17
“Kau pulang?” Harry menyambut Hanan heran. “Bukannya seharusnya kau
bersama dia?” Harry meneliti wajah Hanan yang terlihat ceria.
“Ya. Tapi mulai besok. Malam ini, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan
denganmu.” Hanan membuka sepatunya dan menyimpan tasnya.
“Bicara? Tentang apa?” Harry mengucurkan jus jeruk dari kotak jus
kemasan, ia mengacungkan pada Hanan, menawari. Hanan mengangguk.
“Tentang kita.” Hanan melihat Harry mengambil gelas dan memasukkan jus
dingin kedalam gelas bening itu. “Sudah, segitu saja.” Kata Hanan ketika air
jus memenuhi gelas ditangan Harry tak lebih dari setengah gelas. Harry
memberikan gelas berisi setengah itu kepada Hanan yang tengah duduk di pantry,
menghadap padanya. Setelah memasukkan kotak jus kemasan kedalam kulkas dan
menutupnya, Harry duduk dihadapan Hanan.
“Kau akan kembali pada suamimu, aku akan kembali kenegaraku. Ada lagi
selain itu?”
“Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan,” Hanan memutar-mutar gelas
digenggamannya, tapi matanya lekat memandang Harry.
“Tentang?”
“Aku. Saat pertama kali melihatku, juga saat ini.”
Harry memandang Hanan tak mengerti.
“Jawab saja. Apa pendapatmu tentang aku?”
“Jika ingin tahu pendapat laki-laki karena ingin membahagiakan suamimu,
bertanya padaku tidak tepat. Kusarankan kau bertanya langsung pada dia. Apa
yang dia sukai darimu, apa yang ingin dia lihat darimu. Saranku, paling
cuma...’sering-sering pakai lingerie didepan dia,” Harry tersenyum nakal.
“Bukan tentang Sami,” Hanan mendesah. Apakah hanya itu yang ada dipikiran
seorang laki-laki barat tentang wanita? “Tapi tentang kita. Aku ingin, kita
menjadi dekat.”
Harry masih memandang Hanan, kali ini ia menyipitkan matanya. “Apa kita
kurang dekat? Kurasa, selama ini, kita cukup dekat.”
“Kau tahu segalanya tentang aku. Kehidupanku, kegembiraanku, kesedihanku,
masalahku. Tapi aku tak tahu apa-apa tentangmu.”
Harry termenung. Hanan sedang membicarakan kemurungannya akhir-akhir ini.
Tapi bagaimana perempuan ini bisa tahu tentang sesuatu yang ia pendam sendiri?
“Wah, kalau kau ingin tahu aku sejauh itu, kau harus ikut ke London. Kau akan
tahu kehidupanku seutuhnya,” Harry tertawa menghindar. Tapi Hanan yang masih
memandangnya serius, membuat tawa itu terhenti perlahan.
“Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”
Harry memandang jendela. Dibalik kaca bening itu, ia melihat langit
Bandung yang biru jernih. Ada semaian awan tipis yang indah menghias. Hanan
bilang, ia sering memandangi langit bersama Sami. Perlukah Hanan tahu, bahwa ia
juga sangat sering memandang langit London bersama Ayah?
“Langit satu-satunya pemandangan
damai ditengah sibuknya kota London,” suara Ayah suatu senja kembali
terngiang ditelinganya. Sebelumnya, ia percaya. Tapi ia tak pernah mengira,
bahwa Ayah memandangi langit untuk mencari kenangan tersisa bersama perempuan
itu. Perempuan yang telah melukai hati ibunya.
“Tentang Ayah kita?” tanya Hanan canggung. Menyebut kata ‘Ayah’, lidahnya
belum terbiasa. Dan saat lidahnya harus terbiasa, Ayah malah telah menghilang.
Menyebut Ayah untuk pertama, pada sosok yang sudah tiada. Rasanya, seperti
menyentuh bayangan gelap yang telah lama dirindukan.
“Tak ada.” Harry memutuskan untuk tak mengatakan apa-apa. Lebih baik
menyembunyikan luka, pada perempuan yang sedang berbahagia ini.
“Kalau begitu... tentang pekerjaanmu?”
Harry mendesah. “Tak ada.” Kalaupun ada, Harry sekali lagi memilih untuk
menyembunyikan. Masalahnya, Hanan tak mengerti sedikitpun pekerjaannya.
“Haa... tentang seorang gadis ya?” tebak Hanan yakin, ia tersenyum puas,
seolah-olah Harry sudah menjawab bahwa tebakannya benar-benar tepat. Dan, Harry
benar-benar terkejut, karena tebakan Hanan memang tepat mengena.
Seorang gadis, dengan gaun tidur putihnya tertiup angin, dengan matanya
yang berkaca, dengan biola digenggamannya. Seorang gadis, yang bahkan ia
sendiri tak tahu namanya.
“Sok tahu!” Harry tertawa. Karena dengan tertawa, jendela matanya akan
menyempit, dengan begitu, keresahan hatinya yang tiba-tiba mencuat, tertutup
sempurna. Harry beranjak meninggalkan Hanan masih dengan tawanya. Hanan
memandang punggung kekar itu menjauh.
Sungguhkah tak ada masalah?
Hanan terdiam tak yakin.
Didalam kamar, Harry duduk mematung. Hatinya melembayung jingga. Antara sedih dan bahagia.
Tentang Hanan, ia merasa lega. Meski sebenarnya, ia lebih suka Hanan ikut
bersamanya. Kesedihan Hanan sejak ia bertemu kakaknya itu, membuat hatinya
sedikit antipati terhadap Sami. Sebab Sami, tentu saja satu-satunya orang yang
bisa disalahkan atas luka Hanan. Tapi keceriaan Hanan setelah memutuskan untuk
kembali pada Sami membuat Harry mendukung keputusan itu. Tapi keputusan Hanan
itu juga berarti satu hal. Ia harus segera kembali ke London.
Mengingat itu, Harry tiba-tiba merasa berat. Haruskah aku pergi
secepatnya? Menjelaskan Pada Mommy tentang kepahitan? Lalu bagaimana dengan
hatiku? Bukankah ia telah tertambat disini? Diwajah gadis itu?
“Mau kubuatkan nasi goreng, Harry?”
Suara Hanan terdengar dari pantry, menyentak lamunan Harry.
“Ya! Sosisnya yang banyak ya!” Harry balas berteriak, setelah ia menarik
nafas tentu saja.
“Lalu bagaimana dengan kita?” kata Hanan menyambut Harry yang membuka
pintu kamar dan berjalan kearahnya.
“Bagaimana apanya?” Harry memperhatikan aktfitas Hanan. Gadis pemilik
mata Daddy itu menghentikan tangannya yang tengah memotong sosis, mata birunya
menatap Harry.
“Tidakkah kita bisa bersama saja disini?”
Harry tersenyum, tawaran yang menggiurkan, tapi Harry menggeleng pelan.
“Kita sama-sama punya kehidupan.”
“Lalu kapan kita berpisah?”
“Mungkin secepatnya.”
“Besok?”
“Lusa, sepertinya. Aku butuh waktu untuk berkemas.”
“Tak bisa lebih lama? Kau belum mengunjungi tempat-tempat mengasyikkan
disini...”
“Mungkin lain kali...”
Hanan tertunduk diam. Ia ingin menangis. Meski belum dekat, tapi tetap
saja, ia masih belum puas hidup sebagai seorang kakak.
“Kok, seperti aku yang kakakmu ya?” Harry mengacak rambut Hanan.
“Cengeng!”
Hanan tersenyum. Kenapa ya, Sami dan Harry punya banyak kemiripan?
Terutama, cara mereka memperlakukan Hanan. Termasuk, ketertutupan Harry.
Sebelum kepulangan Harry, Hanan bertekad untuk membuka semua itu...
* * *
Sami tersenyum sejenak sebelum ia menekan bel pintu. 1256. Sami lekat
memandang nomor kamar yang tergantung tepat didepan matanya. Tapi apakah Hanan
akan marah mendapati dirinya datang menjemput? Terkejut iya, tapi marah
sepertinya tidak. Hanan sudah mengijinkannya untuk datang kan?
Akhirnya dengan keyakinan itu, Sami menekan bel. Tapi senyum Sami
mengerut tiba-tiba ketika dilihatnya seorang laki-laki tampan yang membuka
pintu. Bukan Hanan. Apakah ia salah alamat?
Lelaki itu juga terpaku memandang Sami keningnya berkerut halus. “Kau
Sami?” tanyanya sejurus kemudian.
“Masuklah, Hanan ada di dalam,” Harry membuka pintu lebih lebar. Tapi
Sami masih mematung ditempatnya berdiri.
Matanya memaku mata Harry lekat.
“Sami?” Hanan muncul dibelakang Harry, ia terlihat terkejut sekaligus
sumringah. Wajahnya benar-benar terlihat cerah. Tapi Sami memandang wajah cerah
Hanan dengan senyum sekuncup. Matanya menyiratkan sesuatu yang tak terbaca.
Baik Hanan ataupun Harry, tak ada yang bisa menafsirkan arti pandangan itu.
Yang mereka tahu hanyalah, mata Sami berkaca tipis...
“Sami?” Hanan memandang Sami dengan khawatir yang sangat. Tidak, Sami.
Jangan-jangan kau...
“Aku... hanya ingin melihatmu...” Sami tersenyum. Dipaksakan. Ya, sangat
terlihat kalau senyumnya dipaksakan. Dan memang, senyum berat itu akhirnya tak
bertahan lama. Sami tak berkata-kata setelah itu, ia memandang Hanan dan Harry,
lalu mengangguk pelan berpamitan,kemudian benar-benar beranjak dengan salam
yang sangat pelan.
Hanan terpaku ke tempat dimana Sami baru saja berdiri, dan Harry
memandang Hanan dengan kening berkerut.
“Dia belum tahu tentang aku?”
Tak ada jawaban. Tapi Harry tahu, apa artinya itu...
“Ya Tuhan... dia salah faham, kakak...” Harry mendesah. Hanan tahu, Sami
salah faham tentang Harry. Tapi entah dengan alasan apa, Hanan menahan tangan
Harry ketika adiknya itu akan menyusul Sami.
“Kenapa?” Harry meminta jawaban.
“Tak perlu...”
“Kenapa?” Harry mulai marah dan tak sabar.
“Karena dia... tak percaya padaku...,” Hanan berbalik dan beranjak. Masuk
kamar, dan membenamkan dirinya sendiri dalam kesedihan. Sami tak
mempercayaiku... Sami tak percaya padaku...
* * *
Sami melepas jaketnya pelan. Berjalan menuju balkon dan memandang langit
dengan mata yang sendu. Tapi bibirnya menggariskan senyuman tulus.
“Sudah kau temukan ambisimu, Hanan?” bisiknya pelan. Hatinya luka,
goresan itu bertambah tak henti. Bahkan menyayat-nyayat di atas parut luka yang
masih meninggalkan darah. Tapi apa yang bisa dilakukan? Jika takdir memang
menghendaki demikian. Sami jelas merasa, ia tak berhak melakukan apa-apa,
selain menerima apa yang telah Tuhan bentangkan untuknya...
Hanan akan meninggalkannya... sendiri...
Tuhan... izinkan aku menangis... menikmati luka ini...
Angin senja berdesir lembut, mengayun helaian-helaian rambut hingga
menari. Sebagaimana senja yang biasa, langit bersemai semburat jingga. Entah
bagaimana bisa, senja yang sama, bisa menghasilkan dua rasa yang berbeda.
Suara pintu yang terbuka membuat muka Sami berpaling. Huda baru saja
keluar kamar, dan baru saja ia hendak melangkah menjauh, matanya bersirorok
pandang dengan mata milik Sami, hingga gerakan tubuhnya kaku seketika.
Langkahnya membeku dan gerakan tangannya berhenti di udara. Melihat Sami,
lukanya terasa sangat menyakitkan dibanding ia tengah sendirian. Maka seketika
setelah ia berhenti dari keterkejutan, Huda berbalik dan melankah cepat
meninggalkan tempat itu.
“Huda!” Sami menahan langkah Huda. Huda menghentikan langkahnya, tapi ia
belum ingin berpaling dan melihat ke arah Sami.
Sementara Sami memandang punggung Huda dengan sedih. Adik. Huda adalah
adiknya. Adik adalah kata yang mudah bagi Sami, sebaliknya, bukan menyakitkan
tapi malah menyenangankan. Sangat menyenangkan. Sebab dengan empat suku kata
itu, ia bisa memahami kebenaran cintanya pada Hanan. Tapi bagaimana dengan
Huda?
Sami menarik nafas dalam. Tidak, ini adalah masalah terbesar dalam hidup
Huda.
“Huda, tunggu!” Sami kembali menahan Huda, karena Huda hendak
menghindarinya dengan berlari menjauh. “Huda tunggu, kumohon...” kali ini Sami
melangkah cepat dan menahan pergelangan tangan Huda. Memaksa Huda menghentikan
langkahnya.
Huda terkesiap. Sami memegang lengannya. Memang, hanya pergelangan tangan
yang terbungkus pakaian. Tapi entah mengapa, hati Huda bergelombang badai. Sami
tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Tidak satu sentuhan pun. Hingga itu
menjadi impian Huda siang dan malam. Sami menyentuhnya dengan punuh kasih, paling
tidak, memegang pergelangan tangan Huda seperti sekarang. Tapi kenapa semuanya
justru terjadi di saat Huda justru harus benar-benar mengubur impian itu
dalam-dalam?
Huda... sadarlah, Sami adalah kakakmu...
Huda memejamkan matanya, berusaha menenangkan badai yang masih bergemuruh
didalam dadanya.
“Tolong lepaskan tanganmu...,” pinta Huda lirih. Sungguh, Huda belum bisa
menghentikan gemuruh itu. Sama sekali belum bisa. Semakin ia ingat bahwa Sami
kakanya, Huda malah semakin tak ingin melepaskan Sami begitu saja. Huda hampir
menangis untuk keseribu kali, ia sadar, ia mulai depresi dan gila menghadapi
perasaannya sendiri.
“Maaf...,” Sami melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan
Huda. Sami tersenyum perih. Huda, aku ini kakakmu... lagipula, bukankah yang
aku sentuh adalah pakaianmu? Bukan kulitmu? Bukankah itu berarti kau belum bisa
menerima aku sebagai kakak kandungmu?
“Aku mengerti ini berat bagimu, Huda...”
Berat? Apa kau tak tahu, Sami...
ini bukan berat, tapi sangat berat. Tubuhku bahkan tak sanggup menerima beban
yang kini bergelayut dipundakku, jiwaku juga tak sanggup menyingkirkan himpitan
bongkah yang terus menyesaki dada ini. Lebih dari itu, aku hampir saja gila
dibuatnya... tidak, bukan hampir, tapi aku memang sudah gila! Kau tahu kenapa?
Karena aku masih belum ingin menyingkirkan perasaan yang telah bertahun
bersarang didalam dadaku. Silahkan sebut aku gila, Sami. Karena aku memang
gila. Benar-benar gila!
“Tapi... aku tahu, kau adalah Huda yang kukenal tegar. Huda yang bisa
mengatasi masalah dengan mudah. Asal kau tahu, luka bukan hanya ada dihatimu,
adikku... tapi juga dihatiku...”
“Apa?” Huda berpaling menatap wajah Sami marah. Entah bagaimana, hatinya
yang tengah terluka itu tiba-tiba merasa sangat tersulut. “Apa kau bilang?” Huda
tersenyum sarkatis. “Hatimu juga terluka?”
Sami memandang Huda tak mengerti, tapi akhrinya ia mengangguk juga.
“Bagaimana kau bisa terluka, Sami? Bukankah ini berita yang
menggembirakan bagimu? Bagi kalian? Kau dan Hanan? Bukankah ini yang justru kau
tunggu-tunggu? Kau bahkan tertawa melihatku terluka!”
“Apa maksudmu, Huda?”
“Aku curiga, kau dan Hanan sengaja melukaiku, sengaja menyembunyikan ini
dariku! Sengaja ingin membuat aku menangis! Bukankah ini rencana kalian berdua,
hah?”
“Huda?!”
“Benar, ini rencana kau dan Hanan! Bukankah perempuan itu selalu ingin
mengambil apa yang aku punya? Bukankah perempuan itu sejak awal kedatangannya
selalu membuat hatiku sakit? Perempuan menyebalkan!”
“Huda! Hentikan bicaramu... Kau tahu aku tak seperti itu... kau tahu Hanan
tak pernah berpikir seperti itu. Jika ada yang dikorbankan dan paling terluka,
maka Hananlah orangnya... bukan aku, atau kau... Hanan lebih terluka dari kita
semua...”
“Apa?! Kau membela Hanan didepanku? Disaat aku seperti ini?” air mata
Huda tumpah.
“Huda... maaf... tadinya, aku menahanmu untuk memberimu kekuatan...
memberimu semangat... justru aku tak mengerti mengapa tiba-tiba kau menyalahkan
Hanan? Kau tahu Hanan tak ada hubungan sama sekali...”
“Tak ada hubungan? BUKANKAH KALIAN SEMUA SEPAKAT UNTUK MEMBOHONGIKU?
BUKANKAH KALIAN SEMUA SEPAKAT MELUKAIKU?” Huda mulai bereteriak histeris.
“Bukan hanya kau yang dibohongi, Huda... tapi aku juga... aku sama
terluka...” Sami berusaha tetap bicara lembut. Bukankah ia kakak Huda? Bukankah
ia memang seharusnya lebih sabar dari Huda? Meskipun Huda telah membuatnya
marah karena Huda telah melibatkan Hanan dalam masalah yang sama sekali Hanan
tak tahu. Oh, Hanan... ternyata berlaku sabar dan menahan amarah itu teramat
sulit. Lalu bagaimana kau bisa diam saat aku terus melukaimu? Bagaimana kau
bisa sesabar itu....
“AKU BENCI KALIAN!” Huda berbalik melangkah kekamarnya dan membanting
pintu hingga berdebam keras.
Sami memandang dengan luka perih...
Huda, aku hanya berusaha menjadi kakak yang baik...
* * *
“Sami, ada tamu...,” Ibu menyentuh pundak Sami lembut. Tapi selembut
apapun sentuhan itu, tetap saja membuat Sami tersentak. Entahlah, ia sudah
memutuskan mantap, untuk kebahagiaan Hanan. Tapi mengapa ia masih merasa sangat
terluka?
“Sami?” Ibu menatap Sami khawatir. “Ada apa?”
Sami tersenyum, ibu belum tahu tentang keputusan yang telah diambilnya.
Tapi Sami tak ingin menjelaskan sekarang, jadi ia hanya tersenyum memberi
keyakinann pada ibunya bahwa tak ada hal penting yang terjadi. Tapi Sami lupa,
tentang tajamnya perasaan seorang Ibu.
“Siapa, Bu?” Sami bertanya tentang tamunya, mengalihkan pandangan ibu
yang terus menelisik matanya dan mengalihkan kembali pembicaraan. Ia tak ingin
menyebut nama Hanan sekarang. Terlalu menyakitkan.
“Entahlah, ibu baru melihatnya sekarang...” ibu mengangkat kedua bahunya,
tapi pandangannya belum beralih dari mata Sami. Tentu, ia merasakan kesedihan
itu. Tapi karena apa? Yang pasti bukan Hanan. Sebab mereka akan bersama
sekarang kan? Tapi apa? Bukankah hanya Hanan yang bisa membuat Sami sedih
seperti ini?
“Aku akan menemuinya sekarang...,
terimakasih Bu.” Sami segera berpaling dan beranjak menjauhi Ibunya. Sepeka
itukah perasaan seorang ibu? Meski ia bukan ibu kandungku? Sami terseyum
perih...
* * *
Senja telah beranjak sejak tadi, berganti gelap dan dingin menyelimuti
batin Sami. Pemuda bermata biru itu telah ada sisampingnya sekarang. Keputusan
yang cukup berat untuk mengikuti ajakannya. Tentu tak mudah, sebab bagaimanpun
ridha-nya hati Sami untuk menyerahkan Hanan pada pemuda ini, tetap saja ia
merasa sakit. Manusiawi bukan? Sebab Hanan sekarang bukan lagi separuh jiwanya,
tapi rasanya telah menjadi seluruh nyawanya. Memberikan Hanan, berarti membunuh
dirinya sendiri.
“Tadinya kupikir... kau orang yang sangat menyebalkan...,” satu kalimat
keluar dari mulut Harry, menggariskan satu senyum enggan dibibir Sami. Tak ada
tanggapan lebih selain kepala yang sedikit tertunduk memperhatikan langkahnya
yang susul menyusul. Betapa pun sakitnya, ia harus memperlihatkan ketegaran
disamping Harry, ia sangat tidak ingin terlihat rapuh. Tidak, ia sama sekali
tak peduli dengan Harry, ia hanya tak ingin berita tentang dirinya akan sampai
pada Hanan. Hanya itu.
“Bagaimana Hanan?” tanya Sami dengan hati yang berat. Ia ingin tahu
keadaan Hanan, ingin tahu apa yang dilakukan Hanan setiap detik, ingin tahu
perubahannya setiap jenak, tapi Sami tahu, jawaban yang sangat ia ingin tahu
itu, mungkin akan membuat dirinya bertambah sakit. Nyawa itu telah pergi dari
rongga dadaku, membiarkannya menjadi kosong... begitu saja...
“Dia banyak menangis...,” Harry menghentikan langkahnya dan melihat wajah
Sami seksama. Tak ada yang berubah dari raut muka itu.
“Hanya untuk beberapa hari... setelah itu, dia tak akan menangis
lagi...,” Sami juga menghentikan langkahnya. Kali ini ia menghadapkan tubuhnya
dan menyandarkan kedua sikutnya di pagar jembatan. Pandangannya menatap jauh,
melihat kerlap-kerlip lampu kota yang terlihat gemerlap. Ya, hanya untuk
beberapa hari. Untuk kedepannya, hari-hari Hanan akan penuh tawa. Dia akan
bahaga karena dia akan bersama obsesi yang selama ini dia harapkan. Tidak akan
terluka dan banyak menderita seperti saat Hanan hidup dengan dirinya...
Ah, mengingat itu, luka dihati Sami kembali basah dan mengucurkan darah.
“Kukira...,” Harry memotong kata-katanya. Ia mengikuti gerakan Sami dan
berdiri tepat disamping Sami. Tapi Harry tak melihat kejauhan, ia hanya melihat
mobil-mobil melaju dan menghilang dibawah jembatan yang tengah dipijaknya, atau
mobil yang tiba-tiba muncul dibawah kakinya. “Kukira... kau salah faham tentang
kami berdua, Sami...” Harry tersenyum, tapi Sami tidak. Mata sendu itu menatap
Harry tak mengerti.
“Aku dan Hanan...”
“Kalian bersaudara, kan?”
Kini Harry yang tersentak.
“Apa aku salah?” Sami memandang bertanya pada mata Harry. Dan Harry
menjawabnya dengan tawa sarkartis.
“Kau sudah tahu aku adiknya, tapi kau tetap meninggalkannya dan
membuangnya?”
“Aku tak tahu kau adik Hanan, tapi aku yakin kalian bersaudara. Dan
memang karena alasan itu aku meninggalkan Hanan,” Sami mengalihkan pandangan,
kembali melihat kejauhan.
“Heh, kau gila ya? Kalau kau tak menyangka aku pacarnya, buat apa kau
meninggalkannya?” Harry bertanya menahan marah.
“Karena aku ingin mewujudkan obsesi Hanan...”
“Apa?” Harry lekat memandang wajah Sami dari samping. Tapi meski begitu,
ia melihat senyum tulus itu. Ketulusan yang baru pertama kali ini ia lihat di
wajah seseorang. Ketulusan, seperti pandangan mommy pada dady, juga pandangan
Hanan pada Sami. Sekarang, ketulusan itu hinggap di pancaran mata Sami. Ya,
mata itu sendu, tapi tulus, sekaligus bahagia. Entahlah...
“Hanan begitu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia jelas-jelas mengatakan
padaku, kalau ayahnya, adalah obsesi terbesar dalam hidupnya. Apa salah jika
aku ingin Hanan bahagia dengan obsesinya?” Sami lagi-lagi tersenyum, namun kali
ini, senyumnya diarahkan pada Harry. Harry menjawabnya pertanyaan Sami dengan
diam.
Jadi Sami menyangka, kalau aku akan
membawa Hanan pada Ayah? Jika pun itu mungkin, rasanya aku berpikir ulang
puluhan kali…
“Heh, kau membiarkan dirimu terluka untuk kebahagian dia?” Harry
tersenyum sinis, membuat Sami memandang Harry dengan kening berkerut.
Kenapa? Apakah cinta begitu asing
bagi anak ini?
“Aku tak tahu orang lain, tapi aku akan melakukannya untuk Hanan. Aku tak
tahu karena cinta atau karena rasa bersalah yang dalam. Aku hanya tahu, kalau
aku ingin melakukannya... membuat gadis kecilku tersenyum selamanya...” Sami
tersenyum menerewang.
“Kau akan sakit hati luar biasa jika dia jauh, sakit karena kau
merindukannya...,” Mata Harry sedikit berkaca. Dan kerinduan di puncak hatinya
kembali terbelah. Nah, rindu itu sakit kan? Apa kau belum merasakan apa yang
aku rasakan, Sami? Tahu rasa jika kau merasakannya segores saja! Harry mencibir
dalam hati.
Sami menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan. “Sudah... sudah
kurasakan...,” Sami menepuk sekaligus meremas dadanya. “Tapi jika hanya itu
yang bisa ku lakukan...”
“Kalau begitu tak perlu kau lakukan, kakakku bahagia bersamamu...”
Sami menoleh dan membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi dengan
segera mulutnya mengatup, karena ternyata kalimat Harry belum selesai.
“Lagipula... aku tak perlu membawa dia bersamaku...”
“Tapi...”
“Tadinya... aku memang berpikir untuk membawanya bersamaku. Dia adalah
keluargaku satu-satunya sekarang, apalagi setelah matanya bengkak setiap hari
karena menangisimu, aku bernar-benar bertekad membawanya jauh darimu.”
Sami membeliak, tapi Harry tak peduli, ia terus berkata dan menyelesaikan
kalimat-kalimatnya.
“Hhh... tapi setelah dia mengatakan kalau dia memilihmu, daripada aku,
aku... menyerah...” Harry mengangkat kedua bahunya sembari tersenyum. Senyum
pertama yang diperlihatkannya pada Sami. Sebenarnya mungkin, Sami memang tak
seburuk dugaannya. Lagipula... memang tak mungkin kan Hanan mencintai seseorang
yang tak pantas untuknya?
“Memilihku? Maksudmu...” Sami mulai lelah menerka.
“Kau tahu Sami, Aku datang menemuinya setelah kematian ayah beberapa
tahun silam. Itu mungkin lebih baik...,”Harry tersenyum sendu.
“Ayah Hanan sudah meninggal? Tapi bagaimana mungkin?” Sami tiba-tiba
merasa sedih. Kesedihan yang tiba-tiba muncul mengingat perasaan yang mungkin
Hanan rasakan. Ya, ia merasa sedih untuk Hanan. Obsesi Hanan tak akan pernah
sampai pada tujuannya...
“Lagipula, bayinya lebih butuh ayah daripada paman kan?” Harry tertawa,
tapi tawanya tiba-tiba menguncup seketika setelah ia menyadari reaksi Sami yang
justru mematung kaku dengan wajah yang pias.
“Apa... tidak. Tidak. Jangan katakan kalau Hanan belum mengatakan ini
padamu...,” Harry menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hanan... hamil?” suara Sami rendah. Sungguh ini halilintar yang meledak
dalam kalbunya. Hanan hamil?
Harry menjawabnya dengan mata yang juga terbeliak sama. Hanan bodoh!
“Tidak Hanan..., kenapa dia menghukumku sekeras itu, Harry...” Sami
menangis. Tapi meski dengan sebak yang belum dapat ditahannya, ia berlari tanpa
bisa dicegah. Berlari, menuju Hanan.
Hanan sedang berdiri menatap angin di balkon apartemen ketika Sami
membuka pintu cepat dan menerobos masuk, tanpa salam.
“Sami?” Hanan berbalik segera setelah ia mendengar bunyi pintu terbuka.
Kini mereka saling berdiri berhadapan beberapa jarak. Sami menangis, sekarang
beruraian semakin deras, meski tanpa isakan. Sementara kaca dimata Hanan yang
sejak tadi tertahan, kini pecah dan berhamburan keluar.
“Kenapa kau tak mempercayaiku, Sami?” Suara Hanan terdengar keras.
“Kakak, kau salah faham,” Harry hendak menghampiri Hanan, namun Sami
menahannya.
“Aku memang bersalah padamu,
Hanan. Besar. Terlalu besar. Tak bisa kutimbang lagi. Tapi tak terlalu beratkah
hukuman yang kau timpakan padaku?”
“Hukuman apa? Aku bahkan memaafkanmu tanpa hukuman sedikit pun, sementara
kau tetap mencurigaiku?” Hanan marah, tapi Sami semakin menangis sedih.
“Aku baru saja dibohongi oleh seseorang yang begitu kuhormati dan
kucintai sepenuh jiwaku, sekarang, dalam waktu sesingkat ini, aku dibohongi
kedua kali oleh seseorang yang kucintai sepenuh nyawaku...” Sami tergugu.
Beberapa saat Hanan memandang Sami beku. Ia sadar sekarang, Sami
mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia bicarakan. Hanan memandang
Harry, meminta jawaban. Tapi Harry berpaling dan malah berjalan keluar
meninggalkan mereka berdua.
Sekarang, Hanan kembali memandang Sami.
“Berbohong? Siapa…” Hanan mendekat selangkah pada Sami. Hatinya mulai
beriak tak enak. Apakah ia telah berbohong pada Sami? Mungkinkah Sami…
“Kalian berdua!”
“Kalian…”
“Ya… Ibu… dan kau…”
“Berbohong apa, Sami? Kami tak pernah membohongimu…,” meski sungguh, saat
mengatakan itu, Hanan sendiri mulai meragukannya.
“Apa bedanya? Ibu menyimpan rahasia itu selama bertahun-tahun. Menyimpan
sesuatu yang seharusnya aku paling tahu… kau tahu Hanan, kenyataan bahwa aku
bukan anak nya rasanya seperti ditusuk ribuan pedang sekaligus. Bukankah ibu
sangat kejam melakukan itu padaku?”
Hanan mendekat semakin memperpendek jaraknya dengan Sami.
“Tidak Sami…”
“Tapi sekarang aku tahu, kau lebih kejam daripada ibu…”
“Tidak, Sami…” Hanan menggeleng, sembari mengusap air mata Sami dengan
kedua tangannya.
“Tidak? Apa bedanya? Kau menyembunyikan
sesuatu yang seharusnya aku yang paling tahu… seharusnya aku orang yang pertama
kali tahu…,” Sami menangis lagi. “Atau kau sengaja menghukumku, Hanan? Inikah
hukumanmu atas semua kesalahanku? Karena aku tak pernah layak jadi suamimu?
Jadi ayah bayimu?”
“Tidak Sami, hentikan!” Hanan merengkuh kepala Sami dan menenggelamkannya
kedalam pundaknya. “aku tak pernah berniat membohongimu…”
“Kenapa kau lakukan itu, Hanan? Hukuman itu rasanya terlalu berat…”
“Tidak, Sami… kumohon hentikan. Kau adalah suami yang paling pantas
untukku, dan ayah yang paling pantas untuk bayiku, Sami. Bayi kita…”
Tapi Sami tak ingin mendengar. Berulang-ulang kata ‘kenapa’ itu masih
keluar dari mulutnya, bersama desahan luka penyesalan, dan luka tersakiti yang
tak kunjung memudar…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar