Hanan menutup ‘Empress Orchid’ milik Anchee Min. Ambisi seorang Thu Zhi
masih berdiam dikepalanya. Tapi tak lama sebuah ciuman ditangannya menyadarkan
Hanan. Ia menoleh pada Sami.
Lelaki itu masih menekuri bukunya. Kali ini bukan ‘Bung Tomo Suamiku’
(karena buku itu sudah Sami selesaikan malam tadi), tapi sebuah buku tentang
perkembangan arsitektur masa kegemilangan Islam. Sami duduk bersandar disamping
Hanan. Kacamata minusnya seolah berdiam terlalu tinggi karena jangkungnya
pangkal hidung Sami. Kacamata itu hanya Sami pakai jika ia membaca, atau
sesekali saat menggambar. Rambutnya yang mulai memanjang luruh satu dua
dikeningnya. Alisnya memanjang lurus menuju pelipis. Pipinya halus dengan
hiasan jambang rapi yang terus berlanjut hingga dagunya. Meski begitu bibir
tipisnya tak ternaungi kumis, memberi kesan, Sami selalu terlihat rapi. Mata
coklatnya terlihat begitu teduh, membuat Hanan ingin berada didalam mata itu
selamanya. Tangan kiri Sami memegang buku yang terbuka, sementara tangan
kanannya, memainkan jemari Hanan. Kadang memilinnya, kadang memutar-mutar
cincin yang Hanan kenakan, kadang menempelkan kemulutnya, menciumnya, atau
bahkan menggigit-gigitnya pelan. Tapi meski begitu, pikirannya seolah tertelan
kedalam dunia yang kini tengah ia baca.
Hanan menggeliat pelan, meregangkan kakinya, melancarkan peredaran
darahnya yang tertahan karena terlalu lama duduk. Sami telah duduk lebih lama
darinya, tapi sepertinya, peredaran darahnya oke-oke saja. Hanan tersenyum
melihat lagi kesamping, kearah Sami. Sami duduk begitu santai, tapi sofa putih
ini membuat Sami terlihat begitu megah. Gemerlap. Seperti seorang raja diatas
singgasananya. Tidak, Hanan menggeleng. Bukan kursi yang membuat Sami terlihat
seperti raja, tapi Sami-lah yang membuat sofa putih ini terlihat bagai
singgasana.
“Kenapa? Mengagumi ketampananku?” tanya Sami tiba-tiba. Kata-katanya
begitu tenang, dan wajahnya belum beralih dari buku. Seolah ia mengatakan hal
yang biasa saja, padahal lihat saja Hanan. Kalimat Sami itu membuatnya kaku dan
salah tingkah. Ingatan itu membuat Sami mengangkat kepala dan menoleh pada
Hanan. Kalau sedang malu, wajahnya berubah kan? Benar saja.
“Wajahmu seperti udang rebus.”
“Hah? Apa?”
“Seperti udang rebus. Kemerahan diantara tubuhnya yang putih. Kalau
kepiting rebus terlalu merah,” kata Sami santai. Hanan cemberut. Hanan sama
sekali tak mengerti kalau Sami memujinya. Ya, meski aneh, itulah cara Sami
memuji. Cara yang terdengar asing ditelinga perempuan mana pun. Kenapa tak
memisalkan Hanan dengan mawar jingga misalnya? Meskipun tak nyambung, toh yang
itu akan lebih disukai Hanan daripada disebut udang rebus meski sangat mirip.
“Boleh tidak aku menarik tanganku?” tanya Hanan hati-hati.
“Kenapa? Tak suka?”
“Bukan begitu, tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku, baju yang
selesai kusetrika tadi, belum semuanya disimpan.”
Sami melihat meja didekat meja setrika. Disana ada dua tumpukan baju yang
telah disetrika. “Itu punyaku?”
“Ya.” Hanan mengira tadi Sami sudah menyimpan semuanya, tapi ternyata ia
meninggalkan dua tumpukan itu tertinggal.
“Biar aku saja,” Sami melepas tangan Hanan.
“Aku saja Sami, sekalian aku membereskan kamarmu,” Hanan berdiri hendak
menyusul.
“Tidak, duduk saja. Istirahat. Ok?” Sami menahan Hanan. “Lagipula kamarku
sudah bersih,” kata Sami sambil berjalan dengan dua tumpukan baju itu
ditangannya menuju ke kamar.
Kening Hanan berkerut. Apakah hanya perasaannya saja atau memang Sami
melarang Hanan masuk kamar Sami? Setiap Hanan hendak masuk untuk urusan apapun,
Sami selalu mencegahnya, dan secepat kilat menggantikan Hanan menyelesaikan
urusan itu. Tapi kenapa? Karena Hanan tak kunjung bisa menebak alasannya, maka
ia mengangkat bahu. Tidak, pasti cuma
perasaannya saja. Sami bukan melarangnya masuk kamar, tapi karena tak ingin
merepotkan Hanan. Begitukah? Hanan mengangguk meyakinkan dirinya sendiri.
Lagipula, ia terlalu bahagia untuk sekedar mencurigai tingkah Sami. Biar saja
Sami berlaku seperti itu, toh itu akan meringankan pekerjaannya juga.
“Hei, mau buat kue sekarang?” Sami keluar dari kamarnya. Hanan
menyambutnya dengan senyum.
Ya, enyahkan pikiran buruk. Ia sedang bahagia sekarang. Sejak tadi malam,
ia dan Sami telah menjadi suami istri yang sesungguhnya. Jadi, jangan ganggu
kebahagiaan hanya dengan kecurigaan-kecurigaan kecil yang tak jelas. Hatinya
berbisik pelan.
* * *
Hanan bangun kesiangan! Sami? Jangan harap dia bangun lebih awal dari
Hanan.
“Sami,” Hanan menyentuh dan menggoyangkan bahu Sami. “Sami,” ulang Hanan
karena tak ada reaksi berarti dari Sami. Sami menggeliat kecil. “Bangun Sami,
sepertinya kita melewatkan Adzan shubuh!”
Benar saja, baru saja kalimat Hanan berhenti, suara Iqamah terdengar dari
masjid diujung jalan. Sami bangun seketika, tubuhnya terduduk cepat. Dan
setelah sadar dengan cepat, ia menyibak selimutnya dan berjalan ke wc cepat.
“Ah, gawat!” Yah, kebiasaannya untuk shubuh di Masjid diingkari hari ini. Untuk
pertama kalinya. Dan kelalaian itu membuat Hanan menyesal.
“Maaf ya, Sami,” kata Hanan setelah Sami keluar kamar mandi.
Sami menoleh, “Kok minta maaf?” tanyanya sembari memakai handuk, menyisir
dan memakai koko-nya dengan gerakan ekspres.
“Aku kesiangan,” Hanan memang menyesal. Tidak bohong.
Sami menghampirinya dan mencium pipi Hanan, harum pasta gigi tercium
hidung Hanan. “Terimakasih sudah membangunkanku,” kata Sami sebelum akhirnya ia
pamit untuk mengejar ketinggalannya ke masjid. Dijamin, sekarang pasti Sami
sedang berlari. Untungnya, jarak rumah dengan masjid tak terlalu jauh.
Karena insiden kecil itu, Hanan mempersiapkan semuanya ekstra cepat.
“Kenapa buru-buru?” Sami melihat Hanan mengeluarkan isi kulkas dengan
gerakan robot yang baterainya baru diganti.
“Ini sudah jam enam, Sami, aku belum menyiapkan sarapan dan makan siang!”
kata Hanan panik. Ia paling benci kesiangan. Segalanya hari itu akan menjadi
buruk kalau diawali dengan bangun siang.
“Siapkan saja sarapannya,” Sami memegang punggung tangan Hanan,
menyuruhnya berhenti dengan halus.
“Tapi...”
“Tak apa. Sekali-kali makan diluar asyik juga. Lagipula, kamu juga butuh
libur kan?” Sami memasukkan kembali sayuran yang dikeluarkan Hanan kedalam
kulkas. “Yang kesiangan itu hanya shalat subuhku. Yang lain, bisa menunggu.”
“Tapi, Sami...”
“Sudahlah. Ayo kubantu siapkan sarapan. Ini baru jam enam, ada waktu dua
jam untuk menyiapkan semuanya dengan baik. Dan untuk memasak makan siang,
sekali ini bisa kau lewatkan.” Sami mengambil pisau dan mulai mengupas bawang.
“Ehm, badanmu lebih wangi daripada bawang ini,” Sami menutup hidungnya.
“Kau menyamakan bauku dengan bawang?” Hanan memukul Sami.
“Justru kubilang tidak sama kan?”
Hanan cemberut marah.
“Sebenarnya, aku bermaksud bercanda biar kau tertawa. Tapi sepertinya...
tak lucu ya?”
Hanan memandang Sami bingung sebelum ia akhirnya tertawa juga. Bukan
karena candaan Sami yang tak lucu sama sekali, tapi justru karena candaan Sami
yang menunjukkan kalau Sami tak bisa bercanda.
“Akhirnya kau tertawa juga,” kata Sami senang.
“Kenapa harus membuatku tertawa? Aku kan tidak marah-marah,” kata Hanan
setelah tawanya selesai.
“Supaya kau rileks saja. Dan sekarang sudah rileks kan?”
Hanan mengangguk. Ya, Sami benar. Terkadang sedikit menyalahi peraturan
tak masalah.
“Kau menggunakan cara seperti itu juga kalau panik?” Hanan mengambil alih
pisau dari tangan Sami. Hanan orang yang perfeksionis. Dan Sami, ia lebih
perfeksionis. Kelalaian sepele adalah kesalahan berat.
“Ya. Aku katakan pada diriku kalau ‘tidak ada masalah’.”
“Selalu berhasil?”
“Lebih sering tidak berhasil. Mengatakan ‘tak masalah’, justru memberiku
keyakinan kalau aku dalam masalah besar!”
Hanan tertawa.
“Tapi makan siang yang tidak kau buat karena tak sengaja, sama sekali
bukan masalah besar. Aku jamin itu. Dan jangan terus merasa bersalah. Berdamailah
dengan dirimu. Ok!” Sami mengacak rambut Hanan.
“Aku tidak menyalahkan diriku hanya karena aku kesiangan.”
“Oh, itu luar biasa!” kata Sami kagum. Nah kelihatan kan, kalau
sebenarnya Sami juga sulit memaafkan dirinya sendiri jika ia melakukan kesalahan.
“Tapi aku menyalahkanmu,” kata Hanan dengan tenang.
“Aku?” Sami membetulkan posisi berdirinya, waspada.
“Memangnya kau tak ingat? Kau yang membuatku tidur terlalu malam.”
Sami mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya ia tertawa. “Iya,
maafkan aku...,” katanya. Lengannya sekarang melingkar dipinggang Hanan dan
memeluknya dari samping. Erat.
Tapi selesaikah sampai disitu? Sama sekali tidak. Hanan membawa rasa
bersalah itu hingga ruang kerjanya. Ia selalu ingat tentang makan siang yang
tak sempat disiapkan. Mengatakan pada dirinya, kalau seharusnya Sami makan
makanan favoritnya nanti siang, bukan makanan luar yang kebersihannya dan
keamanan makanannya tak jelas. Belum tentu juga rasanya cocok dengan lidah
Sami. Ah, bodoh! Hanan memukul kepalanya sendiri.
“Kenapa Bu? Saya salah motong, ya?” seorang pegawai yang tengah memotong
kain menghentikan tangannya.
“Tidak,” Hanan tersenyum berat. Kok bisa sih pikirannya melayang saat ia
bekerja seperti ini. Ia sedang melihat pekerjaan pemotong baru, bukannya
berdiri melamun. Orang jadi salah faham kan? “Teruskan kerjanya,” Hanan
tersenyum dan menepuk bahu orang baru itu. Siapa namanya? Nah, Hanan sudah
melupakannya lagi.
Hanan berjalan turun ketempat outletnya. Rasa bersalah ini harus
diselesaikan.
“Rani aku keluar dulu ya?” Hanan berpamitan ketika melintas didepan Rani.
“Lama nggak, Bu?”
“Sepertinya. Memangnya kenapa?”
“Biasanya sebentar lagi kan Pak Sami kesini, saya bilang apa sama
beliau?”
“Aku yang akan kesana,” Hanan tersenyum sembari berlalu. Outletnya sepi
sekarang, mudah-mudahan hanya karena hujan yang mengguyur Bandung sejak tadi
pagi..
Hanan memanggil taksi dan meluncur kesebuah rumah makan yang selalu jadi
pelariannya jika dulu ia malas masak. Diantara banyak Rumah Makan, rasa
masakannya lebih cocok dilidah Hanan. Bahkan jujur saja, Hanan banyak meniru
menu dan rasa yang masakannya pernah Hanan makan disini. Inginnya sih pulang
kerumah dan masak sendiri. Tapi jelas tak mungkin kan? Jadi inilah
alternatifnya.
Keluar dari rumah makan dengan sekotak makan siang, Hanan masuk lagi
taksi yang tadi disuruh menunggu untuk kemudian meluncur ke tempat Sami. Waktu
istirahat di kantor Sami sudah lima menit berlalu, dan untungnya, Hanan
mendapat pesan dari Sami bahwa siang itu, ia tak akan datang ke tempat Hanan.
Ada pekerjaan katanya. Jadi, Hanan tak perlu mengirim pesan pada Sami agar tak
datang ke outletnya.
Lima menit kemudian, Hanan sampai di teras kantor Sami. Orang yang
melihatnya langsung tahu, kalau dia Hanan. Mereka menyapa ramah. Termasuk
satpam yang membukakan pintu untuk Hanan.
“Pak Sami didalam kantornya, Bu.”
“Syukurlah.”
“Mengirim makan siang?”
Satpam itu pasti melihat kotak makan siang yang Hanan bawa. “Iya, tadi
tak sempat masak, jadi saya belikan ini,” Hanan tersenyum riang.
“Ibu hebat ya, dari sejak pertama menikah, cuma sekali saya lihat beliau
ke kantin. Pasti masakan Ibu enak ya!” satpam itu tertawa. Sementara kening
Hanan berkerut. Maksudnya?
“Eh, iya. Maksud saya, Ibu tak pernah melewatkan hari tanpa bekal makan
siang untuk Bapak. Saya iri sama Pak Sami. Istri saya kerja juga, jadi mana
sempat menyiapkan bekal untuk saya. Padahal, ibu juga kerja ya!”
Kerutan dikening Hanan semakin berlipat.
“Ah, saya kok jadi ngajak ngobrol Ibu ya! Maaf deh, Pak Sami diatas pasti
sudah lapar!”
Hanan sebenarnya ingin bertanya lagi. Apa sih maksudnya? Aku belum ngerti
nih! Tapi Hanan memutuskan untuk bertanya langsung pada Sami, maka diayunkannya
langkah lebih ringan dari sebelumnya. Ia ingin cepat sampai! Sami pasti
terkejut!
Dari sejak pertama menikah...
Tak pernah melewatkan hari tanpa
bekal makan siang untuk Bapak...
Kalimat-kalimat itu terus terngiang-ngiang ditelinga Hanan. Memangnya
sejak menikah aku membuatkan makan siang? Kan enggak. Hanan mengangkat bahu.
Sudah deh, tanyakan saja.
* * *
Sami baru saja masuk kedalam ruangannya. Meetingnya lebih lama dari waktu
yang direncanakan sebelumnya. Untungnya bisa selesai tepat saat waktu
istirahat. Jadi mungkin, ia masih bisa menghubungi Hanan. Karena Hanan hari ini
tak memberikan bekal untuknya, maka Hanan harus membayarnya dengan menemaninya
makan diluar. Tapi baru saja membuka kunci ponselnya, Sami dikejutkan dengan
kehadiran seseorang diruangannya. Seorang perempuan, tapi bukan Hanan.
“Huda?”
Huda tergagap. “Eh, maaf.” Huda yang tengah melakukan sesuatu didekat
meja Sami lekas menjauh. Sami melihat keatas meja. Sebuah kotak makan siang
tersimpan disana.
“Kau tak perlu melakukan ini, Huda.”
“Aku tahu aku tolol,” kata Huda berat. Ada bongkahan besar menyumbat
nafasnya, membuat dadanya terasa berat. “Aku tahu kau akan pergi makan ketempat
Hanan, tapi aku masih menyimpan makan siang untukmu, disini.”
“Aku berusaha untuk melanjutkan hidupku, Huda.”
“Aku tahu. Aku tak menyalahkanmu. Juga Hanan. Juga Ibu...,” disini Huda
terdiam. Suaranya masih keluar, tapi berganti isakan tertahan. Ia masih
bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Ibu tak merestui hubungan mereka,
alih-alih ibu menikahkan Sami dengan Hanan. Putri angkatnya.
“Aku hanya membuatkanmu makan siang. Apa aku salah?”
Sami tertunduk, menekuri sepatunya. Ia ingin merengkuh Huda. Melihatnya
menangis adalah hal yang paling membuatnya sakit. Tapi dia bisa apa? Ia tak
bisa merengkuh Huda seperti ia melakukannya pada Hanan.
“Kau masih membuatnya padahal kau akan mengambilnya dengan keadaan yang
sama seperti saat kau menyimpannya?” Sami menatap Huda perih. Jangan katakan
kalau selama ini, Huda tetap membuatkan makan siang untuknya. Tapi harapan Sami
hancur. Huda mengangguk.
“Makanya kubilang, aku ini tolol!” Huda membersihkan airmatanya.
Sami menghampiri mejanya. “Tapi Hanan hari ini tak membuatkanku makan
siang.” Sami menyimpan map yang sedari tadi dibawanya beserta ponsel keatas
meja. Melihat ponsel itu, Sami ingat, ia akan menghubungi Hanan. Tapi tidak,
sepertinya rencana berubah.
Setelah duduk, Sami membuka kotak makan siang dari Huda.
“Sepertinya enak,” Sami melihat Shusi yang Huda buat untuknya. Huda
memang pintar memasak. Semua masakan selalu dicobanya, dan sejak dulu, Sami
menjadi orang pertama yang mencicipi masakan Huda. Untungnya, masakan Huda tak
pernah gagal.
Huda memandang Sami tak percaya. Sungguh, harapan bahwa Sami akan memakan
masakannya setiap ia meletakkan kotak di meja Sami, adalah kekuatannya untuk
terus bertahan. Dan harapannya baru saja terwujud! Huda tersenyum lega.
Sami baru saja mengambil sumpit dan baru bersiap akan mengambil satu
shusi ketika teriakan itu terdengar.
“KEJUTAN!” pintu terbuka dan Hanan muncul disana dengan wajah cerianya
seperti biasa.
Waktu berhenti. Dan gerakan mereka bertiga juga ikut berhenti. Sumpit
Sami tergatung diudara, tangan Hanan yang terbuka lebar juga menjadi kaku, dan
Huda menatap Hanan terpaku.
“Hanan?” suara Huda tersekat. Kelegaannya menguap sempurna.
“Hanan?” Sami meletakkan sumpitnya, sesal tiba-tiba merayap. Mengapa
rencananya untuk menghubungi Hanan batal?
Hanan memandang Huda dan Sami bergantian. Tangannya yang terbuka, ia
jatuhkan pelan-pelan. Suara kantong kresek yang berisi makan siang berbunyi
ketika tangan Hanan bergerak. Entah mengapa, suara tak berarti itu sekarang
begitu berharga. Suara pelan itu cukup mengisi kekosongan yang tercipta
diantara mereka bertiga.
“Kalian..., apa... aku mengganggu?” Hanan memegang gagang pintu. Jujur,
ia ingin berlari secepatnya dari pemandangan tak menyenangkan ini. Tapi,
memangnya dia anak kecil? Hanan bersumpah, ia ingin menikmati lagi masa kecil,
karena tak harus takut dan malu bersikap menjadi seorang anak kecil.
“Tidak Hanan, kemarilah,” Sami berdiri dan hendak berjalan kearah Hanan.
Bukankah ia harus menuntun gadis itu untuk masuk?
“Tak apa, Sami. Lanjutkan saja.” Hanan menutup pintu dan berjalan masuk
mendekati Sami. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Sami duduk kembali.
“Wah! Kau yang membuat ini Huda?” Mata Hanan berbinar demi melihat isi
kotak makan siang yang ada dihadapan Sami. Katakan bukan! Karena kalau kau
mengangguk, aku akan membunuhmu! Dan ya, sepertinya niat membunuh Hanan harus
ditahan, karena Huda memang mengangguk pelan.
“Pintarnya...,” Hanan meringis tertawa. Tapi dalam hati ia meringis
sakit. Huda pintar masak! Masakan jepang pula! Hanan bahkan tak tahu apa nama
masakan itu.
“Maaf, aku hanya...”
“Terimakasih ya, kau memperhatikan Sami,” Hanan tersenyum tulus.
Kelihatannya. Kalau kau melakukannya
lagi, aku akan membawa Sami pergi dan menghalangimu untuk melihatnya lagi.
“Hanan, ini tidak seperti yang kau lihat,” Sami menggengam tangan Hanan.
Huda melihat tangan itu, dan ia ingin menjerit histeris.
“Memangnya, apa yang kulihat?” Hanan tertawa, dan merangkul bahu Sami
dengan tangannya yang bebas. Membuat Sami tersenyum. Tapi Sami tak tahu, tawa
Hanan adalah tawa ancaman.
“Oh ya, Huda. Kau sudah makan?”
“Apa?”
“Kau sudah makan belum?”
Huda menggeleng pelan.
“Kebetulan sekali. Karena aku tak sempat buat bekal, aku beli ini. Tapi
karena Sami sepertinya sudah makan, kau saja yang makan ya?” Hanan menghampiri
Huda dan menjejalkan pegangan kantong kresek itu kedalam tangan Huda. Ingatan
Hanan sekarang melayang pada kejadian dirumah makan tadi, bagaimana selektifnya
dia memilihkan ayam untuk Sami. Menunjuk-nunjuk lewat kaca, mengembalikannya
lagi, dan mengambil yang lain. Untuk Sami, ia ingin yang bahkan potongannya pun
sempurna. Dan sekarang, ia memberikan hasil usaha ‘cerewet’nya kepada Huda.
Benar-benar menyebalkan.
“Tapi Hanan, kau membelikan ini untuk Sami, bukan untukku.”
“Ya habis, Sami kan sudah makan,” Hanan tertawa. Belum sih, dia belum
makan. Tapi aku tak mau memberikannya pada Sami juga. Kesal sekali hati Hanan.
“Aku...”
“Sudah. Aku marah lho kalau kau gak mau.” Jadi cepat terima dan pergi dari sini!
Sesuai harapan Hanan, Huda mengambil kresek itu dan mengucapkan
terimakasih. Huda akan pergi ketika Hanan menahannya dengan pertanyaan. Hanan
ingat, ada satu hal yang ingin dia ketahui.
“Huda.”
Huda menoleh.
“Apakah, sebelum aku membuatkan bekal untuk Sami, kau yang membuatkan
bekal untuknya?” Hanan memandang Huda tersenyum.
“Ya. Tapi..., hanya setelah kalian menikah,” suara Huda terdengar pahit.
Terdengar pahit juga ditelinga Hanan. Kepahitan yang merambat terus hingga
dadanya, akhirnya menyebar keseluruh tubuhnya.
“Hanan, Huda hanya...,” Sami mencoba mengatakan sesuatu. Ia tahu, ia
sedang dalam masalah. Hanan tahu, kalau selama Sami tak pernah makan masakan
Hanan, ia makan masakan Huda. Sami ingin membela Huda, atau lebih tepatnya, ia
membela dirinya sendiri. Tapi pembelaan seperti apa, ia tahu ia tak punya
apapun.
“Terimakasih. Kau mau repot-repot,” Hanan mengantar kepergian Huda dengan
senyum merekah. Huda..., bagaimana
bisa...
Hanan berdiri kaku. Senyumnya
menguncup cepat seiring menjauhnya Huda dari ruangan Sami. Sementara Sami juga
terpaku menatap Hanan.
Hanan merasa sangat lemas, pikirannya tengah bekerja hebat mencari
alasan-alasan untuk menghentikan rasa sakitnya. Maka ia berjalan gontai menuju
sofa dan menjatuhkan badannya yang sudah kehilangan tenaga. Tak apa, Hanan. Itu
masa lalu. Tapi begitu Hanan ingat, bahwa pada saat itu, saat Hanan menunggu
mematung dirumah, didepan hidangan yang dingin, Sami sedang menikmati masakan
Huda. Rasa sakit Hanan semakin menjadi. Bodohnya dia. Dia dulu menganggap Sami
tak pernah makan, setengah mati mengkhawatirkannya, setengah mati
mencemaskannya, tapi orang yang dicemaskan sama sekali tak mengingat dirinya.
Mengingat itu, sakit itu bertambah perih. Hanan, hentikan, itu masa lalu! Tapi
rasa akibat masa lalu itu, masih terasa sakit...
Sami menghampiri Hanan dan duduk disampingnya. “Aku tidak tahu kau akan
kemari,” Sami berusaha bicara normal dan mencoba mengalihkan pikiran Hanan.
Tapi Sami memilih kalimat yang salah.
“Jadi, kalau aku tak kemari, kau...”
“Bukan begitu Hanan, kumohon jangan salah faham,” Sami memandangi lekat
wajah Hanan. “Aku cuma mau bilang, kalau tadinya, aku akan menjemputmu untuk
makan diluar.”
“Jika aku tak kemari, kau akan bersama Huda...” Hanan malanjutkan
kalimatnya tanpa memperhatikan kalimat Sami.
“Hanan!”
“Jika aku tak membuatkan bekal, kau akan makan bekal yang dibuat Huda...”
“Hanan, kumohon...”
“Jika aku tak pernah datang dalam kehidupanmu, kau...”
“Hanan, hentikan.”
“Aku... mau pulang,” kata Hanan bergetar. Bukan hanya suaranya, tapi juga
seluruh tubuhnya bergetar. Sami mengambil kedua tangan Hanan untuk menghentikan
getaran itu.
“Aku akan mengantarmu,” Sami memilih untuk mengikuti keinginan Hanan.
“Tak apa Sami, kau sedang makan kan?” Hanan tersenyum. Tapi matanya
berkaca. Ia tak tahu, kenyataan bahwa Huda begitu memperhatikan Sami, sangat
menyakitkan. Dan kenyataan bahwa Sami menerima perhatian Huda, itu lebih
menyakitkan.
“Kalau begitu, kita makan bersama.”
Hanan memandang Sami. Apa hatimu terbuat dari es hah?
“Maksudku, kita makan bersama diluar. Lagipula, aku tak suka ikan
mentah,” Sami berusaha mengesampingkan pikiran buruk yang menguasai Hanan saat
ini. Tapi Hanan tahu, Sami berkata hal itu hanya untuk menghiburnya.
“Aku datang kesini sendiri, jadi aku juga harus pulang sendiri. Tamu yang
tidak diundang, tidak perlu diantar.”
“Hanan...”
Sami mengambil Hanan, hendak memeluknya. Tapi Hanan menolak dan menjauh.
“Aku akan pulang.” Hanan mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan
berjalan. Sami, dengan cepat ia mengambil laptop dan ponselnya, memasukkannya
dalam tas dan menyambar kunci mobil. Lalu dengan langkah-langkah lebar ia
menyusul Hanan. Sami memegang bahu Hanan. Langkahnya limbung. Kali ini, ia tak
menolak. Bagaimana pun terlukanya dia, dia masih ingat untuk menjaga kehormatan
Sami dihadapan para karyawannya. Lagipula, Hanan memang butuh pegangan. Ia tak
tahu mengapa, ia merasa sangat lemas.
“Rian, tolong handle segala urusanku. Dan batalkan saja semua janji hari
ini,” kata Sami cepat ketika melintas dimeja Rian.
“Baik, Pak.” Rian berdiri. Ia melihat ke arah Hanan dan mengerti. “Mau
diantar pakai mobil kantor saja, Pak?”
“Tak usah, Sami bisa mengantarku,” Hanan yang menjawab.
“Bu Hanan sakit?” beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, melihat
Hanan khawatir. Mereka baru mengenal Hanan sekejap, hanya sekali bertemu Hanan
sebelum ini. Tapi karena sikap Hanan yang bersahabat, mereka sudah merasa
dekat.
“Wah, jangan-jangan hamil, Pak Sami,” Satpam yang membukakan pintu mereka
tersenyum. Langkah Sami dan Hanan berhenti, mereka saling pandang.
“Waktu istri saya hamil seperti itu, Bu Hanan.”
“Saya cuma telat makan,” kata Hanan sambil melanjutkan langkahnya.
“Mudah-mudahan cepat sehat.”
“Terimakasih,” Hanan sedikit menganggukkan kepalanya, berpamitan.
“Kita ke Rumahsakit?” tanya Sami ketika mereka ada didalam mobil. Wajah
Hanan semakin puncat dari tadi.
“Tidak. Aku ingin pulang.” Hanan menjawab tegas. Sekali lagi, Sami hanya
mengikuti keinginan Hanan. Jika setelah istirahat keadaan Hanan masih sama, ia
akan memaksanya ke Rumahsakit. Lagipula, bagaimana kalau Hanan memang
benar-benar hamil?
Hujan lebat mengiringi kepulangan mereka. Mendung memang sudah tebal
sejak pagi tadi, rupanya langit terlalu penuh dengan air hingga tumpahnya
terlalu banyak.
Tidak, langit Hanan lah yang kini penuh air. Air yang tak bisa ditahan
lagi untuk segera tumpah...
* * *
Hanan duduk bersila diteras kamarnya. Matanya terpaku menatap hujan.
Sejak pulang, Hanan tak melakukan apapun. Tak bicara sepatah katapun, tak
bergerak satu senti pun. Sikap Hanan membuat Sami sangat bingung. Tapi karena
ia tahu, ia yang bersalah, maka Sami terus menemani Hanan sampai dia mau bicara
lagi.
Sami mengambil selimut diatas tempat tidur dan menyelimutkannya ke tubuh
Hanan. Udara sangat dingin, cipratan-sipratan hujan bahkan beberapa tetes
mengenai Hanan.
“Udara sangat dingin Hanan, bagaimana kalau kau istirahat saja ditempat
tidur?” Sami mengambil rambut Hanan yang tertutup selimut, lalu menguraikannya.
Rambut Hanan hitam dan tebal. Seperti iklan rambut di tv. Dan kali ini, Sami
tak ingin membandingkannya dengan rambut Huda yang coklat.
“Kapan kau bertemu Huda, Sami?” tiba-tiba Hanan bersuara. Tangan Sami
berhenti bergerak. Perlukah dijawab?
“Kalau aku tak lupa, saat umurmu sepuluh tahun. Benar?”
Sami memeluk Hanan dari belakang, mengatakan, ‘bagaimana kalau kita
bicarakan hal lain?’ dengan caranya sendiri.
“Aku baru masuk dalam kehidupanmu selama beberapa bulan saja. Belum empat
bulan kan, Sami?”
“Tiga hari lagi, genap empat bulan,” kali ini Sami menjawab, tepat
disamping Hanan. Pipi Sami menempel pada telinga Hanan. Hembusan nafas Sami
terdengar lembut dan hangat. Jambang Sami menusuk-susuk pipi Hanan. Anehnya,
lebih terasa geli daripada sakit.
“Kalian sudah berhubungan sangat lama, ya...” Hanan bicara lebih pada
dirinya sendiri. Sami mengeratkan pelukannya. Ia lalu mencium pelipis Hanan
dari belakang. Hanan lebih penting, itu yang ingin Sami bilang.
“Aku kadang merasa... aku ini jahat, Sami.”
“Kenapa berpikir begitu?”
“Karena aku tiba-tiba masuk diantara kalian, aku mengacaukan hubungan
kalian.”
Sami menghembuskan nafas. “Aku tak merasa begitu.”
“Sampai sekarang, aku masih ingin bertanya, kenapa kalian tak menikah
saja?”
“Ibu tak tahu hubungan kami,” Sami melepaskan pelukannya, lalu duduk
bersila disamping Hanan. Memungkinkan Hanan untuk melihat wajah Sami lebih
dekat. “Beliau hanya tahu, kalau kami saling menyayangi sebagai adik dan
kakak,” Sami menerawang.
“Kenapa kau tak mengatakannya pada Ibu. Jika beliau tahu, kejadiannya
akan berbeda kan?”
“Kurasa, pada akhirnya beliau tahu.”
“Lalu?”
“Karena itulah dia memintaku menikahimu.”
“Maksudmu?”
“Ibu tak ingin aku menikahi Huda, tapi menikahimu. Ibu merestuimu, bukan
Huda.”
“Jika begitu, aku bersalah dua kali pada Huda.”
“Ibu menyayangi Huda, sangat. Sama seperti dia menyayangi Sarah.”
“Tapi kenapa?”
“Kenapa dia lebih suka kau yang menikah denganku?”
Hanan mengangguk.
“Dulunya, itu juga pertanyaanku.” Sami tersenyum pada Hanan. “Tapi
sekarang, aku mencoba menjawabnya sendiri.”
“Apa?”
“Karena takdir yang Tuhan tulis, jodohku adalah kau,” Sami mencubit
hidung mancung Hanan. Hanan meringis, lalu kemudian ia merenung kembali.
Karena takdir. Dulu saat sekolah, seorang temannya menjawab hal yang sama
untuk pertanyaan yang guru lontarakan. ‘Mengapa reformasi baru terjadi setelah
Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun?’ dan saat teman laki-lakinya
menjawab ‘karena takdir’, guru itu mendesah lelah. Lalu ia mengatakan ‘itu
jawaban putus asa’ sampai kami tertawa. Jawaban putus asa, berarti, ketika
seseroang tak menemukan jawaban yang buntu. Tak ada yang lain, tak bisa lagi
berpikir. Menyerah.
Lalu ‘karena takdir’-nya versi Sami?
“Aku tidak akan menyerah, Sami.”
Sami memandang Hanan lekat.
“Aku akan terus berusaha membuatmu mencintaiku,” Hanan menatap kesamping,
membalas pandangan Sami. Senyuman merekah dari bibir Sami.
“Kau tahu? Ibu selalu mengatakan padaku, kau adalah gadis yang kuat. Tak
pernah menyerah. Itu yang paling Ibu sukai darimu.”
Hanan tersenyum, tipis saja. Kapan Sami akan mengatakan, ‘Itu yang aku
sukai darimu’?
“Hanan, aku berjanji tak akan memakan lagi masakan Huda.”
Hanan memandang Sami takjub. Bukan itu yang ingin didegarnya, tapi Hanan
tahu, itu cara Sami meminta maaf.
“Kau bisa tetap makan masakannya, Sami.” Hanan tertawa.
“Tapi aku sungguh-sungguh,” kata Sami serius. “Aku tak akan membuatmu
sakit lagi gara-gara aku makan masakan Huda.”
Hanan mendesah. Inti masalahnya bukan itu, Sami. Bagaimana Hanan
menjelaskannya? Tapi baiklah, jika itu yang Sami janjikan untuk dirinya
sendiri.
“Kau tidak akan makan masakan Huda, kecuali jika bersamaku. Bagaimana?”
Sami tersenyum. Entah sejak kapan, senyum laki-laki ini terlihat begitu
indah dimata Hanan. Huda, biarkan aku
memilikinya dengan tenang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar