Kamis, 14 Desember 2017

Mozaik Cinta XIII

Hanan turun dari kereta. Matanya berkeliling stasiun. Ia tak bisa meregangkan badannya dan menghirup udara seperti saat pertama ia meninggalkan kota ini, dan menjejakkan kakinya di Bandung. Sebab ini adalah udara kota Jakarta. Kota yang menyimpan masa lalunya. Lagipula, udara Jakarta terlalu kotor untuk ia hirup dalam-dalam.
Kedatangannya disambut beberapa orang. Bukan saudara apalagi penyambutan ala orang penting. Bukan. Mereka menyambut Hanan untuk menawari Hanan tumpangan. Jadi Hanan lekas menggeleng dan menghindar. Ia lebih memilih sebuah taksi yang supirnya kelihatan sudah sepuh.
Tak ada yang ditujunya dikota ini. Ia hanya berniat singgah sementara untuk menengok Ibu. Setelah itu, ia akan kembali keluar dari kota ini. Selekas ia bisa. Tapi setibanya ditempat yang dituju, beban tubuhnya seolah bertambah ratusan kilo, berat untuk beranjak.
Anak pelacur...
Kata-kata Sami terngiang di telinga Hanan. Bahkan ketika hanya gemanya yang terdengar, ketajaman kata-kata itu masih menggores batinnya. Berulang-ulang. Entah apa maksud Sami mengatakan hal itu. Tapi bukan itu yang dipikirkannya sekarang. Ia sekarang tengah memikirkan dirinya. Nasabnya. Leluhurnya. Bukankah seharusnya, ibunya memiliki keluarga? Juga ayahnya? Tapi mengapa ia tak mengetahui tentang itu sedikit pun? Jangankan tentang keluarga ayahnya, tentang wajah sang Ayah saja, Hanan belum pernah melihatnya.
Tangan Hanan bergerak, membersihkan tanah coklat yang mulai ditumbuhi ilalang baru.
Mulai? Hanan mengerutkan keningnya. Bukankah tahun lalu adalah kali terakhir ia mengunjungi Ibu? Tapi tanah diatas Ibu terlihat paling bersih dibanding tanah yang lain. Adakah seseorang yang datang selain dirinya?
Hanan mengedarkan pandangannya. Tak ada orang tentu saja, selain lalu lintas jalan tol yang cukup jauh dari area pemakaman. Apakah Sami? Hanan memejamkan mata sambil tersenyum. Tidak mungkin. Jadi siapa?
Mungkinkah orang dari dari Jalan Mawar? Tempat prostitusi itu? 
Hanan menghela nafas saat berdiri dari duduknya. Lalu ia tatap matahari yang mulai bersinar redup. Redup karena sudah senja, redup juga karena awan kelabu. Siapa pun. Yang pasti, ada seseorang yang mengingat ibu selain dirinya.

*   *   *

Hanan merebahkan diri di atas tempat tidur empuk. Ia masih di Jakarta. Di hotel Sofyan. Ya, keinginan untuk segera pergi dari tempat ini ia tahan sementara. Entah kenapa, seseorang yang mengunjungi ibu, menggelitik rasa penasarannya. Apakah ada seseorang yang mengenal ibu selain orang-orang di jalan Mawar? Hanan sungguh berharap, orang yang datang itu bukan salah satu dari mereka. Tapi siapa yang mengenal ibu selain mereka?
Hanan memejamkan mata, mencoba berpikir. Mungkinkah ayah?
Jantung Hanan berdegup tiba-tiba. Apakah mungkin ayahnya kembali? Allah..., Hanan memang berharap demikian...
Satu dering ring tone membuat tangan Hanan menyambar ponselnya. Sami. Sebuah nama tertulis di layarnya. Hanan diam mendesah. Sami tak menelponnya sejak tadi. Dan sekarang?
Setelah beberapa saat, Hanan menekan tombol Ok dan mendekatkannya ketelinga.
“Hanan? Kau baik-baik saja?” suara itu terdengar panik. Tapi panik yang ditahan dan diusahakan terdengar tenang. Hanan tersenyum. Baru berapa jam dia jauh dari laki-laki ini, tapi kerinduan sudah memuncak tak tertahan dihatinya.
“Terimakasih kau mau menerima teleponku, Hanan...” suara Sami terdengar lagi bahkan sebelum satu kata pun keluar dari mulut Hanan.
“Aku mohon, kau jangan mengganti nomornya...” suara Sami terdengar agak serak. Dia sudah ingin menangis lagi.
“Mana dulu yang harus kujawab, Sami?”
“Hanan? kau mau bicara denganku?” suara Sami terdengar surprise.
Hanan tertawa. “Tentu saja! Dasar bodoh!”
Sami merasa sangat lega. Sejak Hanan pergi, ia setengah mati menahan diri untuk tidak menghubungi Hanan. Dan ia sanggup bertahan selama lima jam ini. Lebih dari itu, Sami bisa benar-benar mati karena tak tahan.
“Terimakasih...,” ucap Sami lirih. “Dimana kau, Hanan?”
“Janji tak kan menyusulku?”
“Jika itu yang kau inginkan.”
 “Maaf, Sami. Aku tak bisa bilang... tapi, aku baik-baik saja....”
“Hanan, aku mencemaskanmu....”
Mereka terdiam beberapa saat.
“Sami...”
“Ya.”
“Tadinya, aku berniat mengganti nomorku...”
“Jangan lakukan...”
“Untuk beberapa waktu, kuharap kau tak menghubungiku...”
“Kau membenciku, Hanan?”
“Aku mencintaimu. Dan jika aku mendengar suaramu, perasaanku ingin segera terbang kesisimu. Jadi kumohon....,” Hanan menekan dadanya. Jika ia mendengar suara Sami, ia akan semakin sulit untuk menjauh dari Sami. Dan bagi Sami pun, bukankah ia akan semakin dekat dengan Huda jika hubungan mereka terputus sama sekali?
“Lakukanlah...” Sami mengurai airmatanya tanpa isakan. “Lakukanlah, Hanan...”
“Kau akan baik-baik saja...”
“Kau ingin aku menutup teleponnya sekarang?” Suara Sami terdengar parau disana.
“Aku tak akan mengganti nomorku. Kau masih bisa sms.”
“Akan aku lakukan.”
“Kau juga bisa kirim e-mail. Aku tak akan menggantinya.”
“Terimakasih.”
“Kau akan baik-baik saja, Sami. Aku yakin itu...”
Sami menutup ponselnya dengan berat. Ia sangat merindukan Hanan. Dan kerinduan itu membuatnya sangat sakit. Sami menelungkupkan kepalanya lagi, ponsel yang ia pegang terjatuh keatas karpet. Dan ia kembali tenggelam dalam penyesalan. Sekarang tanpa tangisan, tapi justru itu lebih menyakitkan.
Ibu melihat Sami mendesah. Sampai kapan putranya akan terus seperti itu? sampai kapan waktu akan menyembuhkan luka itu? Andai ia bisa menyatukan mereka kembali, dengan cara apapun, akan ia lakukan. Untuk dua orang yang sangat dicintainya...

*   *   *

Hanan berdiri dari tempat duduknya. Ia sudah menyerah untuk hari ini. Tak ada tanda-tanda seseorang akan datang. Hanan mengawasi makam ibunya dari jauh sejak tadi pagi. Sekarang sudah hampir siang, apakah ia perlu menunggu hingga menjelang sore? Tapi perkataan penjanga makam padanya membuatnya bertambah penasaran.
“Ya, hampir ada yang selalu datang....”
Hampir, selalu. Berarti ada kan? Siapa? Bapak tadi mengatakan kalau biasanya dia datang saat pagi. Tapi akhir-akhir ini, ada juga yang bahkan menunggu seseorang seperti yang dilakukan Hanan sekarang. Hanan mengerutkan keningnya. Tapi ia tak juga menemukan jawaban. Jika Sami ada disampingnya, kira-kira apa yang akan ia sarankan?
Mengingat Sami, tangan Hanan tiba-tiba refleks membuka tasnya dan mengambil ponselnya. Adakah Sami menulis sesuatu untuknya? Hanan merasa semangat sekarang, Sami bilang, ia akan menuliskan sesuatu untuk dirinya kan? Tapi layar ponsel Hanan tak menunjukkan apa-apa. Selain beberapa pesan dari karyawannya yang menanyakan tentang dirinya. Juga ada dari Sarah dan tentunya banyak dari Ibu. Tapi sekali lagi, tak ada dari Sami. Hanan sedikit mendesah, dan banyak kecewa. Sami tak mengiriminya pesan. Apakah tangisan laki-laki itu sekarang telah habis? Dia telah kembali seperti semula? Hanan ikut senang kalau begitu.
Hanan tersenyum. Padahal ia berniat untuk kembali jika Sami terus menginginkannya dan melupakan Huda. Tapi sepertinya, harapan kecilnya itu terlalu muluk. Sebab ingatan Hanan begitu jelas tentang kepanikan-kepanikan Sami untuk Huda. Juga perhaitan-perhatian Huda untuk Sami. Suatu tempat yang sudah terisi pernuh, tak mungkin lagi ditambah bukan? Dan hati mereka telah penuh terisi oleh cinta. Hanan menarik nafas. Ia harus melupakan Sami dan kembali pada kehidupannya.
Hanan mendongak lagi menatap makam Ibu dari jauh, membalas sms bisa nanti. Hanan mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali kedalam tas. Tapi setelah beberapa lama, seseorang yang misterius itu belum juga datang. Sekarang, Hanan benar-benar beranjak.

*   *   *

“Kau sungguh-sungguh akan pergi, Sami?”
Sami tersenyum. “Hanya untuk mengambil beberapa keperluanku, Ibu.” Dirumah tak ada Hanan. Tak ada tempat untuk pulang. Sami merasakan hatinya teriris lagi. Setiap ia mengingat Hanan, rasa seperti itu semakin parah saja rasanya. Ibu salah ketika mengatakan waktu akan menyembuhkan hatinya. Bukan waktu, tapi Hananlah obat dari penyakit jiwanya. Lalu dimana obat itu sekarang? Yang pasti bukan di rumah. Karena Hanan membenci rumah itu. Apa yang dibenci gadis kecil itu, sekarang juga sedang dibencinya. 
Kenapa Hanan bisa tahu jika saat ia menggambar rumah itu, yang terbayang  bukan Hanan? Mengapa ia bisa menebak setepat itu? Tidak. Pertanyaan yang seharusnya adalah, kenapa ia membuat rumah untuk orang lain? Bukan untuk dirinya sendiri?
Sami meremas dadanya. Penyesalan yang berulang. Penyesalan yang menyakitkan ini adalah hukuman yang sangat berat. Atau setimpal untuk semua luka yang Hanan derita selama hampir setahun hidup bersamanya? Atau bahkan luka Hanan lebih perih, sehingga Hanan memilih untuk meninggalkan cinta daripada memilih hidup bersama cinta? Karena luka yang ia derita terlalu sakit? Karena itu jugakah, Hanan tak memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri? Sedikitpun?
Lagi-lagi luka hati Sami digores lagi. Suara Hanan terus terngiang dalam ingatannya.
Jangan menghubungiku....
“Ibu akan hubungi Ilham, biar dia mengantarmu.”
“Tak usah, Bu.” Sami menahan langkah Ibu yang sudah ada di pintu. “Aku akan baik-baik saja. Aku harus menunggu Hanan pulang kan? Sampai saat itu datang, aku akan terus menjaga diriku.” Sami tersenyum pada Ibunya, berusaha meyakinkan.
Tak ada jawaban, selain tatapan iba dari dua bola mata itu. bola mata coklat yang teduh. Bola mata yang wanita itu wariskan pada diri Sami, yang membuat Hanan terus mengatakan, kalau ia menyukai bola matanya.
“Mata coklat yang teduh...” Hanan selalu mengatakan itu setiap ia memandang mata Sami. Dan sekarang Sami menyesal, kenapa ia dulu tak membalas perkataan Hanan. Jika Hanan pulang, ia akan mengatakan kalau dia sangat menyukai bola mata biru Hanan yang lincah meloncat-loncat. Bola mata yang membuat dada Sami bergetar. Alangkah terlambat, Sami baru menyadari sekarang, kalau getaran itu adalah cintanya pada Hanan.
Ibu memeluk Sami dan menepuk-nepuk punggungnya. “Maafkan Ibu...”
Sami mengerutkan keningnya. “Maaf? Ibu mempertemukanku dengan Hanan adalah karunia paling besar.”
“Tapi Ibu tak bisa mempertahankan hubungan kalian...”
“Jika ada yang tak bisa mempertahankan, itu adalah kesalahanku...”
“Tidak. Hubungan kalian bukan tidak bertahan,” Ibu melepaskan pelukan dan memegang kedua pipi Sami, membuat Sami merintih lagi. Dulu, jika Hanan memberi semangat padanya, Hanan melakukan hal yang sama.
“Kalian akan kembali bersama. Ibu yakin itu. Kau juga harus yakin!”
Sami mengangguk pasti. Tapi hatinya masih sangsi. Bukan menyangsikan Hanan, tapi menyangsikan dirinya sendiri. Apakah kebaikannya yang sedikit bisa mendominasi pikiran Hanan sehingga ia memutuskan untuk kembali? Sami tak tahu. Yang ia tahu hanyalah, Hanan butuh waktu untuk berpikir. Dan Sami hanya bisa memberi ruang itu. Ruang dan waktu untuk Hanan agar ia bisa berpikir jernih. Seperti kata Hanan, itulah bentuk cinta Sami untuk Hanan. 
“Aku yakin itu, Bu. Aku tak akan meragukan Hanan. Sedikit pun.”

*   *   *

Hanan terlonjak dari pembaringannya. Sebuah pesan yang baru ia terima, mendadak mununtutnya pergi sesegera mungkin. Pesan singkat itu datang dari penjaga makam. Kemarin ia menyimpan nomor ponselnya untuk meminta kabar sesegera mungkin dari bapak setengah baya itu.
“Ada orng dtng, Neng. Lk2. Skrng msh dsini.”
Setelah memakai kerudung instan dan memakai kaos kakinya, Hanan menyambar tas segera. Dengan berlari ia menyusuri koridor hotel, turun melalui lift, dan secepat kilat menyetop taksi kemudian menyuruh supirnya menjalankan taksi dengan cepat.
Seorang laki-laki. Seorang laki-laki...
Kata-kata itu terus terngiang dibenak Hanan. Tanpa Hanan sadari, telapak tangannya berkeringat. Ayah... kumohon.... kaulah orangnya...
Tangan Hanan saling meremas. Jika Sami disisinya, Sami pasti memegang tangannya menenangkan. Dan ia akan merasa tenang tenggelam dalam mata teduh berwarna coklat itu.
Hanan mendesah berat. Mengingat Sami adalah tekanan yang bertambah. Tapi ajaib, disisi lain, kenangan akan tatapan mata Sami membuat rasa paniknya sedikit menjauh.
Mobil berhenti, membuat tubuh Hanan terayun kedepan. Lampu merah lagi. Ini sudah lampu merah keempat, juga macet yang kesekian.
Ya Allah....
Inilah sebab kesekian aku tak menyukai Jakarta. Kota kelahiranku sendiri...

*   *   *

Sami membuka pintu pelan. Kesenyapan menyambutnya seketika.
“Sami? Sudah pulang?”
Mata Sami menangkap bayangan Hanan yang berjalan kearahnya dengan riang. Sami tersenyum menanggapi bayangan masa lalu itu. Hanan baru dua hari pergi darinya. Tapi rasanya sudah lama sekali. Dan rumah ini terasa sangat sepi...
Sami berjalan ke arah kanan, kekamar Hanan. Bukan kesebelah kiri, kearah kamarnya. Membuka kamar Hanan, kesedihan semakin menyeruak. Sami melihat Hanan dengan kaos ‘forever frind’ kesukaannya tengah asyik menggambar dimeja kerjanya. Sami juga melihat Hanan yang telungkup diatas tempat tidur, juga Hanan yang berjalan sambil tertawa menerima telepon dari pelanggannya. Dan terakhir, Sami melihat bayangan Hanan tertidur lelap.
Sami mendekat, mengusap tempat tidur. Tak ada Hanan tentu saja. Dan tangan Sami menjadi sangat kaku. Ingatan kekerasan yang ia lakukan pada Hanan melintas berseliweran dan berputar mengelilingi dirinya.
Tepisan tangan laki-lakinya pada tangan perempuan Hanan, kata-kata ketusnya, ketidak peduliannya...
“Bolehkah aku menjadi temanmu?”
“Mau berdamai denganku Tuan Sami?”
 “Ayolah! Kita akan hidup serumah, lho! Memangnya kau tak akan kesal terus bermusuhan denganku? Jika hubungan kita tidak baik, tak akan ada orang yang memasak untukmu, juga tak akan ada orang yang mencuci dan menyetrika pakaianmu. Benar kan?”
 “Apa kau ingin, malam ini aku tidur di sofa?
Sami ingat sekali wajah Hanan yang kecewa. Saat Hanan berharap Sami makan masakannya, tapi Sami hanya melewatinya begitu saja, sebab ia sudah makan masakan Huda. Sami mengabaikan Hanan karena ia memperhatikan Huda. Dan ingatan itu membuat tubuh Sami lemas.
Ia benar-benar lemas. Tubuhnya terduduk di tempat tidur Hanan.
Hanan, sempurna sudah kesalahanku...
Maafkan aku...

*   *   *

Hanan benar-benar lemas, tubuhnya terduduk di kursi bambu milik penjaga makam. Perjalanan Hanan terlalu lama. Orang itu sudah pergi beberapa saat yang lalu.
“Orang bule, Neng. Matanya mirip dengan mata neng ini...” Bapak penjaga makam itu menyuguhi Hanan segelas teh manis. Tapi bukan teh manis itu yang jadi perhatian Hanan, melainkan wajah Bapak itu.
“Benarkah?” jantung Hanan berdetak kencang. Seolah hendak meloncat keluar.
Allah... benarkah ini? Ayahku?
“Tapi, Bapak baru lihat orang itu sekarang...”
“Maksud Bapak? Orang itu baru berkunjung sekarang?”
Bapak itu mengangguk.
Tapi bukankah ada yang selalu mengunjungi makam ibu? Jadi Ayah baru mengunjungi Ibu sekarang?

*   *   *

Seseorang mengetuk pintu rumah Sami. Ilham. Ibu tadi meneleponnya untuk menyusul Sami. Tapi meski mobil Sami memang terparkir dihalaman, tak ada satu pun lampu yang menyala. Hari yang telah melewati maghrib, membuat rumah ini terlihat tak ada penghuni.
“Sami?” Ilham membuka pintu perlahan. Tak dikunci. Berarti Sami memang ada didalam. Ia percaya Sami tak akan melakukan sesuatu yang aneh, tapi suara Ibu yang terdengar khawatir, mau tak mau membuat Ilham jadi sedikit cemas.
“Sami?” Sekarang Ilham menutup pintu dan menyalakan lampu. “Kau didalam kan?”
Tak ada jawaban. Tapi ruang kamar Hanan yang terlihat dari tempatnya berdiri memperlihatkan Sami. Meski gelap, tapi ia yakin Sami hanya sedang menerawang.
Ilham melangkahkan kakinya menuju pintu kamar Hanan. Pintunya terbuka sedikit. Ketika ia menyibak pintu itu, Sami tengah duduk bersandar pada jenlela yang terbuka. Tangannya mengenggam sesuatu. Tapi karena gelap, Ilham tak dapat memastikan apa itu.
“Tidak! Jangan nyalakan!”
Tangan Ilham yang mau menyentuh saklar tertahan.
“Kau baik-baik saja kan?” Ilham berkata menyesal. Seharusnya, ia tak memeperlihatkan kecemasannya pada Sami. Ia ingin terlihat percaya pada Sami. Tapi, sudah terlambat. Ilham berjalan mendekat dan duduk bersila beberapa jarak dari Sami. Ilham memandang langit setelah sebelumnya melihat Sami sekilas.
Sami orang yang tak banyak bicara. Sering diam dan jarang tersenyum. Apalagi tertawa. Tapi diamnya Sami kali ini rasanya terlihat menyedihkan. Rambut Sami terlihat agak basah bekas air wudhu.
“Kau mencintai Sarah?” tanya Sami membuka percakapan. Sikapnya tak berubah. Punggungnya masih bersandar, satu kaki ditekuk, satu lagi ia selonjorkan. Tangannya kirinya disimpan diatas lutuk kaki kirinya yang ditekuk. Matanya masih terpaku pada sesuatu yang digenggam tangan itu.
“Tentu saja,” Ilham tersenyum. Jika aku tak mencintainya, bukankah aku tak akan menikahinya? Tapi Ilham ingat. Kasus Sami sangat berbeda dengan dirinya. Sami menikah karena ‘dipaksa’.
“Jaga dia..”
Ilham memalingkan wajahnya menatap Sami.
“Jangan sampai seperti aku,” Sami berkata lagi. Jemarinya masih memainkan sesuatu. Kening Ilham berkerut. Sebuah boneka beruang kecil?
“Aku terlambat menyadarinya,” Sami mengangkat tangannya, lalu menggantungkan boneka kecil itu tepat didepan matanya. “Tadinya kupikir, aku mencintai Huda. Karena aku ingin menjaganya, tak ingin Huda diganggu. Aku juga senang jika Huda tersenyum. Tapi aku tak pernah marah padanya, jika dia berdekatan dengan laki-laki lain.” Sejurus Sami tersenyum, “tadinya kupikir, aku saja yang punya hati sangat baik karena mengerti Huda. Tapi nyatanya aku salah. Cemburu itu adalah tanda kecil sebuah cinta, dan aku menyadarinya baru setelah aku bertemu Hanan.”
“Aku mau merepotkan diriku untuk mengantarnya atau menjemputnya, karena aku sangat tidak mau, ada laki-laki lain satu mobil dengannya,” Sami tersenyum lagi. “Aku juga sangat ketakutan, kalau mata Hanan melihat laki-laki lain. Karena itu, aku selalu menggengam tangannya. Hanan tak boleh jauh dariku sedikit pun.”
“Dia juga satu-satunya orang yang membuatmu tertawa. Benarkan?” ilham menimpali.
Sami menangguk, bibirnya terbuka tertawa. “Ya... dia membuatku sangat aneh.”
Ilham tertawa.
“Lebih dari itu, dia membuatku tak konsentrasi bekerja. Wajahnya lebih menarik daripada gambar yang harus kuselesaikan.”
Mereka terdiam beberapa saat.
“Jika begitu, Sami... apa alasanmu mengatakan sesuatu yang mendatangkan penyesalan seperti sekarang?”
Sami tersentak.
“Maksudku..., pasti ada alasan kan? Dari pembicaraanmu, sangat terlihat kalau kau... mencintainya...” Ilham meralat kata-katanya yang pertama. Sami sedang sensitif, ia khawatir Sami semakin terpuruk. Tapi untungnya, Sami menjawab pertanyaan Ilham.
“Karena aku menyadari cinta itu terlambat, sehingga Hanan tak mempercayaiku...”
“Padahal kau sudah mengatakan padanya?”
Sami menoleh pada Ilham. “Mengatakan... apa?”
“Bahwa kau mencintainya tentu saja.”
Sami diam menerawang. Keningnya berkerut samar.
“Tidak, jangan katakan kau tak pernah mengatakan perasaanmu!”
Sami melihat Ilham bingung. Tentu saja. Tentu saja Sami tak pernah mengatakan itu. “Sedemikian haruskah?”
“Ya Tuhan, Sami...” Ilham mengeluh. “Tentu saja perlu! Sangat perlu! Bagaimana dia bisa tahu kau mencintainya jika kau tak mengatakannya?”
“Aku mengatakan padanya bahwa... tindakan dan hatiku tak ada yang berbeda...,” kata Sami pelan. tapi kemudian dia menyadari kesalahannya. Dia mengatakan sesuatu yang multi tafsir bukan? Hanan bisa menerjemahkan kata-katanya berbeda dengan yang Sami maksudkan. Lebih jauh, kata-kata terakhir Sami yang menyakiti Hanan semakin meyakinkan Hanan bahwa Sami mencintai Huda.
Ya Allah...
Sami menarik rambutnya kebelakang dengan kedua tangannya. Jika sudah begitu, bahkan pernyataan cinta darinya pun, tak begitu berarti.
Karena itulah dia terus meragukanku...
Malam itu, untuk kesekian kali, Sami tak tertidur. Meski ia berbaring diatas tempat tidur. Pikirannya masih menerawang pada bayangan Hanan. bahkan tangannya terus menyentuh segala jejak yang Hanan tinggalkan. Dimeja, di karpet, di lemari, juga tempat tidur. Sami memejamkan mata, menikmati sentuhannya seperti ia menyentuh Hanan. dan dadanya terasa sakit. Rindu yang ia rasakan menghentak kuat, membuat nafasnya tak beraturan, membuatnya lelah. Hanan, apakah kau merindukanku seperti aku merindukanmu?
“Aku mencintaimu, Sami. Apa kau mencintaiku juga?”
“Gadis kecil sudah bicara cinta. Memangnya kau tahu cinta itu apa?”
“Setumpuk kerinduanku padamu, juga setumpuk kerinduanmu untukku.”
“Rindu itu untuk seseorang yang jauh kan? Kau didekatku.”
“Tapi aku merindukanmu bahkan saat aku melihat matamu...”
Sami menekan dadanya. Inikah rindu itu, Hanan? Sesakit ini? Hanan, sekarang, aku merindukanmu. Kau dengar aku...

*   *   *

Hanan mempercepat langkahnya. Sejak keluar dari area makam tadi ia merasa dibuntuti seseorang. Perasaan itu semakin kuat ketika ia mendengar langkah seseorang ketika memasuki jalanan sepi. Langkah itu akan melambat, jika Hanan memperlambat jalannya. Langkah yang mengikutinya juga akan berubah cepat seiring Hanan mempercepat jalannya.
Hanan merasakan jantungnya mulai berpacu lebih cepat. Dan haitnya merasakan ketakutan yang sangat. Ia teringat dengan peristiwa bertahun lalu saat ia berlari dari kejaran orang-orang di jalan Mawar. Apakah sekarang mereka telah menemukanku kembali? Mengingat begitu banyaknya mata-mata yang mereka miliki, ketakutan Hanan semakin menyebar. Sekarang bukan hanya dihatinya, tapi sudah menjalar keseluruh tubuhnya hingga ujung-ujung jarinya. Suhu tubuh Hanan mendingin, beku.
Ya Allah... tidak. Kumohon jangan pertemukan aku dengan mereka....
Jantung Hanan berdetak keras. Ketakutannya berkali lipat lebih banyak dari ketakutan yang dirasakannya dulu. Ia sudah bukan remaja seperti dulu ia berlari dan bersembunyi. Bisakah ia berlari lebih cepat dari dulu? Hanan memejamkan mata, menambah keyakinan hatinya, lalu seketika ia berlari. Dan ya, Allah. Ketakutan Hanan semakin menderas ketika langkah dibelakangnya pun ikut berlari. Dia memang membuntuti dan mengejarku!
Ya Allah, kumohon tidak, aku sudah menikah. Aku punya alasan yang lebih kuat dari dulu bukan? Kumohon tolong aku..., tak ada yang bisa kujadikan tempat berharap selain Engkau....
Hanan menatap jalanan diujung jalan. Ia melihat mobil berseliweran. Bagus. Sebentar lagi ia akan sampai di jalanan besar. Paling tidak, akan banyak orang untuk ia meminta bantuan.
Tapi jalanan itu masih beberapa puluh meter, dan Hanan sudah merasakan sesak. Ia lelah. Entah kenapa matanya pun mulai berkunang-kunang. Apa ini? Kenapa disaat-saat seperti ini....
Hanan memegang dadanya yang sakit. Ia masih berlari, tapi dadanya terasa semakin sakit. Tidak ya Allah, tidak... Kumohon....
Sekarang Hanan merasakan tubuhnya lemas, dan matanya benar-benar kabur dan semakin gelap. Tidak. Sami... Sami... Sami...
Kaki itu berdiri disamping tubuh Hanan yang rebah. Dadanya masih naik turun. Dengan gerakan cepat, ia memangku tubuh Hanan dengan ringannya. Sebab tangannya, tangan seorang lelaki...

*   *   *

Sami tersentak dari lamunannya. Hanan. Baru saja Hanan memanggil namanya. Jelas sekali!
Hanan? Apa yang terjadi?
Ada sesuatu yang menusuk dadanya tiba-tiba. Kenapa kekhawatiran ini begitu sakit?
Allah... kapan pun dan dimana pun, kumohon lindungi Hananku...


*   *   *

Sebelumnya; Bagian 12
Berikutnya; Mozaik Cinta XIV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar