapi Sami terlonjak ketika nama Hanan
mucul disana.
“Hanan?”
Tanpa menunggu, Sami membaca pesan itu.
“Aku sdh bc semua e-mailmu. Trmkash bnyak.”
Jantung Sami melonjak kegirangan. Setelah itu, ia berdetak keras, tak
beraturan. Sami tersenyum. Sepertinya kau baru buka e-mailmu ya, Hanan?
Terburu-buru Sami membuka e-mailnya. Ada beberapa e-mail masuk. Tapi
Ya... Allah... mana e-mail balasan dari Hanan?
Sami menaik turunkan cursornya. Meneliti lagi satu persatu kiriman e-mail
yang masuk inboxnya. Tak ada Hanan disana. Ia juga meng-klik spam. Siapa tahu
nyasar ke tempat itu. Tapi sia-sia. Hanan memang tak mengirim e-mail balasan
untuknya.
Aku sdh bc semua e-mailmu. Trmkash
bnyak.
Jadi hanya itu? Hanya itu balasan dari puluhan e-mailku? Hanya itu sapaan
pertamamu setelah ribuan hari kita tak bertemu? Hanan... hukuman yang kau
berikan demikian menyakitkan...
Sami tergugu.
* * *
“Aku di Bandung,” suara Hanan terdengar jelas dipendengaran Sarah.
“Hanan? Ya, Tuhan. Kaukah ini?” Sarah terlonjak dari duduknya.
“Stt! Jangan keras-keras!” Hanan berbisik tegas.
“Tak apa Hanan, aku sendirian. Tidak, maksudku dengan Rafli. Aku sedang
menyuapinya. Tapi Ya Tuhan Hanan... kau...”
“Aku tahu kau akan mengatakan apa,” Hanan tertawa. “Tapi simpan dulu ya?
Bagaimana kalau kita bertemu?”
Sarah memandang Rafli syok. Tapi bukan Rafli yang ada di pikirannya,
melainkan Hanan tentu saja. Empat bulan tanpa kabar, sekarang Hanan
meneleponnya? Sungguhkah ini? Sami harus mendengar tentang ini.
“Jangan dulu beritahu Sami, kumohon...” Hanan menebak tepat apa isi
kepala Sarah. “Aku punya alasan.”
Sarah tergagap. “Tentu saja.. maksudku, ok. Aku tak akan beritahu dia.
Tapi bagaimana kabarmu Hanan, kami benar-benar mencemaskanmu...”
“Aku baik-baik saja. Bagaimana kalau kita bertemu? Siang ini? Kau bisa
bawa Rafli. Aku merindukannya!” Hanan hampir menangis.
“Ok, dimana?”
* * *
“Sudah Hanan, hentikan. Jangan lagi membelikannya macam-macam!” Sarah
menarik tangan Hanan. “Lebih baik kita mencari tempat dan mulai bicara.”
Mereka keluar dari toko mainan dengan tiga kresek mainan untuk anak
laki-laki. Hanan benar-benar memuaskan kerinduannya pada Rafli. Selain itu, ia
juga tak mau melepaskan Rafli dari gendongannya.
“Ini bukan macam-macam. Ini cuma mainan.”
“Hah, terserahlah.” Sarah menyeret Hanan berjalan ke sebuah taman. Dan
setelah mereka duduk tenang, Rafli juga mulai kelelahan, mereka mulai berbicara
serius.
“Bagaimana kabar Sami?” tanya Hanan sembari menepuk Rafli pelan. Matanya
mulai rapat tertidur.
“Kau sungguh ingin tahu?”
Hanan melihat Sarah. Pertanyaannya sedikit menusuk. Tapi Hanan mafhum, ia
telah melukai adiknya.
“Sami mengirimiku e-mail. Dia terdengar bahagia.”
“Kami tahu soal itu, dan setahu kami, kau tak pernah membalasnya.”
“Aku baru sempat melihatnya kemarin. Dan karena itulah, aku memutuskan
untuk bertemu denganmu.”
Sarah diam. “Aku tahu, Sami telah melukai perasaanmu, tapi asal kau tahu,
Hanan dia sangat menyesal... kau tahu, ia...”
“E-mail terakhir Sami mengganggu pikiranku,” kata Hanan memotong
pembicaraan Sarah.
”E-Mail terakhir?”
“Kak Ilham melihat Sami dengan pandangan penuh kesedihan. Jadi tolong
jawab aku, apa kabar Sami? Dia baik-baik saja kan? Aku sungguh-sungguh ingin
tahu...” mata Hanan berkaca. “Sami tak pernah memperlihatkan dirinya, hanya
memperdengarkan suaranya. Dia seperti sengaja memperlihatkan padaku, kalau dia baik-baik
saja. Tapi aku tak berhenti bertanya..., sikap Sami bukankah seperti
menyembunyikan sesuatu?” Hanan menatap Sarah. Dan dalam tatapan itu, Sarah
melihat luka yang dipendam Hanan jauh didalam hatinya.
“Dugaanmu benar, Hanan. Sejak kepergianmu, nafsu makan adikku itu
benar-benar hancur. Ia menjauhkan setiap piring yang tersaji didepannya. Ia
bilang, ia hanya ingin masakanmu,” Sarah tersenyum, tapi matanya juga berkaca.
“Dia bilang, dia pernah mengabaikan masakanmu, sekarang dia menghukum dirinya
sendiri...”
“Kenapa begitu... bukankah...,” Hanan tak melanjutkan kata-katanya.
Lidahnya begitu kelu.
“Bujukan seperti apapun, benar-benar tak mempan. Perasaannya digerogoti
penyesalan. Berkali-kali kami melihat dia menangis dan menggumamkan kata
maaf...”
Hanan mengusap airmatnya. “Seharusnya, Sami sekarang bahagia bersama
Huda. Karena untuk alasan itulah aku pergi...”
“Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu? Sementara apa yang nyata
terlihat didepan kami berbeda. Dia mencintaimu...”
“Tidak, Sarah... aku mendengar sendiri... Sami begitu memuja Huda...
dimatanya, Huda begitu sempurna, tak ada yang menyamai...”
“Sami mencintaimu, dia hanya terlambat menyadari. Itu saja...”
“Dia mengkhawatirkan Huda, dan melupakanku...”
“Dia mencemaskanmu, hingga melupakan dirinya sendiri. Kau tahu, dia ke
Jakarta menyusulmu. Dia ke Jalan mawar...”
“Apa? Tapi kenapa? Kenapa Sami membahayakan dirinya sendiri? Apa Sami
tidak tahu kalau tempat itu...” Hanan panik.
“Itulah kenapa kami begitu yakin kalau dia mencintaimu...”
Hanan diam, kepalanya tertunduk. “Entahlah Sarah...”
Hanan masih teringat dengan kata-kata yang diberikan Sami untuknya.
Kata-kata menyakitkan, yang membuktikan kalau Sami sangat mencintai Huda. Tapi
kenyataan yang dikatakan Sarah, membuat keyakinannya limbung. Manakah dirimu
yang sebenarnya Sami. Kenapa dalam hal sepenting ini, kau masih membuatku
bingung...
* * *
“Hanan berterimakasih pada kita, karena kita tidak menghubunginya.”
Sarah memotong sawi, ia tengah membantu Ibu menyiapkan makan malam. Disebelahnya,
Ibu sedang mengaduk masakan didalam wajan. Tangannya berhenti ketika kalimat
Sarah berhenti. Ia memandang Sarah dengan kening berkerut.
“Dia berbicara padamu?”
“Dia menelfonku,” Sarah menyembunyikan pertemuannya, sesuai dengan
keinginan Hanan. “Katanya, terimakasih karena kita sudah memberi dia waktu
untuk berpikir.”
“Lalu apa dia sudah memutuskan? Dia akan kembali pada Sami kan?” Ibu
menghadapkan seluruh tubuhnya pada Sarah, begitu antusias dengan tema yang
Sarah bicarakan. Ia membiarkan kuah sayur meletup-letup. Hangus pun, sepertinya
dia tak peduli. Hanan-lah yang sekarang menarik keingintahuannya.
“Sepertinya, keputusan ada pada Sami Ibu...” Sarah mendesah.
“Apa maksudnya? Ibu tak mengerti...”
“Sepertinya, Hanan juga tak mengerti. Ia tak mengerti, apa yang ada di
dalam hati Sami. Ia belum mengerti, apa yang Sami inginkan...” Sarah
menyelesaikan potongan terakhir. Lalu ia memasukkan seluruh sawi kedalam wajan
berisi kuah. Beberapa kali ia mengaduknya, lalu mematikan api.
“Hanan mengira, Sami tak mencintainya?” Suara Ibu terdengar lemah.
“Lebih dari itu, Hanan meyakini, kalau Sami mencintai Huda...”
“Apa Hanan tak menyadari besarnya cinta Sami?”
“Ibu..., dalam hal ini, aku mengerti apa yang Hanan rasakan,” Sarah
berjalan mengambil mangkuk besar. “Ibu ingat saat Huda masuk Rumahsakit?
Siapapun yang melihat Sami, akan tahu bahwa posisi Huda dalam hati Sami
demikian besar, kita pun saat itu, menduga hal yang sama dengan Hanan kan? Saat
itu kita merasa, Sami belum melupakan cintanya pada Huda.”
“Tapi keadaan Sami akhir-akhir ini... sudahkah kau katakan padanya?”
Sarah menahan jawabannya. Ia mengambil wajan dan memindahkan isinya
kedalam mangkuk besar. “Masalahnya, Sami tak pernah mengatakan apa yang ia
rasakan pada Hanan...” Sarah menerawang.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” Ibu berkata sembari menahan sebak
yang mulai menyesakkan dadanya. Kenapa jadi seperti ini? Bukankah semua yang
terjadi sekarang adalah kesalahannya?
Sebuah langkah terdengar mendekat. Ibu lekas mengusap air matanya dan
menyentuh apapun, agar terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Suara langkah itu
datang dari arah depan, itu artinya, Sami yang datang. Sebab anggota keluarga
yang lain sedang ada didalam rumah, menyelesaikan tilawah Qur’an mereka.
Rutinitas yang selalu dilakukan setelah shalat Isya sembari menunggu makan
malam siap.
“Assalamu’alaikum,” Sami membuka jas kerjanya.
“Larut sekali, Sami,” Sarah menyapa Sami setelah mereka menjawab salam.
“Tidak juga,” Sami tersenyum. Sebelum mengenal Hanan, pulang kerja saat
isya terlalu pagi bagi Sami, tapi setelah mengenal Hanan, pulang setelah Ashar
adalah hal yang wajib. Kini, setelah ia kehilangan Hanan, setelah pulang pun,
ia akan kembali melanjutkan pekerjaannya di rumah. Sebab hanya itu satu-satunya
cara mengalihkan kerinduannya pada Hanan...
“Mana yang lain?” Sami mengambil piring yang sudah disiapkan Ibu,
kemudian mengaturnya di atas meja makan.
“Ayah! Kakak! Huda!” Sarah berteriak mendahului langkah Ibu yang hendak
menyusul mereka. Ibu dan Sami melihat Sarah tersenyum. “Cara praktis!” Sarah
mengedipkan mata.
“Siapa itu yang berteriak?” Ayah masuk ruang makan.
“Benar, aku takut Rafli bangun,” Ilham masuk dibelakang ayah. “Wah, masak
apa nih!” Ilham mengamati makanan yang disiapkan Sarah dari jauh.
“Kalau Hanan yang berteriak seperti itu pasti semua tertawa, dia biasa
berteriak ramai kan?” Sami tertawa. Ia berjalan ke arah pantry dan mengambil
mangkuk sayur yang kini terisi penuh, tak menyadari sama sekali, kalau
kata-katanya mengundang diam semua orang.
“Ayo Huda, duduk.” Ibu menyambut Huda yang baru masuk. Biasanya, Huda-lah
yang menyiapkan makan malam. Tapi sejak Hanan pergi, Huda tak melakukannya
lagi. Sebab, jika ia yang memasak, Sami tak akan menyentuh makanan itu. Jika
Ibu atau Sarah yang memasak, paling tidak, Sami mau menyentuhnya dan bagus
kalau ia makan meski satu atau dua suap. Kemajuan yang sangat menekan dada
Huda. Jika tahu akhirnya akan begini, Huda besumpah, dulu ia tak perlu
membuatkan Sami bekal.
“Makan yang banyak, Sami,” Ibu menyendokkan nasi untuk Sami.
“Apa ini?” tanya Sami ketika Ibu memberinya satu potong macaroni suffle.
“Itu macaroni, cobalah.” Sarah tersenyum. “Macaroni yang dicampur susu
dan keju. Ini makanan kesukaan kakak. Iya kan?” Sarah juga menaruh sepotong
macaroni suffle di atas piring Ilham.
“Ya, Sami. Ini makanan paling enak di dunia. Aku bisa menghabiskan satu
loyang sekali makan,” Ilham mengompori.
“O ya?” Sami terdengar antusias. Apakah selera makan Sami telah kembali?
Semua berharap seperti itu.
Sami memotong satu sendok kecil dan memasukkannya kedalam mulutnya. “Mh,
benar. Memang enak. Tapi rasanya....”
“Kenapa? Tak ada yang aneh...” Ayah yang kebetulan sedang mengunyah
makanan yang sama memperhatikan rasa dilidahnya.
“Bukan begitu, tapi... aku pernah merasakan makanan seperti ini.” Sami
tersenyum. “Aku ingat, Hanan pernah memasak untukku. Tapi Hanan tidak memotong
kotak seperti ini, Hanan membentuknya bulat-bulat. Lalu diatasnya ada irisan
cabe merah. Bentuknya lucu sekali. Aku tak pernah tahu namanya apa, tapi aku
memakannya sampai habis. Kalian tahu, aku sungguh-sungguh pernah
menghabiskannya tak bersisa. Hanan bahkan belum mencobanya satu suap pun, tapi
aku telah mengahabiskannya! Hanan terus memukulku sambil cemberut! Bibirnya
mengerucut lucu...” Sami tertawa. Tapi tak ada orang lain yang ikut tertawa,
mereka malah memandang Sami dengan sedih. Hanan lagi.
“Maaf,” Sami berhenti tertawa. Ia manarik nafas pelan, menekan kembali
kerinduannya. Hanan, andai kau ada disini, kau yang akan menemaniku tertawa...
“O ya, Sarah. Soal butik Hanan, bagaimana?” Sami mengalihkan pembicaraan.
Tapi tak bisa menjauh dari topik ‘Hanan’.
“Lancar. Hanan punya asisten yang tanggap, benar-benar membantu.”
“Lalu bridalmu?” Ayah menyela.
“Tetap berjalan, Ayah...”
“Anakmu? Itu paling penting,” Ibu memandang Sarah.
“Tenang saja Bu. Aku masih terus menyusuinya. Membuat design bisa
kulakukan di rumah. Waktuku lebih banyak kuhabiskan dirumah dari pada di butik.
Tenang saja...”
“Juga suamimu,” Ayah menepuk Ilham, membuat Ilham tersenyum.
“Ya Ayah, Kak Ilham kulayani dengan baik. Benar kan, Kak?”
Bukannya menjawab, Ilham malah mengangkat kedua bahunya, mengundang
tangan Sarah mencubit pinggangnya.
“Semua benar, Sarah. Suami dan anakmu paling penting. Hanan juga pernah
bilang padaku, kalau kami punya anak, dia akan terus ada dirumah.”
“Hanan bilang begitu?”
“Ya. Kalau tak percaya, tanya saja pada Hanan. Benar kan Hanan?”
Sepi. Tak ada suara sendok beradu, bahkan tak ada yang mengunyah. Semua
diam memandang Sami. Sami, tak ada Hanan disini...
Sami meletakkan sendok. Ia menelan bulat-bulat apa yang masih tersisa di
mulutnya. Sepertinya, Sami merasa kalau dirinya mulai gila. Sami menekan
pelipisnya. Tangannya bergetar pelan, keningnya berkeringat dingin.
“Kau tak apa-apa Sami?” Ibu menyentuh pundak Sami.
“Ya. Tentu saja,” Sami tersenyum berat. “Aku permisi duluan,” katanya
sambil berdiri dan beranjak. Meninggalkan waktu yang membeku. Membiarkan kabut
menyelinap diseisi rumah.
Didalam kamar, Sami terduduk membeku. Tangannya menggenggam ponsel yang
layarnya memperlihatkan sms dari Hanan. Inikah hukuman yang kau berikan padaku,
Hanan? Berat sekali, pundakku sudah letih menahan beban penyesalan ini...
* * *
Hanan menutup ponselnya gamang. Kalimat-kalimat yang baru saja
didengarnya dari Sarah, membuat jiwanya tertekan.
“Kumohon Hanan..., izinkan dia menghubungimu... Jangan menunggu sampai
dia gila...”
Hanan menarik nafas panjang, mencoba mengurai kepekatan yang terus
menyelubungi jagat kalbunya.
“Setelah makan malam tadi..., Ibu terus menangis sampai sekarang..., Sami
tak bisa disentuh... dia diam saja, mengurung diri dikamar...”
Lagi-lagi Hanan menarik nafas panjang. Kebimbangan benar-benar membuatnya
lelah.
“Kenapa tak kau hubungi saja dia?” Harry menghampiri Hanan yang berdiri
di balkon apartemennya. Sudah beberapa lama ia melihat Hanan menimang-nimang
ponselnya. Menekan tombol dan mendekatkan ke telinga, seperti hendak menelepon,
tapi kemudian diturunkan lagi dan menekan tombol lagi. Begitu beberapa kali.
Hanan melihat Harry bimbang. Baikkah menghubunginya? “Aku... sudah
terlanjur melepaskan dia untuk orang lain.”
“Lalu? Apa dia sudah bahagia?” Harry bertanya menyelidik. Hanan berpaling
menerawang.
“Mereka tidak akan terus menunggumu jika Sami itu sudah bahagia. Benar
kan?”
“Masalahnya, aku tak pernah tahu, apa yang Sami inginkan. Aku tak pernah
tahu, apa yang dia rasakan padaku,” urai Hanan putus asa. “Dia tak pernah
mengatakan kalau dia mencintaiku, dia tak pernah terlihat membutuhkanku, dan
lagi... dia sangat mencemaskan gadis itu...”
Harry merangkul pundak Hanan dan mengusap-usapnya lembut. “Terkadang,
keegoisan laki-laki membawa penderitaan bagi dirinya sendiri...”
Hanan melihat Harry tak mengerti.
“Banyak laki-laki yang harus terus belajar untuk mengerti perasaannya
sendiri, apalagi untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan pada orang lain,”
Harry tersenyum. “Sami mungkin salah satu dari mereka.”
“Tapi itu membuatku bingung Harry...”
“Tanyakan apa yang ingin kau tahu. Itulah kuncinya,” Harry mengeratkan
rangkulannya. “Lagipula, dia butuh seorang ayah. Jangan lagi berpikir untuk
diri sendiri, ok?” Harry menunjuk perut Hanan dengan matanya. Membuat Hanan
tersenyum mengangguk.
Setelah Harry pergi, Hanan melihat ponsel itu berkali-kali, tapi tak juga
menghubungi...
* * *
Malam meniupkan angin dingin yang menggigit. Tapi pintu balkon kamar Ibu
belum juga ditutup. Ibu sedang duduk menekur, lalu sesekali mengusap pipinya
yang mengeluarkan airmata. Apalagi yang membuatnya menangis selain keadaan
Sami?
“Ini salah kita...,” katanya pada suaminya yang berdiri dibelakang menyentuh
pundaknya. “Seharusnya kita memberitahu rahasia ini sejak mereka kecil...”
Ayah mendesah berat.
“Seharusnya tak ada Sami yang terlambat menyadari cintanya pada Hanan,
tak ada Hanan yang harus pergi karena merasa harus mengalah, tak ada Huda yang
terluka. Ini salah kita, Ayah...”
Sekarang bukan hanya airmata, tapi tubuh wanita itu telah terguncang. Ia
menangis, untuk kesekian kali...
* * *
Sami melihat layar ponselnya yang menyala diiringi suara ‘Beautifull
girl’, lagu favorit Hanan. Tulisan ‘My Love’ di layar ponselnya tak menyebabkan
ia bergerak cepat mengangkatnya. Keterkejutan dan ketidakpercayaan membuat
tubuhnya kaku. Hanan? Meneleponku?
Lalu ringtone itu berhenti. Dan kesadaran Sami baru kembali. Hanan! Sami
mengambil ponsel itu. Benar. Tapi sekarang sudah berhenti, Sami mengeluh
menyesal. Haruskah menghubungi Hanan kembali? Bukankah Hanan tak membolehkannya
menghubungi? Tapi sekarang, Hanan sudah menghubunginya kan?
Akhirnya, Sami tak peduli. Kerinduannya yang meluap sudah tak bisa ditekan.
Ia menekan tombol, menghubungi Hanan. Butuh sepuluh detik sampai diseberang
sana Hanan mengangkat ponselnya.
“Kau yang barusan menghubungiku, Hanan?” tanya Sami setelah mereka
bertukar salam.
“Ya, tapi kesal sekali, kau tak mengangkatnya!” Hanan cemberut. Suara
Sami seperti sinar hangat yang menyibak kabut dijagat jiwanya. Sekarang hatinya
bahkan berpelangi. Sami, aku sangat merindukanmu!
Sami tersenyum. Hanan masih seperti yang dulu. Nada bicaranya, suaranya,
juga merajuknya. Sekali lagi, dihadapan Hanan, ia menjadi seorang laki-laki.
Tiba-tiba ia merasa kuat dan tegar. Entah energi dari mana. “Maaf. Tapi aku
sengaja melakukannya.”
“Kenapa?”
“Supaya kau cemberut. Kau cantik kalau seperti itu...”
Hanan tersenyum, matanya berkaca, tapi juga berpendar bahagia. Ia tak
peduli Sami jujur atau tidak, ia hanya merasa bahagia.
“Belum tentu juga, kau kan tak melihatku. Banyak hal yang bisa berubah
selama empat bulan...,” Hanan merendahkan suaranya.
“Benar, banyak hal yang berubah, banyak hal juga yang sudah kusadari.
Tapi aku yakin, kau tetap cantik, bagaimanapun keadaanmu. Meski... kau belum
mandi misalnya...”
“Sami!” Hanan menjerit tertahan.
“Benar kan, kau belum mandi?” Sami tertawa. Hanan mengeluarkan airmata,
ia merindukan tawa Sami.
“Bagaimana keadaanmu, Sami?”
“Baik. Kau? Selalu makan siang kan?”
Hanan tersenyum. Sarah bilang, Sami yang jarang makan.
“Kau suka videoku?”
“Ya, sangat. Kau pintar mengambil gambar, Sami.”
“Terimakasih. Tadinya kupikir, kau tak akan pernah membuka e-mail
dariku...”
“Maaf, aku terlambat membukanya memang. Ada banyak urusan yang harus
kuselesaikan...”
Ingin sekali Sami mendampingi Hanan saat Hanan ‘banyak urusan’, tapi Sami
hanya mengatakan, “Begitu...” dengan pelan.
Diam beberapa saat. Saat jeda itu, Sami ingin bertanya tentang keputusan
Hanan. Akankah Hanan kembali padanya? Atau Hanan akan pergi jauh darinya? Tapi
Sami tak mengutarakan pertanyaan itu. Ia belum sanggup menerima jawaban yang
mengecewakan batinnya.
“Aku merindukanmu,” kata Sami lirih. “Aku merindukanmu, Hanan. Sangat.”
Hanan diam. Ia ingin juga mengatakan rindu membalas Sami, tapi ia
teringat Huda. Juga luka yang masih terasa perih dihatinya. Jadi Hanan memilih
diam.
“Sudah larut, Sami...”
“Bolehkah aku menghubungimu lagi?” Sami berharap sangat.
“Aku yang akan menghubungimu...”
Sami diam menyesal. Itu artinya, Hanan belum membolehkan Sami
menghubunginya. Itu juga memberi arti pada hal lain, bahwa Hanan belum
memutuskan untuk kembali pada Sami.
Setelah hubungan terputus, pikiran Sami berlanjut menerawang. Apa yang
bisa dilakukannya agar Hanan kembali? Apakah ia harus pergi jauh dari Huda agar
Hanan percaya, bahwa ia tak mencintai Huda? Maka itu berarti, ia akan jauh dari
semua keluarganya. Tapi jika Hanan menghendaki, ia akan lakukan semua itu...
* * *
Harry baru melangkah masuk ke apartemen mereka ketika Hanan memutus
hubungan telepon. Harry melihat wajah Hanan belum berubah. Tak ada yang berubah
cerah, tak ada sendu yang habis tersingkap. Keadaan Hanan sama seperti ia belum
menelfon. Apakah Sami masih belum memberikan kepastian padanya?
“Aku istirahat duluan ya?” Harry berpamitan.
“Memang kamu darimana?” Hanan melihat Harry yang hanya mengenakan kaos
rumah. Itu artinya, Harry tak pergi jauh kan? Apa Harry pergi minum seperti
kebiasaan orang barat lainnya? Tiba-tiba Hanan merasa takut. Masalahnya adalah,
laki-laki pirang ini adalah adiknya sendiri!
“Hanya mencari angin,” Harry tersenyum sebelum akhirnya ia masuk kedalam
kamarnya.
Hanan tercenung. Apakah ia terlalu
sibuk dengan dirinya sendiri hingga melupakan Harry. Dari sejak datang ke
Bandung, apakah perasaannya saja atau memang Harry jadi lebih murung?
Tapi Hanan tak melakukan apapun. Ia hanya diam memandang pintu kamar yang
menelan Harry. Hanan tak pernah punya adik, sebelumnya. Harry juga sosok
seorang adik yang jauh dari bayangan Hanan. Harry, seseorang yang riang diluar,
sekaligus tertutup dan terlihat banyak bersandiwara. Banyak melakukan hal yang
bukan dirinya. Apakah ini perasaan Hanan saja? Mungkin, sebab Hanan belum
mengenal Harry sepenuhnya.
Hanan sangat menyayangi Harry, tapi tak tahu harus bertindak seperti
apa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar