Hanan memandang Sami yang tengah asyik dengan buku ditangannya. Sejak
kemarin, Sami menjadi seseorang yang berbeda. Dia kembali menjadi Sami semula.
Sami yang diam, Sami yang ketus, Sami yang egois. Ia tak lagi memeluk Hanan
dari belakang. Tak lagi menggenggam tangan Hanan, tak lagi tertawa, tak lagi
memperhatikan wajah Hanan. Dan sekarang, Hanan memandang Sami dengan penuh
penyesalan.
“Sami?” Hanan menyentuh punggung tangan Sami. Sami tak bereaksi. “Aku
minta maaf,” Hanan membungkukkan badannya dan menyetuhkan kepalanya pada
punggung tangan Sami. “Aku tak bermaksud begitu...”
Sami melihat kepala Hanan diatas pangkuannya. Tak bermaksud begitu?
“Aku hanya... tak ingin terlihat Huda...”
“Maksudmu?”
“Huda mencintaimu, Sami. Karena itu, aku tak ingin membuatnya sakit
dengan memperlihatkan kemesraan kita didepannya.”
“Lalu kau? Apa kau mencintaiku?”
Hanan mendongak, memandang Sami. Pertanyaannya tak lembut, tapi ada nada
kesal didalamnya. “Kau tahu bagaimana perasaanku, Sami. Aku mencintaimu. Sudah
ratusan kali kukatakan itu bukan?”
“Lalu kenapa kau tak peduli dengan perasaanku? Kenapa yang kau pedulikan
malah perasaan Huda? Kau pikir, dengan menepis tanganku dihadapan Huda dan
Sarah akan membantu perasaan Huda lebih baik?” Sami menepis tangan Hanan dan
berdiri.
“Aku tahu kau selalu meragukan perasaanku, Hanan. Sekarang biar
kujelaskan agar kau tak punya keraguan sedikitpun padaku.” Sami bersidekap
dada. Pandangannya tegas menatap Hanan. “Kau ingat? Kau pernah mengatakan
padaku, laki-laki bisa tidur dengan
wanita yang bahkan tak dicintainya sama sekali. Kau ingat?”
Hanan memandang Sami cemas.
“Dulu aku mengelak, tapi sekarang aku pastikan, aku termasuk laki-laki
seperti itu.” Sami melempar buku kesamping Hanan, ketempat duduknya yang kini
ia tinggalkan. Sekali lagi, sama seperti dulu, Sami masuk kamarnya dan menutup
pintu dengan sangat keras.
Suara berdebam yang memekakkan telinga, sekaligus menjatuhkan jantung
Hanan ke titik terendah. Pertahanan Hanan hancur sudah. Tak bersisa.
Namun karena begitu tragisnya, air mata Hanan tak ada yang mau keluar. Ia
hanya menatap kosong. Menerawang, syok.
Aku pastikan, aku termasuk
laki-laki seperti itu
Kau sangat berarti bagiku,
Huda.
Karena kau begitu sempurna.
* * *
Sami mendatanginya lagi malam ini. Tengah malam, saat Hanan tengah
terlelap tidur. Suara pelan engsel pintu yang terbuka membuka mata Hanan.
Membangunkannya dari lelap. Suara langkah dibelakang punggungnya, membuat
jantungnya berdebar hebat.
Sejak hari itu, Sami tak lagi tidur bersama Hanan. ia kembali tidur
dikamarnya sendiri. Tapi pada saat-saat tertentu, saat ia membutuhkan Hanan, ia
akan datang, dan pergi begitu saja setelah hajatnya selesai. Tanpa
berterimakasih seperti biasanya, tanpa mempedulikan kebutuhan Hanan. Ya, pergi
begitu saja, seolah tak ada sesuatupun yang terjadi diantara mereka.
Setelah Sami mendatanginya, berkali-kali Hanan tak pernah bisa tidur
kembali. Sebab Sami, telah menghujamkan belati kedalam hatinya. Sami menyamakan
dirinya dengan barang. Pernah, Hanan mengungkit masalah ini untuk dibicarakan.
Tapi Sami menjawabnya dengan jawaban yang sangat menyakitkan.
“Seharusnya kau biasa saja diperlakukan seperti itu. Sejak kecil kau
biasa hidup ditengah wanita yang sama dengan barang kan?”
Nyawa Hanan hilang saat itu. Tercerabut dan terbang entah kemana.
Diantara rasa sakit yang ia terima, kalimat yang Sami hujamkan adalah yang
paling terasa perih. Hanan sampai tak mampu menangis, tak mampu berkata, bahkan
tak mampu berdiri. Seharian itu Hanan duduk memeluk lutut sembari memandangi
hujan. Menyelami rasa sakit yang terus menggerogoti kalbunya.
Sami telah menyiksanya begitu kejam. Seperti malam ini. Hanan ingin
menolak. Tapi bisakah? Selain tubuhnya yang lemah didepan Sami, dia juga masih
ingat betul, bahwa dalam keadaan apapun, ia masih istri Sami. Sami berhak
meminta Hanan kapan saja.
Setelah selesai dan Sami hendak beranjak dari tempat tidur Hanan, dengan
sisa nyawanya yang masih tersisa, Hanan menahan tangan Sami. Tidak bertenaga,
seharusnya Sami mudah saja melepaskan diri, tapi Sami tak melakukannya. Ia diam
ditempat meski membelakangi Hanan. Ia menunggu Hanan bicara.
Setelah beberapa saat, Hanan menarik tangannya dan melepaskan Sami. Tanpa
berkata apapun. Ia tak memiliki kekuatan untuk bicara. Tanpa Hanan ketahui,
Sami menelan ludah. Menyesal dengan kediaman Hanan. Bicaralah Hanan, kumohon... atau menangislah, agar aku bisa
memelukmu...
Setelah masuk dan menutup pintu kamarnya, Sami tidak naik ketempat tidur.
Tapi ia terduduk diatas karpet bersandar pada kaki tempat tidur. Ia menundukkan
kepalanya diatas lututnya. Beberapa saat seperti itu, sampai sebuah guncangan
menggerakkan tubuhnya. Guncangan pelan yang semakin lama semakin kencang.
Sami menangis, dalam diam...
Kenapa kau tak marah padaku, Hanan? Kenapa kau tak kesal sedikitpun
padaku? Kenapa kau masih menyiapkan sarapan untukku? Masih memberiku bekal?
Masih menemaniku makan? Bukankah seharusnya kau memukulku?
Hanan kumohon... bicaralah...
Sebab dengan begitu, aku tahu,
kalau kau mencintaiku...
* * *
Hanan melihat jam dinding. 11.10 malam. Dan Sami belum pulang. Apakah
sekarang Sami tak mau makan masakannya lagi? Menghindarinya lagi? Kembali
seperti dulu? Bukankah selama ini ia bertahan untuk tetap menajdi istri Sami
bagaimanapun sakitnya? Tapi mengapa ia menghindar lagi?
Sungguh, ini lebih menyakitkan daripada dulu. Puluhan kali lipat
sakitnya. Hanan memejamkan mata. Lalu setelah menata hatinya, ia membereskan
makan malam. Ia masih berharap, jika Sami pulang, Sami meminta makan seperti
biasanya, dan akan menyantap masakan Hanan seolah ia tak menemukan makanan
selama satu tahun lamanya. Hanya sikap Sami itulah, hiburan bagi Hanan selama ini.
“Aku lapar,” sebuah suara membuyarkan lamunan Hanan. Suara Sami. Apakah
hanya khayalannya saja?
“Keluarkan lagi makanannya, aku lapar.”
Hanan menoleh kebekang. Dilihatnya Sami baru menjauh dari pintu, ia
melonggarkan dasinya dengan satu tangan. Wajahnya kelihatan kusut, rambutnya
masih rapi seperti Sami biasanya, tapi beberapa terurai di dahinya.
“Biar kuhangatkan dulu,” Hanan mengambil wajan.
“Tak usah.”
“Tapi kan ding...”
“Sudah kubilang tak perlu!” Sami berteriak, membuat tubuh Hanan kaku. “Cepatlah!
Aku belum makan kau tahu?”
Hanan menurut. Ia mengeluarkan lagi makanan dan menyimpannya didepan
Sami. Lalu seperti kebiasaannya, Hanan menyendok nasi dan menyimpannya dipiring
Sami, lalu berturut-turun sayur dan lauknya.
Hanan duduk bertopang dagu dihadapan Sami. Bibirnya menyunggingkan
senyuman melihat bagaimana Sami makan. Selarut apapun Sami datang, ia tak akan
pernah makan diluar. Entah karena janjinya dulu, bahwa ia hanya akan makan
masakan Hanan, atau karena memang perutnya ketergantungan masakan Hanan.
Apapun itu, kebiasaan Sami ini membuat Hanan senang.
Sami berhenti menyapkan nasi dan mendongak. Ia menyadari pandangan Hanan
yang terus memperhatikannya. Senyumnya merekah, mata birunya menyipit, dan
pipinya merona. Hanan yang biasa telah kembali. Sami merasakan jantungnya
berdetak sangat kencang.
“Kau tak makan?” tanya Sami. Hanan menggeleng. Entah kenapa, beberapa
hari ini Sami tak pernah melihat Hanan makan. Nafsu makannya semakin parah.
“Kau semakin kurus. Apa kamu sengaja, biar kelihatan menderita hidup
denganku?” Sami makan kembali dengan tenang. Sementara Hanan masih memandang
Sami, namun kini dengan tatapan kaget. Sami menyangkanya begitu?
Senyum Hanan hilang. Rona dipipinya juga hilang, berganti pucat yang
sangat kentara. Andai Sami melihat Hanan saat itu, Sami tidak akan meneruskan
perbuatannya yang ia lakukan terhadap Hanan.
“Sami.”
Sami sudah hendak mencapai pintu kamarnya, ketika Hanan menghentikan
langkahnya. Apakah sekarang saatnya kau bicara, Hanan? Kata-kataku barusan
menyakitmu kan?
“Sebenarnya, aku tak mau mengatakan ini karena kau baru pulang kerja.
Tapi... aku benar-benar membutuhkannya.”
“Apa?”
“Kran dikamar mandiku mati, Sami. Aku pernah mengatakan ini sebelumnya
bukan?”
Sami kecewa lagi. Hanya tentang kran air yang mati. Ia langsung masuk
kamar tanpa punya keinginan untuk menoleh lagi.
* * *
Hanan terburu-buru masuk kamar Sami ketika Sami berangkat ke Masjid. Kran
dikamar mandinya macet sejak kemarin siang. Entah karena apa, Hanan sama sekali
tak tahu. Ia tak mengerti urusan seperti itu. Nah, karena Sami juga sepertinya
belum punya waktu untuk mengeceknya, Hanan pagi ini terpaksa menyelinap kekamar
Sami.
Karena Hanan sadar, ia masuk tanpa izin, Hanan terburu-buru menyelesaikan
urusannya. Mandi, lalu keluar secepat dia bisa. Hanan merasa sudah sangat
cepat, tapi tetap saja tangannya hanya dua. Jadi Hanan masih di kamar mandi
ketika Sami masuk rumah. Sami masuk kekamarnya dan menutup pintu ketika secara
kebetulan, Hanan keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang beberapa saat.
“Maaf,” Hanan merasa bersalah. Seharusnya ia empat kali lebih cepat.
Sami terpaku menatap Hanan. Matanya menyiratkan kemarahan. Hanan masuk
kekamarnya, tanpa izin.
“Sedang apa kau disini?”
“Maaf Sami, tapi kran dikamar mandiku tak mau mengeluarkan air. Jadi aku
terpaksa mandi disini.” Suara Hanan terdengar pelan, tapi sebenarnya cukup
jelas untuk didengar mereka berdua. Tapi Sami meminta Hanan mengulanginya lagi.
“Kran dikamar mandiku rusak, aku sudah bilang padamu kan?”
Sami berjalan, mendekati Hanan, dan tanpa duduga menarik tangan Hanan
keluar.
“Sami, sakit...”
“Jangan masuk kesini! Kau dengar aku? Kamar ini disiapkan bukan untukmu!
Lagipula kran rusak apanya!” Suara keras Sami menggema keseluruh rumah. “Kau
pikir aku tak tahu tak-tikmu? Kau sengaja masuk kemari, sengaja mandi dan
keluar hanya dengan kimono seperti itu! Kau pikir kau bisa menggodaku? Kau kira
kau ahli hanya karena kau anak seorang pe..”
Diam.
Suara keras itu tiba-tiba diam. Tak ada yang bersuara selain suara jarum
jam yang seolah bersuara seperti drum. Tangan kecil digenggaman Sami melemah.
Cengkraman tangan Sami juga melemah.
Tuhan, apa yang telah kukatakan...
Sami berbalik, melihat Hanan. Dan Sami segera tahu, ia telah membuat
masalah besar.
Hanan berdiri syok memandang Sami. Tubuhnya kaku, matanya berkaca.
“Apa?” suara Hanan terdengar sangat lemah. Tapi cukup jelas terdengar
ditelinga Sami.
“Tidak, Hanan...”
“Lanjutkan, Sami...”
“Tidak, aku tak mengatakan apapun, Hanan.” Jantung Sami berdebar sangat
cepat. Tiba-tiba ia merasa takut. Bayangan kehilangan Hanan terbentang
didepannya. Dan rasa takut itu semakin menguasai hatinya.
“Aku anak seorang apa, Sami...” Air mata Hanan jatuh menetes, padahal
mata Hanan tak terpejam. Air mata itu tumpah karena kelopak matanya sudah tak
bisa menampung volume air yang terus bertambah.
“Tidak, Hanan. Aku tak mengatakan apapun....” Sami menggenggam tangan
Hanan memelas.
“Kau ingin bilang, ibuku seorang...” Hanan tak sanggup bicara.
“Tidak Hanan. Sudah kubilang aku tak mengatakan hal itu! Aku mohon...”
kata-katanya berlebihan, sehingga reaksi Hanan pun sangat lebih dari yang ia
harapkan. Entah apa yang akan dilakukan Hanan. Tapi apapun itu, Sami berhak
untuk takut.
“Lalu kau bilang apa tadi? Kamar ini tidak disiapkan untukku?”
Sami menggeleng lemah. Hanan... tidak! Kau harus menghapus ingatanmu...
Sekarang mata Sami juga berkaca.
“Lalu untuk siapa?” Hanan tersenyum pahit. “Untuk Huda-kah?”
Sami merasakan dadanya tiba-tiba sesak. “Aku mencintaimu, Hanan.” katanya
disela-sela nafasnya satu-satu. Pernyataan cinta yang terlambat.
“Ya Tuhan...” Hanan memegang keningnya. Ia baru menyadari sesuatu yang
menyakitkan. Sami telah bergadang dua malam untuk menyelesaikan gambar rumah
ini. Hanan berpikir, Sami melakukan semua itu untuknya, calon istri Sami. Tapi
ternyata, saat menggambar rumah ini, yang Sami bayangkan hidup didalamnya
adalah seorang perempuan bernama Huda. Jantung Hanan rasanya tak berdetak lagi.
Tubuhnya lemas, ia mencari pegangan.
Selama ini, inilah pegangan Hanan. Saat ia merasa kekuatannya habis, saat
ia merasa ingin menangis, ia masih bisa berpegangan. Ia selalu mengatakan pada
dirinya sendiri, paling tidak, Sami membuatkan rumah ini untuknya. Ya, paling
tidak...
Hanan benar-benar limbung dan hampir saja terjatuh, jika saja Sami tidak
mengambil bahunya.
“Hanan, dengarkan aku. Kau tak mendengar apapun. Kau tak mendengar
apapun...,” Sami memindahkan tangannya kekepala Hanan, dan menutup kedua
telinga Hanan dengan kedua telapak tangannya. Airmata Sami tumpah. “Kau tak
mendengar apapun...”
Hanan membalas tatapan Sami kecewa. Juga sakit, dan... pasrah. Hanan
mengambil tangan Sami dan melepaskannya.
“Ibuku seorang pelacur... dan rumah ini bukan untukku...”
Hanan berjalan gontai menuju kamarnya. Sami terus mengikutinya dan
mengambil tangan Hanan sambil menangis. Tapi Hanan menepisnya pelan.
“Cukup sudah, Sami. Cukup...”
Hanan mengurung diri didalam kamar hingga menjelang siang. Ia menutup
diri rapat-rapat dari Sami. Mengunci pintu, mengunci jendela sekaligus menutup
gordennya. Ia ingin berpikir tentang segala hal. Terutama tentang dirinya
sendiri. Tentang lukanya, tentang harapannya yang kandas, tentang cintanya yang
berbalas perih. Juga tentang wanita yang sangat dihormatinya, apapun
profesinya.
Hanan duduk tepekur. Kepalanya ia simpan diatas lututnya. Kadang arimata
mengalir dari pipinya, kadang juga diam berhenti. Kadang ia menangis keras
seperti ia biasanya, kadang juga menangis diam karena saking perihnya. Lalu apa
yang harus dilakukannya?
Hanan memeluk lututnya. Lalu matanya berkeliling memperhatikan kamarnya,
seolah-olah ia baru pertama kali melihatnya. Dinding yang menghadap taman
didominasi kaca-kaca lebar. Ruangan yang sangat luas dan lapang. Lantai parkit,
juga teras diluar sana. Hanan tersenyum. Warna catnya, juga gordennya, seperti
diperuntukkan sebagai ruang kerja. Bukan kamar. Ya, jika tak ada tempat tidur
dan lemari, ruangan ini lebih pantas disebut kantor daripada kamar. Lalu
jendela besar dari kaca, yang juga berpungsi sebagai pintu taman, dibuat
sedemikian rupa hingga seseorang yang memandang dari sini, bisa melihat seluruh
isi rumah. Ya, Sami membuatnya seperti itu... agar saat ia bekerja... ia bisa
melihat Huda dimanapun Huda berada...
Allah... luka ini perih sekali...
Perkataan Sarah dulu benar. Ini ruang kerja, dan disanalah kamarnya.
Mengapa lalu Sami menempatkannya di ruangan ini? Bukan dikamar sebenarnya?
Jawabannya sekarang jelas, karena Hanan hanya penghuni sementara, bukan
penghuni sesungguhnya. Ia hanya dipinjami. Sebab bukan hanya rumah ini saja,
tapi juga kursinya, karpetnya, bahkan alat dapur, bukanlah miliknya. Tapi milik
Huda. Sami menyiapkannya untuk Huda.
Hanan mengelus karpet yang didudukinya perlahan.
Sekarang semuanya jelas. Bahkan Hanan sudah menemukan jawaban, mengapa ia
tak boleh meginjakkan kaki di kamar Sami. Ah, Allah... andai aku mengerti sejak
awal...
Hanan mengusap airmatanya kuat. Kali ini ia bertekad untuk menghapusnya
terakhir kali. Tak bisa seperti ini terus. Ia harus bangkit. Kembali menjalani
hidupnya sendiri. Beberapa saat, Hanan mengumpulkan kekuatan. Ia harus
berkemas, secepatnya. Itulah keputusannya.
Hanan mengambil tas dilemari pakaian bagian bawah. Hanan mengambil
pakaiannya. Pakaian yang ia bawa saat datang beberapa bulan lalu, dan
mengabaikan pakaian-pakaian baru yang Sami belikan. Jangan-jangan, saat
memilihkan baju itu, yang ada dibenak Sami bukanlah Hanan. Tapi Huda. Hanan
tersenyum pahit.
Hanan melihat dirinya tak sengaja dalam bayangan cermin. Mata merah dan
bengkak, kimono yang kusut, rambut semrawut. Jelek sekali! Hanan tersenyum. Kau
masih muda Hanan, belum punya anak pula. Suatu saat, ia akan bisa menemukan
cinta sejatinya seperti Sami dan Huda. Ia bisa bahagia. Ia berhak untuk
bahagia. Jadi tetaplah menjadi cantik...
Hanan mengambil sisir dan merapikan rambut hitam lebatnya. Setelah
mengepangnya, Hanan mengambil Handuk. Tapi karena kran dikamar mandinya tak
mengeluarkan air, Hanan berjalan menuju ketanam. Dibukanya gorden dan pintu. Ia
akan membasuh mukanya di kran yang ada ditaman.
Dipintu kamar Hanan, Sami tengah duduk memeluk lutut, menunggu Hanan. ia
tak beringsut sedikitpun. Ia mendengar hampir semua suara. Tangisan, hingga
isakan. Dan tanpa Hanan tahu, Sami menemaninya manangis diluar. Menyesal tak
berkesudahan. Begitu Sami mendengar suara gorden dan pintu yang dibuka, Sami
lekas mendongak. Benar. Hanan membuka pintu!
Suara gemericik air terdengar. Sami lekas berdiri dan berjalan menuju
taman. Dan tubuhnya kaku ketika ia melihat Hanan. Hanan sedang berwudhu dibawah
kran ditaman.
“Kran dikamar mandiku mati, Sami.
Aku pernah mengatakan ini sebelumnya bukan?”
“Kran dikamar mandiku rusak, aku
sudah bilang padamu kan?”
“Jangan masuk kesini! Kau dengar aku? Kamar
ini disiapkan bukan untukmu! Lagipula kran rusak apanya! Kau pikir aku tak tahu
tak-tikmu? Kau sengaja masuk kemari, sengaja mandi dan keluar hanya dengan
kimono seperti itu! Kau pikir kau bisa menggodaku? Kau kira kau ahli hanya
karena kau anak seorang pe..”
Sami memandang Hanan dengan sedih. Kenapa ia tak segera merespon Hanan?
Kenapa ia tak segera melihat kamar mandi Hanan? Kenapa Sami mengabaikannya?
Hanan menutup kerannya. Ia sudah selesai. Begitu ia berbalik hendak
kembali kekamarnya, pandangannya menyapu Sami yang berdiri diruang tengah
memandangnya. Setetes air mata jatuh dipipi lelaki itu.
Hanan melanjutkan kegiatannya. Ia berjalan lagi menuju kamar, tanpa
menghiraukan Sami. Sudah terlambat, Sami.
Untuk apa kau menangis?
Setelah Hanan masuk kembali kekamarnya, dan kembali menutup pintunya
rapat, Sami baru tersadar dari keterkejutannya. Rasa terkejut dengan dirinya
sendiri. Kejut yang hampir mengambil nyawanya. Sami terduduk di sofa, ia
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang telah aku lakukan?
Setelah beberapa saat, Hanan membuka pintu kamarnya. Sami terperanjat dan
langsung berdiri. Hanan berdiri memandang kepadanya dengan pakaian yang rapi
dan lengkap. Ditangannya, Hanan membawa sebuah tas pakaian berwarna coklat. Tas
yang seketika membuat Sami sangat panik.
“Hanan?” Sami bernafas cepat. Dadanya sesak. Hanan memandang Sami
tersenyum. Senyum merona yang baru Sami sadari, adalah senyum yang telah
membuatnya jatuh cinta.
“Hanan apa ini?” Sami mengeluarkan air mata lagi. Hanan melihat tasnya,
lalu melihat Sami lagi dengan senyum yang sama.
“Aku... mungkin akan kembali pada kehidupanku sebelum aku bertemu
denganmu,” pelan dan serak. Tapi bagi Sami kalimat itu seperti halilintar yang
menghanguskan seluruh tubuhnya. Kenapa ia merasa sangat takut Hanan
meninggalkannya?
“Hanan, kumohon, aku minta maaf...” Sami menghampiri Hanan dan berdiri
begitu dekat dengan Hanan. Mata biru yang bening, senyum yang merekah. Sami tak
mau kehilangan wajah itu. Tidak mau. “Marahlah padaku! Jangan tersenyum seperti
itu, Hanan! Marahlah! Teriaki aku! Pukul aku! Tapi kumohon... jangan pergi...”
Sami mengambil kedua tangan Hanan dan menyimpannya dipipinya. Hanan merasakan
jambang lelaki ini menusuk-nusuk telapak tangannya.
“Aku tak berhak tinggal disini, Sami...”
“Lupakan apa yang kukatakan, ok? Rumah ini untukmu. Segala yang ada
didalam rumah ini untukmu. Kau bebas masuk kemanapun kau mau. Kekamar itu,
kekamar mandinya. Atau kemanapun! Bahkan kalau kau membongkarnya sekalipun kau
berhak melakukannya, Hanan! Kumohon...” Sami terisak lagi. Air matanya
membasahi jemari Hanan. Air mata yang baru pertama kali dilihatnya keluar dari
mata seorang Sami. Dan mungkin, air mata yang terakhir.
“Memangnya, kau tak ingin meraih kebahagiaanmu, Sami?” Hanan bicara
lembut seperti tengah membujuk seorang anak.
“Kebahagiaanku bersamamu.”
“Jika aku pergi, kau bisa bahagia bersama Huda...”
“Jangan bicara tentang dia! Aku mencintaimu!”
“Jujurlah pada dirimu sendiri..”
“Aku mencintaimu, Hanan....” Sami memohon. “Percayalah padaku...”
tangisnya mengeras. Dadanya berguncang.
Hanan membiarkannya seperti itu. Baru setelah tangis Sami sedikit mereda,
Hanan kembali bicara. “Bagaimana jika aku kerumah Ibu?”
Sami mendongak. “Tidak. Ini rumahmu!” Sami menggeleng.
“Ini bukan rumahku, kau tak membuatnya untukku,” Hanan tak bisa menahan
airmatanya juga. “Kau sudah berkali-kali menyakitiku, Sami...”
“Maafkan aku...”
“Kau tahu apa yang membuatku bertahan?”
Sami menatap Hanan sendu.
“Aku selalu mengatakan pada diriku, paling tidak, Sami membuat rumah ini
untukku. Kau bergadang dua malam membuat rumah ini, sambil membayangkan kalau
akulah yang ada didalamnya. Bukankah dugaanku ini tak benar, Sami?”
Sami menggenggam kedua tangan Hanan dan menekankannya pada mulutnya. Ia
tergugu lagi.
“Bukankah, aku tak punya alasan lagi untuk tinggal disini? Bisakah kau
biarkan aku pergi?”
Sami menggeleng kuat, berulang-ulang. Bahunya berguncang lebih keras.
Hanan merasa, jantungnya diremas kuat. Sakit sekali melihat Sami menangis
hingga seperti ini. Tapi ia tak punya pilihan lain. Setelah ia pergi, Sami akan
menyemai lagi cinta untuk Huda. Mereka berdua bisa bahagia. Hanan menarik
tangannya dari genggaman tangan Sami. Lalu tanpa menoleh lagi, ia beranjak.
“Hanan!” Sami menyusul lagi. “Apa yang bisa kulakukan agar kau
memaafkanku?”
“Kau tak bersalah padaku, Sami...”
“Aku bersalah! Aku mengatakan sesuatu yang salah!”
“Kau hanya mencoba untuk bicara jujur. Dan aku senang, akhirnya, kau
mengatakan hal yang sebenarnya.”
“Tinggallah...”
Hanan menghela nafas. Ia tak bisa.
“Ke rumah Ibu! Kau mau kerumah Ibu kan?” Sami menatap wajah Hanan penuh
harap. Sekarang harapannya tinggal satu. Sami berharap, Ibu dapat meredakan
amarah Hanan dan menahannya agar tak pergi. Harapan Sami terjawab. Hanan
mengangguk. Tapi ia tak berniat untuk menyelesaikan masalahnya, ia hanya
berniat untuk berpamitan.
Hari minggu. Seperti biasa, rumah sedang penuh, karena semua berkumpul.
Saat mobil Sami mendekat, semua menyambut dengan cerah.
“Lihat, pasangan romantis itu akhirnya datang juga,” kata Sarah
mengundang senyum semua orang. Tapi senyum itu menghilang perlahan, berganti
bingung ketika mereka melihat wajah Sami, dan tas pakaian yang Hanan bawa.
Apa yang terjadi?
Sami merangkul Hanan, dan Hanan tak menolak. Mereka berjalan beriringan
mendekati semua orang yang berkumpul dihalaman depan. Hanan datang dengan
senyum cerianya meski matanya sembab. Tapi Sami terlihat begitu kusut. Matanya
masih basah, rambutnya semrawut. Sami juga hanya memakai jins dan kaos rumah.
Sangat bukan Sami yang biasanya selalu rapi.
“Hanan akan tinggal disini beberapa hari,” kata Sami murung. Mereka sudah
ada diruang keluarga, berkumpul. Tak ada yang bertanya tentang tas yang dibawa
Hanan, juga aura kesedihan yang menguasai Sami. Mereka semua menunggu Sami dan
Hanan mengatakan sesuatu. Dan setelah Hanan sedikit basa-basi, Sami bicara
langsung pada pokok permasalahan. “Baru setelah kami menemukan rumah yang
baru...”
“Memangnya kenapa dengan rumah kalian yang sekarang?” Sarah bertanya tak
sabar. Huda menyimak Sami dengan seksama. Apa yang sebenarnya terjadi diantara
mereka? Tak ada kaitannya denganku kan?
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja... kami ingin pindah...”
Semua diam mencerna perkataan Sami. Tak ada apa-apa, tapi ingin pindah?
Bukankah ‘tidak ada apa-apa’nya justru terdengar aneh?
“Sebenarnya Sami...,” Hanan membetulkan duduknya dan menghadap Sami yang
duduk tepat disampingnya. Seperti biasa, Sami menggenggam tangan Hanan. Tapi
sekarang sangat erat, seperti takut kehilangan. “Sebenarnya... aku datang
kesini untuk... berpamitan...”
“Sudah kubilang tidak. Kau tak akan kemana-mana, Hanan!” Sami bicara
sangat tegas. “Kau tak akan kemana-mana. Kau akan terus disampingku sampai aku
tua. Kau dengar itu?”
Hanan mendesah. Sami sama sekali tak bisa diajak bicara. Ia menatap Ayah,
Ibu, Sarah, Ilham dan Huda. Satu persatu. “Sebenarnya,...”
“Kau akan tinggal disini.” Sami berkata lagi. Pelan namun
sungguh-sungguh.
“Ada apa? Kalian berdua membuat kami bingung,” Ibu memandang Hanan dan
Sami khawatir. “Kalian bertengkar?”
Mereka berdua diam. Hanan tak tahu harus menjawab apa.
“Pertengkaran antara suami istri itu biasa, tapi kalian akan kembali
baik. Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.” Ibu tersenyum sembari
memegang tangan kiri Hanan yang tidak digenggam Sami.
“Kami tahu. Tapi sepertinya sekarang...,” Hanan mencari kata-kata yang
tepat. “Sebenarnya ini bukan pertengkaran. Kami hanya membicarakan kebenaran.”
“Kami tidak mengerti,” Ilham bersuara.
“Aku mengatakan sesuatu yang salah, lalu dia membuat keputusan untuk
meninggalkanku. Kumohon pada kalian, tahanlah dia...” Sami menatap semua
bekeliling dengan matanya yang berkaca. “Kumohon...”
“Sami, bisakah kau beri kesempatan aku untuk bicara?” Hanan menyentuh
pipi Sami. Dia terlihat sangat kusut. “Sebentar saja?”
Sami memejamkan mata, pasrah. Hanan memang harus bicara, tapi bukan
kata-kata pamit. Tapi Sami diam juga, ia membiarkan Hanan bicara.
“Sebelumnya, aku ingin berterimakasih pada kalian semua. Terutama Ibu.
Kalian sudah banyak membantuku. Mengangkatku, dan menghargaiku...,” tenggorokan
Hanan mulai sesak. Perpisahan selalu sangat menyedihkan. Semua diam
mendengarkan, kata-kata Hanan kali ini sangat tidak biasa, juga kesedihannya.
Tapi mereka memutuskan untuk diam dan mendengarkan perkataan yang selanjutnya.
“Kedua, aku minta maaf. Karena tak bisa membalas kebaikan kalian, aku
hanya berharap Allah-lah yang membayar kalian dengan pahala yang lebih banyak
dan lebih baik dari yang kalian berikan padaku,” Hanan berhenti sebentar,
menarik nafas. “Juga minta maaf, karena aku... sudah berani-beraninya masuk
dalam kehidupan kalian...”
“Apa maksudmu?” Ibu mulai kelihatan panik.
“Juga minta maaf secara khusus padamu Ibu, juga Ayah. Karena aku... tak
bisa... menjalankan amanah kalian...”
“Hanan!” Sami meminta Hanan berhenti. Tapi Hanan tak bisa dihentikan.
“Aku tak bisa menjaga Sami selama hidupku. Aku memutuskan untuk mengembalikan...”
“Tidak!” Sami memeluk Hanan. “Tidak boleh begitu...” bahunya berguncang.
Sarah menutup mulutnya. Tak percaya dengan apa yang dikatakan Hanan.
“Sami kumohon..., aku belum selesai bicara...”
“Kau tak boleh bicara lagi.... Aku mencintaimu...”
“Sami...”
“Sami, biarkan Hanan selesai bicara. Setelah itu, kita bisa merembukkan
jalan keluarnya,” Ayah meremas pundak Sami. Sami menurut. Ia melepaskan
pelukannya, tapi tidak genggaman tangannya.
“Juga pada Huda, karena... aku telah mengacaukan hubungan kalian
berdua...”
“Hanan! berapa kali kukatakan, aku tak merasakan apa-apa pada Huda. Aku
menyayanginya, tapi bukan cinta... bukan cinta, Hanan...” Sami menyela lagi.
“Lalu Kak Sarah, aku menitipkan butik padamu.”
“Apa? Tapi kenapa?”
“Karena hanya kau bisa mengurusnya,” Hanan tersenyum.
“Hanan, dengar baik-baik. Kurasa... ini masih bisa kita bicarakan...,”
Ayah menotong kata-kata Hanan. “Kalian berdua benar-benar membuat kami bingung.
Kalian datang beberapa minggu kemarin dengan keakraban yang luar biasa, lalu sekarang
kalian tiba-tiba datang dengan keputusan untuk berpisah? Sebenarnya ada apa?”
“Aku mengatakan sesuatu yang salah, Ayah...”
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa,” Hanan yang menjawab.
“Jika bukan apa-apa kenapa kau memutuskan untuk pergi dari Sami?” Sarah terdengar
marah. “Jadi ada kata-kata yang mengganggumu kan? Apa yang Sami katakan?”
“Sami hanya mengatakan kejujuran. Dan bukan kata-kata Sami yang
menyebabkan aku pergi.”
“Katakan apa, Sami? Kau mengatakan apa?”
“Tak ada!” Hanan berkeras. “Jika ada yang salah, maka itu adalah aku.
Salahku yang sudah berani masuk dalam kehidupan Sami...”
“Aku mengatakan sesuatu tentang ibunya...,” Sami berkata lemah... tak ada
yang perlu disembunyikan. Dia memang salah...
“Kenapa dengan Ibu Hanan? Jangan berbelit-belit!” Sarah mulai marah dan
kesal. Ia juga mulai menangis.
“Aku mangatakan...”
“Kau tak mengatakan apa-apa, Sami.” Hanan menahan Sami.
“Aku bilang, Ibu Hanan seorang pela...” Sami tak melanjutkan
kata-katanya. Guncangan dibahunya menghentikan mulutnya. Hanan mengeluarkan
airmata. Ibu menutup mulutnya yang ternganga. Huda demikian, Sarah juga. Juga
Ayah dan Ilham.
Waktu seperti berhenti. Kata-kata Sami yang mereka dengar terlalu keras
menggedor gendang telinga mereka. Kata-kata itu pasti hanya kesalahan pendengaran
mereka.
“Tidak Sami, kau tak mungkin mengatakan hal seperti itu... tak
mungkin...” Sarah mengggelengkan kepalanya. Meyakinkan dirinya kalau dia benar.
“Aku juga mengatakan padanya, kalau rumah yang kubangun itu bukan
untuknya.”
“Hentikan Sami, apa yang membuatmu berkata seperti itu!” Ibu meraba
keningnya. Ia merasa pening. Ia ingin menghentikan pikirannya untuk bekerja.
Ini hanya mimpi. Ini pasti mimpi.
“Aku menyakitinya setiap aku membutuhkannya, Ibu. Aku juga mengatakan dia
hanya barang..., aku juga mengatakan kalau aku bisa tidur dengan seorang
perempuan yang tak kucintai...”
“Sami hentikan!” Suara keras Ayah menghentikan kata-kata Sami. “Jangan
bicara sembarangan.”
“Aku memang mengatakan itu Ayah.., aku memang gila. Karena itulah Hanan
ingin menjauh dariku. Kumohon tahanlah dia...” Sami masih bicara
ditengah-tengah tangisnya.
“Hanan, anakku..,” Ibu membelai kepala Hanan. Tapi hanya itu kata-kata
yang keluar. Ia ingin membujuk Hanan. Tapi bagaimana caranya? Sami sudah
mengatakan hal yang sangat tidak pantas. Ia harus membela apa? Akhirnya Ibu
hanya tergugu. “Mana mungkin kau mengatakan hal semacam itu, Sami...”
Semua terguncang. Tak ada yang berkata. Kenapa Sami mengatakan itu?
Hanya Hanan yang akhirnya bertahan. Sami tak perlu mengatakan
kesalahannya. Padahal Sami cukup mengatakan sebab keputusannya untuk pergi. Tak
perlu mengungkit kesalahannya yang lain.
“Sebenarnya, nasabku yang tidak jelas, adalah gambaran siapa orangtuaku
sesungguhnya.”
“Jangan mengatakan keburukan orang yang sudah meninggal anakku...” Ayah
berkata sedih.
“Kalian mememintaku secara baik-baik. Maka aku juga akan mengembalikan
secara baik-baik,” suara Hanan yang tenang menggelegar disemua pendengarnya.
“Mengembalikan? Apa maksudnya?” Sami mendongak. Lalu Hanan melepaskan
tangan kanannya dari genggaman Sami. Ia menyentuh tangan kirinya, lalu
menyentuh sebuah cincin yang melingkar dijari manisnya.
“TIDAK! TIDAK!” Sami histeris. Ia meraih tangan kiri Hanan dan
menggenggamnya didada, menahan Hanan untuk tak menyentuh cincin itu. Sami mengerti,
jika Hanan mengembalikan maskawinnya, maka ia tak punya harapan. Hanan telah
menceraikannya. Wanita punya cara yang baik untuk memutuskan pernikahan. Dengan
mengembalikan maskawin. Dan maskawin itu hanya bisa dikembalikan pada suami
karena satu sebab. Istri telah didzalimi. Sami sadar, Sami memang telah
menzalimi Hanan. Tapi Sami juga tahu, jika Hanan benar-benar melakukan khulu’
padanya (mengembalikan maskawin untuk memutuskan pernikahan), maka ia tak akan
punya kesempatan lagi, meski ia menangis darah sekalipun. Maka ia berkeras
menahan tangan Hanan.
“Aku tahu, aku salah, Hanan. Aku tahu... kau boleh menghukum apapun. Kau
boleh melarangku bicara selamanya, maka akan aku lakukan. Kau juga boleh
memukulku hingga mati, aku ridha. Tapi jangan begini...., jangan
meninggalkanku... jangan melepaskanku...”
“Aku sudah cukup bertahan, Sami...” kata Hanan akhirnya. “Aku sudah cukup
bertahan...”
“Bertahan sekali lagi, Hanan. Kau mau? Kita akan memulai lagi dari
awal....”
Hanan menggeleng. “Aku sudah tak punya cukup kekuatan...”
“Kumohon....” Sami memeluk tangan Hanan, menekankan kedadanya, seolah
itulah harta berharga yang dimiliknya. Satu-satunya.
“Sami, lihatlah aku...”
“Tidak! Jangan membujukku, Hanan. Marahlah padaku, itu lebih baik. Jangan
membujukku....”
Hanan menarik nafas. Sami, dia seperti seorang anak yang menangis karena
mainan satu-satunya akan diambil orang lain. Apa memang bagi Sami aku begitu
penting? Tapi sepenting apa jika dibandingkan dengan Huda. Jika Huda yang ada
diposisi Hanan sekarang, apakah Sami akan menangis seperti ini? Hanan
tersenyum. Mungkin lebih.
“Izinkan hati kita untuk berpikir jernih. Kita hidup terpisah beberapa
saat, lalu kita evaluasi perasaan kita. Sungguhkah kau mencintaiku? Sungguhkah
aku memaafkanmu? Apakah kita bisa bersama?”
“Tidak. Hanan... sekali kau pergi dariku, kau akan menjauhiku
selamanya...”
“Jika kita berjodoh, kita akan bersama kembali...”
“MASALAHNYA, AKU TAK BISA KEHILANGANMU WALAU UNTUK SEDETIK! APA KAU TAK
MENGERTI?” Sami menangis keras. “Ibu... tolonglah aku, tolong tahan dia...
kalian semua... tolong tahan dia...”
Tak ada yang bersuara. Semua diam. Ia tak bisa memaksa Hanan. Mereka
tahu, jika Hanan telah membuat keputusan, ia tak bisa disanggah. Jika
Hanan telah membuat keputusan, maka itu
berarti, Hanan telah memikirkan keputusan itu masak-masak. Maka mereka
membiarkan mereka berdua membuat keputusan.
“Sami..., kau membuat tanganku sakit...”
Sami bergeming.
“Sami.., tanganku sakit....”
Sami menguraikan genggaman kerasnya. Dan Hanan segera melepaskan diri dari
Sami. Dengan gerakan cepat, tangan kanannya hendak melepaskan cincin dari Sami.
“TIDAK! HANAN! TIDAK!” Sami berhasil menangkap tangan Hanan.
“Baiklah... baiklah... kau bisa pergi...” Sami tergugu lagi. “Tapi
kumohon... kau harus tetap jadi istriku....” Sami berkata dengan putus asa.
Hanan menatap Sami. Pergi, tapi tetap menjadi istri Sami? Tanpa ada
perceraian?
“Kau bilang kita mencoba dulu kan? Suatu saat, jika kau memutuskan untuk
kembali padaku, kau akan kembali padaku kan?” Sami memandang Hanan penuh harap.
Mencoba dulu, jika suatu saat memutuskan kembali, Hanan bisa kembali.
Tapi mungkinkah ia kembali? Pada Sami? Tapi bukankah itu juga berlaku
sebaliknya? Jika Hanan memutuskan untuk bepisah, maka ia bisa mengembalikan mas
kawin ini kapan saja. Benar begitu
bukan? Lagipula tangisan Sami mengundang rasa ibanya. Paling tidak, meski Sami
mungkin akan menangis lebih keras dari ini untuk Huda, paling tidak, ada
tangisan yang menyayat untuk Hanan. Bukankah itu karena sebentuk cinta yang
sebenarnya sudah ada dihati Sami untuknya?
Akhirnya Hanan menggangguk. Ia akan pergi, tapi ia masih akan menjadi
istri Sami.
“Aku mencintaimu, Sami. Sejak pertama kali kita dipertemukan Ibu. Kau
ingat, saat kita bertemu pertama kali didepan butik?”
Sami menangis.
“Saat itu, aku sudah mencintaimu...” Hanan tersenyum pada Sami. Senyum
dengan uraian airmata.
“Apakah cinta itu tak cukup besar untuk memaafkanku?”
“Tidak butuh cinta untuk memaafkan, Sami.” Hanan tersenyum.
“Kau memaafkanku?”
Hanan mengangguk. “Aku tak bisa marah padamu, Sami.”
“Apakah itu artinya, suatu saat kau memang akan kembali padaku?”
“Tak ada yang tahu masa depan.”
Berarti tak ada jaminan.
Sami menarik Hanan dan mendekapnya erat. “Kau masih istriku. Aku masih
bisa menemuimu kapan saja. Aku masih bisa menciummu kapan saja. Kau dengar?”
Hanan tersenyum. Bahkan saat tertekan, Sami masih ingin mendominasi.
“Dan itu berarti, kau tak kuizinkan jatuh cinta pada orang lain. Kau
hanya boleh mencintaiku. Mengerti?” Sami menangis.
Hanan mengangguk lagi. Cintanya begitu besar pada Sami. Rasanya mustahil
mencintai orang lain seperti ia mencintai Sami. “Tapi kau bisa menikah dengan
orang yang kau cintai kapan pun kau mau,” ucap Hanan tulus.
“Aku hanya mencintaimu, kau tahu itu.”
“Aku tahu.” Hanan menenggelamkan diri dalam pelukan Sami. Ia akan jauh
dari Sami, maka untuk terkahir kali, ia ingin merasakan dekapan lelaki ini.
“Andai aku bisa menahanmu Hanan. Apa kau tahu, aku sangat mencintaimu...
aku menyesal baru menyadarinya sekarang...”
“Kau mengizinkanku untuk pergi, adalah bentuk cintamu, Sami...”
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu,
aku mencintaimu...” Sami terus berkata seperti itu berulang-ulang.
Sebuah suara mobil terdengar mendekat.
“Taksiku sudah datang, Sami...”
Sebelum berangkat, Hanan menelfon taksi untuk menjemputnya di rumah Ibu.
Sami tak tahu mengenai itu. Jadi ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Sami
melepas Hanan. Hanan beranjak, tanpa melihat lagi pada Sami. Tapi semakin
langkahnya menjauh, semakin keras ia mendengar isakan Sami. Sami berusaha
menahannya, tapi tak bisa. Ia baru mengalaminya kali ini, dimana ia harus
melepaskan sesuatu seperti ia melepaskan nyawanya sendiri pelan-pelan. Berat,
dan sangat sakit...
Ketika suara mobil menderu, Sami tidak kuat menahan dirinya. Ia berdiri
dan berlari melihat Hanan. Ia tahu ia tak bisa menyusul, maka lututnya yang
lemas jatuh di atas aspal. Tangannya luruh, dan kepalanya tertunduk.
Semua menyusul Sami. Ibu memeluknya, dan Ayah menggenggam erat bahu Sami.
Melihat Sami seperti itu, menarik rasa iba dari semua orang. Sami tak pernah
menangis, apalagi menangis seperti ini. Apa Hanan tak tahu, apa yang dia
lakukan pada Sami sungguh sangat menekan dirinya?
Sarah juga mendekat dan berlutut memeluk Sami. Tak ada yang bisa ia
lakukan, kecuali mengalirkan kekuatan dan mengatakan pada Sami, bahwa ia tak
sendiri.
Huda lain lagi. Ia berbalik dan berlari kekamarnya. Setelah dikamar, ia
baru menangis mengeluarkan isakannya tak bersuara. Ada yang lebih menyakitkan
yang ia tangisi, selain keadaan Sami yang demikian. Tangisan itu adalah
tangisan yang muncul dari rasa sakit, karena mengetahui kenyataan, bahwa Sami
begitu mencintai Hanan. Sami sangat takut kehilangan Hanan, karena cintanya
yang begitu besar. Sekarang apa yang bisa ia lakukan? Sementara dihadapan Sami,
ia benar-benar tak punya harapan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar