10
Hari ini Hanan tidak ke Butik. Ia ingin hibernasi paling tidak seharian
ini. Membaca sebanyak mungkin buku, adalah tujuan utamanya. Tujuan lain, ia ingin
istirahat. Tujuan ketiga, jam dua nanti ia ada janji dengan pemilik tanah
diwilayah Bandung Selatan. Ia berniat membuka cabang butiknya disana,
mengingat, hampir setengah pelanggannya berasal dari daerah itu. Pemilik Tanah
itu akan datang ke rumah sepulangnya ia dari suatu tempat. Hanan sudah melihat
letak tanahnya. Cukup strategis. Mereka hanya tinggal membicarakan masalah
harga.
“Kalau begitu, hari ini aku akan cemberut selama perjalanan,” Sami
merajuk. Keinginan untuk menemani Hanan dirumah saja muncul seketika.
“Ya ampun Sami, kamu harus membiasakan diri, saat kita punya anak nanti,
aku juga akan lebih banyak dirumah,” Hanan tersenyum. Dengan keseluruhan sikap
lelaki seorang Sami, terkadang, ia juga bisa bersikap kekanak-kanakan. Manja,
dan sangat cerewet. “Tapi baiklah, aku akan menemanimu selama perjalanan,”
Hanan mengacungkan ponselnya dengan bangga. Ia merasa menemukan sebuah ide
cemerlang.
Dan begitulah, sembari beraktifitas pagi, Hanan terus bicara dengan Sami.
“Eh, Sami, sudah sampai kantor?”
“Sudah dari tadi, sekarang aku sedang mempersiapkan bahan untuk meeting,”
Jawab Sami disebrang sana.
“Hah? Dari tadi?”
“Ya, lumayan.”
“Terus kenapa masih menelfonku?” Hanan menengok jam dinding. Sudah jam
10! Sudah dua jam ia bicara dengan Sami!
“Memangnya nggak boleh?”
“Pantes lowbat,” Hanan mendengar bunyi peringatan. “Kututup dulu ya? Sami
juga mau meeting kan?” belum sempat Hanan mendengar jawaban, Hapenya sudah
benar-benar mati kelaparan.
“Mana ya?” Hanan membuka laci meja, dimana ia biasa menyimpan chargernya.
Oh ya, Hanan baru ingat, tadi subuh Sami meminjamnya. Charger punya Sami
tertinggal dikantor. Hanan bergegas ke kamar Sami. Begitu pintu terbuka, bau
harum parfum khas Sami tercium. Pemandangan kamar Sami yang rapi mengundang
senyum Hanan. Rapi sekali, seperti bukan seorang lelaki yang menghuni kamar
ini. Meski selama beberapa malam setelah perdamaian itu, Sami tak pernah tidur
disini, tapi kamar ini tetap terawat. Tak terlihat tengah ditinggal tuan rumah.
Hanan agak heran juga, Sami seperti lelaki kebayakan dalam kerapihan.
Dalam arti, dia memang suka rapi, tapi terkadang juga tak tahu tempat.
Terkadang Sami menyimpan sesuatu ditempat yang bukan seharusnya. Bahkan setelah
mandi, Sami sering melempar baju kotornya keatas tempat tidur, atau kemana pun
tempat terdekat darinya, dan Hanan akan memungutnya segera. Tapi dikamarnya
sendiri, Sami sangat teratur, kok bisa ya?
Hanan mengangkat bahu. Ya, mungkin kalau dikamar Hanan, Sami merasa, akan
ada Hanan yang membereskan, jadi dia bisa sembarangan. Ya, mungkin begitu.
Hanan kemudian ingat dengan chargrenya. Bisa bahaya juga kalau misalnya tamu
yang akan datang nanti menelfonnya. Tapi dimana ya?
Hanan masuk dan membuka-buka laci. Dimulai dari laci terdekat dengannya.
Laci lemari, berlanjut ke laci meja didekat tempat tidur. Tak ada. Hanan baru
akan pindah kelaci lainnya ketika tubuhnya tegang dan kaku seketika. Suatu
pemandangan mengejutkan tersapu matanya didalam laci. Perlahan ia memutar
badannya kembali, lalu setelah tangan kanannya membuka laci kembali, tangan
kirinya yang gemetar mengambil sesuatu itu. Hanya sebuah foto sebenarnya. Tapi
sosok didalam foto itu membuat tubuh Hanan lemas. Airmatanya menggenang dan
menetes menuruni pipi merahnya. Hatinya teremas. Kenapa foto Huda ada disini?
Tidak, pertanyaannya adalah, kenapa Sami menyimpan foto ini?
Hanan memejamkan matanya, menikmati rasa perih yang menggores hatinya
semakin dalam. Dan satu tetes air mata kembali jatuh...
* * *
“Assalamu’alaikum. Hanan?” Sami pulang dengan segurat kekhawatiran menghiasi
wajahnya. Tak ada Hanan menyambut ketika Sami datang. Tak ada juga jawaban
salam. Karena Sami tak menemukan sosok Hanan diruangan tengah mereka yang tanpa
sekat, maka Sami langsung menuju kamar.
“Hanan?” Sami meletakkan tasnya di meja yang ia lintasi. Didekatinya
Hanan yang tengah terbaring dibalik selimut.
“Hanan? Kau tidur? Kau tak sakit kan?” Sami duduk berjongkok dihadapan
Hanan. Tangannya ia sentuhkan pada kening Hanan.
“Tidak, Sami. Aku hanya ingin tidur,” Hanan menjauhkan tangan Sami dari keningnya.
“Ponselmu tak aktif, Hanan. Teleponku juga tak diangkat. Kau membuatku
cemas,” Sami memperhatikan wajah Hanan. Ada sesuatu yang tak biasa tentu saja.
“Ada apa? Ada sesuatu yang mengganggumu?”
“Aku hanya lelah Sami..., aku hanya ingin istirahat. Kumohon tinggalkan
aku sendiri,” Hanan membuka matanya. Mata yang merah. Sami tahu ada sesuatu.
“Baiklah, istirahatlah,” Sami mencium kening Hanan dan membiarkan Hanan
terpejam kembali.
Diambang pintu, Sami berbalik dan memperhatikan Hanan dari jauh. Jika
Hanan sudah merasa tenang, dia pasti mau bicara. Sami berjalan kekamarnya,
berniat untuk mengganti pakaian. Tapi jantungnya berdebar keras ketika pintu
kamar ia buka. Laci terbuka dan foto Huda... ada ditempat tidur! Sami mengambil
foto itu.
Tidak! Allah..., Hanan pasti melihat foto ini...
Tak ingat lagi untuk berganti baju, Sami kembali pada Hanan. Tapi setelah
dekat, ia juga tak bisa bicara apa-apa. Ia tak bisa membela dirinya. Sekarang,
ia merasa menyesal, kenapa Hanan masuk ke kamarnya? Tidak, pertanyaannya salah.
Kenapa ia menyimpan foto Huda di laci? Tolol! Bukan itu! Kenapa ia masih
menyimpan foto Huda? Lalu jawaban apa yang harus ia berikan pada Hanan?
Sami duduk diatas karpet tebal bersandar ketempat tidur. Jika ia melihat
kesamping kanan, ia akan langsung melihat wajah Hanan. Dan Sami memang
melakukannnya. Menatap wajah Hanan yang pucat, terluka. Apa yang dipikirkannya?
Tangan Sami terulur mengusap rambut Hanan.
“Kau marah padaku, Hanan?” tanya Sami lembut, membuat mata Hanan terbuka
perlahan.
“Aku tak berhenti bertanya,” Hanan berkata lemah, “Apakah usahaku selama
ini sia-sia saja? Apakah cinta dihati suamiku tak bisa berpaling? Sesempurna
Dewi-kah dia hingga tak bisa dienyahkan dalam nafas suamiku?”
“Hanan,” Sami menggenggam tangan Hanan, memintanya untuk berhenti.
“Aku terus meyakinkan diriku, bahwa aku tak melihat apapun. Tapi semakin
keras aku berusaha, semakin aku yakin, bahwa foto itu memang ada,” setetes
airmata jatuh menyeberangi hidung Hanan dan jatuh dipipinya kemudian membasahi
bantal.
“Hanan, aku mohon,” Sami mengusap air mata itu, lalu mencium wajah Hanan
bertubi-tubi. Sikap Sami malah membuat Hanan terisak pelan. Tidak. Cara Hanan
menangis bukan seperti ini. Jika Hanan menangis, dia akan bersuara seperti
gadis kecil. Bukan terisak tertahan seperti ini. Apa kau begitu terluka Hanan?
“Kita sudah berhasil melewati semuanya. Kita sudah bahagia...”
“Kenapa kau membuat dirimu menderita, Sami?”
“Aku yang membuatmu menderita.”
“Kau memaksakan diri untuk mencintaiku.”
“Aku tak memaksakan diri, Hanan. Aku bahagia denganmu.”
“Laki-laki bisa tidur dengan gadis yang bahkan tidak dia kenal.”
“Aku tidak begitu, Hanan. Aku bisa saja melakukan itu sejak hari pertama
kita menikah. Tapi kau ingat? Aku baru melakukannya jauh hari setelah itu.”
“Setelah kau memutuskan untuk berpura-pura mencintaiku.”
“Hanan.”
“Apa aku sudah begitu jahat padamu, Sami?” Hanan bangun dan terduduk
hingga wajahnya sejajar dengan wajah Sami.
Sami memandang Hanan dengan mata berkaca. “Seharusnya kau marah padaku,
Hanan.”
“Aku lebih berhak memarahi diriku sendiri, karena berani-beraninya aku
sudah mencintaimu, Sami. Seharusnya aku tak memaksamu mencintaiku...”
Sami memeluk Hanan. “Maafkan aku, aku bersumpah akan membakar foto itu,
Hanan. Aku bersumpah.” Sami melepaskan pelukan dan memegang kedua pipi dan
telinga Hanan dengan kedua tangannya. “Kita mulai, ok? Kita bisa lupakan semua
ini kan? Tak ada Huda. Hanya kita berdua. Bisa kan Hanan? Kumohon katakan kalau
kau bisa...”
* * *
Memulai lagi dari awal. Itu yang Sami katakan. Tapi hari ini Hanan
memulainya dengan usaha keras. Ia berusaha tersenyum, tapi yang dihasilkan
bibir kaku dengan mata sedih. Sangat tak enak dilihat. Berusaha bercanda, dan
mengoceh seperti biasa, tapi yang Hanan katakan sama sekali tak terdengar lucu.
Tak terdengar seperti Hanan yang biasanya.
“Hari ini aku tak pergi kerja, Hanan,” Sami memandang Hanan yang duduk
dihadapannya. Ia baru menyelesaikan sarapannya. “Nasi gorengnya enak” Sami
mencari mata Hanan. Hari ini, Sami belum mendapat pandangan dari Hanan. Mata
Hanan selalu melihat meloncat-loncat, atau kadang, jelas-jelas menerawang.
“Kenapa?” Hanan mengambil gelas. Hanya ujung jemarinya saja yang terlihat
melingkar digelas itu, selebihnya, tangan Hanan tertutup switer. Cuaca cukup
dingin memang, tapi Hanan biasanya menyambut pagi tanpa baju hangat sedikit
pun, sedingin apapun itu. Pertama, karena Hanan beraktifitas sejak subuh, jadi
tubuhnya sudah menghangat. Dan kedua, ini kata Hanan, ia suka cuaca dingin.
Apalagi jika pagi yang gerimis. Terkadang Sami yang menutupkan jaketnya pada
Hanan. Atau bahkan mereka berada dalam jaket yang sama. Tapi sekarang, switer
itu terlihat menelan Hanan bulat-bulat, karena menurut Sami, ukurannya
kebesaran.
“Ingin istirahat saja, ingin dirumah. Itulah enaknya jadi bos, bebas memilih
waktu libur. Benar kan?” Sami bercanda dan tertawa. Tawa yang cepat melemah dan
hilang. ia tertawa sendirian. Sami mengamati Hanan. Jemarinya yang terlihat
hanya ujungnya itu, sedang memegang sendok dan memainkannya diatas nasi.
Kalaupun ada yang ia suapkan, hanya sebutir dua butir nasi. Hanan tak
benar-benar makan.
Sami berdiri dan mendekat. Ia mengambil alih sendok yang dipegang Hanan.
“Kusuapi ya?”
“Sebenarnya, aku sudah kenyang,” kepala Hanan berpaling menghindar dari
suapan Sami yang sudah ada didepan mulutnya. Sami menyimpan lagi sendok nasi
dengan sedih. Hanan orang yang sangat ceria, tapi jika ia sudah terluka,
terlihat lebih menyedihkan dari orang lain. Apa
yang harus kulakukan untuk membuat luka itu sembuh, gadis kecil?
Tanpa mempedulikan Sami, Hanan
meninggalkan meja makan. Ia berdiri bersandar di pintu dan memandang gerimis
yang turun satu-satu. Sami menghampirinya lalu berdiri disampingnya. Mencari
sesuatu yang memaku pandangan Hanan hingga beberapa lama ia tak mau berpaling.
“Ceritakan padaku tentang Huda,” kata Hanan tiba-tiba, memecah kesunyian
diantara mereka.
“Apa?” Sami memandang heran pada Hanan.
Tubuhnya tak berubah, pandangannya juga.
“Huda itu... seperti apa?”
Sami terdiam. Mengapa bertanya tentang Huda? Bukankah lebih baik jika
Hanan membicarakan tentang mereka berdua?
“Selain dia pintar masak tentu saja,” Hanan tertawa hambar.
“Dia gadis pendiam. Terlalu diam,” Sami mengatakan apa yang diinginkan
Hanan. Menceritakan siapa Huda. “Dia sangat dewasa, bahkan lebih dewasa dari umurnya
yang sebenarnya. Padanya, aku bisa mengeluhkan segala masalahku. Tapi dia tak
pernah melakukannya padaku. Sedikitpun.”
“Pastinya, dia seseorang yang bisa diandalkan. Dewasa, pintar, dan
berpikir kedepan.” Hanan meradang. Kenapa Huda begitu sempurna? Bahkan Sami tak
segan-segan memujinya didepanku! Tapi Hanan tak tahu, sebenarnya, Sami justru
sedang menjatuhkan Huda dihadapan Hanan. Dia ingin mengatakan kalau dihadapan
Huda, dia tak pernah menjadi lelaki yang sesungguhnya. Dia kalah pintar didepan
Huda, kalah dewasa, dan selalu nomor dua dalam berpikir kedepan. Masalahnya,
Sami mengalami kesalahan komunikasi.
“Dia hanya akan bicara, jika benar-benar perlu saja. Mungkin karena sejak
kecil aku terlalu melindunginya, Huda jadi tak terlalu banyak teman.” Sejak
kecil Sami melindunginya, tapi setelah dewasa, rasanya, Huda yang lebih banyak
melindunginya.
“Kau selalu melindunginya? Kau sudah menyukainya sejak kecil?” Hanan
tertawa lagi, tapi hambar lagi, sekeras apa pun ia berusaha. Tapi tentu saja
tak bisa tertawa secara wajar, karena ia tengah mendegar Sami membicarakan
Huda. Dan dari pembicaraan itu, Hanan tahu, Sami sangat mengenal Huda lebih
dalam, daripada Sami mengenal Hanan.
“Paman dan bibi meninggal dalam kecelakaan, aku merasa simpati.”
Dan simpati itu lama-lama menjadi empati, lalu kapan empati itu berubah
jadi cinta? Hanan yakin Sami pun tak menyadari hal itu. Sejak kapan cinta itu
tumbuh.
“Apalagi yang ingin kau tahu?” tanya Sami setengah kesal.
“Apa yang ia sukai?”
“Melukis, menulis.”
“Lalu yang tak disukainya?”
“Menunggu.”
Hanan membuang napas dari hidungnya, “Kau membuatnya menunggu dengan
menikah denganku,” kali ini Hanan benar-benar tertawa, tidak hambar, tapi
pahit. “Tapi tenang saja, bukan kau yang akan dibencinya. Tapi aku.”
Sami memandang Hanan, bukan lagi merasa setengah kesal, tapi kesal
sempurna. “Kau sudah selesai?”
“Apa kau ingin..., aku menjadi dia?”
Sami memandang Hanan tak mengerti, apalagi ketika mata biru Hanan
berkaca. Rasa kesalnya menguap entah kemana.
“Apa aku harus menjadi dia, agar aku bisa menggantikan posisinya
dihatimu?”
“Hanan?”
“Agar kau mencintaiku?” Hanan memutar kepalanya, memandang Sami sedikit
menengadah. “Aku tak akan banyak bicara jika kau mau, aku akan suka menulis,
aku akan belajar melukis, aku akan belajar membuat sushi, aku akan benci
menunggu, meski aku tak pernah merasa kesal menunggumu, aku akan...”
“Tidak, Hanan!” Sami merengkuh Hanan. Sekarang ia mengerti apa tujuan
pembicaraan Hanan. “Kau sudah tak perlu berusaha. Kau sudah cukup berusaha.
Sekarang giliranku. Aku yang akan berusaha menyentuh hatimu.”
Hanan terisak.
“Giliranku, Hanan. Giliranku...”
Tapi Sami tak juga mengatakan, ‘Aku lebih menyukaimu apa adanya’. Hanan
menunggu, tapi Sami memang tak mengatakannya, sampai suatu saat, dimana
semuanya sudah terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar