16
Langkah Huda terhenti. Sebuah siluet yang tergambar di lantai parkit
rumah, membuat kepalanya menoleh pada asal shiluet itu. Seseorang tengah duduk
di halaman belakang, cahaya pagi yang membentuk siluet itu dari tubuh Sami. Ya,
seseorang itu Sami. Huda berjalan menghampiri Sami, niatnya masuk ke ruang
depan untuk membereskan berbagai hal, ia urungkan sejenak.
“Sudah bangun, Sami?” Huda duduk disamping Sami, agak jauh. Ia menjaga
jarak.
Sami menoleh tersenyum tipis. Huda tahu, Sami tidak tidur semalam,
matanya merah dan kantung matanya terlihat lelah.
“Memikirkan Hanan?”
“Memikirkan kesalahanku padanya.” Jawaban Sami membuat Huda terdiam.
Penyesalan adalah siksaan yang paling berat, dan Sami tengah mengalaminya saat
ini.
“Pikiranmu sangat penuh dengan Hanan. Apa kamu tak tahu, ada banyak orang
yang mengkhawatirkan keadaanmu?”
Sami diam. Dia mendengar, tapi tak ingin menjawab. Dia mendengar, tapi
pikirannya tak ingin mencerna.
“Kau sudah membuat Ibu, Ayah, dan semua orang khawatir, Sami. Juga
aku...”
Sami masih diam.
“Kenapa kau hanya memikirkan dia? Seolah-olah dunia hanya diisi oleh
perempuan itu,” Huda mulai terdengar kesal.
Sami memejamkan matanya sesaat, sebelum kemudian dia berdiri dan
beranjak. Huda mendongak, mengikuti wajah Sami. Kenapa Sami malah menghindar?
Huda berdiri menyusul. Tidak, Huda sudah memulai untuk bicara, dia tak mau
berhenti. Jadi dia memutuskan untuk tak mundur.
“Aku tak percaya perempuan itu sudah berbuat seperti ini padamu.”
“Perempuan itu punya nama Huda. Hanan.” Sami berdiri di pantry, ia
mengambil gelas dan mengambil air minum.
“Ya, dia. Aku tak akan membiarkan dia berbuat seperti ini padamu.”
“Berbuat apa?” tanya Sami lemah.
“Mengacaukanmu seperti ini, Sami...”
“Hanan tidak mengacaukanku. Apa yang terjadi padaku, akibat dari yang
kulakukan. Bukan kesalahan siapapun.”
“Kenapa kau masih memikirkannya, Sami?”
Banyak sebab. Tapi Sami tak ingin menjawab.
“Seharusnya kau melupakan perempuan yang sudah mengabaikanmu,” Huda
semakin cepat bicara. Dan pikiran Sami makin lemah untuk mencerna. Pikirannya
kalut. Kata-kata Hudalah yang menyebabkannya seperti ini. Emosi Sami semakin
naik. Kenapa Huda bicara kacau seperti ini?
“Dia sudah mengabaikanmu dan melupakanmu, Sami...”
“Dia tidak mengabaikanku!”
“Dia mengabaikanmu! Jika tidak, kenapa dia meninggalkanmu bahkan tak
menghubungimu sedetik pun. Itu artinya dia sudah membencimu, Sami!”
Tangan Sami bergetar. Jiwanya berontak menolak semua perkataan Huda, tapi
ia menahan diri untuk tidak menutup mulut Huda. Jika Huda orang lain, ia akan
menampar gadis ini!
“Dia sudah memutuskan untuk pergi darimu, Sami...” mata Huda berkaca.
“Jika aku menjadi dia, aku tak akan bertindak sekejam itu. Aku akan
memaafkanmu...”
Tangan Sami semakin bergetar.
“Aku akan memaafkanmu dan terus ada disisimu, karena aku mencintaimu...”
Sami tak bisa bertahan lagi. Bukan hanya tangannya yang bergetar hebat,
tapi juga tubuhnya. Gelas yang tengah ia genggam, tak bisa lagi ia tahan, hingga
dengan cepat, gelas itu terlepas dan meluncur dari tangan Sami, menimbulkan
suara nyaring di tengah pagi yang sepi.
PRAANG!
Huda memandang gelas itu syok. Sementara Sami malah terjerembab dalam
kesedihan yang semakin dalam. Segala kata-kata Huda tentang Hanan malah semakin
membuat pikiran Sami tenggelam dalam kenangan Hanan.
“Ya Tuhan, Sami, kakimu terluka...” Huda melihat sepercik darah dikaki
Sami.
Sebuah piring yang pecah, dulu pernah mendekatkan mereka. Hanan membalut
lukanya, padahal mereka sedang bermusuhan. Ingatan tentang Hanan membuat dada
Sami berguncang.
“Hanan...” mulut Sami bergumam lirih.
Demi mendengar lirih itu, Huda yang hendak berjongkok membersihkan luka
Sami kembali mendongak dan melihat Sami. Wajah Sami seperti baru saja mengalami
badai yang hebat.
“Hanan...” kali ini disertai isakan.
“Lupakan dia Sami!”
Bersamaan dengan itu, beberapa langkah datang dan mendekat kearah mereka,
suara pecahan kaca mengundang semua yang mendengar untuk mendekat.
“Sami? Kaukah itu?” Suara Ibu. Tapi Sami tak mendengar, pikirannya penuh
dengan Hanan. Huda juga tak mendengar, sebab pikirannya penuh dengan Sami.
“Hanan..., kembalilah padaku...” Sami menekan dadanya. Menahan buncahan
penyesalan yang menggeledak tak bisa lagi ia tampung.
“Sami dengar!” Huda menarik baju Sami dan menghadapkan tubuh itu
kepadanya. Sami tak melawan, ia tak punya cukup tenaga. “Dengar aku, Sami!
Lupakan dia! Ada aku yang akan menjagamu. Aku akan mencintaimu berkali lipat
dari Hanan. Aku bersumpah tak akan membuatmu menangis seperti ini!”
Sami tak mendengar.
“Sami...” suara Huda melunak. Cengkraman tangan Huda di baju Sami
mengendur. “Aku mencintaimu....” tangan Huda perlahan naik menuju wajah Sami.
“Kesedihanmu, membuatku sakit...” Huda berairmata. “Jadi kumohon..., lupakan
dia, kita bisa hidup bahagia...”
“Sami?” Suara Ibu semakin dekat, kini sudah ada diambang pintu.
“Bisa kan? Sami?” Huda mendekatkan wajahnya pada wajah Sami. Perlahan,
namun pasti.
“Huda! Apa yang kau lakukan?" Ibu tersengat keterkejutan.
Huda berpaling kesamping dan melepaskan Sami. “Ibu?”
“Apa yang kau lakukan?” keterkejutan itu berubah kemarahan.
“Ada apa?” Sarah baru tiba, ia menggendong Rafli, matanya melihat Ibu dan
Huda heran. Ibu tak pernah marah pada Huda, untuk hal sebesar apapun. Sekarang,
kenapa tiba-tiba amarah Ibu terlihat sangat besar. Ilham dan Ayah muncul
setelahnya. Pemandangan didepan membuat mereka juga ingin tahu.
“Menjauh dari Sami sekarang juga!” Ibu menarik tangan Huda. Sami masih
diam, jiwanya belum menyatu dengan keadaan sekitar.
“Aku hanya ingin menolong Sami, Ibu.”
Huda juga, dia tak pernah menjawab Ibu untuk membela dirinya sendiri.
Tidak sebelum ini.
“Menolong dengan ciumanmu?” Ibu hampir berteriak, semua orang tersentak.
“Apa?” Ayah bereaksi lebih dulu.
“Aku tak bermaksud begitu Ibu. Aku hanya mengingatkan Sami untuk
melupakan Hanan!”
“Kenapa kau menyuruh Sami melupakan Hanan?” Ilham juga bersuara,
sementara Sarah undur dari tempat itu. Keadaan seperti ini tak baik untuk
putranya. Jadi ia berjalan sejauh suara pertengkaran tak bisa didengar.
“Karena Hanan sudah membuat Sami menderita, Kakak! Keadaan Sami membuatku
sakit...”
“Tapi tidak dengan cara seperti itu!”
“Memangnya kenapa? Aku mencintai Sami, Ibu...” Huda mulai menangis.
“Tidak!” ini suara Ayah.
“Tidak, Huda! Kau tak boleh mencintainya!”
“Kenapa? Kenapa Ibu melarangku mencintai Sami? Sementara Ibu memaksa
Hanan dan Sami saling mencintai? Mereka tak pernah kenal sebelum ini! Jika saja
Ibu mengijinkan kami saling mencintai, semua kejadian ini tak akan pernah
terjadi!”
Suara keras Huda yang mengiringi tangisan membuat Ibu tak bisa menahan
diri. Ia balas berteriak. “Kau tak boleh mencintai Sami, Huda!” Ibu mengambil
kedua bahu Huda dan mengguncangnya keras.
“Kenapa? Karena Ibu membenciku? Karena Ibu tak suka aku mendampingi Sami?
Karena aku bukan siapa-siapa dirumah ini!”
“Karena Sami adalah kakakmu!”
Diam. Semua melihat Ibu syok.
“Ya, Huda....” Ibu melepaskan kedua tangannya dari Huda. Ia menutup
mulutnya dan menangis. Ayah menghampiri dan merengkuh tubuh Ibu.
“Apa?” Huda melihat Sami perlahan. “Sami.... kakak...”
Ibu mengangguk-angguk beberapa kali. “Ya... ya...., maaf...”
“Kakak?” Sami menoleh. Kata-kata mengejutkan itu baru menyentak
kesadarannya.
“Tidak...” Huda bergumam pada dirinya sendiri. “Tidak...”
“Maafkan kami..., kami tak bermaksud menyembunyikan ini dari kalian
berdua...”
Huda melangkah mundur, lalu dengan tangisan, ia berjalan gontai menuju
kamarnya. Sementara emosi Sami sudah terkuras tadi. Hentakan yang kedua ini
seolah telah mengambil nyawanya hingga habis. Ia luruh ditempatnya berdiri...
Adik? Kakak? Kenapa aku baru tahu....
“Suatu saat kalau kau butuh tempat
untuk bersandar, aku punya ini yang siap kapanpun kau mau”
Bayangan Hanan yang sedang menepuk pundaknya sekarang tergambar jelas
dimata Sami
“Sungguh?”
“Aku janji.”
Kenapa aku tak pernah tahu sesuatu yang seharusnya aku tahu... Jika tahu
sejak awal... bukankah aku tak akan salah menafsirkan perasaanku pada Huda?
Bahwa rasa sayang itu, perhatian itu, adalah rasa kasih seorang kakak...
Hanan....
Ibu menghampiri Sami dan merengkuhnya.
Sami tergugu.
Hanan...
* * *
“Maaf aku menghubungimu, Hanan. Tapi ini penting...” Sarah menghubungi
Hanan, tapi karena Hanan sedang mengalami emesis rutinnya pagi hari, Harry yang
mengangkat telepon itu untuk Hanan.
“Sebentar, Hanan sedang di toilet.”
Sarah tersentak disebrang sana. Laki-laki? “Kau siapa?” tanya Sarah
cepat. “Di toilet? Kau ada bersama Hanan?”
“Eh, aku Harry. Adiknya.” Harry tersenyum. Dinegeri ini aneh sekali kalau
ada laki-laki serumah dengan wanita. Kagetnya sampai segitu... Harry masih
menahan tawa.
“Adik? Hanan punya adik?”
“Nanti Hanan saja yang bercerita, nih dia sudah keluar,” Harry memberikan
ponsel pada Hanan.
“Assalamu’alaikum. Ada sesuatu Kak?” Hanan menguatkan suaranya, ia tak
ingin kedengaran lemah, jadi ia tak harus menjelaskan kalau dia baru selesai
muntah.
“Kau punya adik, Hanan?”
“Ya,” suara Hanan terdengar riang. “Dia putra dari ayahku. Nanti
kujelaskan.”
“Banyak hal yang terjadi selama empat bulan ini ya...”
“Begitulah. Tapi, ada apa kakak meneleponku?”
“Ya Hanan, maaf aku menghubungimu. Tapi Sami...”
“Ada apa dengan Sami? Dia baik-baik saja kan?”
“Buruk Hanan...”
Jantung Hanan berdegup kencang. Buruk? Tangan kanannya mengelus perutnya
pelan. Tidak, ayahmu baik-baik saja...
* * *
Ilham membuka pintu kamar Sami. Gelap. Gorden dan jendela masih tertutup
rapat. Hanya ada sedikit cahaya yang memaksa menerobos melewati helai-helai
gorden yang rapat. Hasilnya, sebuah shiluet abu tergambar dilantai kamar Sami.
“Sami?”
Tak ada sahutan. Ilham hanya mendapatkan Sami sedang duduk telungkup
memeluk lutut. Sami terlalu rapuh, bahkan untuk disentuh.
“Ada tamu untukmu,” Ilham duduk ditempat tidur Sami, dekat dengan tempat
Sami duduk. “Dia datang dari jauh.”
Sami tak bereaksi. Ia ingin sendiri.
“Apa kusuruh dia masuk kesini saja? Sepertinya, kau malas untuk turun...”
“Suruh pulang saja...” Sami mejawab malas.
“Kasihan kalau disuruh pulang, dia sudah sengaja datang untukmu,” Ilham
tersenyum, didekatkannya kepala pada Sami, agar Sami bisa mendengar suaranya
lebih jelas.
“Suruh pulang...”
“Sungguh?”
Sami diam.
“Apa nanti kau tak menyesal kalau dia pulang?”
Sami mendongak, benar-benar terganggu dengan ceracau Ilham.
“Baiklah, kalau kau bersikeras. Aku akan suruh Hanan pulang lagi,” Ilham
berdiri dan berjalan, sementara Sami terkesiap.
“Hanan?”
“Ya, akan kusuruh Hanan pulang, seperti yang kau inginkan,” Ilham
berjalan lagi. “Hhh... dia pasti kecewa...” Ilham menahan senyum.
“Tunggu,” Sami berdiri cepat. Seolah sebelumnya ia tak pernah lunglai dan
tak berenergi. “Benarkah Hanan?” Sami menarik tangan Ilham, membuat Ilham
berbalik lagi melihat Sami.
“Ya. Suruh dia pulang?”
“Tidak. Aku akan turun,” Sami bergegas berjalan mendahului Ilham, tapi
Ilham segera menahannya.
“Kau mau menemui Hanan dengan keadaan seperti itu?”
Sami menunduk, melihat tubuhnya sendiri. Haa..., ia sangat kacau. Kaosnya
kusut, celananya masih piyama, dan pasti rambutnya berantakan. Tapi Sami
berpikir ulang untuk masuk kembali kekamar.
“Aku janji akan menahan Hanan untukmu,” Ilham tersenyum, mengundang
senyum juga diwajah Sami. Dan akhirnya, Sami menurut untuk merapikan diri dulu.
Ilham memandang Sami yang tertelan pintu. Badai besar yang Sami alami
seolah tiba-tiba berhenti, berganti cerah dan langit yang berpelangi. Ya, wajah
yang sudah lama hilang dari wajah Sami sejak Hanan pergi. Sungguh, ia bahagia
untuk adik iparnya ini.
Ibu sedang memeluk Hanan sambil menangis ketika Ilham turun.
“Mana Sami?” Ayah mengusap airmatanya.
“Sebentar lagi turun.”
“Sami tahu ada Hanan disini?” Sarah bertanya tak sabar.
“Tak apa, biar aku yang menemui Sami,” baru saja Hanan melangkah setelah
melepaskan pelukannya pada Ibu, suara langkah Sami mendekat. Hanan terkesiap.
Didepannya, Sami terlihat sangat kurus, auranya begitu redup. Inikah Sami yang
jauh dari dirinya? Sami seperti bertambah umur empat tahun, padahal mereka
hanya berpisah empat bulan. Ya, meski Sami berusaha tampil serapi mungkin,
Hanan tahu, Sami masih kusut. Hatinya masih remuk.
Sekarang, Hanan mengerti, mengapa Sami tak pernah memperlihatkan dirinya
didalam video kiriman itu.
Jauh didepan Hanan, Sami juga memandangnya terpaku. Hanan tak berubah.
Masih cantik, masih tersenyum, dan matanya masih berbinar. Tapi Hanan terlihat
lebih dewasa. Berapa lama ia tak bertemu gadis ini. Kerinduan yang menggeledak
itu sekarang malah diam. Kaku. Beku. Terkejut.
Hanan tersenyum lebar, dan satu tangannya menepuk pundaknya. Mata Sami
berkaca. Hanan datang untuk menepati janjinya. Sami melangkah mendekat pada
Hanan lalu menjatuhkan kepalanya pada pundak Hanan. Ia menangis. Banyak hal
yang ingin ia katakan. Tentang cintanya, tentang rindunya, juga tentang
lukanya. Sami tak tahu yang mana yang harus ia ungkapkan terlebih dahulu.
Hanan membiarkan Sami menangis sampai puas, beberapa saat mereka hanya
berdiri seperti itu.
“Hanan, aku...”
Hanan mencium pelipis Sami takjim. “Aku sudah tahu,” Hanan merengkuh
kepala Sami, membelai rambutnya yang lebat. Terlalu lebat, Sami lupa memotong
rambutnya. “Semua akan baik-baik saja...”
* * *
Hanan memandangi wajah Sami tak bosan. Tangannya membelai rambut Sami
lembut. Sami yang kurus, Sami yang tertidur lelap. Sami terlihat seperti
seorang anak kecil yang rapuh.
Setelah menangis dibahunya demikian lama, Sami merasa sangat lelah.
Makanya Hanan memintanya untuk tidur beberapa saat. Lingkaran hitam disekitar
mata Sami juga memberitahu Hanan, bahwa beberapa malam, Sami tak bisa
memejamkan matanya. Sami menggeleng lemah.
“Tidak, jika aku tidur, kau akan pergi lagi...”
Baru setelah Hanan berjanji, Sami setuju untuk merebahkan badannya.
Itupun, tangan Sami terus bertaut pada jemari Hanan. Sami percaya Hanan akan
menepati janjinya, tapi Sami tetap merasa khawatir juga. Sami belum
mengungkapkan semua yang Sami rasakan, karena itu, mungkin saja Hanan belum
sepenuhnya memberinya maaf. Lagipula, Hanan tidak datang dengan membawa tas
besar seperti saat ia pergi. Bukankah itu artinya, Hanan belum memutuskan
kembali? Sami sangat takut.
Maka saat merebahkan badan tadi, butuh waktu lama bagi Sami untuk terlelap.
Hanan ada disampingnya, tersenyum dan membelai rambutnya. Tapi Hanan tidak
bercanda, tidak berceloteh riang seperti Hanan yang biasanya, ketakutan Sami
begitu mencuat. Baru setelah Hanan berbaring disampingnya dan merengkuh kepala
Sami, Sami bisa terlelap.
Hanan memejamkan mata, keinginannya untuk terus berada disamping Sami
demikian kuat. Huda, orang yang membuat keputusannya meninggalkan Sami, bukan
lagi sebuah alasan. Sekarang, tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? Hanan
tersenyum.
Aku akan selamanya berada disampingmu, Sami...
Hanan mengecup kedua alis Sami lembut.
Setelah melepaskan diri dari genggaman tangan Sami yang mengendur karena
lelap, Hanan beringsut menjauh. Ada hal yang harus diselesaikannya. Hal itu
adalah, Huda.
Saat Hanan membuka pintu kamar Huda, gadis itu sedang duduk menghadap
jendela. Dari belakang saja, Hanan sudah bisa merasakan kesenduan itu.
“Kau baik-baik saja?” Hanan menyentuh pundak Huda lemah. Huda tak
bereaksi. Ia enggan menjawab. Dari keadaannya sekarang, Huda sadar, Hanan
mengetahui keadaannya, pertanyaan itu hanya untuk membuka sebuah percakapan.
Hanan mengambil kursi, lalu duduk tak jauh dari Huda. Hanan menghirup
udara sebanyak yang bisa ditampung dadanya lalu mengeluarkannya perlahan-lahan.
Sami sangat tertekan dengan kenyataan yang baru diterimanya. Kenyataan
bahwa dia bukan putra dari orangtuanya selama ini, juga perasaan dibohongi
selama bertahun-tahun. Hanan sangat mengerti perihnya luka Sami, tapi Hanan
tahu, Huda lebih terluka. Ibu mengakui Sami, kakaknya, sebagai putranya, tapi
tetap menganggap Huda sebagai anak adiknya. Kenyataan ini saja, bisa membuat
hati seorang Huda hancur berkeping. Tapi luka paling perih yang Huda rasakan
pastinya adalah rasa cintanya. Cinta yang demikian besar itu adalah kakaknya
sendiri...
“Aku ingin menenggelamkan diriku kedasar bumi...”
Suara pelan dari samping yang sampai ketelinga Hanan membuatnya menoleh
pelan pada Huda. Huda memandang menerawang, tapi tak ada airmata.
“Apa yang akan kau lakukan jika kau jadi aku?”
Hanan melihat Huda diam. Hanan tak tahu.
“Apa yang akan terjadi padamu, kalau ternyata kau tahu, bahwa Sami adalah
kakakmu?”
Hanan memandang Huda, meneliti matanya. Huda bukan menginginkan jawaban
yang sebenarnya dari Hanan, jadi Hanan ingin tahu, apa yang ingin didengar
Huda.
“Aku akan menangis,” kata Hanan yakin. “Aku akan menghabiskan airmataku.”
Huda tersenyum sinis. “Kau tak punya jalan keluar.”
“Itu jalan keluarku. Aku tak bisa menoleh kebelakang, tak bisa juga
merubah keadaan, juga sulit memaafkan... Jadi, aku hanya akan menangis sampai
airmataku habis...”
Huda memandang Hanan. Hanan tersenyum dan mengangguk. Huda sosok yang
tegar, tapi tipe yang bisa menangis juga. Tapi syok yang terjadi pada dirinya,
justru membuat hatinya mengerut dan beku. Dingin. Perasaan seperti itu justru
lebih menyakitkan.
Mata Huda mulai berkaca. Hanya menangis? Hanya dengan menangis?
Hanan mengambil bahu Huda pelan, lalu merengkuhnya.
“Iya, Huda. Aku hanya akan menangis...”
Dan pecahlah bongkahan itu. Mencairlah kebekuan itu. Huda menangis.
Mengurai kusut lukanya, menumpahkan kesedihannya. Jadi tak ada yang bicara,
sebab Huda hanya tergugu lama...
* * *
“Kami tak pernah bermaksud menyembunyikannya. Saat mereka berdua mulai
tumbuh, saat kami merasa, mereka sudah siap mendengar dan menerima, mereka
malah terlanjur dekat. Kami menunggu sampai mereka menghapus perasaan itu, dan
merubah kedekatan itu, agar berita itu bukan berita kesedihan, tapi berita
kebahagiaan. Tapi mungkin, jalan yang aku pilih ini salah...” Ayah membuka kacamata
dan mengusap pecahan air mata yang menggenangi matanya. Ibu meremas punggung
tangan Ayah.
Sarah, Ilham dan Hanan diam tepekur.
“Kenapa Sami bisa Ibu rawat, sementara Huda tetap bersama Ibunya?” Hanan
tak tahan untuk menyelidik.
“Saat adik perempuanku mengandung Sami, suaminya meninggal. Kesedihan
membuat Sami lahir sebelum waktunya. Kesedihan itu juga mengeringkan air
susunya. Saat itu, Ibu yang masih menyusui Sarah, memutuskan untuk menyusui
Sami juga. Tak ada yang kami sembunyikan Hanan, kami biarkan Sarah menganggap
Sami adiknya, karena memang Sami adik sesusunya. Kami juga membiarkan Sami
memanggil Mama pada ibunya, meski kami juga tak melarang Sami memanggil Ibu
pada istriku, dan memanggil ayah padaku.”
“Lalu Bibi menikah lagi?” tanya Sarah.
“Ya, setelah beberapa waktu, akhirnya luka itu sembuh. Adikku bisa
mencintai orang lain dan memutuskan untuk membina kembali rumahtangga. Huda
lahir setahun setelah mereka menikah.”
“Bibi tak mengambil Sami lagi?” Hanan bertanya hati-hati.
“Tentu saja dia bermaksud membawa Sami saat dia harus ikut suaminya dinas
keluar jawa. Tapi Sami sudah terlanjur dekat dengan Ibu, Hanan. Dia tak bisa
meninggalkanku. Lagipula di batam, Ibu Hanan mungkin akan kerepotan mengasuh
dua anak kecil. Jadi kami semua, juga keluarga besar, memutuskan untuk
membiarkan Sami bersamaku...”
Sekarang Hanan mengerti.
Ayah melepaskan nafas, mendesah. “Sami mungkin akan membenciku seumur
hidupnya, terlebih Huda.”
“Tidak Ayah, tidak mungkin...” Ilham menghibur Ayah. “Kemarahan Huda dan
Sami hanya untuk sementara...”
“Tidak juga,” potong Hanan tersenyum. “Tidak ada kemarahan sementara.”
Semua memandang Hanan kaget.
“Karena kurasa, baik Sami atau Huda, sama sekali tak marah pada kalian
berdua. Mereka hanya butuh waktu untuk mencerna. Itu saja.”
Ibu dan Ayah tersenyum. Entah benar atau tidak, tapi apa yang Hanan
katakan cukup memberi rasa optimis pada diri mereka berdua.
Sarah dan Ilham saling pandang tersenyum, Hanan selalu punya kata untuk
menghibur dan membesarkan hati semua orang.
“Lalu bagaimana ceritanya sampai kamu bertemu adikmu itu?” tanya Sarah
tiba-tiba.
“Adik?” semua memandang Hanan. Hanan tersenyum cerah.
“Lain kali, akan kuperkenalkan pada kalian,” kata Hanan setelah
menceritakan pertemuannya dengan Harry. Tapi tentang kehamilannya, Hanan ingin
mengatakannya disaat yang tepat untuk memberi mereka kejutan.
“Kalau begitu, dia benar-benar bule kan?” tanya Sarah. Hanan mengangguk
ragu, emang kenapa kalau dia bule?
“Buat Huda saja!” mata sarah membulat. Dan Hanan tertawa. Ya... bukan ide
yang buruk.
“Hanan!” sebuah suara panik dari arah tangga diiringi langkah tergesa
membuat pembicaraan mereka terhenti.
“Sami?” Hanan berdiri dan melangkah menyambut Sami. Mata panik Sami
berubah lega. Ia lalu memeluk Hanan erat.
“Jangan pergi...,” Sami mengenggelamkan kepalanya di bahu Hanan. Rupanya,
kealpaan Hanan disamping Sami, membuat Sami menyangka, Hanan pergi menghilang
lagi. Hanan tersenyum, ia akan kembali, tapi bukan sekarang. Ia ingin menemani
Harry sampai Harry kembali kenegaranya. Tapi, nanti saja deh, bicara pada
Sami...
“Mau kubuatkan nasi goreng? Pakai daging kambing?” Hanan melepas pelukan
Sami. Sami menggeleng. Ia hanya ingin memeluk Hanan, agar Hanan tak pergi lagi.
“Sami, kau harus makan...,” Hanan mengambil kedua pipi Sami dan
menjauhkan Sami dari bahunya. “Kusuapi ya?”
Sami enggan.
“Kau tak suka masakanku?” Hanan merajuk.
“Bukan begitu, aku hanya....” Sami melihat Hanan yang cemberut. “Baiklah,
denganmu.”
Hanan tersenyum cerah.
Setelah nasi goreng porsi jumbonya matang, mereka berdua memakannya di
teras belakang. Hanan ingat, dulu, ia bicara untuk pertama kali dengan Sami
ditempat ini.
“Giliranmu,” Hanan menyuapi Sami. “Tak ada komentar untuk masakanku?”
Sami tersenyum. Senyum yang sudah lama tak menghias wajah itu. “Lebih
enak dari yang dulu...”
Hanan tertawa. “Sungguh?” tentu saja, hampir tiap malam Hanan memasak
nasi goreng untuk Harry, kemampuannya pasti terus terasah. Sejak disuguhi nasi
goreng untuk pertama kalinya, Harry terus merengek tiap malam meminta dibuatkan
lagi nasi goreng. Dulu, Hanan kira, Sami orang paling maniak nasi goreng,
sekarang, Hanan menemukan pesaing Sami, dan kemampuan Harry melahap nasi goreng
jauh diatas Sami.
“Sami, untuk malam ini, aku minta izin padamu...” kata Hanan setelah Sami
menghabiskan nasi gorengnya dan menyeruput air jeruk hangatnya hingga tak
bersisa.
“Tidak! Jangan katakan kau akan pergi lagi!” potong Sami cepat.
“Hanya untuk malam ini, Sami...”
“Kau belum memaafkanku, Hanan...” kata Sami berat.
“Aku mencintaimu, dan aku memaafkanmu. Kau tahu, tadi aku langsung pergi
setelah menerima telfon dari Sarah. Aku tak membawa baju...”
Sami memandang Hanan tak yakin.
“Besok, aku akan kembali. Aku juga akan memberi kejutan padamu,” Hanan
tersenyum meyakinkan. Tapi Sami masih diam ragu. Kesalahannya demikian besar,
jadi berharap Hanan memaafkannya dalam waktu singkat adalah harapan yang
terlalu besar.
“Baiklah,” kata Sami. Ia berjanji pada dirinya sendiri, sejak Hanan
pergi, Sami akan menuruti apapun kehendak Hanan, asalkan Hanan memaafkannya.
“Besok, kau boleh menjemputku.”
“Sungguh?” kata Sami masih dengan keraguan yang sama.
“Kau tak percaya padaku?”
“Aku tak percaya diriku sendiri. Dosaku padamu terlalu besar...”
“Sshh..., jangan diingat lagi...” Hanan mengibaskan tangannya.
“Aku boleh menghubungimu?”
Hanan mengangguk. “Kau bahkan bisa menjemputku.”
”Besok, aku boleh menyusul ke apatemenmu?”
Hanan tertawa. “Tentu saja!”
“Terimakasih....”
Sami kembali memeluk Hanan. Ia tak ingin melepaskan Hanan lagi, tapi Sami
tak punya pilihan...
Berikutnya; Mozaik Cinta XVII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar