“Memikirkan Persia lagi Tuan Putri?”
tanya Sho Can ketika dilihatnya untuk kesekian kali Yu Lan menerawang.
“Yang jelas, Persia itu tak sama
dengan teratai, Tuan Putri,” Sho Er menggodanya. Membuat Sho Can tertawa. Yu
Lan memang tengah menerawang sambil matanya memandang teratai yang berbunga
diatas kolam dihadapannya.
Tapi candaan itu rupanya tak cukup
lucu untuk Yu Lan, bahkan Yu Lan tak menggerakkan bibirnya untuk tersenyum
sedikit pun. Ia malah berkata, “Apa di Persia ada teratai Sho Er?” Pertanyaan
itu membuat tawa Sho Er berhenti. Ia memandang Sho Can.
Mengapa gara-gara tempat bernama
Persia itu majikan mereka menjadi gila?
Ya, tuan putri mereka memang seperti
gila. Dikamar, ia sering melamun dan menggumamkan kata-kata ‘Persia’. Ia juga
sering tak tidur hanya gara-gara memikirkan warna tanah Persia. Atau menyentuh
semua benda dan berkata; ‘Apa benda seperti ini ada di Persia?’ sMungkin memang
terlalu berlebihan jika Sho Can dan Sho Er menyebutnya gila. Sikap Yu La lebih
mirip sikap orang yang jatuh cinta daripada gila. Tapi jatuh cinta pada sebuah
tempat?
Kalau tahu apa yang terjadi dengan Yu
Lan, mungkin ia akan mengerti, mengapa Yu Lan begitu jatuh cinta pada Persia.
Suatu hari, ketika ia tengah membunuh
rasa bosan berada diistananya dengan memainkan bola, Yu Lan memecahkan sebuah
guci.
“Tuan Putri, Anda memecahkan guci!”
Chang Lu, kasim Yu Lan yang menjadi korban paksaan Yu Lan untuk menjadi lawan
mainnya, melapor dengan keringat dingin. Sebenarnya, tanpa Chang Lu bicara pun,
semua yang ada diistana yang terkunci itu tahu, kalau guci itu telah pecah. Sebenarnya,
Chang Lu hanya ingin mengatakan pada Yu Lan kalau yang memecahkan guci itu
bukan dirinya, tapi Yu Lan. Chang Lu sangat tidak ingin disalahkan.
Yu Lan berjalan cepat dan melihat
korbannya yang pecah berkeping-keping. “Ah, sudahlah, hanya sebuah guci.
Lagipula yang memecahkannya bukan kita, tapi bola ini. Benar kan?” Yu lan
mengambil bola seukuran dua kepal tangan itu dengan tangannya. Ia lalu
melempar-lemparnya dan menangkapnya kembali. Sehingga bola berhias
rumbai-rumbai hiasan khas dinasti manchu itu, melayang berulang-ulang.
“Kalian bereskan saja!” katanya sambil
beranjak. “Tak akan ketahuan kalau pecah satu. Yang lain masih banyak,” kata Yu
Lan lagi. Guci yang pecah itu memang guci yang unik, guci yang tidak didapatkan
di istana putri yang lain. Hiasan dan kaligrafi yang melukis permukaan guci itu
yang membuatnya lain. Kaligrafi dan hiasan itu tak seperti kaligrafi dan hiasan
Dinasti Qing. Tapi lebih mirip peninggalan Dinasti Ming )2. Yu Lan sebenarnya
tak habis pikir, karena benda-benda yang mirip peninggalan dinasti Ming itu
dibiarkan berserakan di istananya. Sementara kalau ada diistana lain, bahkan
diistana Permaisuri pun, atau diistana Selir Si Chuan, selir kesayangan Baba,
benda-benda itu pasti sudah dimusnahkan. Tapi semua benda ‘terlarang’ yang ada
diistananya, dibiarkan hidup dan bernafas.
Tapi setiap memikirkan masalah yang
rumit itu selalu membuat Yu Lan lelah sebelum mendapat jawabannya. Akhirnya ia
menyerah dengan membiarkan semua. Toh, semua itu tak mengganggunya. Bahkan
sebaliknya, ia merasa senang, karena lukisan-lukisan yang ada pada guci-guci
itu adalah lukisan-lukisan dan kaligrafi yang sangat indah.
Sho Er, Sho Can, Chang Lu, Chang Hu,
menurut. Mereka segera membereskan pecahan-pecahan guci.
“Eh, Tuan Putri, lihat ini!” kata Sho
Er tiba-tiba. Suaranya menahan langkah Yu Lan yang menjauh.
“Apa?” Yu Lan berbalik. Keningnya
berkerut ketika dilihatnya, empat orang tak jauh didepannya itu tengah
berjongkok mengelilingi pecahan guci. Mereka tak sedang membereskannya. Mereka
seperti patung yang diam mengamati sesuatu yang asing. Ini membuat Yu Lan
sangat penasaran.
“Lihat ini, Tuan Putri...”
Akhirnya tanpa menunggu panggilan
ketiga, Yu Lan segera menghampiri mereka. Pandangan Yu Lan terpaku pada tiga
buah benda asing yang teronggok diantara pecahan guci yang berserak. Sebuah
kitab, sebuah tanda kekaisaran, dan sebuah sapu tangan. Setelah beberapa saat
tenggelam dalam keterkejutannya, tangan Yu Lan bergerak pelan mengambil ketiga
benda itu. Ia lalu berjalan sambil mengamati ketiga benda itu. Yu Lan
membolak-balik sapu tangan sutra biru muda bersulam benang merah menyala di
salah satu ujungnya. Entah sulaman apa. Tapi yang pasti sulaman itu berbentuk
kaligrafi huruf yang tak dimengerti Yu Lan. bukan kaligrafi huruf Manchu,
apalagi Mandarin. Tulisan latin juga bukan. Sebuah kaligrafi dengan tulisan
asing. Kening Yu Lan berkerut halus. Pandangannya beralih pada benda kedua.
Tanda kekaisaran. Benda ini, sangat familiar. Tak asing. Tapi yang menjadi
pertanyaanya, mengapa benda sepenting ini, ada didalam guci bersama dua benda
lainnya? Tak menemukan jawaban. Yu Lan beralih pada benda ketiga. Sebuah kitab
yang bagian luarnya tertulis kaligrafi dengan huruf yang sama dengan huruf yang
menghiasi saputangan. Yu Lan membuka-buka kitab itu. Dan keningnya yang tadi
berkerut halus, sekarang mengkerut berlipat-lipat. Tak ada yang ia mengerti
dari kitab itu. Bahasanya bukan bahasa yang biasa mereka gunakan. Tulisannya
asing. Yu Lan memang pernah melihat tulisan ini, tapi sudah lama dan entah
dimana.
“Seperti tulisan di bendera suku Hui
Chi,” kata Yu Lan ketika ia baru saja berhasil mengingat dimana ia melihat
tulisan itu. Tulisan yang menghias sebuah bendera yang dibawa utusan Hui Chi
saat datang ke istana. Tapi sebenarnya, ia tak terlalu yakin dengan ingatan
selintasnya itu. Dan tentu saja, keingintahuannya tak lantas habis sebatas itu.
Ia mencari tahu ke perpustakaan Istana. Disana, ia mendapat fakta baru, bahwa
tulisan seperti itu adalah tulisan yang dibawa oleh orang Persia dan
orang-orang Arab ke dataran Cina. Dalam kitab itu, Yu Lan melihat sebuah gambar
ilustrasi tentang orang-orang Persia dan Arab saat datang pertama kali pada
masa Dinasti Tang )3. gaya berpakaian mereka mirip dengan seorang pemuda yang
ia lihat dulu di atas bukit. Bukan hanya itu, rambut mereka dipotong sama
persis dengan pemuda itu!
Dan sejak itulah, kata Persia, menjadi
kata-kata yang sangat menarik minat Yu Lan.
“Yang aku tahu, teratai tumbuh
dikolam. Kalau di Persia ada kolam atau danau, mungkin teratai juga ada yang
mulia.”
“Mengapa tidak Putri tanyakan pada
Pangeran Hu Zuang?” saran Sho Er. Pengalaman Pangeran Hu Zuang dalam ekspansi wilayah
sudah tak terhitung. Padahal sebenarnya, sesuatu yang melanggar hukum jika
keluarga istana Dinasti Manchuria
dilibatkan dalam perang atau jabatan pertahanan dan sejenisnya, tapi
kecakapan Pangeran Hu Zuang dan rasa sayang Kaisar padanya membuat pengecualian
itu. Saking seringnya ke medan pertempuran, membuat Pangeran Hu Zuang jarang
berada diistana. Kalau berkesempatan ada di istana, itu berarti Pangeran Hu
Zuang hanya ingin bertemu Yu Lan. Putri nakal yang sangat ia sayangi melebihi
putranya sendiri. Tapi itu dulu. Protes dari para pejabat membuat Kaisar
akhirnya menarik Pangeran Hu untuk menempati jabatan penasihat pribadinya.
Tiba-tiba Yu Lan berdiri, membuat Sho
Can dan Sho Er melonjak kaget dan berlari, membuat Sho Can dan Sho Er berteriak
dan berlari menyusul Yu Lan.
“Eh, Tuan Putri! Tunggu!”
Yu Lan berlari, tak mempedulikan kedua
inangnya yang berteriak dan terlihat kesulitan menyusulnya. Sho Chan dan Sho Er
sebenarnya tak habis pikir, bagaimana putri mereka bisa begitu lincah berlari
dengan sepatu keramik dengan sol tinggi seperti itu? Sementara mereka kesulitan
menyusulnya padahal sepatu mereka adalah sepatu kain biasa?
Yu Lan memang berlari sangat cepat
untuk ukuran seorang putri dengan sepatu, pakaian dan papan hitam diatas
kepalanya. Saking cepatnya, seolah-olah koridor istana yang setiap ujung
pagarnya berhias pahatan naga itu ikut bergoyang-goyang laksana jembatan kayu
yang rapuh. Tujuan Yu Lan hanya satu. Perpustakaan Istana. Bukan buku yang
dicarinya, karena toh, pencarian pada buku telah ia selesaikan beberapa hari
yang lalu. Ada satu yang ia lupakan di Perpustakaan Istana. Guru Liu! Guru tua
berjanggut dan beralis hitam panjang dan terlihat membosankan, tapi sayangnya
sangat pintar dan tahu segala hal. Semua ilmu yang ada didunia seolah tergambar
jelas dalam benak pikirnya. Jadi sebuah daerah bernama Persia atau Arab, pasti
tak mungkin tak dikenalnya! Mengapa saat dulu mengubek-ubek isi Perpustakaan ia
melupakan unsur penting itu? Guru Liu!
Tapi sebelum sampai ketempat yang
dituju, sebuah peristiwa mendadak terjadi. Dipersimpangan, Yu Lan bertubrukan
amat keras dengan seseorang. Yu Lan jatuh terduduk. Papan hitam tipisnya hampir
terjatuh kalau saja Sho Can dan Sho Er tak mengikatnya sekuat ini, dan kalau
saja Yu Lan tak lekas-lekas memegangnya. Posinya acak-acakan, dan jepit rambut
bunga magnolianya jatuh dan terlempat didekat sebuah kaki yang berhias sepatu
bersulam naga. Tidak! Jangan sampai itu kaki Baba!
“Ya ampun, Yu Lan! Apalagi yang kau
lakukan?”
Sebuah suara membuat kepala Yu Lan
mendongak. Dilihatnya Putra Mahkota mengulurkan tangannya. Yu Lan membuang
nafas lega. “Ah, Puta Mahkota..., syukurlah...,” Yu Lan mengelus dadanya yang
tadi berdegup kencang.
“Ya ya..., untung bukan siapa-siapa.
Bukan Baba atau Ibu Permaisuri,” kata Putra Mahkota Yinreng sambil mengulurkan
tangannya. Yu Lan menyambut uluran tangan Putra Mahkota, sehingga ia bisa
berdiri dengan tegak.
“Tuan Putri!” Sho Chan dan Sho Er
datang terengah-engah.
“Dari mana saja kalian? Mengapa kalian
tidak menjaga Tuan Putri dengan baik?”
Sho Chan dan Sho Er memberi hormat
pada Putra Mahkota. “Maaf Yang Mulia...”
“Eh, itu salahku. Sudahlah,” Yu Lan
mengibaskan tangannya, membuat sapu tangan yang selalu dipegangnya
melambai-lambai.
“Kau sendiri mau kemana? Apa kamu
menghindari hukuman Baba sampai kau berlari-lari seperti ini?” kali ini Putra
Mahkota berbicara setengah menggoda.
“Ah, bukan begitu!” Yu Lan melihat
orang-orang yang ada dibelakang Putra Mahkota yang sedang menahan tawa.
“Oh, kalau begitu, ada kijang yang
lari dari buruanmu?” tanya Putra Mahkota menggoda lagi.
“Kakak!”
“Atau ada pohon yang harus kau panjat
lagi?”
“Kakak, sudah! Aku hanya akan ke ruang
baca!”
Semua terbeliak, tak terkecuali Putra
Mahkota.
“Ruang baca?”
“Benar, kenapa? Apa aku tidak boleh
pergi kesana?”
“Heh! Kalian beri makan apa Tuan
Putri?” tanya Putra Mahkota pada Sho Chan dan Sho Er. Yang ditanya saling
pandang, lalu bersamaan menggeleng dengan cepat.
“Apa aneh kalau aku hendak menemui
Guru Liu?”
“Jelas aneh! Kalau kau tidak salah
makan, kau berarti sedang kerasukan roh leluhur,” Putra Mahkota tersenyum
nakal. Orang-orang dibelakangnya pun ikut tersenyum. Jika tidak ada Putra
Mahkota dan Putri, mereka mungkin sudah tertawa terbahak-bahak.
“Sudah! Jangan menggodaku!” Yu Lan
cemberut dan marah. Diliriknya Kun Lan yang berdiri disamping Putra Mahkota.
Kun Lan juga tengah menahan tawa. “Kau juga, diamlah!” kata Yu Lan pada Kun
Lan.
“Maaf Tuan Putri,” kata Kun Lan. Tapi
gaya Kun Lan yang memperolok Yu Lan membuatnya tambah marah. Padahal Yu Lan
ingin Kun Lan membelanya.
Yu Lan pergi dari hadapan para pemuda
itu tanpa memberi hormat pada Putra Mahkota. Sho Chan dan Sho Er menyusulnya.
Akhir-akhir ini gosip itu memang menyebar kembali. Sebenarnya bukan gosip, tapi
kenyataan. Kenyataan kalau Yu Lan, diluar istana masih nakal dan liar. Bukan
keluarga Pangeran Hu yang membocorkannya, Yu Lan yakin itu, tapi mungkin
mata-mata permaisuri yang menyampaikan berita ini ke istana. Tapi, Kaisar dan
Permaisuri tak menginterogasinya sama sekali. Hal aneh yang tak dimengerti Yu
Lan.
“Hei, kenapa tidak sopan begitu?”
Yu Lan tak mempedulikan perkataan
Putra Mahkota yang setengah meneriakinya itu. Padahal, kalau masalah tidak
sopan ini sampai ke telinga Permaisuri, Yu Lan bisa dihukum berat. Tapi karena
kesal, sepertinya Yu Lan tak peduli. Lagipula ia tahu, Putra Mahkota tak akan
mengadukannya.
“Apa kau marah?” Kun Lan berlari
menyusul Yu Lan. Ia menjajari langkah-langkah cepat Yu lan.
“Kalian memperolokku dihadapan mereka!
Kalian yang sengaja membuatku marah,” kata Yu Lan tak peduli.
Yu Lan memang mengakui, kalau ia bukan
putri yang baik. Ia menyadari kalau ia memang seorang putri yang liar. Tapi
selama ini, ia bertahan untuk tak melakukan keliaran itu di Istana. Ia memang
memanjat pohon, berburu, belajar
memanah. Tapi semua itu dilakukan ketika hari bebasnya berlaku. Saat ia keluar
istana untuk menginap dirumah Pangeran
Hu Zuang. Tapi memperolok didepan para pemuda seperti yang dilakukan
Putra Mahkota tadi, tetap membuat Yu Lan malu. Ia rasa perlakuan Putra mahkota
sangat keterlaluan!
“Maafkan kami, kami bukan
memperolokmu, hanya ingin sedikit menggoda.”
“Apa bedanya?”
“Baik. Tak ada bedanya. Maafkan kami
ya?”
Yu Lan terus berjalan, tak
mempedulikan perkataan Kun Lan.
“Kau sungguh-sungguh akan menemui Guru
Liu?” Kun Lan mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya, melihat Yu Lan cemberut
seperti itu malah membuatnya ingin tertawa lebih keras dan menggodanya
berulang-ulang. Habis Yu Lan lucu kalau sedang marah. Tapi kalau Yu Lan digoda
lagi, ia bisa mengamuk. Akan sulit menjinakkannya kembali.
“Apa pedulimu?”
“Aku hanya akan memberitahu, kalau
Guru Liu sedang tidak ada ditempat.”
“Bagaimana kau tahu?” Yu Lan bertanya
tak peduli.
“Karena kami baru saja dari sana.”
Yu Lan terus berjalan, tak mempercayai
perkataan Kun Lan begitu saja. Sebenarnya Kun Lan orang yang sangat bisa
dipercaya. Setahu Yu Lan, Kun Lan tak
pernah berbohong. Bahkan ia satu-satunya orang yang bisa diandalkan di istana.
Tapi rasa kesal membuat Yu Lan ingin sedikit membalas dendam.
“Yang Mulia memanggilnya, ada utusan
datang dari Persia. Tak ada yang tahu bahasa Persia di Istana ini kecuali Guru
Liu.”
Langkah Yu Lan akhirnya berhenti. Kata
‘Persia’-lah yang membuat langkahnya kaku. Bahkan sekarang, jantungnya berhenti
berdetak. Utusan dari Persia? Utusan? Orang Persia?
“Apa kau bilang?” Yu Lan berbalik. Ia
menghadapkan tubuh dan wajahnya kearah Kun Lan. Ia ingin memastikan, kalimat
yang tadi diucapkan Kun Lan sama sekali bukan kesalahan pendengarannya.
Kun Lan mengulangi kalimatnya. “Ada
utusan dari Persia datang ke Istana. Guru Liu...”
Belum selesai Kun Lan bercerita, Yu
Lan sudah berlari melesat menjauhinya.
“Hei, Putri Yu!” Kun Lan hendak
menyusulnya, tapi teriakan Putra Mahkota berhasil menahan langkahnya.
“Biarkan saja kijang itu, dia akan
baik-baik saja. Sekarang latihan kita akan dimulai!”
Setelah berdiam sejenak,
akhirnya-kata-kata Putra Mahkota yang ia ikuti. Putra Mahkota benar, Yu Lan
akan baik-baik saja. Apapun yang dilakukannya, keberuntunan selalu
menyelimutinya. Begitu kan yang selama ini terjadi?
Masih dengan berlari, Yu Lan masuk
Balairung Keselarasan Tertinggi dari bagian belakang. Beberapa penjaga yang
berdiri mematung, tak ia pedulikan benar. Balairung Keselarasan Tertinggi
adalah gedung terluar dari Kota Terlarang, biasanya berfungsi untuk menerima
tamu atau utusan.
“Sebenarnya Tuan Putri hendak kemana?”
tanya Sho Er sembari membuang nafas putus-putusnya karena lelah. Padahal Yu Lan
sama sekali tak terlihat lelah selain pipinya yang tambah ranum memerah.
“Stt!” Yu Lan meletakkan telunjuk
dimulutnya. Jawaban seperti itu justru membuat Sho Can dan Sho Er khawatir.
Mereka menangkap firasat, kalau putrinya itu akan melakukan suatu hal yang
membahayakan.
Yu Lan terus berjalan mendekati
singgasana Kaisar. Suara percakapan Baba dan seseorang terdengar jelas.
“Kami tidak ingin berperang, kami
meninginkan perdamaian,” kata seseorang dengan bahasa Mandarin namun logat yang
sedikit asing ditelinga Yu Lan.
“Bagus, aku juga tak ingin membunuh
prajurit sia-sia.” Itu suara Baba.
“Hubungan kami dengan penguasa
terdahulu telah terjalin dengan amat baik. Kami berharap hubungan yang sama
juga terjalin dengan Yang Mulia.”
“Ha...ha... ha...,” Baba tertawa.
Lama.
Kening Yu Lan berkerut. Percakapan dua
orang itu, tak seperti percakapan yang membutuhkan penerjemah. Dari tadi, tak
terdengar suara Guru Liu menerjemahkan bahasa Persia. Tak ada juga orang yang
mengatakan sesuatu dengan bahasa yang tak dimengerti telinganya. Jika begitu,
mungkin orang Persia itulah yang berbicara bahasa Cina.
Mata Yu Lan berkeliling.
Keingintahuannya tentang Persia membuatnya merasa tak cukup hanya dengan
mendengar saja. Ia lalu berjalan mendekati sebuah tiang besar yang posisinya
sangat dekat dengan singgasana Baba.
Yu Lan mengangkat satu kakinya dan
mulai memanjat.
“Eeeh..., Tuan Putri! Apa yang Anda
lakukan?” Sho Er berbisik dengan suara khawatir yang sangat. Kepalanya
berputar-putar melihat sekeliling. Beberapa pengawal bersenjata lengkap berdiri
menempelkan punggung mereka pada dinding. Pandangan mereka memang lurus
kedepan, seolah tak ada yang terjadi dihadapan mereka. Tapi siapa tahu hati
mereka bergejolak dan berencana untuk memberitahukan sikap Yu Lan pada
Permaisuri. Skandal kecil ini cukup untuk mereka menjilati kaki permaisuri dan
mendekatkan posisi mereka pada jabatan pengawal kepercayaan yang basah dengan
uang.
“Apa Anda tidak takut, Tuan Putri?
Turunlah.... kalau Yang Mulia tahu anda bisa dihukum lagi...,” kali ini Sho
Chan bicara dengan ketakutan dan permohonan.
“Stt! Baba tak akan tahu kalau kalian
tak bicara...,” Yu Lan berkata sembari memberi penekanan keras pada kalimatnya,
mata Yu Lan juga menyiratkan ancaman pada seluruh pengawal yang ada bersama
mereka. Ya, mereka memang seperti patung, tapi Yu Lan tahu, mereka mendengar
ancamannya. Yu Lan terus memanjat, lengkap dengan sepatu keramiknya yang
tinggi, choansem )4 sutra warna birunya, sapu tangan dan papan hitam berhias
bunga dikepalanya. Tapi dengan tubuhnya yang ramping dan cekatan, ia sudah ada
di atap dalam sekejap dan bertahan di palang-palang yang penuh ukiran naga.
Dibawah, sho Chan dan Sho Er menatap sekeliling dan keatas bergantian dengan
wajah ketakutan. Diatas, Yu Lan tersenyum. Dari tempatnya berada kini, ia bisa
melihat ruangan Balairung Keselarasan Tertinggi dengan sangat jelas!
Tepat dibawahnya, tampak kepala Baba
yang berbalut mahkota kuning dengan penjepit hiasan topi dari giok yang
menjepit bulu merak hingga bulu itu memanjang dari tengah topi sampai menjuntai
menjauhi tepinya. Disisi kanan dan kiri Baba, yang tempatnya agak turun
kebawah, berdiri berderet para Menteri. Yu Lan juga melihat Guru Liu berdiri
dibawah kursi naga Baba. Dan tepat ditengah-tengah ruangan itu, berdiri
seseorang berpakaian tak biasa. Seperti pakaian laki-laki Manchu, tapi tak
berkerah juga tak berkancing. Pakaian
itu kemudian ditutup sebuah jubah tebal. Yu Lan yakin, dialah utusan dari
Persia itu!
“Sayang sekali, Dinasti Qing sekarang,
bukanlah dinasti Ming yang terdahulu. Dan kebijakan Dinasti sekarang tak akan
sama dengan dinasti yang terdahulu. Apa kamu tahu, dinasti kami-lah yang telah
mengalahkan dinsti Ming yang rapuh, “ kata Kaisar setelah tawanya reda.
Sejurus, sang utusan itu terdiam.
“Jika...,” kata utusan itu
menggantung. Menggantung karena matanya menangkap suatu pemandangan yang
mengherankan diatas sana. Ia melihat kepala Yu Lan jauh diatas kepala Kaisar.
Yu Lan menyadari pandangan itu. Ia
lekas-lekas menaruh jari telunjuk didepan mulutnya. Utusan itu mengerti. Ia pun
lekas-lekas mengembalikan keterkejutannya dan menampilkan kembali wajah yang
biasa. Tapi terlambat, pandangan heran utusan itu membuat semua orang menatap
keatas Kaisar. Tak terkecuali, Kaisar sendiri. Yu Lan masih sempat bersembunyi,
ia menahan nafas ngeri. Kalau ketahuan, matilah sudah!
“Ah..., kaligrafi dan ornamen-ornamen
di istana ini benar-benar membuat saya takjub,” kata utusan itu. Membuat nafas
Yu Lan kembali berhembus. “Kami ingin Anda berbaik hati. Kami akan memberi apa
yang Anda inginkan.”
“Kami itu..., kalian orang-orang
Persia, Suku Hui Chi )5, Orang Han )6 dan Mongol? Ah, juga sebagian orang Tibet
kan?” )7 tanya Kaisar.
“Benar. Kami penganut agama Islam.”
“Apa yang kalian berikan?”
“Upeti, pajak, harta. Juga kesetian
kami dan ilmu pengetahuan kami.”
“Lalu apa yang harus aku berikan?”
“Membiarkan kami menjalankan apa yang
kami percayai.”
“Yang kalian percayai...,” kata Kaisar
mengulang. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. “Pergi setahun sekali ketanah
Budha Ma Hia Wu )8, menyembelih binatang setahun sekali, tidak mengepang
rambut, dan menutup kepala kaum
perempuan?”
“Benar.”
“Dan kalian akan memberikan apa yang
aku inginkan?”
“Benar.”
Hening.
Para Menteri saling pandang.
Mengkhawatirkan sesuatu yang sama mereka khawatirkan.
“Bagaimana jika yang aku inginkan
adalah kepala kalian?” pelan dan lambat, namun cukup menggetarkan angin dan
perasaan hingga utusan itu tersentak. Yu Lan juga tersentak. Namun para Menteri
saling pandang kembali, kali ini diliputi kelegaan dan seulas senyuman.
(Tempat Ho San Ni menghadap Kang Xi, sekaligus menemukan Yulan di atas sana)
*
* *
Husain merenung diatas kudanya. Misi
yang diembannya gagal sudah. Allah..., apakah kegagalan ini pertanda kegelapan
yang akan melingkupi kami sesaat lagi?
Mata Husain memandang jauh ke balik
awan. Mulutnya mendesah. Apapun yang akan Kau bentangkan dihadapan kami,
berikan kami kekuatan...
“Tuan Persia! Tuan Persia!” Yu Lan
memacu kudanya menyusul Husain.
Husain mengerutkan alisnya. Tuan
Persia? Apakah teriakan itu ditujukan untuknya?
“Tuan Persia!”
Husain menarik tali kekang kudanya. Ia
berbalik. Seorang gadis menunggang kuda mendekat kearahnya. Ah, dia gadis yang
ada diatap! Husain menyambutnya dengan senyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Putri?”
“Yu Lan. Panggil saja begitu.” Yu Lan
tersenyum. Kudanya berputar-putar tak diam. Yu Lan menenangkannya.
Husain terhenyak. Ia terpaku beberapa
saat. Yu Lan? Gadis kecil yang ia lihat dulu diatas bukit? Sudah sebesar ini?
Ditatapnya Yu Lan seksama. Bola mata yang hitam lincah, bibir tipis yang merah,
dan pipi yang merona merekah. Gadis kecil itu cepat dewasa. Hampir-hampir saja
ia tak mengenalnya kalau saja ia tak memperkenalkan dirinya. Ya, semuanya
berubah, kecuali warna pipinya. Pastinya, ia sudah berlari-lari tadi. Apa Yu
Lan tak mengenalnya? Husain tertawa. Memangnya mereka pernah berkenalan?
“Kenapa?” tanya Yu Lan heran.
Husain memalingkan pandangannya
segera. Mengapa ia bisa begitu hanyut? “Ah, tidak. Saya hanya tidak bisa membayangkan
Tuan Putri memanjat dinding dengan pakaian dan hiasan rambut seperti itu!”
Husain tertawa lagi. Membuat Yu Lan ikut tertawa.
“Jangan panggil saya Tuan Putri. Yu
Lan saja. Lagipula saya tidak memanjat dinding. Hanya sebuah tiang kayu penuh
ukiran.”
“Oh,” Husain menghentikan tawanya
heran. Tapi kemudian ia tertawa lagi. “Maaf,” katanya menahan tawa sebelum ia
puas.
“Tak apa,” kata Yu Lan. “Saya memang
tampak aneh. Tapi terimakasih tidak mengadukan saya pada Baba.”
Husain mengangguk. Lalu tiba-tiba ia
teringat panggilan Yu Lan padanya. Tuan Persia. “Nama saya Husain.”
Yu Lan membuka mulut, mencoba
menirukan kata Husain yang dirasa sulit untuk lidah orang Cina. Tapi
sebenarnya, ia memang bukan orang Cina, hanya saja, dinasti Manchuria yang
minoritas memaksa mereka berbicara dengan bahasa Mandarin. Hingga akhirnya,
bahasa Manchu sendiri hanya di pakai pada kelas khusus Bahasa Manchu dan
surat-surat resmi Kekaisaran, itupun hanya protokoler saja, karena dibawahnya
akan ada bahasa Mandarin sebagai terjemahan. Selain bahasa, mereka juga
mengadopsi budaya Cina, seperti Opera Peking. Berkali-kali Kaisar menundang
Opera Peking terkenal untuk main diistana, dan Opera itu adalah kegemarannya.
“Ho San Ni. Orang memanggilku begitu,”
kata Husain mengerti.
“Oh, Ho San Ni.” Yu Lan tersenyum
senang.
“Jadi Anda tak perlu memanggil saya
Tuan Persia.”
Yu Lan tersenyum malu. “Tapi benarkah
Anda dari Persia?” Yu Lan membelalakkan matanya. Nampak sekali, ia sangat
tertarik dengan jawaban yang ia tunggu.
“Benar. Mengapa?”
“Ah, sungguh?” mata Yu Lan tampak
berbinar, membuat Husain terhenyak. Seorang putri kaisar yang menekan orang
Persia malah tertarik dengan Persia?
“Benar,” jawab Husain.
“Seperti apa Persia itu? Apa tanahnya
seperti disini? Apa di Persia ada kecapi? Apa ada teratai juga? Apa pakaian
yang dipakai orang-orang Persia seperti yang Anda kenakan sekarang? Bagaimana
pakaian perempuannya? Baba bilang pakaiannya menutup kepala. Seperti apa?
Lalu..., bangunannya seperti apa? Apakah jalanannya seperti disini? Ah, apakah
memiliki Kaisar juga? Seperti apa? ...”
“Tunggu, tunggu!” Husain tertawa lagi.
“Bagaimana saya bisa menjawabnya jika Anda bicara secepat itu?”
Yu Lan tersenyum malu lagi. “Maaf.”
“Saya akan menjawabnya. Segala yang
ingin Anda tahu tentang Persia, Putri. Tapi maaf, tidak sekarang.”
Yu Lan mengerti. “Baiklah,” kata Yu
Lan, “Tapi bisakah setelah ini kita bertemu lagi?”
“Saya tidak yakin, Putri. Ayah
anda...,” mata Husain berkabut.
Yu Lan termenung. Ia ingat percakapan
Husain dengan Baba. “Maafkan Baba...”
Husain tersenyum. Bagi Yu Lan, senyum
itu artinya tak dimaafkan. Karena setelah tersenyum seperti itu Husain
menghentakkan kakinya ke perut kuda, hingga kudanya berjalan menjauhi Yu Lan.
“Kalau begitu bisakah bertemu diluar
istana?” tanya Yu Lan tanpa menyusul Husain.
Luar istana? Husain meragukan dalam
hati.
“Di perbukitan Xi Hu.”
Perbukitan Xi Hu? Husain tersentak.
Bukit Xi Hu? Bukankah itu...
Husain menarik lagi tali kekang dan
berbalik. Tapi kuda yang membawa Yu Lan sudah menjauh dari tempatnya. Bahkan
matanya tak mungkin menyusul bayangan Yu Lan. Yu Lan sudah tak dilihatnya.
*
* *
Sebelumnya; Bagian 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar