Rabu, 27 Desember 2017

Pangeran Istana Langit (2)



Tangannya berhenti memetik qin (kecapi bersenar 5). Bayangan tentang sebuah negeri bernama Persia benar-benar mengusiknya. Seperti apa Persia itu? Bagaimana tanahnya, bagaimana udaranya?
“Memikirkan Persia lagi Tuan Putri?” tanya Sho Can ketika dilihatnya untuk kesekian kali Yu Lan menerawang.
“Yang jelas, Persia itu tak sama dengan teratai, Tuan Putri,” Sho Er menggodanya. Membuat Sho Can tertawa. Yu Lan memang tengah menerawang sambil matanya memandang teratai yang berbunga diatas kolam dihadapannya.
Tapi candaan itu rupanya tak cukup lucu untuk Yu Lan, bahkan Yu Lan tak menggerakkan bibirnya untuk tersenyum sedikit pun. Ia malah berkata, “Apa di Persia ada teratai Sho Er?” Pertanyaan itu membuat tawa Sho Er berhenti. Ia memandang Sho Can. 
Mengapa gara-gara tempat bernama Persia itu majikan mereka menjadi gila?
Ya, tuan putri mereka memang seperti gila. Dikamar, ia sering melamun dan menggumamkan kata-kata ‘Persia’. Ia juga sering tak tidur hanya gara-gara memikirkan warna tanah Persia. Atau menyentuh semua benda dan berkata; ‘Apa benda seperti ini ada di Persia?’ sMungkin memang terlalu berlebihan jika Sho Can dan Sho Er menyebutnya gila. Sikap Yu La lebih mirip sikap orang yang jatuh cinta daripada gila. Tapi jatuh cinta pada sebuah tempat?
Kalau tahu apa yang terjadi dengan Yu Lan, mungkin ia akan mengerti, mengapa Yu Lan begitu jatuh cinta pada Persia.
Suatu hari, ketika ia tengah membunuh rasa bosan berada diistananya dengan memainkan bola, Yu Lan memecahkan sebuah guci.
“Tuan Putri, Anda memecahkan guci!” Chang Lu, kasim Yu Lan yang menjadi korban paksaan Yu Lan untuk menjadi lawan mainnya, melapor dengan keringat dingin. Sebenarnya, tanpa Chang Lu bicara pun, semua yang ada diistana yang terkunci itu tahu, kalau guci itu telah pecah. Sebenarnya, Chang Lu hanya ingin mengatakan pada Yu Lan kalau yang memecahkan guci itu bukan dirinya, tapi Yu Lan. Chang Lu sangat tidak ingin disalahkan.
Yu Lan berjalan cepat dan melihat korbannya yang pecah berkeping-keping. “Ah, sudahlah, hanya sebuah guci. Lagipula yang memecahkannya bukan kita, tapi bola ini. Benar kan?” Yu lan mengambil bola seukuran dua kepal tangan itu dengan tangannya. Ia lalu melempar-lemparnya dan menangkapnya kembali. Sehingga bola berhias rumbai-rumbai hiasan khas dinasti manchu itu, melayang berulang-ulang.
“Kalian bereskan saja!” katanya sambil beranjak. “Tak akan ketahuan kalau pecah satu. Yang lain masih banyak,” kata Yu Lan lagi. Guci yang pecah itu memang guci yang unik, guci yang tidak didapatkan di istana putri yang lain. Hiasan dan kaligrafi yang melukis permukaan guci itu yang membuatnya lain. Kaligrafi dan hiasan itu tak seperti kaligrafi dan hiasan Dinasti Qing. Tapi lebih mirip peninggalan Dinasti Ming )2. Yu Lan sebenarnya tak habis pikir, karena benda-benda yang mirip peninggalan dinasti Ming itu dibiarkan berserakan di istananya. Sementara kalau ada diistana lain, bahkan diistana Permaisuri pun, atau diistana Selir Si Chuan, selir kesayangan Baba, benda-benda itu pasti sudah dimusnahkan. Tapi semua benda ‘terlarang’ yang ada diistananya, dibiarkan hidup dan bernafas.
Tapi setiap memikirkan masalah yang rumit itu selalu membuat Yu Lan lelah sebelum mendapat jawabannya. Akhirnya ia menyerah dengan membiarkan semua. Toh, semua itu tak mengganggunya. Bahkan sebaliknya, ia merasa senang, karena lukisan-lukisan yang ada pada guci-guci itu adalah lukisan-lukisan dan kaligrafi yang sangat indah.
Sho Er, Sho Can, Chang Lu, Chang Hu, menurut. Mereka segera membereskan pecahan-pecahan guci.
“Eh, Tuan Putri, lihat ini!” kata Sho Er tiba-tiba. Suaranya menahan langkah Yu Lan yang menjauh.
“Apa?” Yu Lan berbalik. Keningnya berkerut ketika dilihatnya, empat orang tak jauh didepannya itu tengah berjongkok mengelilingi pecahan guci. Mereka tak sedang membereskannya. Mereka seperti patung yang diam mengamati sesuatu yang asing. Ini membuat Yu Lan sangat penasaran.
“Lihat ini, Tuan Putri...”
Akhirnya tanpa menunggu panggilan ketiga, Yu Lan segera menghampiri mereka. Pandangan Yu Lan terpaku pada tiga buah benda asing yang teronggok diantara pecahan guci yang berserak. Sebuah kitab, sebuah tanda kekaisaran, dan sebuah sapu tangan. Setelah beberapa saat tenggelam dalam keterkejutannya, tangan Yu Lan bergerak pelan mengambil ketiga benda itu. Ia lalu berjalan sambil mengamati ketiga benda itu. Yu Lan membolak-balik sapu tangan sutra biru muda bersulam benang merah menyala di salah satu ujungnya. Entah sulaman apa. Tapi yang pasti sulaman itu berbentuk kaligrafi huruf yang tak dimengerti Yu Lan. bukan kaligrafi huruf Manchu, apalagi Mandarin. Tulisan latin juga bukan. Sebuah kaligrafi dengan tulisan asing. Kening Yu Lan berkerut halus. Pandangannya beralih pada benda kedua. Tanda kekaisaran. Benda ini, sangat familiar. Tak asing. Tapi yang menjadi pertanyaanya, mengapa benda sepenting ini, ada didalam guci bersama dua benda lainnya? Tak menemukan jawaban. Yu Lan beralih pada benda ketiga. Sebuah kitab yang bagian luarnya tertulis kaligrafi dengan huruf yang sama dengan huruf yang menghiasi saputangan. Yu Lan membuka-buka kitab itu. Dan keningnya yang tadi berkerut halus, sekarang mengkerut berlipat-lipat. Tak ada yang ia mengerti dari kitab itu. Bahasanya bukan bahasa yang biasa mereka gunakan. Tulisannya asing. Yu Lan memang pernah melihat tulisan ini, tapi sudah lama dan entah dimana.
“Seperti tulisan di bendera suku Hui Chi,” kata Yu Lan ketika ia baru saja berhasil mengingat dimana ia melihat tulisan itu. Tulisan yang menghias sebuah bendera yang dibawa utusan Hui Chi saat datang ke istana. Tapi sebenarnya, ia tak terlalu yakin dengan ingatan selintasnya itu. Dan tentu saja, keingintahuannya tak lantas habis sebatas itu. Ia mencari tahu ke perpustakaan Istana. Disana, ia mendapat fakta baru, bahwa tulisan seperti itu adalah tulisan yang dibawa oleh orang Persia dan orang-orang Arab ke dataran Cina. Dalam kitab itu, Yu Lan melihat sebuah gambar ilustrasi tentang orang-orang Persia dan Arab saat datang pertama kali pada masa Dinasti Tang )3. gaya berpakaian mereka mirip dengan seorang pemuda yang ia lihat dulu di atas bukit. Bukan hanya itu, rambut mereka dipotong sama persis dengan pemuda itu!
Dan sejak itulah, kata Persia, menjadi kata-kata yang sangat menarik minat Yu Lan.
“Yang aku tahu, teratai tumbuh dikolam. Kalau di Persia ada kolam atau danau, mungkin teratai juga ada yang mulia.”
“Mengapa tidak Putri tanyakan pada Pangeran Hu Zuang?” saran Sho Er. Pengalaman Pangeran Hu Zuang dalam ekspansi wilayah sudah tak terhitung. Padahal sebenarnya, sesuatu yang melanggar hukum jika keluarga istana Dinasti Manchuria  dilibatkan dalam perang atau jabatan pertahanan dan sejenisnya, tapi kecakapan Pangeran Hu Zuang dan rasa sayang Kaisar padanya membuat pengecualian itu. Saking seringnya ke medan pertempuran, membuat Pangeran Hu Zuang jarang berada diistana. Kalau berkesempatan ada di istana, itu berarti Pangeran Hu Zuang hanya ingin bertemu Yu Lan. Putri nakal yang sangat ia sayangi melebihi putranya sendiri. Tapi itu dulu. Protes dari para pejabat membuat Kaisar akhirnya menarik Pangeran Hu untuk menempati jabatan penasihat pribadinya.
Tiba-tiba Yu Lan berdiri, membuat Sho Can dan Sho Er melonjak kaget dan berlari, membuat Sho Can dan Sho Er berteriak dan berlari menyusul Yu Lan.
“Eh, Tuan Putri! Tunggu!”
Yu Lan berlari, tak mempedulikan kedua inangnya yang berteriak dan terlihat kesulitan menyusulnya. Sho Chan dan Sho Er sebenarnya tak habis pikir, bagaimana putri mereka bisa begitu lincah berlari dengan sepatu keramik dengan sol tinggi seperti itu? Sementara mereka kesulitan menyusulnya padahal sepatu mereka adalah sepatu kain biasa?
Yu Lan memang berlari sangat cepat untuk ukuran seorang putri dengan sepatu, pakaian dan papan hitam diatas kepalanya. Saking cepatnya, seolah-olah koridor istana yang setiap ujung pagarnya berhias pahatan naga itu ikut bergoyang-goyang laksana jembatan kayu yang rapuh. Tujuan Yu Lan hanya satu. Perpustakaan Istana. Bukan buku yang dicarinya, karena toh, pencarian pada buku telah ia selesaikan beberapa hari yang lalu. Ada satu yang ia lupakan di Perpustakaan Istana. Guru Liu! Guru tua berjanggut dan beralis hitam panjang dan terlihat membosankan, tapi sayangnya sangat pintar dan tahu segala hal. Semua ilmu yang ada didunia seolah tergambar jelas dalam benak pikirnya. Jadi sebuah daerah bernama Persia atau Arab, pasti tak mungkin tak dikenalnya! Mengapa saat dulu mengubek-ubek isi Perpustakaan ia melupakan unsur penting itu? Guru Liu!
Tapi sebelum sampai ketempat yang dituju, sebuah peristiwa mendadak terjadi. Dipersimpangan, Yu Lan bertubrukan amat keras dengan seseorang. Yu Lan jatuh terduduk. Papan hitam tipisnya hampir terjatuh kalau saja Sho Can dan Sho Er tak mengikatnya sekuat ini, dan kalau saja Yu Lan tak lekas-lekas memegangnya. Posinya acak-acakan, dan jepit rambut bunga magnolianya jatuh dan terlempat didekat sebuah kaki yang berhias sepatu bersulam naga. Tidak! Jangan sampai itu kaki Baba!
“Ya ampun, Yu Lan! Apalagi yang kau lakukan?”
Sebuah suara membuat kepala Yu Lan mendongak. Dilihatnya Putra Mahkota mengulurkan tangannya. Yu Lan membuang nafas lega. “Ah, Puta Mahkota..., syukurlah...,” Yu Lan mengelus dadanya yang tadi berdegup kencang.
“Ya ya..., untung bukan siapa-siapa. Bukan Baba atau Ibu Permaisuri,” kata Putra Mahkota Yinreng sambil mengulurkan tangannya. Yu Lan menyambut uluran tangan Putra Mahkota, sehingga ia bisa berdiri dengan tegak.
“Tuan Putri!” Sho Chan dan Sho Er datang terengah-engah.
“Dari mana saja kalian? Mengapa kalian tidak menjaga Tuan Putri dengan baik?”
Sho Chan dan Sho Er memberi hormat pada Putra Mahkota. “Maaf Yang Mulia...”
“Eh, itu salahku. Sudahlah,” Yu Lan mengibaskan tangannya, membuat sapu tangan yang selalu dipegangnya melambai-lambai.
“Kau sendiri mau kemana? Apa kamu menghindari hukuman Baba sampai kau berlari-lari seperti ini?” kali ini Putra Mahkota berbicara setengah menggoda.
“Ah, bukan begitu!” Yu Lan melihat orang-orang yang ada dibelakang Putra Mahkota yang sedang menahan tawa.
“Oh, kalau begitu, ada kijang yang lari dari buruanmu?” tanya Putra Mahkota menggoda lagi.
“Kakak!”
“Atau ada pohon yang harus kau panjat lagi?”
“Kakak, sudah! Aku hanya akan ke ruang baca!”
Semua terbeliak, tak terkecuali Putra Mahkota.
“Ruang baca?”
“Benar, kenapa? Apa aku tidak boleh pergi kesana?”
“Heh! Kalian beri makan apa Tuan Putri?” tanya Putra Mahkota pada Sho Chan dan Sho Er. Yang ditanya saling pandang, lalu bersamaan menggeleng dengan cepat.
“Apa aneh kalau aku hendak menemui Guru Liu?”
“Jelas aneh! Kalau kau tidak salah makan, kau berarti sedang kerasukan roh leluhur,” Putra Mahkota tersenyum nakal. Orang-orang dibelakangnya pun ikut tersenyum. Jika tidak ada Putra Mahkota dan Putri, mereka mungkin sudah tertawa terbahak-bahak.
“Sudah! Jangan menggodaku!” Yu Lan cemberut dan marah. Diliriknya Kun Lan yang berdiri disamping Putra Mahkota. Kun Lan juga tengah menahan tawa. “Kau juga, diamlah!” kata Yu Lan pada Kun Lan.
“Maaf Tuan Putri,” kata Kun Lan. Tapi gaya Kun Lan yang memperolok Yu Lan membuatnya tambah marah. Padahal Yu Lan ingin Kun Lan membelanya.
Yu Lan pergi dari hadapan para pemuda itu tanpa memberi hormat pada Putra Mahkota. Sho Chan dan Sho Er menyusulnya. Akhir-akhir ini gosip itu memang menyebar kembali. Sebenarnya bukan gosip, tapi kenyataan. Kenyataan kalau Yu Lan, diluar istana masih nakal dan liar. Bukan keluarga Pangeran Hu yang membocorkannya, Yu Lan yakin itu, tapi mungkin mata-mata permaisuri yang menyampaikan berita ini ke istana. Tapi, Kaisar dan Permaisuri tak menginterogasinya sama sekali. Hal aneh yang tak dimengerti Yu Lan.
“Hei, kenapa tidak sopan begitu?”
Yu Lan tak mempedulikan perkataan Putra Mahkota yang setengah meneriakinya itu. Padahal, kalau masalah tidak sopan ini sampai ke telinga Permaisuri, Yu Lan bisa dihukum berat. Tapi karena kesal, sepertinya Yu Lan tak peduli. Lagipula ia tahu, Putra Mahkota tak akan mengadukannya.
“Apa kau marah?” Kun Lan berlari menyusul Yu Lan. Ia menjajari langkah-langkah cepat Yu lan.
“Kalian memperolokku dihadapan mereka! Kalian yang sengaja membuatku marah,” kata Yu Lan tak peduli.
Yu Lan memang mengakui, kalau ia bukan putri yang baik. Ia menyadari kalau ia memang seorang putri yang liar. Tapi selama ini, ia bertahan untuk tak melakukan keliaran itu di Istana. Ia memang memanjat pohon,  berburu, belajar memanah. Tapi semua itu dilakukan ketika hari bebasnya berlaku. Saat ia keluar istana untuk menginap dirumah Pangeran  Hu Zuang. Tapi memperolok didepan para pemuda seperti yang dilakukan Putra Mahkota tadi, tetap membuat Yu Lan malu. Ia rasa perlakuan Putra mahkota sangat keterlaluan!
“Maafkan kami, kami bukan memperolokmu, hanya ingin sedikit menggoda.”
“Apa bedanya?”
“Baik. Tak ada bedanya. Maafkan kami ya?”
Yu Lan terus berjalan, tak mempedulikan perkataan Kun Lan.
“Kau sungguh-sungguh akan menemui Guru Liu?” Kun Lan mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya, melihat Yu Lan cemberut seperti itu malah membuatnya ingin tertawa lebih keras dan menggodanya berulang-ulang. Habis Yu Lan lucu kalau sedang marah. Tapi kalau Yu Lan digoda lagi, ia bisa mengamuk. Akan sulit menjinakkannya kembali.
“Apa pedulimu?”
“Aku hanya akan memberitahu, kalau Guru Liu sedang tidak ada ditempat.”
“Bagaimana kau tahu?” Yu Lan bertanya tak peduli.
“Karena kami baru saja dari sana.”
Yu Lan terus berjalan, tak mempercayai perkataan Kun Lan begitu saja. Sebenarnya Kun Lan orang yang sangat bisa dipercaya.  Setahu Yu Lan, Kun Lan tak pernah berbohong. Bahkan ia satu-satunya orang yang bisa diandalkan di istana. Tapi rasa kesal membuat Yu Lan ingin sedikit membalas dendam.
“Yang Mulia memanggilnya, ada utusan datang dari Persia. Tak ada yang tahu bahasa Persia di Istana ini kecuali Guru Liu.”
Langkah Yu Lan akhirnya berhenti. Kata ‘Persia’-lah yang membuat langkahnya kaku. Bahkan sekarang, jantungnya berhenti berdetak. Utusan dari Persia? Utusan? Orang Persia?
“Apa kau bilang?” Yu Lan berbalik. Ia menghadapkan tubuh dan wajahnya kearah Kun Lan. Ia ingin memastikan, kalimat yang tadi diucapkan Kun Lan sama sekali bukan kesalahan pendengarannya.
Kun Lan mengulangi kalimatnya. “Ada utusan dari Persia datang ke Istana. Guru Liu...”
Belum selesai Kun Lan bercerita, Yu Lan sudah berlari melesat menjauhinya.
“Hei, Putri Yu!” Kun Lan hendak menyusulnya, tapi teriakan Putra Mahkota berhasil menahan langkahnya.
“Biarkan saja kijang itu, dia akan baik-baik saja. Sekarang latihan kita akan dimulai!”
Setelah berdiam sejenak, akhirnya-kata-kata Putra Mahkota yang ia ikuti. Putra Mahkota benar, Yu Lan akan baik-baik saja. Apapun yang dilakukannya, keberuntunan selalu menyelimutinya. Begitu kan yang selama ini terjadi?
Masih dengan berlari, Yu Lan masuk Balairung Keselarasan Tertinggi dari bagian belakang. Beberapa penjaga yang berdiri mematung, tak ia pedulikan benar. Balairung Keselarasan Tertinggi adalah gedung terluar dari Kota Terlarang, biasanya berfungsi untuk menerima tamu atau utusan.
“Sebenarnya Tuan Putri hendak kemana?” tanya Sho Er sembari membuang nafas putus-putusnya karena lelah. Padahal Yu Lan sama sekali tak terlihat lelah selain pipinya yang tambah ranum memerah.
“Stt!” Yu Lan meletakkan telunjuk dimulutnya. Jawaban seperti itu justru membuat Sho Can dan Sho Er khawatir. Mereka menangkap firasat, kalau putrinya itu akan melakukan suatu hal yang membahayakan.
Yu Lan terus berjalan mendekati singgasana Kaisar. Suara percakapan Baba dan seseorang terdengar jelas.
“Kami tidak ingin berperang, kami meninginkan perdamaian,” kata seseorang dengan bahasa Mandarin namun logat yang sedikit asing ditelinga Yu Lan.
“Bagus, aku juga tak ingin membunuh prajurit sia-sia.” Itu suara Baba.
“Hubungan kami dengan penguasa terdahulu telah terjalin dengan amat baik. Kami berharap hubungan yang sama juga terjalin dengan Yang Mulia.”
“Ha...ha... ha...,” Baba tertawa. Lama.
Kening Yu Lan berkerut. Percakapan dua orang itu, tak seperti percakapan yang membutuhkan penerjemah. Dari tadi, tak terdengar suara Guru Liu menerjemahkan bahasa Persia. Tak ada juga orang yang mengatakan sesuatu dengan bahasa yang tak dimengerti telinganya. Jika begitu, mungkin orang Persia itulah yang berbicara bahasa Cina.
Mata Yu Lan berkeliling. Keingintahuannya tentang Persia membuatnya merasa tak cukup hanya dengan mendengar saja. Ia lalu berjalan mendekati sebuah tiang besar yang posisinya sangat dekat dengan singgasana Baba.
Yu Lan mengangkat satu kakinya dan mulai memanjat.
“Eeeh..., Tuan Putri! Apa yang Anda lakukan?” Sho Er berbisik dengan suara khawatir yang sangat. Kepalanya berputar-putar melihat sekeliling. Beberapa pengawal bersenjata lengkap berdiri menempelkan punggung mereka pada dinding. Pandangan mereka memang lurus kedepan, seolah tak ada yang terjadi dihadapan mereka. Tapi siapa tahu hati mereka bergejolak dan berencana untuk memberitahukan sikap Yu Lan pada Permaisuri. Skandal kecil ini cukup untuk mereka menjilati kaki permaisuri dan mendekatkan posisi mereka pada jabatan pengawal kepercayaan yang basah dengan uang.
“Apa Anda tidak takut, Tuan Putri? Turunlah.... kalau Yang Mulia tahu anda bisa dihukum lagi...,” kali ini Sho Chan bicara dengan ketakutan dan permohonan.
“Stt! Baba tak akan tahu kalau kalian tak bicara...,” Yu Lan berkata sembari memberi penekanan keras pada kalimatnya, mata Yu Lan juga menyiratkan ancaman pada seluruh pengawal yang ada bersama mereka. Ya, mereka memang seperti patung, tapi Yu Lan tahu, mereka mendengar ancamannya. Yu Lan terus memanjat, lengkap dengan sepatu keramiknya yang tinggi, choansem )4 sutra warna birunya, sapu tangan dan papan hitam berhias bunga dikepalanya. Tapi dengan tubuhnya yang ramping dan cekatan, ia sudah ada di atap dalam sekejap dan bertahan di palang-palang yang penuh ukiran naga. Dibawah, sho Chan dan Sho Er menatap sekeliling dan keatas bergantian dengan wajah ketakutan. Diatas, Yu Lan tersenyum. Dari tempatnya berada kini, ia bisa melihat ruangan Balairung Keselarasan Tertinggi dengan sangat jelas!
Tepat dibawahnya, tampak kepala Baba yang berbalut mahkota kuning dengan penjepit hiasan topi dari giok yang menjepit bulu merak hingga bulu itu memanjang dari tengah topi sampai menjuntai menjauhi tepinya. Disisi kanan dan kiri Baba, yang tempatnya agak turun kebawah, berdiri berderet para Menteri. Yu Lan juga melihat Guru Liu berdiri dibawah kursi naga Baba. Dan tepat ditengah-tengah ruangan itu, berdiri seseorang berpakaian tak biasa. Seperti pakaian laki-laki Manchu, tapi tak berkerah juga tak berkancing.  Pakaian itu kemudian ditutup sebuah jubah tebal. Yu Lan yakin, dialah utusan dari Persia itu!
“Sayang sekali, Dinasti Qing sekarang, bukanlah dinasti Ming yang terdahulu. Dan kebijakan Dinasti sekarang tak akan sama dengan dinasti yang terdahulu. Apa kamu tahu, dinasti kami-lah yang telah mengalahkan dinsti Ming yang rapuh, “ kata Kaisar setelah tawanya reda.
Sejurus, sang utusan itu terdiam.
“Jika...,” kata utusan itu menggantung. Menggantung karena matanya menangkap suatu pemandangan yang mengherankan diatas sana. Ia melihat kepala Yu Lan jauh diatas kepala Kaisar.
Yu Lan menyadari pandangan itu. Ia lekas-lekas menaruh jari telunjuk didepan mulutnya. Utusan itu mengerti. Ia pun lekas-lekas mengembalikan keterkejutannya dan menampilkan kembali wajah yang biasa. Tapi terlambat, pandangan heran utusan itu membuat semua orang menatap keatas Kaisar. Tak terkecuali, Kaisar sendiri. Yu Lan masih sempat bersembunyi, ia menahan nafas ngeri. Kalau ketahuan, matilah sudah!
“Ah..., kaligrafi dan ornamen-ornamen di istana ini benar-benar membuat saya takjub,” kata utusan itu. Membuat nafas Yu Lan kembali berhembus. “Kami ingin Anda berbaik hati. Kami akan memberi apa yang Anda inginkan.”
“Kami itu..., kalian orang-orang Persia, Suku Hui Chi )5, Orang Han )6 dan Mongol? Ah, juga sebagian orang Tibet kan?” )7 tanya Kaisar.
“Benar. Kami penganut agama Islam.”
“Apa yang kalian berikan?”
“Upeti, pajak, harta. Juga kesetian kami dan ilmu pengetahuan kami.”
“Lalu apa yang harus aku berikan?”
“Membiarkan kami menjalankan apa yang kami percayai.”
“Yang kalian percayai...,” kata Kaisar mengulang. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. “Pergi setahun sekali ketanah Budha Ma Hia Wu )8, menyembelih binatang setahun sekali, tidak mengepang rambut,  dan menutup kepala kaum perempuan?”
“Benar.”
“Dan kalian akan memberikan apa yang aku inginkan?”
“Benar.”
Hening.
Para Menteri saling pandang. Mengkhawatirkan sesuatu yang sama mereka khawatirkan.
“Bagaimana jika yang aku inginkan adalah kepala kalian?” pelan dan lambat, namun cukup menggetarkan angin dan perasaan hingga utusan itu tersentak. Yu Lan juga tersentak. Namun para Menteri saling pandang kembali, kali ini diliputi kelegaan dan seulas senyuman.

(Tempat Ho San Ni menghadap Kang Xi, sekaligus menemukan Yulan di atas sana)

*   *   *

Husain merenung diatas kudanya. Misi yang diembannya gagal sudah. Allah..., apakah kegagalan ini pertanda kegelapan yang akan melingkupi kami sesaat lagi?
Mata Husain memandang jauh ke balik awan. Mulutnya mendesah. Apapun yang akan Kau bentangkan dihadapan kami, berikan kami kekuatan...
“Tuan Persia! Tuan Persia!” Yu Lan memacu kudanya menyusul Husain.
Husain mengerutkan alisnya. Tuan Persia? Apakah teriakan itu ditujukan untuknya?
“Tuan Persia!”
Husain menarik tali kekang kudanya. Ia berbalik. Seorang gadis menunggang kuda mendekat kearahnya. Ah, dia gadis yang ada diatap! Husain menyambutnya dengan senyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Putri?”
“Yu Lan. Panggil saja begitu.” Yu Lan tersenyum. Kudanya berputar-putar tak diam. Yu Lan menenangkannya.
Husain terhenyak. Ia terpaku beberapa saat. Yu Lan? Gadis kecil yang ia lihat dulu diatas bukit? Sudah sebesar ini? Ditatapnya Yu Lan seksama. Bola mata yang hitam lincah, bibir tipis yang merah, dan pipi yang merona merekah. Gadis kecil itu cepat dewasa. Hampir-hampir saja ia tak mengenalnya kalau saja ia tak memperkenalkan dirinya. Ya, semuanya berubah, kecuali warna pipinya. Pastinya, ia sudah berlari-lari tadi. Apa Yu Lan tak mengenalnya? Husain tertawa. Memangnya mereka pernah berkenalan?
“Kenapa?” tanya Yu Lan heran.
Husain memalingkan pandangannya segera. Mengapa ia bisa begitu hanyut? “Ah, tidak. Saya hanya tidak bisa membayangkan Tuan Putri memanjat dinding dengan pakaian dan hiasan rambut seperti itu!” Husain tertawa lagi. Membuat Yu Lan ikut tertawa.
“Jangan panggil saya Tuan Putri. Yu Lan saja. Lagipula saya tidak memanjat dinding. Hanya sebuah tiang kayu penuh ukiran.”
“Oh,” Husain menghentikan tawanya heran. Tapi kemudian ia tertawa lagi. “Maaf,” katanya menahan tawa sebelum ia puas.
“Tak apa,” kata Yu Lan. “Saya memang tampak aneh. Tapi terimakasih tidak mengadukan saya pada Baba.”
Husain mengangguk. Lalu tiba-tiba ia teringat panggilan Yu Lan padanya. Tuan Persia. “Nama saya Husain.”
Yu Lan membuka mulut, mencoba menirukan kata Husain yang dirasa sulit untuk lidah orang Cina. Tapi sebenarnya, ia memang bukan orang Cina, hanya saja, dinasti Manchuria yang minoritas memaksa mereka berbicara dengan bahasa Mandarin. Hingga akhirnya, bahasa Manchu sendiri hanya di pakai pada kelas khusus Bahasa Manchu dan surat-surat resmi Kekaisaran, itupun hanya protokoler saja, karena dibawahnya akan ada bahasa Mandarin sebagai terjemahan. Selain bahasa, mereka juga mengadopsi budaya Cina, seperti Opera Peking. Berkali-kali Kaisar menundang Opera Peking terkenal untuk main diistana, dan Opera itu adalah kegemarannya.
“Ho San Ni. Orang memanggilku begitu,” kata Husain mengerti.
“Oh, Ho San Ni.” Yu Lan tersenyum senang.
“Jadi Anda tak perlu memanggil saya Tuan Persia.”
Yu Lan tersenyum malu. “Tapi benarkah Anda dari Persia?” Yu Lan membelalakkan matanya. Nampak sekali, ia sangat tertarik dengan jawaban yang ia tunggu.
“Benar. Mengapa?”
“Ah, sungguh?” mata Yu Lan tampak berbinar, membuat Husain terhenyak. Seorang putri kaisar yang menekan orang Persia malah tertarik dengan Persia?
“Benar,” jawab Husain.
“Seperti apa Persia itu? Apa tanahnya seperti disini? Apa di Persia ada kecapi? Apa ada teratai juga? Apa pakaian yang dipakai orang-orang Persia seperti yang Anda kenakan sekarang? Bagaimana pakaian perempuannya? Baba bilang pakaiannya menutup kepala. Seperti apa? Lalu..., bangunannya seperti apa? Apakah jalanannya seperti disini? Ah, apakah memiliki Kaisar juga? Seperti apa? ...”
“Tunggu, tunggu!” Husain tertawa lagi. “Bagaimana saya bisa menjawabnya jika Anda bicara secepat itu?”
Yu Lan tersenyum malu lagi. “Maaf.”
“Saya akan menjawabnya. Segala yang ingin Anda tahu tentang Persia, Putri. Tapi maaf, tidak sekarang.”
Yu Lan mengerti. “Baiklah,” kata Yu Lan, “Tapi bisakah setelah ini kita bertemu lagi?”
“Saya tidak yakin, Putri. Ayah anda...,” mata Husain berkabut.
Yu Lan termenung. Ia ingat percakapan Husain dengan Baba. “Maafkan Baba...”
Husain tersenyum. Bagi Yu Lan, senyum itu artinya tak dimaafkan. Karena setelah tersenyum seperti itu Husain menghentakkan kakinya ke perut kuda, hingga kudanya berjalan menjauhi Yu Lan.
“Kalau begitu bisakah bertemu diluar istana?” tanya Yu Lan tanpa menyusul Husain.
Luar istana? Husain meragukan dalam hati.
“Di perbukitan Xi Hu.”
Perbukitan Xi Hu? Husain tersentak. Bukit Xi Hu? Bukankah itu...
Husain menarik lagi tali kekang dan berbalik. Tapi kuda yang membawa Yu Lan sudah menjauh dari tempatnya. Bahkan matanya tak mungkin menyusul bayangan Yu Lan. Yu Lan sudah tak dilihatnya.


*   *   *

Sebelumnya;  Bagian 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar