Pemukiman itu berada disebuah lembah.
Tak ada satu dinding pun yang melindungi mereka dari lingkungan luar kecuali
tebing-tebing terjal yang menyembunyikannya dari dunia luar. Tak ada sebuah
benteng. Siapapun bisa saja masuk atau keluar tanpa diketahui. Tapi setelah
ini, mereka mungkin harus membangun dinding yang kokoh. Pikir Husain.
Setelah memikirkan itu, Husain menarik
nafas panjang. Kuda yang ia tunggangi, ia pacu pelan saja. Mengulur waktu dan
memperpanjang jarak dari desa yang tengah ditujunya. Bahkan jika bisa, ia ingin
pergi saja memacu kudanya menjauhi perkampungan.
Saat pergi beberapa hari yang lalu,
Husain diantar dengan harapan dan hati yang lapang. Bukan saja oleh seluruh
penduduk Cina-Persia penghuni perkampungan itu, tapi juga oleh orang Han muslim
yang tersebar diseluruh daratan Cina, Suku Hui diutara, dan Suku Mongol
diselatan. Para pemimpin mereka telah berkumpul, menyerahkan urusan mereka
dengan Kaisar Kang Xi kepada Husain. Bukan tanpa alasan. Mereka menganggap
Husain itu layaknya Mush’ab bin Umair ketika diutus Rasulullah berdakwah di
Madinah. Lagipula, lobi para Ketua Suku sebelumnya yang gagal membuat Husain
menjadi utusan terakhir mereka.
Tubuh Husain tegap dan penuh wibawa.
Jika ia berjalan, akan terpancar keoptimisan yang keluar dari dalam tubuhnya.
Wajahnya yang tampan dan berbinar, dibingkai rambutnya yang hitam tebal, akan
membangkitkan perasaan suka pada siapapun yang memandangnya. Ditambah jika
orang yang mendengarkan tutur katanya yang halus namun tegas, orang yang
mendengar mungkin tak akan bisa menolak perkataannya. Dan mengenai ilmu
pengetahuan, tak ada yang bisa menyamai Husain. Otaknya cerdas. Ia bahkan dapat
menguasai bahasa Cina hanya dalam waktu satu bulan saja saat ia pertama datang
dulu. Beserta tulisan dan sastra. Selain itu, ia memiliki hati yang bercahaya
karena iman. Penggambaran yang sempurna untuk seorang pemuda.
Tapi semua itu seakan tak berguna sekarang.
Harapan yang dulu ditebar sekarang berubah menjadi beban. Beban yang menghimpit
dada Husain hingga ia merasa sempit dan sakit. Menghela nafas pendek pun terasa
sangat berat.
Husain menghentikan kudanya. Ia
berdiam mematung. Angin berhembus menggerakkan helai-helai rambutnya, juga
ujung jubahnya. Dari jauh, ia menatap nanar pada perkampungan. Ia menatap dan
menatap, hingga ia merasa puas. Tak akan lama lagi, mungkin perkampungan itu
sudak tak terlihat, kecuali puing-puing tak beraturan. Jadi ia ingin memindahkan
gambar perkampungan yang masih sempurna itu agar terekam jelas dalam
pikirannya.
Bibir Husain tersenyum tipis.
Perkampungan itu dihuni oleh orang-orang Cina Persia dan Arab. Bahkan, darah
Cina, Persia dan Arab sudah bercampur aduk tak menentu. Sudah sangat sulit
menelusuri jejak darah leluhur dari tubuh mereka. Apakah mereka berdarah Cina
asli, atau sudah bercampur darah Persia dan Arab? Kecuali orang-orang Persia
yang baru datang.
Perkampungan Cina-Persia itu, seperti
perkampungan Rasulullah di Madinah. Cina adalah Anshar, Persia adalah
Muhajirin. Muhajirin terus berdatangan, memperbanyak populasi. Seperti itu juga
orang Persia di daratan Cina. Mereka terus berdatangan untuk berdakwah dan
berdagang. Semua telah berlansung ratusan tahun lalu, ketika dinasti Tang
berkuasa. Bahkan saat dinasti Ming bertahta, Muslim adalah kaum yang dirangkul
dan dimanfaatkan dari segi ilmu. Banyak para pejabat, bahkan Kaisar yang
memimpin adalah penganut agama Islam.
Saat itu, semua berjalan dengan
damai...
Dan sesaat lagi, dalam waktu yang tak
lama, sebentar saja, damai itu akan hilang. Salah satu sebabnya adalah
kegagalan Husain dalam melakukan lobi dengan Kaisar.
Sebenarnya tidak begitu, tapi Husain
merasa begitu. Ia merasa bersalah.
Satu helaan nafas panjang Husain
keluarkan dengan susah payah.
Astaghfirullah...
Astaghfirullah...
Astaghfirullahal ‘Adzim...
Husain memejamkan mata, dan
menganaksungailah air mata dipipinya.
*
* *
Selangkah demi selangkah, Husain
memasuki perkampungan. Ia tuntun kudanya, agar binatang itu tak berasa berat
dengan beban yang tengah dideritanya. Ia juga ingin merasakan pijakan pada
tanah yang masih damai.
Selangkah demi selangkah lagi. Hingga
jarak yang memanjang menjadi demikian dekat.
Anak-anak dan penduduk yang melihatnya
dari kejauhan terlihat tertawa dan berlari-lari, memberi tahu para penduduk
lain. Hingga dalam waktu sebentar saja, Husain sudah ditunggu ratusan penduduk.
Husain menyunggingkan senyuman.
Mencoba meredam rasa panik dan rasa bersalahnya agar tak terlihat. Kerumunan
itu menyingkir perlahan, memberi jalan
pada Husain, lalu Husain berjalan mendekat pada Abdul Aziz, pemimpin mereka,
juga ayah kandung yang sangat dihormatinya. Lalu ketika mereka berhadapan,
Abdul Aziz menangkap senyum itu. Tahulah Abdul Aziz apa yang telah terjadi...
*
* *
Husain telentang ditempat tidurnya.
Selimut tebal menutup tubuhnya hingga bagian dada. Matanya belum lagi terpejam.
“Kita bicarakan lagi dengan para Ketua
besok.”
Kata-kata abinya tadi siang membuat otaknya terus
bekerja. Padahal sore tadi, abi meremas pundaknya kuat dan memintanya
beristirahat dengan suara pelan dan senyuman lebar. Tapi nyatanya, ia tak bisa
istirahat. Mengapa abi tersenyum lebar dan menyuruhnya beristirahat? Apakah
kegagalannya sama sekali tak berarti apa-apa bagi Abdul Aziz? Bagi orang Han,
suku Hui dan Mongol? Bagi umat Islam, bahkan jika ia seorang Manchu sekalipun?
Tidak. Tidak mungkin tak berarti.
Seperti harapan yang disebar saat kepergiannya ke istana, kepulangannya sangat
dinantikan. Jika berhasil akan mendatangkan tawa bahagia. Jika tidak, bukankah
sebaliknya?
Husain terduduk tiba-tiba dengan satu
gerakan cepat. Ia sibakkan selimutnya segera. Lalu dengan kuat, ia mengusap
wajahnya. Abi menyembunyikan kekhawatirannya. Dan itu berarti bahaya yang ada didepan
nantinya dua kali lipat dari yang dibayangkannya...
Allah..., bagaimana ini?
*
* *
Husain masuk keruang pertemuan itu.
Jauh didepannya, Abdul Aziz duduk tenang. Satu senyum mengembang dimulutnya.
Senyuman seperti kemarin.
Husain memalingkan pandangan, untuk
memalingkan keresahan.
Disebelah kanan Husain, atau disebelah
kiri Abdul Aziz, duduk tuan Ma Yun Chen. Ia mencukur rambut depannya dan
menyisakan setengahnya untuk dipanjangkan dan dikepang. Ia seperti orang
Manchuria. Tapi ia pemimpin kaum Muslimin dari suku Han. Orang Han memang
melakukannya sejak perintah penggal diberlakukan kepada orang yang tak
mengepang rambutnya. Husain mengangguk hormat padanya. Ma Yun Chen, lelaki
setengah baya itu, membalas Husain dengan senyuman hangat. Senyuman hangat
seperti yang diberikan ayahnya.
Husain merasakan keresahan itu lagi.
Disamping kiri Ma Yun Chen, atau tepat
disebelah kanannya, duduk Ketua Khan. Ia pemimpin Muslim dari suku Mongol.
Seperti Ma Yun Chen, disamping kiri dan kanannya berdiri dua orang. Bukan
pengawal, tapi orang kepercayaannya, dan putranya sendiri. Pakaian mereka tebal
dan dilapis bulu binatang, entah kulit serigala atau kulit beruang. Husain tak
begitu tahu. Tapi topi yang menutup rambut mereka, terbuat dari kulit rubah.
Husain bisa mengenalinya dari ekor rubah yang dibiarkan menjuntai dikepala
bagian belakangnya. Pada mereka semua, Husain juga mengangguk hormat.
Husain memalingkan wajah pada
seseorang disamping kirinya, atau tepat disamping kanan Abdul Aziz. Dia Tuan
Chou, pemimpin suku Hui. Berbeda dengan suku Mongol dan Han, seluruh penduduk
Hui Chi telah menjadi muslim. Meski jumlah mereka tak sebanyak suku Han yang
tersebar. Pada lelaki yang berpakaian khas suku Hui Chi ini, Husain pun
mengangguk hormat.
“Duduklah, anak muda,” Ketua Chou
menunjuk kursi kosong disampingnya. Satu-satunya kursi yang tersisa untuk
dirinya.
Mata Husain berkeliling ruangan, satu
orang Ketua belum datang.
“Ketua Muslim dari Tibet tak bisa
datang, suratnya sampai pagi tadi,” kata Ma Yun Chen mengerti siapa yang tengah
dicari Husain.
Selain Ketua Tibet, semua memang telah
hadir. Tapi Husain tidak datang terlambat, ia memang memastikan diri untuk
masuk kedalam ruangan tepat setelah orang terakhir duduk. Ia tak ingin
memamerkan keresahan yang jelas tergambar dan tak bisa ia sembunyikan.
Husain mengangguk dan menurut. Ia
duduk disamping Ketua Chou.
“Sebelum menceritakan kabar kemarin,
gembirakanlah kami dahulu dengan Taujih Robbani, Ho San Ni,” kata Ketua Ma Yun
Chen kepada Husain. Yang lain mengangguk, menyetujui perkataan Ma Yun Chen.
Husain lalu membaca surah al-anfal
ayat 5 sampai 14. Tidak, bukan untuk menasihati orang-orang yang akan
mendengarnya, tapi ia ingin menasihati dirinya sendiri. Menghilangkan
keresahannya sendiri. Meski ia merasa belum siap. Meski ia masih merasa berat.
Husain menarik nafas berat, dan
mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah satu beban yang ikut keluar bersama
desahan nafasnya, akhirnya Husain memaksakan dirinya untuk bersedia membaca
nasihat Robbani untuk dirinya sendiri. Akhirnya mulut Husain terbuka, dan ia
mulai membaca;
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran,
padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak
menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka
pasti menang), seolah-olah mereka
dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab) kematian itu). Dan
(ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua
golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang
tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu. Allah menghendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dab memusnahkan orang-orang kafir,
agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun
orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. (Ingatlah), ketika
kamu memohon pertolongan kepada Tuhan-Mu lalu diperkenankan-Nya bagimu,
‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut.’ Allah tidak menjadikannya (mengirim bala
bantuan Itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram
karenanya. Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu
mengantuk sebagai suatu penentraman dari-Nya. Allah menurunkan kepadamu hujan
dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syetan serta untuk untuk menguatkan hatimu dan memperteguh
dengannya telapak kaki(mu). (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke
dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepada mereka dan pancunglah
tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah
dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya. Itulah (hukum
dunia yang ditimpakan padamu), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi
orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab mereka.”
Sampai pada ayat ini Husain terdiam.
Kepalanya tertunduk, beberapa saat kemudian bahunya terguncang. Suaranya
tertahan sebak yang menekan. Sengajakah Allah menurunkan ayat-ayat ini untuk
dirinya? Ya, Husain telah membaca dan menghafal ayat ini sekian lama,
bertahun-tahun yang lalu, tilawahnya bahkan sampai diayat ini paling sedikitnya
tiga kali dalam sebulan, tapi mengapa aku merasa Allah baru saja
memperdengarkan ayat ini untuk pertama kali dalam mulut dan pendengarannya? Ya,
seolah-olah Allah menurunkan ayat itu baru saja, khusus untuk dirinya. Bukankah
yang Allah maksud disana adalah dirinya? Orang yang enggan berperang itu
dirinya? Orang yang ketakutan dan waswas itu dirinya? Yang ingin menghindar dan
takut kematian? Padahal, kematian itu akan datang meski ia berangkat berperang,
atau bahkan tertidur pulas diatas tempat tidurnya?
Hidup itu pilihan. Tapi mati adalah
kepastian. Yang jadi pilihan adalah mati dalam kelalaian, atau mati dalam
keadaan bergerak. Dan bukankah perang itu adalah gerakan besar untuk menegakkan
hak dan menghancurkan bathil? Terlepas dari mampu atau tidak, siap atau tidak.
Sebab yang memberi kemenangan, bukanlah banyaknya pasukan dan lengkapnya
persenjataan, tapi ketentuan Allah saja. Dia ikut peperangan atau tidak, tak
akan menggugurkan ketentuan Allah. Perang itu akan terjadi, jika itu sudah
ketentuan Allah. Sekali lagi, kesertaan dirinya hanya sebuah pilihan.
Allah menginginkan mereka berperang
melawan pasukan Kang Xi yang berjumlah ribuan dan bersenjata lengkap. Tepat
sekali, Allah menurunkan ayat ini untuknya, sebab, sebelumnya, ia memang
menyesalkan golongan musuh yang dihadapinya. Kang Xi. Bukankah Allah
jelas-jelas mengetahui keresahannya, dan menyentuh khusus lubuk hatinya?
Husain masih tenggelam dalam tangis
sesalnya. Melarutkan orang yang melihat dan mendengar hingga menitikkan air
mata. Tidak, Husain salah, surat itu bukan diperuntukkan bagi Husain seorang.
Tapi mereka juga. Karena dalam masing-masing mereka, para Ketua Klan, sama tak
menginginkan perang. Mereka lebih menginginkan hidup damai tanpa lelahnya
latihan, tanpa intaian, turunnya pedang dan tergantungnya baju besi. Mereka
khawatir dengan maut. Bukan maut yang menimpa diri mereka sendiri, tapi
kekhawatiran bahwa maut akan menjemput para tentara mereka, rakyat mereka, anak
dan menantu mereka. Mereka tersentak dengan surat yang dibaca Husain. Ini
adalah jawaban Allah untuk mereka. Mereka harus berperang, dan mereka tak
seharusnya memilih meninggalkan seruan Allah itu.
Husain mengusap hidungnya yang berat
berair, lalu dimulainya lagi bacaannya yang sempat terhenti. Lalu suara merdu
itu mengalun lagi, meski berat, tapi kemerduan itu tetap menyentuh sisi batin
yang mendengar hingga jiwa yang terdalam. Menyentuh sisi ruhaniyah, hingga naik
melesat kesebuah kenikmatan akan sapuan iman. Husain terus membaca, tapi
kemudian berhenti lagi sebelum ia sempat menyelesaikan ayat ke-17.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tapi Allahlah yang
membunuh mereka; dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allahlah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi ujian kepada orang-orang mukmin, dengan ujian yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Husain berusaha menyelesaikan ayat ini
dengan sebak yang tak bisa ditahannya lagi, hingga pada ujung ayat, tangisnya
meledak tak tertahan. Air matanya bercucuran. Bahunya berguncang-guncang.
Telapak tangannya menutup muka. Allah... itukah juga yang kuragukan selama ini?
Meragukan pertolonganMu. Tidak yakin bahwa Kau akan selalu ada bersamaku?
Bersama kami? Tidak yakin bahwa Kau tak akan meninggalkan kami? Tidak yakin akan
kesertaanMu dalam setiap gerakan kami?
Setipis itukah imanku?
Ighfirlii ya Rabbii...
“Subhanallah, bacaan yang indah...,”
Ketua Chou bergumam setelah beberapa lama semua terdiam.
Rangkaian ayat yang baru saja selesai
Husain baca, sebenarnya sudah menyiratkan kabar yang akan disampaikan. Tapi toh
mereka tetap ingin tahu dengan tersurat, dengan jelas, juga rincian
kejadiannya. Rincian pembicaraan Husain dan Kang Xi.
“Sekarang Husain, kau tahu, mengapa
kami berkumpul disini,” Suara Abdul Aziz terdengar untuk pertama kalinya.
“Karena itu, beritakan kepada kami, apa yang memang seharusnya kami dengar.”
Setelah menarik nafas, Husain
menceritakan semuanya. Tentang pembicaraannya dengan kaisar, penolakan kaisar,
kegagalan. Semua, kecuali tentang seorang gadis yang ia lihat diatap istana.
“Maafkan saya,” kata Husain menutup pembicaraan.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, anak
muda,” kata Ma Yun Chen bijak. Tak ada keterkejutan. Sebab, bukankah usaha
mereka sebelumnya juga menghasilkan hal yang sama?
“Jika saja saya bisa mengemban tugas
dengan baik.”
“Hasil tidak berhubungan dengan usaha
yang kita lakukan, Husain. Hasil dan usaha adalah sesuatu yang berbeda. Usaha
adalah sesuatu yang mengundang keberkahan Allah, sedangkan hasil adalah
ketentuan yang sudah ditulis-Nya,” kata Ketua Khan.
“Benar, Husain. Tak ada tempat untuk
rasa bersalah,” timpal Ketua Chou. Sebab jika rasa bersalah itu memang harus
ada, sebelum Husian, mereka lah, para Ketua yang lebih berhak merasakan rasa
bersalah.
“Ketua Chou benar. Yang harus kita
pikirkan sekarang adalah, bagaimana melajutkan hidup tanpa harus berperang.”
“Tidak Ketua Khan, jalan perang
mungkin harus kita tempuh. Meski tidak sekarang. Tidak mungkin kita bertahan
atau tunduk pada keinginan kaisar. Kita punya hal yang harus kita lakukan,
tanggung jawabnya dengan Allah. Kurasa, kita harus mempersiapkan itu.”
“Aku sependapat dengan Syeikh. Kita
memang tak menginginkan perang. Tidak ada yang menginginkan perang. Tapi Kaisar
Manchu itu menginginkannnya. Dan kita, tak bisa diam. Jika dikumpulkan,
ditambah dengan muslim Tibet, jumlah kita banyak.”
“Tapi bagaimana dengan pelayaran, Ho
San Ni? Apa Kaisar membicarakannya?”
“Tidak Ketua Ma, saya pikir lebih baik
tak menyinggungnya. Sebab, jika Kaisar menyadari hal itu, aku khawatir ia juga
akan melarangnya.”
“Kalau begitu,” kata Abdul Aziz,
“untuk sementara, aku akan meminta orang-orang Persia dan orang-orang Arab
untuk datang lebih banyak, selagi pintu yang satu itu belum ditutup.”
“Mintalah lebih banyak orang-orang
yang pandai mengajar al-Qur’an, Syeikh Abdul Aziz.”
“Orang-orang pandai perang pun.”
“Juga senjata.”
Husain mendesah. Perang...
“Mungkinkah kita mendatangi kaisar
lagi, Baba? Bukan hanya Ho San Ni, tapi seluruh ketua, juga membawa upeti...,”
Ma Xia Wu, putra Ketua Ma Yun Chen yang sedari tadi diam saja tiba-tiba angkat
bicara.
“Tidak, putraku. Yang diinginkan
Kaisar Manchu bukan itu. Dinasti Manchu belum lama berdiri )9, yang mereka
inginkan adalah ketaatan yang kuat dari kita, sebagai pengakuan atas
kekuasannya.” Ma Yun Chen teringat dengan penerimaan Kang Xi pada mereka
sebelum mereka mengutus Husain. Mereka, Para Ketua Muslim dari setiap suku
boleh menghadap Kaisar dengan syarat janggal yang harus dipenuhi. Mereka tidak
boleh datang bersama-sama, bahkan para pengawal tak dibiarkan masuk
menyertainya, mereka mengambil upeti yang ia bawa, tapi meninggalkan para
pengawalnya diluar pintu gerbang. Ma Yun Cen tersenyum kecut. Jika Kang Xi
seorang yang jantan, seorang pendekar, ia tak akan melakukan itu. Ketakutan
Kang Xi pada mereka terlalu berlebihan.
Jawaban Ma Yunchen terhadap pertanyaan
Ma Xia Wu, membuat Husain menunduk. Pembicaraan masih terus berlangsung, tapi
Husain tak angkat bicara, hingga ia masuk kekamarnya dan kesunyian telah
benar-benar menyelimutinya. Dam kesendirian itu membuat Husain semakin
menyelami rasa bersalahnya. Ia sudah tahu perang itu harus terjadi, tapi tetap
saja, ada satu sisi hatinya yang masih ingin berusaha mencari jalan terbaik
selain perang?
Husain mengambil sesuatu yang
tergantung dilehernya dan tersembunyi dibalik bajunya.
Gelang giok.
Husain sengaja menggantungkan benda
itu, agar gelang itu tak berpisah darinya. Bukan apa-apa, ia tak ingin seorang
pun tahu, bahwa ia mempunyai benang penghubung dengan kekaisaran Manchu. Meski
benang penghubung itu sangat tipis hingga tak terlihat.
Husain memperhatikan gelang giok itu
untuk kesekian kali. Melihat ukiran-ukiran yang menghiasi giok itu, orang akan
tahu kalau giok itu milik istana. Bahkan pada setiap butir giok itu, terpahat
kecil-kecil nama Yu Lan. Yu Lan, nama putri diatas atap. Mengingat itu, Husain
tersenyum.
Ia lalu ingat dengan janji Yu Lan di
bukit Xi Hu. Haruskah ia datang? Atau...
Husain tiba-tiba tersentak dengan
lintasan pikirannya sendiri.
Bisakah Yu Lan ia jadikan celah jalan
keluar dan menjadi jalan antara muslim dan istana? Mengingat ketertarikan Yu
Lan pada Persia?
Dan malam ini pun, Husain melewatkan
malam dengan terjaga...
*
* *
Untuk kesekian kali, Yu Lan memandangi
kitab dengan tulisan Persia itu dengan teliti. Ia sangat ingin bisa membacanya
dan mengerti isinya. Agar dengannya, ia bisa mengenal mamanya lebih jauh. Mama?
Benar. Tiga benda yang ada dalam guci itu adalah milik mamanya. Bukan hanya
tiga benda itu saja, semua benda yang ada di Istana Bunga Mesim Semi adalah
peninggalan mama. Baba melarang siapa pun, termasuk Yu Lan, untuk merubah atau
menghilangkan benda-benda yang ada di Istana Bunga Mesim Semi. Semua, termasuk
guci-guci dengan kaligrafi zaman dinasti Ming itu.
Yang jadi pertanyaan besar Yu Lan
adalah, mengapa ketiga benda itu disimpan didalam guci? Kitab, sapu tangan, dan
tanda Kaisar? Kenapa ketiga benda itu Mama sembunyikan? Mungkin takut oleh
Baba? Apa yang ditakutkan dari tulisan berbahasa Persia ini? Apakah ada isinya
yang rahasia, yang tidak boleh diketahui Baba? Tapi kalau ditulis dengan bahasa
Persia seperti ini kan, Baba tak akan mengerti isinya. Lagipula, kenapa dengan
bahasa Persia? Apakah Mama orang Persia? Sama seperti Ho San Ni?
Yu Lan menarik nafas panjang.
Kemungkinannya memang demikian. Ah,
andai Yu Lan bisa mengingat wajah mamanya sesamar apapun. Tapi, kata
‘mengingat’ itu hanya berlaku bagi orang yang sudah pernah melihat bukan?
Nyatanya, Yu Lan memang tak pernah melihat wajah Mama. Wanita itu meninggal
ketika ia melahirkan Yu Lan.
“Eh, Yu Lan, kau belum tidur?” suara
Kun Lan tiba-tba terdengar dibelakang Yu Lan.
Yu Lan cepat-cepat menyembunyikan
kitab itu dibalik baju hangatnya.
Malam ini, Yu Lan memang sedang berada
dirumah Pangeran Hu. Ini adalah malam
kebebasannya. Bebas dalam banyak hal, termasuk sebutan-sebuatan istana yang
membuat Yu Lan mual. Disini, Yu Lan dan Kun Lan bisa saling menyebut nama,
tanpa sebutan Tuan Putri. Tak ada juga acara berlutut atau bersujud seperti di
istana. Ya..., kecuali kalau mendesak saja. Kalau ada utusan istana yang datang
misalnya, atau jika kebetulan ada Menteri dan Pejabat yang berkunjung.
“Hei, aku ini bicara padamu!” Kun Lan
sudah berada disisi Yu Lan.
“Ah, maaf, aku sedang melamun,” kata
Yu Lan.
“Kenapa belum tidur, ini sudah malam.”
“Aku belum mengantuk.”
“Oh, jadi karena belum mengantuk, kau
melamun?”
“Habis apa yang bisa kukerjakan? Kalau
diperbolehkan, aku akan memanah!”
“Ha..., maksudku bukan begitu. Kalau
kau hanya melamun, untuk apa diam diluar seperti ini? Bagaimana kalau sakit?
Nanti Baba memarahi kami. Disangkanya, kami yang tidak becus mengurusmu satu
malam pun. Padahal putrinya yang bersalah,” kata Kun Lan panjang lebar.
“Katakan saja langsung, kau menyuruhku
masuk?”
“Benar Tuan Putri, udara malam kurang
baik.”
Yu Lan meninju bahu Kun Lan sambil
cemberut. Ia tak mau dipanggil Putri oleh Kun Lan. Tapi sikap Yu Lan membuat Kun Lan tertawa.
“Besok kita kemana?” tanya Kun Lan
sambil berjalan bersama menuju kamar Yu Lan.
“Aku ingin berjalan-jalan saja. Tak
perlu ditemani.”
“Ah, mana bisa. Kami bisa dimarahi
Yang Mulia.”
“Ah, Baba lagi, Baba lagi! Padahal kan
Baba sendiri yang mengatakan kalau hari ini aku bebas.”
“Iya, tapi bukan bebas dari
pengawalan!”
“Aku tak akan pergi jauh dari wisma
Paman Hu ini.”
“Kemana?”
“Bukit Xi Hu.”
“Oh, belajar memanah lagi?”
Yu Lan mengangguk cepat.
“Baiklah. Tapi kau harus menjaga
kepercayaanku,” kata Kun Lan tersenyum.
Yu Lan tiba-tiba tertawa riang. Ia tak
menyangka kalau bisa pergi tanpa pengawalan. Bukit Xi Hu memang tak jauh, hanya
naik kuda beberapa saat ke arah utara dari Wisma Kecerdasan. Tapi meski dekat,
biasanya ia tetap ditemani, atau dikawal, oleh Kun Lan. Tapi sekarang ia bisa
pergi tanpa Kun Lan!
“Baik! Aku akan kembali dengan selamat
dan kau tak akan dimarahi Baba! Terimakasih!” gadis itu masuk kamarnya sambil
tertawa lagi, kali ini lebih riang. Matanya sangat berbinar. Dan binar dimata
Yu Lan membuat senyum Kun Lan memudar perlahan-lahan. Ia terkesima. Sejak
mereka bersama waktu kecil dulu, Yu Lan tidak pernah tertawa sampai seriang
itu. Yu Lan memang gadis periang, namun seriang-riangnya Yu Lan, tak pernah ia
sebahagia itu.
Kun Lan menatap langit malam. Purnama
bercahaya terang, bintang pun berpendar. Tapi bagi Kun Lan, keindahan mereka,
kalah jauh dari indahnya binar di mata Yu Lan.
*
* *
Yu Lan merenggut kesal. Sejak tadi,
anak panahnya tak ada yang mengenai sasaran. Kenapa hari ini ia bermain dengan
sangat buruk?
“Kunci memanah adalah konsentrasi.
Kalau Anda tak bisa menghadirkannya, anak panah yang Anda lesakkan akan bingung
mencari sasaran.”
Sebuah suara yang tiba-tiba terdengar
membuat kepala Yu Lan berpaling kesamping kanan. Disana, laki-laki yang
ditunggunya berdiri. Berdiri membelah matahari pagi yang bersinar dibelakangnya.
Angin bukit yang baru saja bertiup menerbangkan jubah coklatnya.
Yu Lan menatapnya terpaku. Pemandangan
seperti yang ia lihat sekarang, pernah ia lihat dimasa lalu. Memori masa kecil
yang seharusnya sudah usang termakan waktu itu, masih terlihat jelas dalam
ingatannya. Dan memori tentang seorang pemuda yang memanah diatas bukit itu,
tak akan ia buang walau sebentar pun. Dan bukankah memori itu yang membuatnya
sangat tertarik dengan busur dan anak panah? Dan sekarang, memori itu kembali
terulang. Mungkinkah mereka orang yang sama?
“Lihat kelinci itu.” Husain, laki-laki
itu, membuka jubahnya dan mengambil busur dan anak panah yang tadi dilempar Yu
Lan. Lalu ia mulai menarik tali busur dan mengarahkan anak panah pada kelinci
yang tengah asyik memakan daun. Seperti mendapat ilham, kelinci itu tiba-tiba
melihat Husain. Sesaat, mata hitam Husain dan mata merah kelinci itu beradu.
Lalu, setelah sesaat itu berlalu, dengan kecepatan tinggi, kelinci itu berlari.
Namun secepat apapun makhluk mungil itu berlari, ia kalah cepat dari anak panah
Husain yang berlari secepat cahaya dan dalam sepersekian detik, tubuhnya sudah
menembus tubuh kelinci. Binatang itu terkapar, tanpa merasa sakit yang sangat
karena prosesnya terbunuh begitu cepat.
“Lihat?” Husain berpaling kearah Yu
Lan yang masih berdiri ditempat tadi. Melihat Yu Lan yang hanya terpaku
melihatnya, bukan melihat arah panahnya, tawa yang mengembang dibibir Husain
mengerut tiba-tiba.
“Ah, Maaf,” kata Yu Lan tertunduk
malu. “Anda mengingatkan saya pada seseorang.” Untuk menutupi rasa malunya, Yu
Lan berlari kearah kelinci itu dan mengambilnya. “Kita bisa mencucinya disungai
itu, lalu kita bakar. Bagaimana?” tanpa menunggu jawaban Husain, Yu Lan berlari
kearah sungai.
Sementara Husain memandangnya diam. Ia
meraba sesuatu yang menggantung didadanya dari balik pakaian tebalnya. Kabut
bergelayut dalam benaknya. Apakah gadis itu masih mengingat pertemuan singkat
dulu sebagaimana dirinya?
Mereka mencari ranting-ranting untuk
kemudian membakar kelinci itu diatasnya. Selama itu, mereka terdiam. Tak ada
sepatah kata pun keluar dari keduanya. Memori yang singkat itu, ternyata jika
diurai dan diingat, membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Ah, sudah matang!” kata-kata Husain
membuyarkan lamunan Yu Lan.
Husain salah, kelincinya bukan matang,
tapi terlalu matang. Yu Lan tersenyum kecut. Hah, lama sekali aku melamun ya!
Waktu untuk tahu Persia lebih banyak tersita sudah. Tersita dengan sesuatu yang
sangat percuma!
“Anda akan jawab pertanyaanku, Tuan Ho
San Ni?” tanya Yu Lan sambil menerima daging kelinci yang sudah Husain bagi
dua. Tangan kirinya erat memegang daging kelinci yang tertusuk ranting itu,
sementara tangan kanannya mulai mencubit daging kelinci yang asapnya masih
terlihat mengepul. Tapi tangan kanannya melepas cubitan daging itu cepat, dan
Yu Lan mengibas-ngibaskannya. Panas.
Husain menahan tawa. “Jangan
tergesa-gesa jika Anda makan, Tuan Putri. Kipas dulu dagingnya hingga asapnya
menghilang, jika tidak, Anda akan melukai lidah Anda.”
Yu Lan memandang Husain yang mengipas-ngipas
tangan kanannya menghilangkan asap. “Kun Lan malah mengatakan, makan itu lebih
enak kalau asapnya masih mengepul,” kata Yu Lan. Tapi ia mengipas-ngipas
tangannya juga mengikuti gerakan Husain.
“Kun Lan?”
“Dia sepupuku.”
“Oh.”
“Anda belum menjawab pertanyaanku,
Tuan Ho San Ni.”
“Oh, Ya. Bercerita tenang Persia ya?”
“Mh,” Yu Lan mengangguk cepat.
“Persia adalah tempat yang sangat
indah dan damai. Tanahnya sama seperti yang Anda pijak disini. Sebagaimana
tanah ditempat yang lain di bumi ini. Ada lembah, ada sungai. Pepohonan pun
banyak, meski tak sebanyak disini.” Sampai sini Husain berhenti, tangannya
mulai mencubit daging kelinci yang asapnya sudah tak keluar.
“Lalu kecapi?”
“Ada alat untuk menyanyi. Namun bukan
kecapi.” Husain mengunyah dagingnya.
“Apa?”
“Maaf, saya tidak tahu tentang musik.
Sama sekali.” Tangannya kembali mencubit daging kelinci untuk kedua kali.
“Teratai?”
“Teratai?” Husain balik bertanya.
“Bunga yang tumbuh diatas kolam.”
“Oh, saya baru melihat bunga itu
disini. Bunga yang sangat indah,” Husain tersenyum tulus. “Kami juga punya
bunga yang tidak tumbuh disini.” Sedetik setelah mengatakan itu, Husain
tertawa.
“Kenapa?”
“Kata-kata saya seperti anak-anak yang
tak mau kalah ya?”
Mau tak mau Yu Lan ikut tertawa.
“Hei, apa kelincinya tak enak?” tanya
Husain melihat daging yang ada ditangan Yu Lan masih utuh.
“Ah, bukan. Saya menunggu asapnya
menghilang...,” kata Yu Lan berbohong. Tentu saja, jika jujur, ia akan sangat
malu. Sejak tadi, Yu Lan lupa dengan daging kelincinya. Yang jadi pusat
perhatiannya hanya Persia, dan Laki-laki ini...
*
* *
“Bisakah bulan depan saya menemui Anda
lagi, Tuan Ho San Ni?”
“Tergantung pada Anda, Tuan Putri.”
“Saya pasti datang.”
“Insya Allah, Tuan Putri.”
“Apa?”
“Artinya, bisa,” Husain tertawa lagi.
“Bahasa Persia sangat enak didengar,”
sekarang Yu Lan yang tertawa. “Terimakasih atas semuanya, Tuan Ho San Ni. Saya
permisi.” Yu Lan sedikit menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia menghentak
tali kekang kudanya, membuat kaki kuda itu melangkah pelan.
“Putri Yu Lan,” kata-kata Yu Lan yang
terakhir membuat Husain menahan kepergian Yu Lan.
Yu Lan menghentikan kudanya lalu
berbalik dan tersenyum. “Ya?”
“Bolehkah saya mengetahui sesuatu?”
“Apa itu, Tuan Ho San Ni?”
“Mengapa Anda sangat ingin tahu tentang
Persia?”
Yu Lan tersentak, mukanya memerah
tiba-tiba.
“Ah, Maaf. Anda tidak perlu
menjawabnya. Permisi,” kata Husain setelah melihat reaksi Yu Lan yang demikian.
Husain menghentak perut kuda dengan kakinya dan kuda itu mulai berjalan
menjauhi Yu Lan.
“Apakah Anda bisa dipercaya, Tuan Ho
San Ni?”
Husain berbalik dan memandang Yu Lan
lama. Ia melihat mata Yu Lan yang juga tengah memandangnya dengan berkaca.
Husain tak menjawab. Ia terus terdiam.
Lama.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar