Minggu, 31 Desember 2017

Pangeran Istana Langit (4)

Ferdinand Verbiest berjalan memasuki istana dengan tergesa. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat. Berita yang sampai kepadanya tadi pagi yang membuatnya marah seperti itu. Berita tentang kedatangan utusan Persia menemui Kaisar. Orang-orang Cina itu menyebutnya utusan Persia, tapi dia tahu, laki-laki itu utusan Muslim.
Ferdinand tahu, permintaan mereka ditolak Kaisar Kang Xi. Tapi sebelum ia mendengarnya sendiri dari Kaisar itu, ia tidak akan merasa tenang.
Ferdinand adalah Kepala Deputi Ilmu Matemtika. Satu-satunya pejabat asing yang dipercayai Kaisar menduduki posisi penting. Ia bertanggung jawab untuk mengatur dan mengimplementasi sistim kelender, merekonstruksi ala-alat astronomi. Selain dia, memang ada beberapa orang kulit putih yang direkrut Kaisar ke istana. Tapi tugas mereka hanya mengajari Kaisar Kang Xi berbagai ilmu pengetahuan.
Awalnya, tugas Ferdinand juga tak lebih jauh dari itu. Sebagai transfer ilmu. Tapi sejak ia berjasa mengembangkan senjata meriam hingga apa yang dilakukannya telah memperkuat sistem pertahanan Kerajaan, Kaisar Kang Xi memberinya jabatan itu. Kaisar memang menyukai Ferdinand, dan Ferdinand merasakan hal itu. Hal yang akan ia manfaatkan baik-baik untuk meluluskan tujuannya datang ke Cina.
“Yang Mulia, Tuan Verbes ingin menghadap.”
Ferdinand menunggu di pintu istana.
“Silahkan masuk, Tuan Verbes,” seorang Kasim Kepala kepercayaan Kaisar mempersilakan Ferdinand masuk.
“Verbiest,” kata Ferdinand membenarkan ucapan Kasim yang selalu salah itu.
Kasim melihat Ferdinand tak suka. Apakah laki-laki berkulit pucat itu tak mengerti bahwa nama dia yang memang sulit diucapkan, bukan lidahnya yang salah?
“Hormat kepada Yang Mulia.” Ferdinand mengibas lengan kirinya dengan tangan kanan, dan mengibas lengan kanan dengan tangan kirinya kemudian berlutut. Ia memberi hormat pada Kaisar sebagaimana tradisi setempat.
“Berdirilah,” kata Kaisar dari balik mejanya. “Ada yang perlu kau laporkan Verbiest?” tanya Kaisar ramah.
“Maafkan, saya telah menyita waktu Kaisar yang sibuk.”
Di meja Kaisar memang ada banyak gulunan surat dan traktat. Salah satu gulungan itu terbuka dihadapan Kaisar. Tampak Kaisar tengah membaca surat-surat itu.
“Tak apa. Tak perlu basa-basi. Ada apa kau menemuiku? Apakah ada masalah? Apakah ada perlengkapan yang perlu kutambah?”
“Benar Yang Mulia. Hanya sedikit. Aku hanya kekurangan beberapa lensa.”
“Baik. Aku akan menambahnya.”
“Selain itu yang mulia...”
“Apa?”
“Aku mendengar kedatangan seorang utusan dari Persia.”
“Benar, dia datang beberapa hari yang lalu. Apakah kedatangan utusan itu mengganggumu Verbiest?”
“Ah, sama sekali tidak, Yang Mulia. Hanya saja, saya teringat dengan suku Hui, Mongol dan keluarga Ma )10...”
“Kau ingin mengatakan padaku perihal Yisilan Jiao )11, Verbiest?”
“Aku hanya ingin mengingatkan Yang Mulia untuk berhati-hati terhadap mereka. Bagaimana pun, pengikut Muhammad, punya kekuatan besar jika berkumpul.”
“Apa kau mengajariku, Verbiest?” Kaisar memicingkan matanya pada Ferdinand. Kelihatan sekali, ia tak menyukai kata-kata Ferdinand.
“Maaf Yang Mulia, aku hanya ingin mengingatkan Yang Mulia. Aku sama sekali tak berniat mengajari.” Verbiest menyatukan kedua tangan didepan wajahnya, meminta maaf.
“Aku juga ingin mengingatkanmu Verbiest,” Kaisar berdiri dari tempat duduknya, ia lalu melangkah mendekati Ferdinand, hingga wajah Kaisar berhadapan dengan wajah Ferdinand yang tengah menunduk. “Pekerjaanmu di istana ini adalah memperbaiki semua alat perbintangan milik kami. Tak lebih dari itu,” kata Kaisar pelan. Namun dari ketegasannya yang sangat, siapapun yang berkesempatan mendengar suara Kaisar, akan tahu kalau ia sedang marah.
“Jadi perkara siapa yang menemuiku, apa yang dibicarakan, dan apa yang aku kabulkan dan yang aku tangguhkan, sama sekali bukan urusanmu! Bahkan kalaupun ada ancaman yang membahayakanku sekalipun, kau tidak punya kewajiban untuk memberitahuku! Apa kau mengerti?”
“Baik Yang Mulia. Maafkan Aku.”
Sepeninggal Ferdinand Verbiest, Kaisar merenung diatas tempat duduknya. Ia memikirkan tentang kelancangan Verbiest padanya. Sebenarnya, ia menyukai Verbiest. Ilmunya sangat luas dan pengetahuannya sangat luar biasa. Namun rasa suka Kaisar  yang disadari Verbiest menyebabkan ia bersikap lancang dan sok tahu. Seolah-olah posisinya adalah penasihat kerajaan. Dan ini bukan yang pertama kali.
Gelagat seperti itu, sebenarnya sudah Kaisar tangkap sejak lama. Bahkan Hu Zuang pun mengatakan keresahannya.
“Sikapnya itu, seperti memperlihatkan isi hatinya yang sebenarnya, Yang Mulia,” kata Hu Zuang suatu hari.
“Apa itu?”
“Bahwa kedatangannya ke istana ini, memiliki tujuan pribadi.”
“Tujuan pribadi apa itu?”
“Aku belum tahu, Yang Mulia. Hanya saja, aku khawatir, kalau tujuan pribadinya bertentangan dengan tujuan kita, bahkan mencelakakan Yang Mulia juga mencelakakan Dinasti Qing. Aku bahkan sempat berpikir, kalau Verbiest menginginkan Yang Mulia menjadi seperti Ibusuri Xiao Zhuang”
Kening Kaisar berkerut ketika pikirannya kembali mengingat percakapan yang telah berlalu beberapa minggu.
“Kasim Wan!”
 Teriak Kaisar tiba-tiba.
“Hamba, Yang Mulia.”
“Panggil Pangeran Hu Zuang kemari!”
“Baik Yang Mulia.”

*   *   *

Di dalam kereta yang tengah melaju, Ferdinand merenungkan perkataan yang tadi Kaisar tujukan padanya. Kaisar marah, dan itu membuatnya resah. Apakah ia terlalu cepat bertindak? Apakah sekarang belum waktunya ia merasa dekat dengan Kaisar?
Benar, ia terlalu cepat bertindak. Posisinya belum lagi kuat. Ia hanya  Kepala Deputi Ilmu. Sama sekali tak berhubungan dengan politik praktis. Ia terlalu terburu-buru dan sembrono. Ah, orang-orang Islam itulah yang membuatnya kehilangan akal sehat. Ia hanya sangat khawatir, mereka menghambat kerja keras yang sudah ia lakukan selama ini.
Tapi mudah-mudahan Kaisar tak menganggapinya terlalu berlebihan, sehingga posisinya dimata Kaisar bisa diselamatkan. Jika tidak, hancur sudah! Hancur semua usaha yang ia rintis selama ini. Hancur bangunan yang ia bangun sedikit demi sedikit itu. Selain itu apa yang harus ia katakan pada orang yang mengutusnya kemari jika ia gagal?
Ah! Jangan sampai...
Kepalanya menggeleng kuat.
Jangan sampai...

*   *   *

Yu Lan melihat kereta kuda yang melintas disampingnya. Mata Yu Lan menangkap wajah seorang laki-laki kulit putih dan rambut pirang yang terlihat sangat resah dari dalam kereta itu.
“Kereta siapa itu Chan Lu?” tanya Yu Lan pada Chan Lu yang mengendalikan kuda setengah berteriak.
“Aku tidak tahu, Tuan Putri,” Chan Lu menjawab setengah berteriak juga. Matanya tak berpindah dari pintu gerbang Kota Terlarang )12  yang baru saja terbuka.
“Berhenti dulu, Chan Lu!”
Chan Lu menarik tali kekang dua kuda yang menyeret kereta Yu Lan.
“Kereta siapa yang baru saja keluar istana?” tanya Yu Lan pada pengawal yang membukakan gerbangnya.
“Oh, itu Tuan Ferdinand Verbiest, Putri. Kepala Deputi Biro Ilmu Matematika.”
Kening Yu Lan berkerut. Diakah orangnya? Sudah lama mendengar namanya, ia baru melihat wajah Ferdinand Verbiest. Mengapa wajahnya sekusut itu?
“Adakah yang perlu kami bantu, Tuan Putri?” tanya pengawal itu.
“Ah, tidak, terimakasih. Aku hanya ingin tahu. Jalan Chan Lu!” Yu Lan menutup kembali tirai jendela kereta, lalu roda kereta kembali berputar.
Ferdinand Verbiest...
Ferdinand Verbiest...
Yu Lan mengulang-ngulang kata itu diotaknya.

*   *   *

“Ferdinand Verbiest?” tanya Kaisar. Malam itu, Kaisar berkunjung ke Istana Bunga Mesim Semi.
“Benar,” jawab Yu Lan. Ia baru saja menyelesaikan sebuah lagu dengan qin-nya ketika ia memulai perbincangan dengan Kaisar.
“Memangnya kenapa?” tanya Kaisar kembali.
“Tadi saat aku pulang dari wisma paman, aku berpapasan dengan keretanya. Aku melihat dia sangat bingung dan frustasi. Jadi kupikir Baba memecatnya,” Yu Lan duduk disamping Kaisar.
Kaisar tersentak dan keningnya tiba-tiba berkerut.
Yu Lan menangkap gelagat itu. Ia tahu, ada sesuatu yang terjadi dengan Ferdinand. Tapi sudahlah, ia tak terlalu peduli dengan Ferdinand. Yang ia tahu, Ferdinand dulu pernah mengembangkan meriam milik kerajaan Qing menjadi lebih canggih. Bagi Yu Lan, meriam itu berarti perang, dan perang itu berarti kepergian Pangeran Hu. Jadi sebenarnya yang Yu Lan khawatirkan bukanlah tentang Verbiest, tapi mengenai Pangeran Hu.
“Maaf, aku membuat Yang Mulia memikirkan suatu masalah. Padahal Yang Mulia datang kemari ingin beristirahat.”
Kaisar tersentak dari lamunannya. “Ah. Tidak, Yu Lan. Tak ada masalah berat yang terjadi. Baba hanya mengkhawatirkan sikapnya yang memang aneh akhir-akhir ini. Tapi mengapa kau tiba-tiba tertarik dengannya?”
“Aku hanya takut kalau terjadi peperangan lagi.”
“Peperangan memang terus terjadi Yu Lan. Kekaisaran ini harus menyebar dan wilayah harus terus melebar.”
“Apakah itu artinya Baba akan mengirim kembali Pangeran Hu ke perbatasan?” Yu Lan menatap Baba dengan nada khawatir.
Kaisar tidak menjawab. Ia hanya terdiam menatap wajah khawatir Yu Lan. Jantungnya tiba-tiba bergetar hebat.
Wajah itu...
...
“Apakah itu artinya Yang Mulia akan memerangi mereka? Penganut Muslim?”
...
Wajah yang sama dan ekspresi yang sama. Yu Lan, dan Selir Su Zu. Ibu Yu Lan.
“Tidak Yu Lan. Baba tidak akan mengirim Hu Zuang kemanapun. Baba membutuhkannya disini.”
“Syukurlah..., aku sangat berterimakassih pada Anda jika begitu.”
Lalu lega dan bahagia menyeruak dari wajah Yu Lan, menggantikan wajah khawatir sangat. Sangat sama dengan dulu, ketika ia juga menjawab ‘tidak’ untuk Selir Su Zu. Kang Xi berdiri dan beranjak hendak keluar Istana Bunga Mesim Semi.
“Maaf. Apa ada kata-kataku yang menyinggung Anda, Yang Mulia?” Yu Lan segera mengikuti Kaisar.
“Tidak. Aku hanya ingin beristirahat. Kau juga, beristirahatlah,” Kaisar berbalik dan memandang Yu Lan dengan senyum.
Kasim Wan segera meghampiri Kaisar begitu pintu Istana Bunga Mesim Semi terbuka.
“Apakah Yang Mulia sekarang akan ketempat Permaisuri?”
“Tidak, aku akan beristirahat ditempatku sendiri.”
Kaisar berjalan mendahului Kasim Wan. Ia bersama satu rombongan pengawal kemudian berjalan dibelakang Kaisar. Yu Lan memandang kepergian mereka dengan gundah. Kenapa wajah Baba tiba-tiba berubah? Berubah karena ia mengatakan Verbiest, dan berubah ketika ia mengatakan Paman Hu Zuang.
“Lalu bagaimana liburannya, Tuan Putri?” Sho Chan menutup pintu Istana Bunga Mesim Semi.
“Benar, Tuan Putri, apa menyenangkan? Bagaimana kalau cerita pada kami?” kali ini suara Sho Er. Mereka berdua mengikuti Yu Lan yang berjalan kekamar tidurnya.
“Berjalan biasa saja. Tak ada yang perlu diceritakan.”
“Biasa saja? Lalu apa artinya warna merah di pipi Putri itu? Apa Tuan Muda Kun Lan mengatakan sesuatu?”
“Ah benar, wajah Tuan Putri memerah! Pasti ada sesuatu! Ayolah, ceritakan pada kami, Tuan Putri!” Sho Er mengoda Yu Lan sambil membantu Yu Lan mengenakan pakaian tidurnya.
“Kalian ini apa-apaan! Wajah memerah apanya? Wajahku tak berwarna apa-apa! Lagipula, kalau wajahku memerah, apa hubungannya dengan Kun Lan?”
“Tuan Muda Kun Lan kan....”
“Sudah! Kalian keluar saja! Aku mau istirahat!” Yu Lan cemberut dan berpura-pura marah, membuat Sho Chan dan Sho Er berlari keluar sambil tertawa.
Yu Lan terduduk ditempat tidurnya. Mukanya masih merona merah. Bukan karena Kun Lan, tapi karena laki-laki itu. Husain.
Yu Lan tersenyum. Tadi pagi laki-laki itu mengajari Yu Lan mengucapkan kata Husain dengan benar, bukan Ho San Ni. Yu Lan sudah bisa, kata Husain, ia gadis yang cepat belajar. Padahal kata-kata ‘Husain’ yang diucapkan Husain sendiri lebih enak didengar daripada kata ‘Husain’ yang diucapkannya. Tapi meski begitu, Yu Lan tetap senang. Senang karena perlahan-lahan ia bisa mempelajari bahasa Persia, dan senang karena Husain memujinya. Dan Yu Lan tahu, sebab yang kedualah yang membuat pipinya merona.
“Ah, bodoh!” Yu Lan memukul kepalanya sendiri. Kenapa ia tak bisa menyembunyikan perasaannya, sampai-sampai Sho Chan dan Sho Er menyadarinya. Dasar bodoh!
Yu Lan membuka tali yang mengikat kelambu. Setelah kelambu itu menutup tempat tidurnya rapat, Yu Lan menarik selimut dan membaringkan tubuhnya.
Sebelum matanya benar-benar terpejam, ia menghela nafas panjang.
Apakah Husain orang yang dapat ia percayai? Bisakah ia menyampaikan masalah yang penuh beban ini padanya?
Husain orang yang bisa dipercaya. Sangat bisa dipercaya. Ia yakin itu. Hatinya mengatakannya. Hanya masalahnya, apakah hatinya sendiri bisa dipercaya?

*   *   *

 Untuk kesekian kali, Husain tak bisa tidur. Kali ini, ia menghabiskan malamnya dibawah langit malam. Dibawah cahaya bulan dan taburan bintang. Sekarang, selain memikirkan masa depan dakwah ia juga tengah memikirkan Yu Lan. Gadis Manchu itu...., apa yang tengah membebaninya?
Mungkin ia memang terlalu sok tahu, tapi, pandangan Yu Lan yang berkaca diakhir pertemuan mereka, membuat Husain yakin, kalau gadis itu tengah menanggung beban yang berat. Jika bukan menanggung beban, maka dia tengah mengalami luka dan kesedihan. Tapi kemungkinan pertamalah yang paling meyakinkan.
Yang pasti, wajah berkabut itu mencuat ketika Husain bertanya tentang sebab gadis itu ingin mengetahui lebih banyak tentang Persia.
Persia. Itulah kata-kata kuncinya. Gadis itu sangat terobsesi dengan Persia. Segala sesuatu selalu ia hubungkan dengan Persia.
“Kelinci Persia seperti ini?” itu dikatakan Yu Lan saat ia tengah membakar kelinci.
“Apa orang-orang Persia ramah seperti Anda, Tuan Ho San Ni?”
“Aku ingin tahu pakaian gadis Persia. Aku ingin memakainya!”
Lebih dari itu, Yu Lan menganggap semua kata-kata asing yang terdengar dari mulut Husain adalah Bahasa Persia!
Husain menghela nafas. Ia memperhatikan lagi gelang giok digenggamannya. Ah, segala pertanyaan ‘kenapa?’ tentang Yu Lan mungkin akan terjawab bulan depan. Sekali lagi, mungkin. Jika Yu Lan percaya padanya. Jika ia termasuk orang yang dipercayai Yu Lan untuk menyimpan rahasia besarnya.
Tapi jika itu terjadi, ia benar-benar merasa bersalah. Yu Lan mempercayainya, tapi ia akan mengkhianati kepercayaan itu.
Husain menghela nafas lagi. Memikirkan tentang hal itu membuat dadanya terhimpit pedih. Sakit sekali. Hal yang dimaksud Husain adalah lintasan pikiran yang tiba-tiba saja muncul sehari sebelum pertemuannya dengan Yu Lan. Lintasan pikiran untuk memanfaatkan Yu Lan demi kepentingannya. Jika itu adalah lintasan pikiran yang diilhamkan Allah, ia sangat bersyukur. Tapi bagaimana jika ide itu datang dari tempat sebaliknya? Kenyataannya, jika ide itu datang dari Tuhan-nya, memikirkan itu tak akan membuatnya resah bukan? Sungguh, ini adalah pertaruhan yang sangat besar.
Husain mendekati sebuah batu besar. Ia lalu duduk diatasnya. Masalah yang ia hadapi sekarang, sama kerasnya dengan batu yang tengah ia duduki sekarang. Apakah ia bisa memecahkannya tanpa merusak alat pemecahnya?
Husain memejamkan mata. Menyelami dirinya. Mengukur kekuatannya.
“Memikirkan masalah itu?” Abdul Aziz yang sudah memperhatikan Husain sedari tadi, datang mendekati Husain.
Husain membuka matanya. “Abi? Belum tidur?”
“Seperti kau juga, aku tidak bisa tidur,” Abdul Aziz duduk disamping Husain. Ia memandang langit malam. “Pantas saja kau memandanginya dari tadi. Ternyata langit malam ini sangat indah.” Sebuah senyuman tersungging dimulut Abdul Aziz.
Husain memandang wajah damai yang tengah menengadah itu dalam diam. Rambut hitam bergelombangnya tampak semakin pekat dibawah cahaya malam. Kulitnya masih terlihat kencang dan kuat meski usianya telah mencapai empat lima. Badannya yang tinggi besar pun masih sangat tegap. Yang memberitahu bahwa usianya sudah tak muda hanyalah beberapa helai uban yang mulai tumbuh dijanggutnya. Tapi justru bertambahlah aura wibawa yang terpancar dari jiwanya.
Pada orang seperti dia, bisakah ia menggantungkan obsesinya?
“Aku merasa sangat bersalah. Bagaimanapun juga, jika aku bisa melaksanakan tugas dengan baik...,” Husain tertunduk.
“Kau tahu sudah berapa lama kita diam disini?” Abdul Aziz menoleh kearah Husain.
“Maksud Abi?”
“Kita, di negeri Cina ini?”
“Kita? Baru lima tahun.”
“Lima tahun... tapi Islam sudah berabad-abad disini. Selama itu, keadaannya tidak terusik. Kau mengerti kearah mana pembicaraanku?”
Husain menggeleng.
“Rumah yang kita bangun, baru akan kita ketahui kekuatannya, setelah gempa. Atau usia yang memakannya.”
Husain tersenyum. “Perang itu mutlak, jika kita memang harus menempuhnya?”
Sekarang Abdul Aziz yang tersenyum.
Setelah menepuk pundak Husain, Abdul Aziz berdiri dan beranjak. Kali ini, ia tak menyuruh Husain untuk beristirahat. Ia membiarkan Husain berpikir selama ia mau. Sejauh ia memang membutuhkan.
Husain memandang punggung Abdul Aziz yang menjauh.
“Ah,” Abdul Aziz berbalik, ia baru mengingat sesuatu,”besok para pemuda disini akan memulai latihan. Kamu bisa ambil bagian dalam melatih mereka.”
“Tidak Ayah, aku tidak bisa. Maaf.”
“Mengapa?” mata Abdul Aziz sedikit membesar.
“Aku tidak bisa melatih mereka, tapi aku bisa berlatih bersama mereka,” kata Husain tersenyum.
Abdul Aziz tertawa, dan tawa itu masih menyertainya sampai punggungnya menghilang dari pandangan Husain.
Husain kembali menatap langit.
“Begitu ya? Meski aku berhasil, perang itu pasti terjadi. Dia datang bukan untuk menghancurkan kami, tapi menguji kami...”
Kabut dimata Husain sedikit tersibak. Meski masih banyak tersisa, paling tidak, kata-kata itu membuat rasa bersalahnya berkurang.
Abdul Aziz memikirkan Husain kembali. Membuat tangannya berhenti sejenak saat ia membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba saja, ia teringat dengan benda dari giok yang ia lihat digenggaman Husain tadi. Benda dengan bentuk bulat-bulat kecil seperti mutiara yang terangkai.
“Sudah tibakah saatnya...,” bisiknya.

*   *   *

“Bagaimana dengan penganut Yisilan Jiao?”
Kaisar Kang Xi sedang berada diruang kerjanya. Ia tengah berbincang dengan adik sekaligus kaki tangannya. Hu Zuang.
“Tak ada berita pembangkangan. Kecuali pakaian yang dipakai kaum perempuan.”
“Mengenai itu biarkan saja dulu.”
“Tapi masalah lain, bisa saja mereka sembunyi-sembunyi melakukannya.”
Kaisar menyandarkan dagunya pada kedua tangannya yang terkatup. Didepannya, sebuah kitab terbuka.
“Bisa saja,” katanya. “Awasi saja mereka.”
“Baik.”
“Lalu bagaimana dengan Han?”
“Suara mereka sama seperti suara penganut Yisilan Jiao yang lainnya.”
“Kalau begitu, Suku Hui, Mongol juga Tibet sama?”
“Selama mereka penganut Yisilan Jiao, Yang Mulia.”
“Terlepas dari siapa dan niat apa yang ada dibaliknya, Verbiest mungkin benar. Jika mereka bersatu, mereka adalah ancaman. Selama mereka berpisah dan tak saling berkomunikasi, biarkan saja. Kita akan mudah mengendalikannya. Kau setuju denganku, Hu?”
“Benar. Tapi bagaimana dengan masalah Verbiest? Tiba-tiba saja, aku teringat hal itu, Yang Mulia.”
“Benar. Kelancangannya akhir-akhir ini membuatku kesal.”
“Bukan itu saja, Yang Mulia. Yang aku pertanyakan adalah, kepeduliannya terhadap Yisilan Jiao.”
“Dia mengatakan, kalau dia mengkhawatirkan keadaanku, dan keutuhan kekaisaran Qing.”
“Apa Anda mempercayainya.”
“Kau sendiri?”
“Memang belum terlihat bukti-buktinya. Tapi perasaanku mengatakan, aku harus mencurigainya.”
“Dan perasaanmu sangat terasah, Hu Zuang.”
Mereka diam beberapa saat.
“Jadi bagaimana menurutmu?” tanya Kaisar Kang Xi.
“Aku tidak tahu kakak, tapi menurutku, batasi ruang gerak Verbiest. Untuk sementara hanya itu usulku.”
Kaisar Kang Xi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah lama terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba Kang Xi mengatakan sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembicaraan mereka sebelumnya.
“Berapa umurmu, Hu Zuang?”
“Ada apa, Yang Mulia? Mengapa tiba-tiba...”
“Berapa umurmu?” tanya Kaisar kembali memotong kata-kata Pangeran Hu.
“Empat puluh dua.”
“Hm....,” Kaisar berdiri dan berjalan kearah jendela yang masih terbuka. Ia berdiri didepannya. Angin malam yang bertiup sepoi, membelai wajah baginda. “Empat puluh dua..., tapi pengalamanmu sudah melebihi usiamu.”
“Aku tidak mengerti...” Hu Zuang mengikuti Kang Xi dengan matanya. Kang Xi seperti berkata pada dirinya sendiri.
“Pengalamanmu dalam perang.”
“Tapi Anda lebih berpengalaman dalam memimpin dan berpolitik.”
“Juga keluarga...,” Kaisar meneruskan kata-katanya tanpa menghiraukan kata-kata Hu Zuang.
Sampai sini, Hu Zuang semakin tak mengerti. Keningnya berkerut tajam. Perasaannya merasakan atmosfer yang menyelubungi mereka sekarang berubah.
“Anda juga bahagia dalam keluarga...,” kata Hu Zuang tidak yakin. Dulu, ia memang berpikir kalau kakaknya itu sangat bahagia. Dengan puluhan selir dan ribuan gundik, juga puluhan putra, ia pikir kakaknya bahagia. Tapi baru saja, dia tahu kalau kakaknya tidak bahagia.
Kaisar Kang Xi menghela nafas panjang.
“Kau mencintai istrimu, Hu Zuang?”
Hu Zuang terdiam. Ia teringat dengan wajah dua istrinya. “Tentu saja,” jawab Hu Zuang sendu. Sekarang ia mengerti kemana arah pembicaraan Kaisar Kang Xi.
“Apakah menurutmu aku mencintai mereka semua?”
“Setiap orang mempunyai kecenderungan. Demikian cinta. Anda mungkin hanya mencintai beberapa orang saja...,” jawab Hu Zuang.
“Kau salah Hu Zuang. Aku tidak mencintai mereka semua...,” Kaisar berbalik melihat Hu Zuang.
Hu Zuang tersentak. Ia lihat mata Kaisar memandangnya dengan mata berkaca. Lalu kaca itu pecah berkeping dan jatuh meluncur dikedua pipinya. Kaisar menangis. “Aku hanya mencintai dia, Hu Zuang...,” Kang Xi terduduk dikursi terdekat. “Aku hanya mencintai dia...”
Hu Zuang mematung.
Untuk masalah yang dihadapi Kaisar, Hu Zuang selalu memberi Kaisar saran untuk jalan pemecahan. Tapi jika masalahnya berkaitan dengan Selir Su Zu, apa yang bisa dilakukannya selain diam? Sebab ia tak bisa menghidupkan Selir Su Zu dan memberikannya pada Kaisar. Andaikan ia bisa...
“Tapi dia tidak pernah mencintaiku Hu Zuang. Sebagaimana Yu Lan, dia tak pernah mencintaiku...”
“Apa yang kau katakan Kakak? Tentu saja Selir Su Zu mencintaimu! Yu Lan juga begitu. Dia sangat mencintai...”
“Keluarlah, Hu Zuang...,” Kaisar memotong kalimat Hu Zuang ditengah isaknya.
“Kakak...”
“Keluarlah!”
Hu Zuang sempat memandang sedih pada Kang Xi sebelum ia benar-benar beranjak.
Dan Kang Xi menangis sendiri...
Yu Lan punya rasa khawatir yang sangat besar padamu Hu Zuang. Dia tidak pernah memiliki wajah khawatir seperti itu padaku... Bukankah itu artinya dia lebih mencintaimu?


*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar