14
Sami menatap layar laptopnya. Tangannya diatas keyboard bersiap mengetik.
Tapi keraguan menyelimutinya demikian besar. Malam itu, Ilham menyarankan Sami
untuk menghubungi Hanan dan mengatakan tentang apa yang dirasakannya. Tapi
Ilham tak tahu, Hanan meminta Sami tak menghubungi untuk sementara. Tapi
sementara itu sampai kapan?
Sami mendesah.
Menulis e-mail mungkin jalan tengahnya. Hanan bilang, Sami masih bisa
mengirim pesan untuk Hanan kan? Bagaimanapun, Hanan harus mengetahui apa yang
ia rasakan, yang ada didalam hati Sami. Lagipula, ia sangat mengkhawatirkan
Hanan. Apakah dia baik-baik saja? Tadi malam, kekahwatirannya begitu memuncak.
Ia harus tahu kalau Hanan benar-benar tak mempunyai masalah.
Akhirnya, dengan keyakinan penuh, Sami menulis untuk Hanan. Awalnya
pendek. Tapi surat-surat berikutnya semakin panjang. Tak kunjung ada jawaban.
Tapi Sami memutuskan untuk tak menyerah. Hanan tak membalas bukan karena tak
membaca pesannya, ia hanya belum ingin membalas email Sami. Suatu saat, Hanan
pasti membalas juga, sesingkat apapun kata-katanya. Ya, Hanan pasti membalas.
Suatu hari...
* * *
Hanan merasakan tubuhnya sangat berat. Sebuah bongkahan batu besar
seperti menindih tubuhnya. Bahkan untuk menggerakkan satu jari pun, Hanan
merasa tak sanggup. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Suster! Dia sudah sadar!”
Hanan tersentak. Sebuah suara. Laki-laki. Tapi bukan suara Sami.
Lagipula, sudah sadar? Apakah selama ini ia tak sadar.
Hanan kembali berusaha menggerakkan tubuhnya yang lain. Keadaan
sekeliling sangat gelap. Apakah ia memang tertindih bongkahan batu besar? Sebab
ia merasa dadanya juga sakit. Dan nafasnya terasa sangat berat...
Suara langkah sekarang terdengar mendekat. Hanan jelas mendengar suara
itu.
“Aku melihat tangannya bergerak! Sungguh!” Suara laki-laki itu semakin
dekat dari tadi. Seperti tepat disamping telinganya.
“Nyonya,” sekarang sebuah suara lembut terdengar disisi yang lain. “Anda
bisa mendengar saya? Buka matanya.”
Buka mata? Hanan seolah baru menyadari sesuatu. Buka mata. Maka Hanan pun
berusaha membuka matanya. Tapi ya Allah... kenapa beban matanya terasa berat?
“Nyonya? Syukurlah. Sekarang anda baik-baik saja.” Sebuah tangan menentuh
pundak Hanan. hangat. Hanan semakin berusaha membuka matanya. Dan sedikit demi
sedikit, ia berhasil menangkap cahaya. Awalnya berkabut, tapi beberapa saat
setelah ia menangkap bayangan berwarna hijau, ia melihat bayangan itu semakin
berbentuk. Seorang perempuan. Perawat. Hanan menyimpulkan cepat. Syukur,
otaknya masih bekerja. Ia bahkan masih ingat apa yang sebelumnya telah menimpa
dirinya.
“Sus....” sulit sekali Hanan berkata. Butuh tenaga sebesar inikah hanya
untuk berbicara? Sebuah nikmat besar yang baru Hanan rasakan sekarang.
“Tenanglah. Istirahat dulu. Nyonya di rumahsakit sekarang,” Perawat itu
tersenyum.
“Dia baik-baik saja?” suara laki-laki lagi. Dan semakin jelas kalau itu
bukan Sami. Hanan memutar bola matanya, mencari asal suara.
“Jangan khawatir, tidak ada yang berbahaya. Nyonya hanya lemah. Itu
saja.”
Setelah itu, perawat itu pamit, dan Hanan menangkap sosok pemilik suara
laki-laki tadi. Memang seorang laki-laki. Tinggi besar. Mungkin sama dengan
Sami.
Hanan mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha beringsut menjauh. Tapi tak
ada yang bisa dilakukannya, ia benar-benar tak punya tenaga. Bola mata Hanan
berputar kembali, menghindari laki-laki ini. Tak ada yang bisa dilihatnya,
selain dinding ruangan bercat hijau muda, dan satu set sofa diujung sana. Sofa
putih, seperti sofa di ruangan kantor Sami.
“Jangan takut, aku bukan orang berbahaya,” kata laki-laki itu mengerti
gerakan Hanan yang berusaha menghindar dengan gerakan merenggutnya. Dan Hanan
baru sadar sekarang, logatnya begitu asing. Laki-laki ini, mungkin baru bisa
bahasa Indonesia beberapa hari saja.
Hanan melihat laki-laki itu. Rambut jagung, kulit pucat kemerahan, hidung
yang mancung, dan... bola mata yang biru. Hanan terhenyak.
Orang bule, Neng. Matanya mirip
dengan mata neng ini...
Ayahkah? Tidak mungkin. Usianya
mungkin tak terpaut jauh dari Sami. Tapi mengapa ia menziarahi Ibu?
“Kau.... yang me..nge... jarku...”
“Aku tak bermaksud seperti itu. Aku minta maaf. Aku hanya berusaha
menyusulmu.”
Jadi bukan orang dari jalan Mawar? “Kau... bukan... orangnya Tante?”
Hanan berusaha mengangkat tubuhnya. Hanan merasa sudah memiliki tenaga. Tapi ia
salah. Tubuhnya masih lemah.
Tangan laki-laki itu mencari sesuatu, setelah ia menemukan sebuah remote
yang tersambung kabel dengan tempat tidur, lelaki itu memijit sebuah tombol
berlambang segitiga. Maka tempat tidur bagian atas sedikit naik.
“Enough?”
Hanan merasa badannya semakin enak. Sekarang, matanya bisa sedikit
melihat sekitar dengan lebih bebas. Tapi Hanan enggan berterimakasih. Ia belum
tahu, siapa laki-laki ini.
“Siapa kau?” kata Hanan setelah diantara mereka ada jeda yang cukup lama.
Suaranya masih terdengar lemah meski kini tak lagi patah-patah.
“Sebelum itu, aku ingin bertanya sesuatu.”
Hanan tak menjawab.
“Kuburan yang kau datangi itu, apa hubunganmu dengannya?”
Hanan terdiam beberapa saat, ragu. Apa yang diinginkan laki-laki ini?
Bukankah seharusnya, Hanan yang bertanya?
“Dia Ibuku.”
Satu helaan nafas panjang keluar dari mulut laki-laki itu. wajahnya
berubah. Tapi Hanan tak bisa menafsirkan apa maksudnya. Sedih, sendu, bingung,
terluka, juga bahagia.
“Aku Harry.” Lelaki itu menjauh beberapa langkah dari Hanan, ia bersandar
pada sisi jendela dan memandang keluar. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Tapi aku tak tahu, apakah kau sudah siap untuk mendengarnya atau belum.”
Hanan memandang Harry tak mengerti. Tapi Hanan ingin tahu, terutama
tentang alasan lelaki ini menziarahi makam ibunya. Tapi mata biru lelaki ini,
memberi Hanan sebuah gambaran gamblang. Namun samar, karena ia belum mendapat
kepastian.
“Kau... siapa ayahku?” ragu Hanan mengeluarkan pertanyaan itu. Ayahku?
Hanan berkata seperti itu seolah-olah telah hidup bersama Ayahnya bertahun
lamanya. Padahal, tidak satu detik pun.
Mendengar pertanyaan Hanan, Harry tersentak memandang Hanan. kemudian
sebuah senyum tergaris dibibirnya. “Berarti, kau sudah siap.”
Hanan memandang laki-laki itu. Mengatakan ‘ya, aku sudah siap’ dalam pandangannya.
“Aku adalah putra ayahmu,” kata laki-laki itu tenang. Ketenangan yang
juga mengalir pada Hanan. Bukan apa-apa, tapi sejak dulu, Hanan mempersiapkan
hatinya akan sebuah hari pertemuan. Pertemuan yang mengejutkan dengan segala
kemungkinan. Termasuk kemungkinan bahwa ayahnya, juga memiliki anak dari
perempuan berbeda selain ibunya. Karena persipannya itulah, sekarang ia merasa
tenang. Tenang, tapi bukan senang, juga bukan sedih. Hanya seperti menerima
berita yang sebelumnya sudah diduga. Semacam, ‘nah, benar kan?’
“Adikku, atau kakak?” Hanan bertanya lemah. Matanya sudah beralih jauh.
Entah memandang apa sekarang. Memandang tak jelas, menerawang.
“Kau kakakku,” Harry tersenyum. “Tapi orang-orang di sini menduga kalau
aku yang jadi kakak, saat kubilang aku saudaramu, bukan suamimu.”
“Suami?”
“Ya, mereka menanyakan suamimu. Bisa kuhubungi?”
“Mengapa mereka bertanya tentang suamiku?”
“Tentu saja. Apa salah? Kau sakit, suamimu harus tahu kan? Lagipula, aku
harus minta maaf, karena telah membuatmu seperti ini, meskipun aku tak
bermaksud sama sekali.”
“Lalu Ayah?” Setelah beberapa saat terdiam, Hanan kembali bersuara
mengalihkan perhatian. Ini tentang Ayah. Bukan Sami. Ia ingin tahu tentang
ayah. Dan Sami tak perlu diberitahu tentang sakitnya, Hanan sangat tak ingin
membuat Sami khawatir. Bisa-bisa dia menangis histeris lagi seperti saat ia mau
pergi. Hanan tersenyum sendiri. Tapi mungkinkah? Bukankah sangat menyenangkan
bila Sami panik mengetahui ia sakit? Ya, jika Sami panik. Jika Sami tak panik?
Bukankah akan terasa sakit? Jadi lebih baik tak diberitahu, daripada ia harus
sakit hati nantinya. Hanan merasa belum siap.
“Aku minta maaf.” Harry tertunduk. Matanya menekuri ujung sepatu.
Hanan kembali menerawang gamang. Maaf itu artinya apa? Tapi Hanan tak
ingin bertanya. Ia sudah mengerti, ia sudah sangat mengerti. Pertemuan yang
diangankan, mungkin tak akan pernah terwujud. Sekarang, selamanya. Menyadari
hal itu, satu tetes airmata tumpah dari kelopak matanya. Obsesinya telah
terbang, tanpa memberinya harapan sedikit pun...
“Jadi, dia pergi tanpa pernah melihatku? Tanpa pernah kulihat?” Hanan
tersenyum pahit. “Atau mungkin, dia bahkan tak tahu kalau aku ada...”
“Jangan memikirkan hal itu, sekarang, kau harus memikirkan dirimu
sendiri, juga bayimu,” Harry mendekat pada Hanan. Ia mengambil tisue dan
mengusap pipi Hanan. Entah sejak kapan, rasa sayang itu tiba-tiba datang...
Hanan memandang Harry terkesima. “Apa kau bilang?”
“Kubilang, jangan pikirkan hal yang tidak-tidak sekarang. Ayah tahu kau
ada tentu saja, dia...”
“Bayi?”
Sekarang Harry terdiam. Apakah perempuan ini tak tahu kalau dirinya
tengah hamil?
“Ya. Kau hamil. Sepertinya, kau ...”
Hanan lemas. Kejutan bertubi-tubi datang seketika. Membuat jantungnya
berdegup kencang, tak sanggup menahan gelombang ini dalam sekali waktu. Tapi Ya
Allah, bayi?
Sami.... kita akan memiliki bayi...
* * *
“Aku masih belum mengerti,” Harry membuka gorden. Udara cerah masuk
melalui kisi-kisi jendela apartemennya. Lalu setelah Harry membuka pintu balkon
lebar-lebar, cahaya cerah itu masuk sepenuhnya. Angin pagi berhembus lembut,
menggerakkan rambut acak Harry. Ia sempat melirik kesamping kirinya, ke balkon
disebelah kamarnya. Menunggu sesuatu. Sejenak seperti itu, sebelum kahirnya ia
kembali masuk dan duduk di sofa berantakannya. Berantakan, karena beberapa
baju, juga buku, dan satu gitar memenuhi tubuh sofa itu.
Hanan menggeser secangkir kopi yang masih mengepul padanya. Hanan belum
membalas percakapan Harry.
“Kopinya enak,” Harry tersenyum setelah meneguk kopi sedikit. Panas,
segar. Menyegarkan otaknya yang kemarin malam telah benar-benar buntu untuk
diajak berpikir. “Bagaimana kau tahu seleraku?” Harry meletakkan cangkir itu
kembali.
“Seleramu?” Hanan tersenyum. “Aku hanya membuatnya sesuai selera Sami,
kalau itu juga seleramu, kebetulan sekali.” Hanan mengangkat tubuhnya sedikit,
mengambil helai kemeja yang ia duduki. Tapi dalam soal kerapihan, selera Harry
dan Sami jauh berbeda. “Ini pakaian kotor kan?” Hanan meringis menjauhkan baju
itu dari tubuhnya. Baunya agak menyengat.
“Sudah kubilang, aku masih belum mengerti,” Harry tak mempedulikan Hanan.
“Tak mengerti soal apa? Aku sudah menjelaskan semua padamu kan?”
“Bukan tentang kau dan Ibumu, tapi tentang Sami. Kau belum menjelaskan
tentang dia kan?”
“Sami, dia suamiku.”
“Kau bilang, kau yang meninggalkannya, tapi kau masih mencintainya. Aku
butuh penjelasan.”
Hanan mendesah. Ini sulit untuk dijelaskan. “Sebelum itu,” kata Hanan,
“bisa jelaskan dulu padaku, mengapa ... kau kemari? Khusus untuk mencariku?”
Harry menyandarkan tubuhnya. Jelas sekali, ia pun enggan menjelaskan.
Selain karena terlalu panjang, alasan itu akhir-akhir ini cukup menguras emosi
batinnya. Jika diungkit sekarang, ia takut ia tak bisa bertahan.
“Dimatamu, mungkin ayah begitu kejam. Tapi, aku sangat menghormati
dia...”
“Aku tak menganggap beliau kejam. Tapi... hanya bertanya, mengapa?” Hanan
menerawang. “Aku dan Ibu menjalani masa-masa yang sangat sulit. Berdua.
Seharusnya, Ayah ada bersama kami bukan?” Hanan menekan dadanya. Rasa perih
tentang pertanyaan ‘mengapa’ itu selalu menggores hatinya jika terlintas.
Seperti sengatan listrik yang datang sekilas, tapi menghanguskan kalbunya
hingga tandas.
“Lagipula, aku ingin bertanya sesuatu padanya...” Hanan berpaling,
menyembunyikan air mata yang kembali menggenang dikelopak matanya. Air mata
yang selalu mengalir setiap ia mengingat nama itu. Mengalir karena rindu. Dan
kerinduan itu tak akan pernah bisa terobati.
“Pertanyaan apa?”
“Pertanyaan yang hanya dia yang bisa menjawab. Sekarang, dia sudah tak
ada, pertanyaan itu pun harus kulepaskan...”
Harry menghembuskan nafas panjang. Baru dua hari ini ia mengenal
perempuan ini. Perempuan, yang baru ia ketahui sebagai kakaknya. Tapi karena
mereka lahir dari ibu yang berbeda, bahkan Mommy sangat sering dibuat cemburu
oleh wanita yang melahirkan Hanan, maka kedekatan itu tak serta merta datang.
Sebaliknya, malah terasa lebih sulit. Sekarang pun, mereka masih memiliki
rahasia. Harry, memiliki rahasia tentang sebab kedatangannya ke Indonesia, juga
rahasia tentang keluarganya. Sementara Hanan, ia memiliki rahasia besar tentang
Sami. Lelaki beruntung yang dicintai Hanan begitu rupa. Ya, Hanan sudah
meninggalkannnya, itu artinya, lelaki bernama Sami itu telah menyakiti hatinya.
Tapi perempuan ini masih saja menyebut-nyebut nama Sami seolah nama itu memang
menempel kuat di lidahnya.
“Apa rencanamu sekarang?” Harry menatap Hanan yang tengah mengeringkan
air matanya. Harry tahu, Hanan ingin berhenti menangis ketika mengingat Ayah
yang belum pernah dilihatnya. Tapi Harry mengerti, itu sesuatu yang sulit.
“Meneruskan hidupku,” jawab Hanan singkat.
“Tak berniat pergi bersamaku?”
“Ke tempatmu?” Hanan balik bertanya. Harry mengangguk.
“Kesebuah negeri, yang bahkan orang tuaku sendiri tidak mengakuiku?”
Hanan bertanya lagi sarkatis.
Harry mendesah. “Dia tidak membuangmu,” katanya lelah. Ini kalimat
kesekian kali yang ia katakan pada Hanan. Aneh sekali, Harry tersenyum. Sebelum
bertemu Hanan, ia sudah memantapkan hati untuk menjelekkan ayah dihadapannya.
Agar ayah, hanya dimilikinya seorang, sebagaimana sejak lahir ia seperti itu.
Tapi begitu melihat perempuan ini, sedihnya, senyumnya, gundahnya, Harry
melupakan kemantapan hatinya itu. Alih-alih, ia membela ayahnya berlebihan.
Berlebihan? Paling tidak Harry merasa seperti itu.
“Aku akan kembali ke Bandung.”
“Menemui suamimu?”
Hanan terdiam. Menemui Sami? Jantungnya berdebar keras. Tiba-tiba, ia
merindukan Sami. Sangat...
* * *
Sami menutup laptopnya dengan kekecewaan berlipat. Tak ada balasan dari
Hanan, meski ia telah mengirim puluhan e-mail. Berulangkali, ia mencoba memupus
harapan itu. Harapan, bahwa Hanan akan kembali. Tapi selalu tak behasil, sebab
justru, harapan itulah yang membuat ia hidup dan bernyawa.
Sami berjalan gontai keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju balkon.
Disini, dulu mereka berdua bersama-sama menatap langit. Langit yang mendung
seperti sekarang. Apa Hanan juga tengah melihat apa yang ia lihat sekarang? Apa
Hanan juga ada dibawah langit yang sama, bersamanya?
Sami tersenyum sendiri mengingat kenangan itu. Tersenyum mengingat ciuman
Hanan sekilas. Sekilas dan cepat, tapi masih hangat ia rasakan. Lucunya, Hanan
melakukan itu setelah ia menangis lama dipundaknya. Berkeluh kesah tentang
semua hal yang ada dalam hatinya.
Sami menghirup nafas panjang. Bersama Hanan, ia merasa menjadi laki-laki
yang sesungguhnya. Menjadi seseorang yang melindungi, yang menghapus air mata,
yang menjaga. Hanan, meski diluar ia terlihat sangat tangguh, dalam sisi
perempuannya tetap memerlukan seseorang untuk menangis. Pada pundaknya, Hanan
mencurahkan semua itu. Hanya padanya, Hanan mempercayakan semua rahasia
besarnya. Rahasia keresahannya, rahasia kesedihannya, kegundahannya, bahagianya,
juga obsesinya.
Dia... adalah ambisiku...
Lagi-lagi Sami tersenyum. Ia ingat
pembicaraan Hanan pertama kali sebelum ia menangis.
Dia... adalah ambisiku...
Sekarang senyum Sami menguncup perlahan. Ia teringat sesuatu.
Dia... adalah ambisiku...
“Ya Allah... kenapa aku baru mengingat itu sekarang?” Sami meremas dan
menarik rambutnya kebelakang. Lalu setelah benar-benar tersadar dengan sebuah
kemungkinan, Sami berbalik menuju kamarnya, dan mempersiapkan semuanya.
Ayahnya, disanalah mungkin sekarang Hanan berada. Dan mengetahui satu
kemungkinan keberadaan Hanan, tak bisa membuat Sami diam.
Sekarang giliranku, Hanan. Aku yang
akan menyentuh hatimu. Aku yang akan mengejarmu. Giliranku...
* * *
Sami mendesah untuk kesekian kali. “Tak bisakah kita melaju lebih cepat?”
katanya pada Ilham yang duduk menyetir disampingnya. Yang ditanya hanya
tersenyum.
“Hhhh....,” Sami membuang nafas kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Bisa, sebenarnya. Sami bisa saja menyuruh Ilham keluar dari mobilnya dan meninggalkan
Ilham di pinggir jalan, jadi Sami bisa melanjutkan perjalanan ini sendirian.
Lebih cepat, lebih efisien. Tapi sekali lagi, tibak bisa. Keberadaan Ilham
disisi Sami adalah sebuah syarat bagi kepergiannya ke Jakarta.
Ya, ya. Tentu saja semua orang melarang Sami ke Jakarta. Bukan karena
Jakartanya, tapi karena Jalan Mawarnya! Ya, Sami memang menuju kesana.
“Hanya untuk mendapat informasi, Ibu. Aku hanya ingin tahu siapa ayah
Hanan. Hanya itu!”
“Memangnya kau tak punya cara lain?” tangan Ibu saling meremas, gundah.
“Kalau saja aku tahu cara yang lain....,” Sami menatap wajah Ibu. Lalu
semua terdiam. Memang tak ada cara lain. Yang tahu siapa ayah Hanan, hanya
orang-orang di Jalan Mawar. Selain itu, tidak ada. Bahkan Hanan sendiri pun
tidak.
“Kau tahu tempat seperti apa itu, Sami...” Sekarang Sarah yang membujuk
Sami.
“Aku tahu. Hanan sering menceritakan masa kecilnya yang penuh kekerasan.
Aku bahkan tahu nama beberapa orang. Tante Rose, Bos Juan, Tante Hilda, dan
beberapa nama lagi. Aku sudah mengenal tempat itu sebelum aku menginjakkan kaki
di sana. Hanan menggambarkannya dengan begitu jelas. Jadi, semuanya, tolong
jangan khawatirkan aku.” Sami jelas berbohong. Tentang nama beberapa orang,
Hanan memang pernah menceritakannya. Tante Rose, sang ‘Ibu Asrama’. Bos Juan,
laki-laki penentu transaksi, juga Tante Hilda, sahabat Mama Hanan dari kampung,
yang ironisnya, menjadi orang yang paling keras dan paling kejam dalam menyiksa
Mama Hanan dan Hanan. Hanan bilang, Tante Hilda cemburu pada kecantikan Mama
yang dihargai begitu mahal. Juga pada Hanan kecil yang bahkan sudah dihargai
empat kali lipat dari harga tertinggi. Tak ada yang menyamai rekor itu.
Tentang tiga orang itu, Hanan memang pernah bercerita. Tapi tentang Hanan
menggambarkan keadaan disana begitu jelas, tidak sama sekali. Yang benar saja,
Hanan ingin sekali melupakan kenangan terburuk dalam hidupnya yang dialami di
tempat itu, tapi ia menceritakan pada Sami? Benar-benar mustahil. Tapi Sami
punya alasan mengatakan kebohongan itu, Sami ingin mendapat izin mencari Hanan.
Dan yang Sami lupa, berbohong apapun alasannya, tetaplah sama.
“Kau tak perlu mencari Hanan hingga seperti ini, Sami.” Huda tak bisa
menutupi rasa cemasnya. “Kau membahayakan dirimu sendiri.”
“Hanan yang akan datang padamu, bukan? Kau hanya perlu menunggu. Ingat?”
Ibu membelai pipi Sami. Pipi yang entah sejak kapan menjadi begitu dewasa dan
menentukan kehidupannya sendiri. Seperti sekarang.
“Ibu ingin aku menunggu disini, sampai aku gila?” Sami hampir menangis.
Sekarang Sami bukan membual. Diam menunggu telah membuatnya gila. Tak ada yang
bisa dilakukan selain mengenang, menyesali, menangis. Tenggelam dalam keparahan
luka yang dialami hatinya. Dan semua orang tahu tentang ini. Tak mau makan, tak
bisa tidur, tenggelam dalam guanya sendiri. Berapa lama Sami seperti itu? Sejak
Hanan pergi tentu saja. Itu artinya tepat satu bulan Sami menjadi gila. Semua
bujukan, nasihat, hingga rayuan, sama sekali tak mempan. Dan baru tadi pagi,
Sami benar-benar menyentuh makanan, ternyata dengan niat, menabung tenaga untuk
mencari jejak Hanan. Semangatnya yang layu juga mulai tumbuh dan segar.
Semangat hidup, karena dia mulai berambisi untuk menemukan Hanan. Dimanapun dia
berada.
“Tapi sudah kubilang, kau tak perlu berkorban sampai sejauh ini!” Huda
mulai terlihat kesal.
“Aku bisa berkorban lebih jauh, untuk menebus kesalahanku pada Hanan.”
Sami berkata mantap.
“Aku punya jalan tengah yang baik, dan mungkin... bisa kira pikirkan
sebagai jalan keluar,” Ilham tiba-tiba bicara setelah lama terdiam.
“Apa itu?” Ayah yang mewakili pertanyaan semua.
“Ada seseorang yang menemani Sami. Paling tidak, jika salah seorang,
katakanlah, mengalami bahaya, seorang yang lain bisa menolong mencari bantuan.
Meskipun, ya... kita berharap hal seperti itu tak pernah terjadi. Bagaimana?”
Mereka saling pandang. Sami ditemani seseorang? Itu artinya, Ilham
sendiri kan?
“Benar. Lagipula, Ilham punya dasar beladiri, Sami.”
“Baiklah, kau berangkat bersama Ilham, atau tidak berangkat sama sekali.”
Itu keputusan Ayah.
Dan ya, begitulah. Disinilah Sami sekarang, bersama Ilham yang penuh
kehati-hatian. Kalau didepan Ilham ada musuh, maka Ilham akan lebih dulu
ditembak daripada dia menembak.
“Ilham.... tak bisakah kita lebih cepat? Aku takut, Bagaimana kalau
Ayahnya di luar negeri, dan Hanan menyusul kesana? Kita bisa tertinggal!
Kumohon...”
Lagi-lagi Ilham tersenyum. “Bisa saja, tapi aku tak menjamin kita bakal
sampai dengan selamat. Lagipula, ini sudah cukup cepat Sami, dijalan tol, tak
boleh melebihi batas 80 km/jam. Aku yakin kau tahu itu.”
“Hhhh....!” Sami mengerutkan keningnya. Ya, tak ada yang bisa
dilakukannya selain pasrah, menurut pada keinginan Ilham. Tapi Sami butuh
pengalihan.
Sami teringat pada Hanan. Ya, ia akan sampaikan kedatangannya pada Hanan.
Bukan dengan sms tentu saja.
Sami mengambil ponselnya dan mengambil gambar bergerak dari pemandangan
indah yang ia lewati saat melintasi menyusuri tol Cipularang. Terutama gambar
langit, gampar yang Hanan sukai.
Ilham meneleh pada Sami tersenyum. Bagus, paling tidak, sekarang anak ini
tak cerewet lagi.
Tak mudah mencari Jalan Mawar bagi orang yang tak pernah berkunjung
kesana. Tapi seseorang di terminal mau mengantar mereka kesana, itupun setelah
Sami mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah.
“Sepertinya, kalian bukan pelanggan,” kata laki-laki pengantar itu
didalam mobil. Mereka baru saja berangkat dari terminal. Perjalanan yang akan
ditempul lumayan panjang, apalagi jika ditambah kemacetan. Letak jalan Mawar
ada di ujung perumahan kumuh di pinggir Jakarta. Agak sulit menemukan tempat
ini.
“Memang bukan,” kata Ilham.
“Waduh, bisa bahaya kalau saya ketahuan si Om!” lelaki itu mendesah,
bicara pada dirinya sendiri.
Sami dan Ilham terdiam. Bukan tak mengerti kesulitan yang dialami
laki-laki itu. Tapi mereka memang butuh informasi tentang keberadaan kawasan
Mawar.
“Begini saja, Pak. Setelah kami tahu dimana tempatnya, Bapak bisa turun
dari mobil ini, jadi tak ada yang tahu kan?” Ilham memberi jalan keluar.
Laki-laki itu diam. Ia ragu, sebab Om yang disebutnya tadi, punya spion
dimana-mana. Tapi ia tak punya pilihan lain. Uang yang ditawarkan Sami begitu
menggiurnya.
Setelah laki-laki itu turun, Ilham melajukan mobil sesuai dengan petunjuk
dari lelaki itu. Mudah-mudahan, dia tak berbohong.
Sami dan Ilham meringis ketika sampai di tempat itu. Begitu kumuh, tak
teratur. Hanan dibesarkan dalam lingkungan seperti ini? Sami terdiam masygul.
“Ada perlu apa?” seseorang dengan tubuh tinggi besar, menghadang langkah
mereka berdua. “Kalau kalian butuh teman, sekarang bukan waktunya.”
Sami dan Ilham saling pandang. Lelaki itu tahu, mereka berdua bukan
pelanggan. Satu hal yang membuat Sami dan Ilham bernafas lega. Mungkin karena
wajah mereka asing, juga karean kedatangan mereka yang memang tak tepat waktu
untuk kehidupan di lingkungan ini. Sami melihat pergelangan tangannya. Jam dua
siang.
“Kami ingin menemui seseorang,” kata Sami. “Seseorang yang mungkin tahu
tentang Hanan.”
Lelaki berkepala plontos itu tersentak. Nama Hanan yang disebut Sami
sebabnya.
“Kau tahu dia dimana?” lelaki itu bertanya antusias. Antusias luar biasa
yang berusaha ia tahan. Tapi tak berhasil, sebab Sami dan Ilham melihat
antusias yang mencurigakan.
“Justru karena itulah kami kemari. Kami mencari Hanan, kami harap bisa
mencari informasi dari tempat ini,” Ilham menjawab cepat.
“Hh! Dia lari dari kalian?”
Ilham dan Sami terdiam.
“Bayaran kalian kurang besar,” lelaki itu terkekeh. Rahang Sami mengeras,
lengannya terkepal.
“Bodoh benar gadis itu, padahal aku punya orang yang bisa membuatnya kaya
mendadak.” Dan tawa yang menyertai kalimat itu membuat Sami mengangkat
tangannya secepat kilat lalu meninju pipi lelaki itu hingga ia terpental.
“Sami!” Ilham tak bisa menahan Sami. Ia terlalu cepat.
Lelaki itu mengusap ujung bibirnya yang berdarah.Matanya memandang Sami
beringas. Sementara Sami, yang sekarang tangannya dicengkram Ilham, melihat
lelaki itu penuh amarah.
“Hanan bukan perempuan seperti itu! Karena itulah Hanan lari dari tempat
terkutuk ini!” geram Sami.
Ilham mendesah. Habislah sudah...
Suara yang ditimbulkan keributan itu mengundang kedatangan banyak orang.
Beberapa orang laki-laki, berpenampilan seperti bodyguard, mendekati lelaki
plontos itu dan membantunya berdiri.
“Kau baik-baik saja?”
“Biar kupanggil si Om! Kalian, ringkus dua orang ini,” kata orang yang
satunya lagi memberi instruksi. Seketika, beberapa orang bergerak cepat
meringkus Sami dan Ilham. Ilham bisa saja melawan, tapi situasi tak akan
bertambah baik.
Ketika mereka berdua diseret, seorang perempuan setengah baya, memotong
jalan mereka.
“Apa yang kalian lakukan disini?” katanya pada Sami dan Ilham. Seolah
telah mengenal lama.
“Tante kenal mereka?” tanya satu orang yang meringkus tangan Ilham.
“Tentu saja! Mereka kenalanku. Lepaskan mereka!” Ilham dan Sami saling
pandang. Kenalan? Bahkan mereka tak tahu siapa perempuan itu. Tapi mereka diam
saja.
“Tapi orang ini sudah memukul saya, Tante!”
“Biar aku yang urus. Mereka berdua orang luar, jika mereka datang kemari,
pasti ada informasi penting untukku!”
“Tapi Tante...”
“Kubilang lepaskan! Atau mau kubilang pada Om kalau kalian tak menurut
padaku?”
Teriakan perempuan yang mereka panggil Tante itu, membuat mereka perlahan
melepaskan Sami dan Ilham. Ragu, tapi mereka tetap melakukannya.
“Sekarang, kalian berdua ikut aku,” Tante berbalik mendahului mereka
berjalan, diikuti Sami dan Ilham dengan pauth. “Kenapa akhir-akhir ini semua
orang tak mau mendengar kata-kataku! Kalian berdua juga! Sudah kubilang, jangan
datang. Jangan datang! Memangnya kalian tak dengar apa yang aku bilang hah?
Kalau...” Suara Tante menjauh seiring tubuhnya yang hilang ditelan sebuah
pintu.
Tinggal para bodyguard itu saling pandang. Lagi-lagi orang luar? Bukankah
sekitar belasan hari yang lalu, seorang ‘orang luar’-nya Tante juga tiba-tiba
datang? Apakah ada sesuatu?
Mereka saling mengangguk. Apapun itu, Bos mereka harus tahu. Mereka
berjalan menjauh dari tempat itu.
Sementara beberapa perempuan mendekat tiba-tiba menyambut kedatangan Sami
dan Ilham. Sami dan Ilham meringis menyembunyikan ketakutan mereka. Untung
saja, para perempuan itu bukan sedang bekerja, jadi pakaian mereka hanya kaos
longgar bekas tidur, tak terlalu terbuka.
“Jangan ganggu mereka, mereka tamuku.”
“Tapi kan bisa bagi-bagi, Tan.”
“Buat kalian gratis deh.”
Sami dan Ilham makin mengkerut.
“Kubilang jangan ganggu! Salah satu dari mereka milik Hanan...”
Lagi, sebuah nama Hanan yang disebut, membuat semua tubuh yang mendengar
kaku. Para perempuan itupun beringsut menjauh.
“Kalian berdua, ikut aku,” Tante memasuki sebuah lorong dalam ruangan
itu, kemubidan masuk kedalam sebuah ruangan. Ruangan yang cukup nyaman, sangat
kontras dengan keadaan luar yang terlihat kumuh. Rungan luas yang menyambut
Sami dan Ilham, lengkap dengan hembusan AC, memperlihatkan kalau perempuan yang
disebut Tante ini adalah salah seorang ‘pejabat’ dilingkungan ini.
“Duduklah,” perempuan itu mempesilahkan. “Untung aku kebetulan lewat dan
mendengar pembicaraan kalian, kalau tidak, kalian bisa habis disini!” Perempuan
itu duduk mengangkat satu kakinya lalu ditumpang diatas kaki yang lain. Ia
menyalakan rokok dan menghidupnya dalam-dalam. Ia menawarkan bungkus rokok
warna putih itu kearah Sami dan Ilham, mereka menolak dengan halus.
“Yang pasti, kalian datang kemari bukan untuk mencari Hanan kan? Dia tak
mungkin kembali ketempat terkutuk ini.”
Sami merasa tidak enak. “Maaf, bukan maksud saya...”
“Tak apa,” wanita itu mengepulkan asap.”Tempat ini memang terkutuk. Semua
wanita diluar sana bahkan membenci kami. Tak masalah.” Katanya dengan senyum.
“Bagaimana Hanan? Dia baik-baik saja?”
Sami mendesah. Desahan yang membuat Tante tahu, bahwa pertanyaannya
salah.
“Tapi emosimu yang meledak tiba-tiba, memberiku keyakinan, bahwa kau
sangat mencintainya. Benar?” Tante memandang Sami lembut. Sami tersenyum dan
mengangguk. “Keputusan yang tepat untuk
mencarinya kembali,” asap kembali keluar bersama kata-kata Tante. Membuat Ilham
batuk tak tertahan. Tanpa berkata, Tante mamatikan rokoknya.
“Maaf.”
“Aku yang minta maaf,” Tante mengibaskan tangannya. “Jadi, apa yang bisa
kubantu?”
“Tentang Ayah Hanan,” Ilham bicara hati-hati.
Sebuah hembusan nafas berat dari wanita itu memberitahu mereka berdua,
bahwa informasi yang mereka inginkan tak mudah dikeluarkan. “Kenapa kalian
ingin tahu?”
“Hanan pernah bilang, kalau Ayahnya, adalah obsesi kehidupannya. Jadi
kupikir, mungkin Hanan menyusul Ayahnya...”
“Tidak,” Tante menggeleng kuat. “Hanan tak tahu tentang ayahnya, sama
sekali.”
“Jika begitu, aku yang ingin menemukan ayah Hanan. Paling tidak, aku bisa
memberikan kebahagiaan padanya.”
Tante memandang Sami beberapa saat. “Hanan beruntung dicintai olehmu.
Tapi Anak muda, apa kau pernah bertanya, kenapa Ibu Hanan menyembunyikan
sesuatu yang seharusnya Hanan tahu?”
Sami mengangguk. Ia pernah bertanya. Sering malah, apalagi, jika Hanan
tengah menangis didadanya karena mengenang masa lalu, juga karena kerinduannya
pada sosok Ayah.
“Kau pernah menduga jawabannya?”
Sami menggeleng pelan. Ia memang belum menemukan jawabannya.
“Karena Ibu Hanan tak ingin Hanan terluka....”
Sami kehilangan nafas. Sekarang ia mengerti...
“Hanan selalu berkata padaku, ‘Paling tidak, Tante, aku punya Ayah yang
mencintai Ibu. Bukan menginginkannya hanya karena Ibu cantik’. Kata-kata Hanan,
yang membuat semua mulut bungkam. Kau perlu tahu Sami, Ayah Hanan hanya kemari
beberapa kali, dia punya kekasih dan keluarga di negerinya sendiri.”
“Aku mengerti,” kata Sami dengan dada yang sakit. Ilham meremas bahunya.
Jadi mengetahui keberadaan ayah Hanan, tak ada gunanya.
“Dia dari Inggris, jika kau berkeras ingin tahu. Namanya Corner. Tapi
kurasa, itu hanya nama samaran. Dia berada disini untuk suatu tugas. Tapi tugas
apa, mungkin hanya Ibunya Hanan yang tahu. Hanan, sangat mirip ayahnya itu,”
Tante tersenyum.
“Lalu Ibunya? Kau bisa menunjukkan padaku dimana tempat dia
beristirahat?”
Tante melihat seberkas rasa putus asa didalam mata Sami. Harapan yang
pupus, tujuan yang terpental jauh. Tante mengangguk setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar