11
Huda menatap kotak tupperware itu lama. Sami tak masuk kerja hari ini.
Itu berarti tak akan ada orang yang memakan masakannya. Tidak kemarin, tidak
hari ini, dan tidak juga... besok.
Huda memejamkan matanya. Kesedihan merayapi seluruh sel-sel yang menyusun
tubuhnya. Beberapa hari yang lalu, kesedihan itu hampir terobati. Sami mau
membuka kotak makan siangnya dan hampir memakannya. Sekali lagi, hampir. Entah
mengapa, saat ia mengambil kembali kotak itu saat hendak pulang, kotak itu
dibiarkan terbuka begitu saja, tanpa ada satupun sushi yang hilang. Itu hanya
berarti satu hal. Sami tak pernah menyentuhnya. Dan ternyata, kebahagiaan yang
ada didepan mata, namun tak jadi kita dapatkan, lebih menyakitkan ketimbang
luka yang sudah kita derita sekian lama. Sangat menyakitkan.
Mengapa Hanan tak membiarkan Sami menikmati masakannya walau satu suap
saja? Kenapa ia begitu memonopoli Sami untuk dirinya sendiri? Kenapa ia merebut
Sami dariku?!
Lalu Sami, kenapa hatinya sangat cepat berubah. Mereka belum setengah
tahun menikah, tapi Sami sudah mencintai Hanan. Apa hati laki-laki memang
seperti itu? Lalu kemana perginya cinta Sami yang selalu disimpan rapi untuk
Huda. Menguap kemana hingga rasa cinta itu habis tak tersisa?
Sekarang bagaimana denganku sendiri? Jika Sami begitu mudah lupa, ia
justru sebaliknya. Semakin melihat perhatian Sami yang begitu besar pada Hanan,
Huda malah semakin sakit. Dan rasa sakit itu datang dari rasa cinta yang sangat
dalam. Huda bahkan tak tahu, apakah suatu saat ia bisa mencintai laki-laki lain
atau tidak. Tapi yang pasti, ia akan menunggu Sami sampai kapanpun. Sampai
waktu Sami mengingatnya kembali.
Huda tertunduk. Menangis.
* * *
“Jangan memandangku seperti itu, Sami.” Hanan sedang menyelesaikan sebuah
design. Ia sedang mewarnai design-nya sementara Sami memandangnya sembari
bertopang dagu.
“Apa gambarmu sudah selesai?” Hanan berdiri dan berputar kebelakang Sami
untuk melihat layar laptop yang masih menyala. Sebuah denah tergambar disana.
“Ya, ampun Sami, gambarmu belum bertambah! Bukankah seharusnya kau
mengerjakan... apa? Tiga dimensinya ya?” kedua tangan Hanan memegang dua pundak
Sami.
“Bagaimana aku bisa bekerja? Kau mencuri konsentrasiku tanpa menyisakan
sedikitpun...” Sami semakin menyingkirkan laptopnya yang sedari tadi sudah
berada dipinggir Sami. Sejak kapan ada yang mengganggunya saat bekerja? Sejak
kapan ada sesuatu yang bisa merusak konsentrasinya? Sebelum ini tak pernah!
Sekarang Sami begitu yakin, ia mencintai Hanan. Dan sepertinya, ia baru
merasakan hal ini. Pada Huda, perasaannya bukan seperti ini. Ia memang sayang
pada Huda, tapi Huda tak pernah bisa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan.
Lalu bagaimana Hanan bisa melakukannya? Padahal gadis kecil ini cuma diam dan
asyik dengan dunianya sendiri. Ia hanya duduk tepat diseberangnya.
“Katakan, bagaimana kau bisa melakukan itu?” Sami menengadah, memandang
Hanan.
“Melakukan apa?” Hanan memindahkan tangannya pada kedua pipi Sami.
“Merebut konsentrasiku?!”
“Sami, aku tak melakukan apa-apa!”
“Bohong, kau jelas-jelas melakukannya! Aku tak tahu bagaimana caranya,
tapi, kau melakukannya.”
“Kubuatkan kopi?” Hanan tersenyum.
“Ah, sepertinya enak!” Sami setuju.
Hanan sedang menyeduh air panas ketika telefon Sami berdering. Tanpa
mengalihkan pandangannya dari Hanan, Sami mengangkat ponsel.
“Assalamu’alaikum. Kak Ilham?”
Kening Sami berkerut. Tapi seiring kata-kata yang ia dengar, kerutan itu
semakin dalam. Wajah Sami juga perlahan berubah panik, juga pucat.
Hanan memperhatikan perubahan wajah itu sementara tangannya mengocek air
kopi.
“Aku segera kesana!” sekarang Sami benar-benar panik. Kepanikan yang
membuat Hanan sangat khawatir. Wajah seperti ini baru ia lihat. Sebelumnya, ia
tak pernah melihat Sami panik seperti ini.
“Ada apa?” Hanan menghampiri Sami, melupakan kopinya.
Sami memasukkan ponsel kedalam sakunya, lalu disambarnya jaket dan kunci
mobil.
“Sami?”
“Huda masuk Rumahsakit!” setengah berlari Sami melintasi ruang tengah.
Lalu Hanan menarik tangannya saat Sami membuka pintu depan, membuat Sami
menoleh. Kepanikan Sami benar-benar membuatnya takut.
“Aku ikut.”
Setelah terdiam beberapa saat, Sami mengangguk. Hanan semakin merasa
takut. Akhir-akhir ini, setiap mereka berjalan beriringan, kemanapun, sedekat
apapun jarak perjalanan mereka, Sami selalu menggenggam tangannya. Termasuk
ketika mereka keluar pintu bersama untuk kemudian menaiki mobil. Sami tak
pernah melepaskan tangannya. Sekarang? Sami bahkan tak menoleh.
“Cepatlah! Kau mau ikut kan?” agak berteriak Sami memanggil Hanan. Hanan
segera menyambut panggilan itu. Hanan tenanglah, situasi seperti ini adalah
pengecualian. Meski bukan Huda yang masuk Rumahsakit, Sami juga akan sepanik
ini. Tapi jika Hanan yang masuk Rumahsakit, apa Sami akan seperti ini?
Hanan menatap Sami dari samping. Kepanikan itu masih sangat tampak. Wajah
Sami dengan reaksi seperti itu membuat Hanan tak berani bertanya. Jangankan
untuk bertanya, bersuara pun ia tak berani.
Sami melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Meski jalan saat malam tak
terlalu padat, Hanan tetap merasa khawatir. Berkali-kali pegangan tangannya
mengencang, sebab laju kendaraan Sami yang menerobos lampu merah terus-terusan
mendapatkan klakson dari kendaraan lain.
Tubuh Hanan bergoyang-goyang, membuat perutnya mual tiba-tiba.
Sami... bisakah kau turunkan
kecepatan?
Tapi permohonan itu tak ia katakan. Jika Sami terusik, bukannya melambat,
kecepatan mobil ini bisa malah bertambah cepat. Bibir Hanan terus
bergerak-gerak, melafadzkan semua do’a.
Dan, do’a Hanan terkabul. Mereka sampai tempat parkir Rumah sakit dengan
selamat. Saat turun, lutut Hanan masih terasa lemas. Ia butuh waktu beberapa
saat, meski untuk berdiri tegak.
“Hanan, cepatlah. Kenapa sejak tadi gerakmu sangat lambat?” Sami yang
sudah menjauh berbalik pada Hanan. Tapi tanpa menunggu Hanan, ia berlari masuk
kelorong Rumahsakit. Hanan menyusulnya dengan berlari. Apa Sami akan
meninggalkannya?
Setelah kepala Sami berputar kekanan dan kekiri beberapa kali, ia
akhirnya tiba ditempat Huda dirawat. Disana, semua sudah berkumpul. Hanya Rafli
yang tak terlihat. Ia pasti ditinggalkan dirumah dengan orangtua Kak
Ilham.
“Bagaimana Huda?” Sami meraih tubuh Ibu yang beguncang begitu matanya
melihat sosok Sami.
“Huda sedang ditangani Dokter,” Kak Ilham yang menjawab. “Hanan,
duduklah,” Kak Ilham menunjuk kursi disebelah Sarah. Sarah tersenyum padanya
dan menunjuk kursi disebelahnya, memintanya duduk.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba dia masuk Rumahsakit?” Sami
bertanya dengan kepanikan yang berlipat-lipat.
Hanan duduk dengan pikiran yang masih menerawang. Melihat pemandangan
didepannya, ia seolah diperlihatkan tentang kenyataan. Kenyataan, bahwa dirinya
berada diluar lingkaran mereka.
“Entahlah, Sami..., sejak dua hari yang lalu Hanan tiba-tiba tak mau
makan. Dia sangat lemas. Bahkan satu sendok air yang masuk tubuhnya langsung ia
keluarkan lagi.” Sarah berkata pelan.
“Bagaimana bisa?” Sami memandang Sarah mendesak, menyalahkan. Seolah-olah
karena Sarah-lah semua hal ini terjadi. Hati Hanan remuk redam sekarang.
“Kami juga tak mengerti kenapa,” Ayah menepuk pundak Sami. Memintanya
bersabar. “Oh, Ya Tuhan...” Sami meremas rambutnya dengan kedua tangannya.
Sami tak pernah seperti ini...
“Tenanglah Sami...,” Ibu memeluk Sami.
Bukankah seharusnya Sami yang menenangkan Ibu? Kenapa terbalik? Bukankah
selama ini yang ia tahu, Ibu-lah yang sangat menyayangi Huda? Hanan mencengkram
roknya. Semua berkata seolah-olah, bahwa Huda adalah milik Sami. Semua orang
sudah tahu, bahwa sakitnya Huda adalah kesedihan terdalam bagi Sami. Semuanya
mengerti itu. Tapi kenapa? Kenapa hanya Hanan yang tak mengerti?
Hanan menggelengkan kepalanya. Tidak. Hanan berkata pada dirinya sendiri
untuk membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Lagipula, kenapa ia hanya memikirkan
diri sendiri? Memikirkan Sami? Bukankah seharusnya yang ia pikirkan adalah
Huda?
Hanan terdiam kaku ditengah semua pembicaraan untuk menenangkan Sami. Dan
keadaan tak berubah sampai beberapa menit berikutnya.
Dokter datang pada mereka setelah itu dengan senyumnya. Tak ada masalah
katanya. Huda hanya tidak makan beberapa hari. Itu saja. Dan semua lega,
termasuk Hanan. Tapi, mengapa Huda tak makan selama beberapa hari? Ini jelas
bukan diet kan?
Mereka dipersilahkan untuk melihat Huda. Hanan orang terakhir yang masuk
ruangan.
Huda sudah membuka matanya dan meminta maaf dengan lemah. Tapi melihat
Huda, hati Hanan tiba-tiba merasa iba. Entah mengapa, ia merasa jika apa yang
terjadi pada Huda sangat berkaitan erat dengan Sami dan dirinya.
“Kau baik-baik saja?” Sami menatap Huda khawatir. Huda memang sangat
pucat. Selang infus yang menjuntai disampingnya menguatkan penampilan Huda yang
mengkhawatirkan.
Huda memalingkan kepalanya menghindari tatapan Sami. Ia tak mau terlihat
seperti ini dihadapan Sami. Tapi mengalihkan pandangan pun, ada Hanan.
Seseorang yang tak ingin dilihatnya saat ini. Huda hendak berpaling lagi dari
Hanan ketika Hanan mendekat.
“Semua akan baik-baik saja,” Hanan meraih tangan Huda dan pandangan
mereka bertemu. “Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu, semua akan
baik-baik saja.” Hanan tersenyum tulus pada Huda. Kali ini sungguh-sungguh.
Perasaan Hanan tulus. Ia perempuan, ia merasakan apa yang Huda rasakan.
“Keadaan kadang menjatuhkan kita, kesalahan kadang membenamkan kita. Tapi
kita akan kembali. Kita, aku, kau, akan kembali seperti semula...”
Tak ada yang mengerti apa yang dikatakan Hanan. Tapi mereka berdua
mengerti. Huda mengerti. Karena itulah, beberapa detik kemudian, Huda menarik
tangan Hanan dan memeluknya. Ia terisak dibahu Hanan.
Semua terdiam menyaksikan pemandangan asing. Huda tak pernah terlihat
menangis. Ia selalu terlihat tegar. Kalaupun ada sesuatu, Huda akan
menyelesaikannya sendiri. Tapi sekarang? Ia seolah memperlihatkan kerapuhannya,
terutama pada Hanan.
“Maafkan aku...,” Huda berbisik pelan. Hanya Hanan yang mendengar.
“Dia membuat kita kacau seperti ini, benar kan?” Hanan juga berbisik,
hanya Huda yang mendengar. Huda menangguk lemah. Airmatanya basah dikerudung
instan jingga milik Hanan. Sami membuat mereka seperti ini.
“Semua menghkawatirkanmu, jadi cepat sehat lagi. Ya?” Hanan menggenggam
tangan Huda setelah mereka saling melepaskan pelukan. Tangisan Huda telah
berhenti. Hanan mundur dan menyelinap keluar setelah semua orang mendekati
Huda.
Entah mengapa, ketulusan ini malah membuat Hanan bertambah perih. Huda
sangat mencintai Sami. Itu yang ia ketahui barusan. Tak ada orang yang
kehilangan karena seseorang hingga seperti Huda, kecuali luka karena kehilangan
itu amat sakit. Dan kehilangan akan terasa semakin sakit, jika cinta itu
semakin dalam. Bukankah begitu?
Hanan melangkah tanpa tenaga, lalu duduk dikursi terdekat. Satu dua
perawat yang sibuk melewatinya. Hanan merasa hatinya sangat perih, dadanya juga
sesak dan berat. Tapi anehnya, tak ada air mata yang bisa ia keluarkan.
Maafkan aku Huda, aku telah merebut
Sami dari sisimu, mencerabutnya dari hatimu...
Kedua tangan Hanan saling meremas. Menandakan pikirannya tengah bekerja
keras. Juga panik, bingung, dan takut.
Sami keluar ruangan mengikuti Hanan. Entahlah, kejadian barusan baru
menyadarkan Sami kalau Hanan ada diantara mereka. Dan melihat Hanan dari
belakang, Sami baru menyadari juga, kalau Hanan keluar rumah ditengah malam
yang dingin seperti ini tanpa baju hangat. Bajunya bahkan lebih tipis dari baju
yang biasa ia pakai untuk keluar rumah. Tentu saja, Hanan tadi tak sempat
berganti pakaian. Ia mengenakan pakaian rumah, untungnya, bukan pakain tidur.
Sami tersenyum. Dibukanya jaket yang ia pakai, lalu ia selempangkan pada bahu
Hanan. Sentuhan halus itu cukup menyentak kesadaran Hanan.
“Aku mengagetkanmu?” Sami duduk disamping Hanan. Hanan menggeleng lemah,
lalu menunduk, melihat ujung sepatunya.
“Kau kedingingan?” Sami mengeratkan jaket ketubuh Hanan. Menariknya
kedepan agar jaket itu dapat menyelubungi tubuh Hanan. “Jaketnya jadi seperti
menelanmu,” Sami tersenyum, memaksa Hanan tersenyum enggan.
“Kau... tahu apa yang terjadi pada Huda?” Sami melihat wajah Hanan dan
bertanya hati-hati. Segores luka menghias lagi hati Hanan. Kebaikan ini hanya
rayuan agar kau dapat mengorek keterangan tentang Huda, Sami. Benarkan?
“Kau ingin jawaban jujur, atau yang menyenangkan?” Hanan balik bertanya.
“Aku tak mengerti.”
“Huda mencintaimu,” Hanan memutar kepalanya kesamping, melihat Sami. Ada
sentakan tak terduga terpercik jauh didalam mata Sami. Sami tahu, Hanan
menyadari percikan itu, maka Sami memalingkan pandangannya menjauh.
“Yang aku tanya, apa yang terjadi padanya.”
“Kau belum mengerti?”
Sami melihat Hanan kembali. Ya, ia belum mengerti.
“Dia terluka, karena kau... sudah menjauhinya. Karena harapan untuk hidup
bersamamu, telah kandas.”
Sami memandang Hanan yang menerawang.
“Dan aku yang telah menyebabkan kalian berdua seperti ini...”
“Sok tahu!” Sami mengacak kepala Hanan, menghindari topik yang
menyakitkan. Tapi senyum dimulut Sami menguncup. Hanan sungguh-sungguh.
“Bagaimana kau tahu?”
“Karena aku perempuan.”
Sami mendesah. “Kau pikir perasaan bisa dijadikan acuan? Kau menduga
terlalu berlebihan, Hanan.”
“Bagaimana kalau mulai sekarang kita jujur saja, Sami? Aku sudah
lelah...”
“Jujur tentang apa?”
“Perasaanmu.”
“Tak ada kebohongan dalam perasaan dan tindakanku.”
“Kalau begitu, aku bisa menjauh...”
“Apa maksudmu?”
Hanan diam. Tak ada kebohongan antara perasaan dan tindakanku. Jadi
menyimpan foto Huda, khawatir akan keselamatan Huda, adalah jawaban yang jujur.
Kau juga masih mencintai dia.
“Aku minta maaf, Sami...”
“Untuk apa?”
“Kalau saja aku tahu tentang cinta yang kalian bina sebelumnya, aku tak
akan pernah menerima pernikahan ini. Aku tak akan pernah mencintaimu...” Hanan
mendesah lelah. Sami membuka mulutnya hendak menyanggah Hanan, tapi seseorang
membuka pintu ruangan Huda dan semua orang keluar. Huda sedang istirahat.
“Kalian pulang saja, Ayah akan menjaganya malam ini.”
“Biar aku temani,” Sami mengajukan diri. Semua memandang Sami, lalu
memandang Hanan resah. Hanan tak bereaksi. Ia sudah mafhum. Jika Hanan jadi
Sami, Hanan pun akan melakukan hal yang sama. Ingin berada disamping orang yang
kita cintai sedekat mungkin.
“Hanan, kau pulang ya? Aku akan temani Ayah disini.”
Hanan mengangguk tersenyum. Tapi luka dalam hatinya begitu menyakitkan.
Bagaimana ia bisa pulang ditengah malam seperti ini? Memanggil taksi? Hanan
begitu takut untuk pulang. Atau menginap di masjid Rumahsakit saja? Tanpa
sepengetahuan Sami? Bukankah ditempat itu lebih aman? Daripada ia berkendaraan
dengan laki-laki yang belum ia kenal dikegelapan malam. Ia bisa dibawa kemana
saja.
Hanan memandang Sami. Laki-laki itu sama sekali tak mengkhawatirkannya.
Jadi ya sudah, buat apa minta diantar pulang? Hanan berdiri dan berpamitan.
Senyum mengembang dari bibirnya.
“Tolong sampaikan maafku pada Huda, aku tak berpamitan. Aku mendo’akan
dia supaya sembuh,” Hanan mencium tangan Ibu dan Ayah.
“Kau bisa ikut kami, Hanan.” Ibu menawarkan.
“Ya, hari ini, aku nginap dirumah Ibu, biar besok mudah kesini lagi,”
tambah Sarah.
Hanan menyesal karena tak bisa. Ia juga menolak diantar mereka. Mengantar
dulu Hanan, baru mereka pulang. Tapi Hanan masih tak mau. Ia bilang ia akan
baik-baik saja. Dan diantara semua percakapan itu, Sami diam. Ia hanya berdiri
mematung menghadap kejendela, ke kamar Huda. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya
sendiri.
Huda mencintaimu, Sami...
Karena harapan untuk hidup
bersamamu kandas...
Hanan tak ingin menoleh lagi pada Sami. Dadanya sudah terlalu sesak ingin
menangis. Bertahan ditempat ini lebih lama, bisa membuat semuanya menyadari
kesedihan Hanan.
“Sami, bukankah kau sebaiknya mengantar Hanan? Ini tengah malam.”
Hanan mempercepat langkahnya. Ia sedang ingin sendiri. Kalaupun Sami
mengantar, Hanan ingin itu adalah inisiatifnya, bukan atas masukan orang lain.
Tak ada jawaban. Dan setelah keluar pintu, Hanan berlari. Entah kemana, Hanan
takut pulang. Tapi tinggal juga tak mungkin. Hanan memutar kepala, mencari
masjid. Hanya ditempat itu ia aman. Tak akan ada yang berniat jahat padanya.
Tapi disebelah mana?
Hanan memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaketnya. Hanan tersentak,
ia baru menyadari jaket yang ia kenakan. Milik Sami. Hanan ingin membukanya
segera dan mengembalikan pada Sami. Tapi sudahlah. Hanan berjalan menuju
Masjid, kubahnya sudah Hanan temukan.
“Hanan!” Seseorang berteriak dibelakangnya. Sami. Bukannya berhenti,
Hanan mempercepat langkahnya.
“Hanan,” Sami menyentuh pundaknya lembut. “Aku menyusulmu ketempat
parkir, kau belum sampai, untung aku melihatmu jalan kesini,” Sami sudah
berdiri dihadapan Hanan. Tangannya hendak merangkul Hanan, tapi Hanan
menepisnya perlahan.
“Oh ya, jaketnya lupa,” Hanan membuka jaketnya. “Kau datang untuk membawa
inikan? Disini pasti dingin.”
Sami menahan tangan Hanan. Ia memasang lagi resleting jaket yang sudah Hanan
buka. “Kita pulang,” Sami tersenyum menatap Hanan. “Maafkan aku.”
“Maaf untuk apa?” Hanan berpaling menghindar. Ia takut Sami menyadari
rasa sakitnya.
“Karena tadi..., ah sudahlah. Kita pulang,” Sami merangkul Hanan. Tapi
kaki Hanan terpaku ditempatnya.
“Hanan, ayolah,” Sami menatapnya memohon.
Setelah beberapa jenak, Hanan baru melangkah. “Maaf, hari ini aku
bergerak begitu lambat,” kata Hanan pahit. Sami berhenti berjalan, hingga
langkahnya tersusul Hanan. Sami memandang Hanan menjauh darinya beberapa
langkah.
“Hanan, maaf,” Sami mendekat dan menyentuh bahu Hanan lalu memutarnya
hingga mereka berhadapan. “Aku tak bermaksud bicara kasar tadi.”
“Tak apa Sami. Kau tak bicara kasar. Memang aku yang salah,” Hanan
tersenyum, berusaha tulus. Tapi ternyata tersenyum diantara rasa sakit demikian
sulit. “Aku memang berjalan telalu lambat. Terlalu banyak kejutan. Aku harap
kau mengerti.”
“Hanan, kumohon maafkan aku,” Sami memeluk Hanan tiba-tiba. Hanan ingin
melepaskan diri, tapi dekapan Sami terlalu kuat.
“Lepaskan aku, Sami.”
Sami bergeming. Alih-alih ia mengeratkan pelukannya.
“Sami, lepaskan! Kau harus sadar ini dimana!” Hanan berbisik kesal. Sami
akhirnya mengurai pelukannya. Bukan karena ini tempat umum, tapi karena
kekesalan yang keluar bersama kata-kata Hanan. Sami melihat Hanan, mencari
kebenaran dari wajah Hanan. Tidak, jangan katakan kau sungguh-sungguh kesal
padaku, Hanan. Jangan katakan.
Hanan berbalik dan berjalan lagi tanpa mempedulikan Sami. Sami
menyusulnya, dan seperti biasa jika ada Hanan disampingnya, Sami menggenggam
tangan Hanan. Tangan yang beku. Tanpa Sami duga, Hanan melepaskan tangannya,
lalu memasukkanya kedalam saku. Sami memandang Hanan heran. Hanan tak pernah
seperti ini. Semarah apapun ia, ia tak akan menghindar dari pelukan Sami. Ia
juga tak pernah melepaskan diri dan genggaman tangan Sami. Tapi kenapa
sekarang?
Sepanjang perjalanan, Hanan membeku. Tak ada perkataan keluar dari
mulutnya, bahkan tak ada gerakan. Sami memancing Hanan dengan membicarakan
banyak hal. Tapi umpan Sami tak pernah mempan. Saat mobil masuk kepekarangan
rumah mereka, Hanan turun lebih dulu. Berjalan kearah pintu, membukanya, masuk,
lalu menutup lagi. Semuanya tanpa tatapan sedikitpun pada Sami. Ia seolah
datang sendirian. Sami terhenyak. Hanan tak pernah seperti ini. Sampai saat
tidur pun, Hanan berbaring membelakangi Sami. Rangkulan Sami pada pinggangnya
selalu ia lepaskan.
“Tidurlah Sami,” kata Hanan sambil melepaskan tangan Sami untuk kesekian
kali. Tapi Hanan lupa, Sami tak bisa tidur jika tak memeluk Hanan. Ini sudah
jadi kebiasaan yang tak terasa.
“Kau marah padaku, Hanan?”
“Tidak. Tapi kumohon, tidurlah.”
Sami menatap punggung Hanan dengan beribu perasaan. Sami tahu, ia sudah
keterlaluan di Rumahsakit tadi. Tapi ia melakukannya tanpa sadar. Kekhawatirannya
pada Huda membuatnya bersikap seperti itu. Apa Hanan tak mengerti?
Gerakan pelan dari Hanan membuat mata Sami terbuka. Hanan turun dari
tempat tidurnya lalu keluar kamar. Sami menunggu beberapa saat, tapi Hanan tak
kunjung masuk kembali. Ia juga tak mendengar suara apapun. Tak ada suara air
yang masuk gelas, juga tak ada suara apapun. Sami terduduk. Jika bukan untuk
minum, untuk apa Hanan keluar? Tiba-tiba ia dirayapi ketakutan. Takut Hanan
keluar untuk menghindarinya. Dengan gerakan cepat, Sami menyusul Hanan.
“Biarkan aku sendiri, Sami,” sebuah suara menyambutnya ketika ia keluar
kamar. Hanan sedang duduk memeluk lutut diatas sofa. Sami berjalan mendekat dan
duduk disamping Hanan.
“Tak bisakah kau biarkan aku sendiri?”
Sami tak bergerak. Ia tak bisa.
Hanan mendesah. Akhirnya sepanjang malam mereka hanya diam. Duduk
berdampingan tapi sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan sepanjang malam itu,
Sami tak pernah melepaskan pandangannya dari wajah Hanan.
Hanan, maafkan aku...
Maaf...
Maaf...
* * *
Hanan mengangkat ponselnya yang berdering tanpa melihat nomor yang
menghubunginya. Ia tengah memeriksa pembukuan pagi itu.
“Hanan?” suara Sami terdengar diseberang sana. Hanan mengangkat
kepalanya, tak menyangka Sami akan menghubunginya sepagi ini. Baru satu jam
yang lalu sami mengantarnya kemari.
“Ada apa, Sami?”
“Aku... merindukanmu...”
Mereka terdiam lama. Sami tiba-tiba saja mengatakan sesuatu yang sama
sekali tidak diduga. Itu adalah kata-kata yang ditunggu Hanan sekian lama. Tapi
setelah ia mendengar Sami mengatakannya, entah mengapa, ia tak terlalu bahagia.
Hanan merasa, bukan Sami yang bicara demikian. Bukan hatinya. Sungguh, rentetan
kenyataan yang ia lihat tadi malam, membuat Hanan yakin, kalau kata-kata Sami
ini hanyalah hiburan untuk Hanan. Tapi hiburan Sami kali ini tak terlalu
menyenangkan dirasakan Hanan.
Hanan masih diam, tak tahu harus menjawab apa. Seharusnya ia membalas
kan? Ia merindukan Sami juga, sebab itulah yang dirasakannya sekarang. Tapi
lidah Hanan benar-benar kelu.
“Hanan? kau masih mendengarku?”
Hanan mengerjap. Ia mengangguk. Tapi tentu saja Sami tak melihatnya jadi
ia berkata ‘ya’ dengan pelan.
“Apa yang sedang kau kerjakan?” tanya Sami riang, seolah-olah tak ada
sesuatu yang terjadi diantara mereka. Atau memang, Sami ingin membuatnya
seperti itu. Dalam keadaan normal, Hanan akan menjawab ‘sedang menelefonmu’.
Meski itu gurauan basi, tapi Sami selalu tertawa mendengarnya.
“Sedang memeriksa pembukuan. Ada perlu apa Sami?”
Diseberang sana Sami terdiam sedih. Hanan ingin memotong pembicaraannya.
Memintanya langsung mengatakan intinya saja. Apakah Hanan mulai membencinya? Mulai menyesali cintanya padaku?
“Kau ada rencana menengok Huda?” Sami bicara hati-hati. Tapi sehati-hati
apapun Sami bicara, Hanan tetap tersentak. Jadi rindu itu maksudnya ini...
“Kau bisa pergi, Sami. Aku akan menengoknya nanti, saat istirahat,” Hanan
menjawab enggan.
“Saat istirahat?” Sami melepaskan punggungnya dari sandaran kursi.
“Tapi..., bukankah itu jadwal makan siang kita, Hanan? Jangan katakan kau tak mau
makan siang denganku...”
“Bukan begitu Sami...”
“Kalau begitu, aku akan pergi bersamamu nanti sore.”
Hanan mendesah, tak mengertikah Sami, bahwa ia tak siap melihat mereka
bertemu. Tak mau melihat tatapan Huda pada Sami, tak mau juga melihat perhatian
Sami yang ditujukan hanya untuk Huda. Ia bisa mati karena cemburu.
“Kau bisa pergi saat jam besuk pagi, tak usah bersamaku.”
“Kalau kau tak mengizinkanku pergi, aku tak akan pergi.”
Hanan menggigit bibir. Sami...,
kumohon..., berhentilah bersandiwara. Sebab itu hanya akan membuatku semakin
merasa bersalah.
“Aku mengizinkanmu Sami, lagipula, seharusnya kau tak perlu meminta izin
dariku, sebab aku tak berhak melarang, tak berhak menganjurkan.”
“Tapi aku ingin pergi bersamamu. Nanti sore ya?”
“Sami..”
“Kumohon Hanan, atau aku tak perlu pergi sama sekali.”
Kau ingin pergi, Sami. Aku
bersumpah.
“Baiklah, kau pergi bersamaku, tapi sebentar lagi, saat jam besuk pagi.” Agar kita tak perlu lama disana. Jam
besuk pagi hanya dari setengah sebelas sampai jam setengah duabelas. Jika Sami
memaksa tinggal lebih lama, ia akan ditendang para perawat.
“Ok. Kalau gitu, aku kesana sekarang ya!”
“Sami tunggu, untuk apa kau kesini?”
Sami tersentak. Kenapa Hanan panik saat dirinya mau menemui? “Untuk
menjemputmu tentu saja...”
“Tidak Sami, tak perlu. Kita bertemu di Rumahsakit saja.”
“Kenapa?”
“Karena... kau harus memutar mobilmu jika kau kesini.”
“Tak masalah. Aku tak mau kamu naik taksi.”
Memangnya kenapa? Sekarang kau merasa khawatir? Bukankah tadi malam pun,
jika tak dicegah Ayah, kau akan membiarkanku naik taksi sendirian? Tengah
malam? Ayolah, Sami. Ini masih pagi! Kepura-puraanmu membuatku sesak!
“Aku naik angkot. Dari sini, sekali naik angkot aku bisa sampai tepat
didepan al-Islam. Jadi tak masalah.”
“Apalagi naik angkot... Kujemput saja ya?”
“Terimakasih Sami. Tapi tak perlu. Lagipula jika kau menjemputku dulu,
kita kehabisan waktu besuk.”
Sami melihat jam dinding sekilas. Sepuluh menit lagi. “Sungguh tak
apa-apa tak kujemput?”
“Tak masalah Sami. Kita bertemu disana. Ok?” Hanan menutup telefon,
membuat mulut Sami yang hendak bicara tertahan. Hanan menutup telefon? Ya
Tuhan, Hanan... kau masih marah padaku?
Sami lebih cepat sampai di Rumahsakit daripada Hanan. Selain karena
jaraknya lebih dekat, Sami juga memakai mobil sendiri.
Sarah sedang diruangan Huda ketika Sami datang.
“Hanan belum tiba?” tanya Sami setelah mengucap salam. Huda berpaling
meradang. Yang sakit itu aku, Sami. Huda. Bukan Hanan!
“Kalian ga bareng?” Sarah menoleh.
“Tadinya mau kujemput, tapi Hanan bilang ga usah. Aduh, kemana ya?” Sami
membuka ponselnya. Sedikitpun ia belum menanyakan kabar Huda. Kemana perginya
perhatian yang semalam itu?
“Gitu aja panik. Sebentar lagi juga pasti datang,” Sarah tersenyum. Sami
mengangguk setuju. Dia memutuskan untuk menunggu Hanan.
“Bagaimana kabarmu Huda?”
“Baik.”
“Kau benar-benar membuatku cemas,” Sami tersenyum.
“Maaf.” Sungguh kau mencemaskanku?
“Nah, kau akan menunggu Hanan disini kan Sami?” tanya Sarah.
“Ya, sepertinya begitu.”
“Kalau begitu titip dulu Huda ya? Aku mau bereskan pembayaran. Sore ini
Huda boleh pulang.”
“Oh, sungguh?” wajah Sami cerah.
“Makanya, tungguin dulu ya?”
“Ok. Tak keberatan kutemani?” Sami melirik Huda, bercanda. Tapi Huda
mengangguk, tak tersenyum sedikitpun.
Sepeninggalnya Sarah, mereka terdiam canggung. Sami mendekati jendela dan
melihat taman yang terhampar dilantai bawah.
“Eh, Huda. Boleh aku tanya sesuatu?” Sami teringat sesuatu yang
menggelitik hatinya tadi malam.
“Tanya saja.”
“Tadi malam, apa yang dikatakan Hanan saat memelukmu?”
Huda memandang Sami tersentak. “Kenapa kau ingin tahu?”
“Hanya penasaran. Kalau rahasia, tak masalah. Perempuan selalu punya
rahasia ya? Hanan bilang, rahasialah yang membuat seseorang menjadi perempuan.
Aneh ya?” Sami tersenyum riang. Ia ingin memecah kebekuan yang ada diantara
mereka. Tak menyadari kalau kata-katanya menyakiti Huda. Kau sedang bersamaku,
tak bisakah kau menahan diri untuk tak menyebut Hanan sekalipun?
Dia membuat kita kacau seperti
ini...
Bisikan Hanan kembali terngiang ditelinga Huda. Hanan tahu, apa yang
menyebabkan Huda sakit. Huda terdiam. Memang tak ingin mengatakan rahasia kecil
mereka.
“Kalau kata-kata Hanan yang satu lagi?” Sami menyentak lamunan Huda.
“Yang mana?”
“Itu... ehm.. keadaan yang menjatuhkan, kesalahan yang membenamkan...
maksudnya apa?”
Huda terdiam. Bukannya menjawab, Huda malah bertanya, “Apa kau
mencintainya, Sami?”
Sami terhenyak. Tapi tatapan Huda serius.
“Sepertinya begitu, Huda. Maafkan aku.” Langsung dan tegas. Benar-benar
khas Sami. Huda tertunduk diam.
Tepat pada saat itu, Hanan tiba disana. Hanan baru akan membuka pintu
ketika terdengar olehnya perkataan Sami; “Tapi kau sangat berarti bagiku,
Huda.”
Hanan terhenyak. Ia urungkan niat untuk membuka pintu. Hanan melihat
kedalam lewat kaca pintu. Sami sedang berdiri melihat kedepan. Sementara Huda
tak dapat ia lihat.
“Perasaanku padamu, sangat tulus. Aku belum pernah merasa dekat dengan
seseorang seperti aku dekat denganmu. Hanan juga sering cemburu padamu, dia
bilang, dia ingin sepertimu. Kau tahu kenapa?”
Diam. Beberapa saat tak ada suara.
“Karena kau begitu sempurna.”
Tubuh Hanan lemas lunglai. Tangannya mencari pegangan. Dimata Sami, Huda
begitu sempurna.
“Tapi sekarang semua sudah berubah,” suara Huda terdengar lemah dan agak
terisak.
“Tak ada yang berubah,” Sami berkata pasti. Kepastian yang bagi Hanan
begitu menyakitkan.
“Maksudmu?” suara Huda lagi.
Hanan berbalik, tak ada yang perlu didengarnya. Cukup. Hatinya sudah
terlalu rapuh untuk menerima badai berikutnya. Badai yang sempurna hebat. Hanan
menjauh dari pintu ruangan Huda. Sayang sekali, sebab justru kalimat Sami yang
berikutnya yang seharusnya Hanan dengar.
“Maksudku..., tentang perasaan. Hanan selalu meminta aku untuk tak
berpura-pura pada diriku sendiri. Dan aku belajar untuk itu. Aku tak tahu apa
yang terjadi padaku, Huda. Tapi..., apa yang kurasakan pada Hanan, sangat
berbeda dengan apa yang aku rasakan padamu. Satu hal saja yang sangat membuatku
bingung, aku selalu merindukan Hanan, bahkan ketika ia ada didepanku. Padamu...
aku tak pernah merasa seperti itu. Tapi, bukan berarti aku tak memperhatikanmu,
Huda. Hanya saja...”
Huda menghela nafas. “Kau mencintainya. Sementara padaku..., mungkin
hanya sebagai teman.”
Sami terdiam. “Saat pertama kali aku sadar aku kehilanganmu, aku begitu
sakit, Huda. Tapi aku mencoba melanjutkan hidupku. Aku harap kau juga
begitu...”
Huda mengusap airmatanya dan tersenyum. Setelah beberapa saat mereka
terdiam, Sarah masuk.
“Sudah selesai. Kau bisa pulang nanti sore, Huda.”
“Syukurlah.”
“Dokter bilang, kau tak boleh telat makan lagi, apalagi kalau tak makan.
Eh, mana Hanan?” Sarah memutar kepalanya, menyapu seluruh ruangan, mencari
Hanan.
“Hanan? dia sudah datang?” Sami memandang Sarah.
“Tadi aku melihatnya datang, kupikir langsung kesini,” Sarah mengangkat
bahu.
“Hanan mungkin belum tahu aku disini?” Huda memandang Sami.
“Aku sudah memberitahunya. Tapi, yah! Jangan-jangan dia nyasar! makanya
aku heran dia tak mau kejemput, dia kan buta tempat,” Sami tertawa. “Aku akan
cari dia.” Keluar dari ruangan, Sami mengangkat ponselnya. Tapi baru saja ia
mendengar nada sambung, ia menemukan Hanan. Sami menutup ponselnya dan
mendekati Hanan dari belakang. Hanan sedang ada diujung lorong, Sarah tadi
pasti tak melihatnya saat berbelok.
“Apa sih yang kamu lihat? Asyik sekali!” Sami merengkuh Hanan dari
belakang. Ia ingin mengagetkan Hanan. Tapi sepertinya Hanan tak kaget. Sama
sekali.
“Bagaimana keadaan Huda?”
“Sudah baik.” Sami menempelkan
pipinya pada telinga Hanan yang berbalut kerudung, mencari pemandangan
yang tengah dilihat Hanan. Hanan tak menolak pelukan Sami, entah mengapa, Sami
begitu bahagia. Atau mungkin suasana hati akibat kejujurannya pada Huda yang
menyebabkannya seperti itu? Mungkin saja.
“Ngomong-ngomong Sami, mau makan diluar?”
Sami melihat Hanan surprise. “Sungguh? Tapi..., nanti saja deh! Kau kan
sudah masak. Aku lebih suka makan masakanmu.”
“Ya, kita makan bekal kita, tapi... disuatu tempat...”
“Suatu tempat? Kedengarannya menyenangkan!” Sami tersenyum.
“Disebuah taman. Agak jauh dari sini, tapi kalau pakai mobilmu, bisa lebih
cepat.”
Sekali lagi, Sami menyelidik wajah Hanan. Meski dari samping, Sami
melihat wajah itu tulus, meski ada kabut. “Kau sudah tak marah padaku, Hanan?”
Hanan mengangguk. “Aku ingin membuat banyak kenangan,” Hanan tersenyum
menerawang. Ada kesedihan menyelimuti kalbunya. Aku ingin membuat banyak
kenangan, agar jika suatu saat kau meninggalkanku, aku hidup dalam kenanganmu.
Tapi Hanan tak pernah tahu, bahwa suatu saat, dialah yang akan meninggalkan
Sami. Dan Sami-lah yang terus menerus hidup dalam bayangan Hanan. Ya, Hanan tak
pernah tahu, bahwa ia tengah membuat kenangan untuk dirinya sendiri...
“Aku akan menengok Huda, Sami.”
“Ok. Ayo!”
Sami menggandeng tangan Hanan. Dengan riang, sementara Hanan memandang
kedua tangan yang bertaut itu dengan pedih. Sampai kapan kedua tangan ini akan
terus seperti ini?
Didalam ruangan rawat, hanya Sarah dan Sami yang banyak bicara. Sementara
Huda dan Hanan merasa saling canggung, dan akhirnya mereka sama memilih untuk
saling diam.
Duhai Allah..., bukankah mereka berdua ini orang yang aneh? Kemarin
mereka terlihat seperti dua orang sahabat yang mengenal baik satu sama lain,
tapi sekarang mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu pertama kali.
Sami dan Sarah tertawa, entah apa yang mereka bicarakan.
“Sami, aku masih ada pekerjaan,” Hanan menghentikan tawa Sami dan Sarah.
“Tentu saja. Aku juga masih banyak pekerjaan. Kalau ada waktu, nanti aku
kesana. Ayo, Hanan,” Sami mengambil tangan Hanan, tapi tanpa diduga siapapun,
Hanan menepisnya dengan kasar.
Semua melihat pada Hanan kaget. Sarah, Huda, juga Sami tentu saja. Ia
mempertanyakan sikap Hanan dengan matanya. Hanan melihat Sami. Ia juga kaget
dengan sikapnya sendiri. Aku tak
bermaksud begitu...
“Baiklah, kami pulang dulu,” Sami tersenyum pada semuanya lalu berjalan
selangkah didepan Hanan.
Sami, maafkan aku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar