Kamis, 14 Desember 2017

Mozaik Cinta XII

Hanan memandang Sami yang tengah asyik dengan buku ditangannya. Sejak kemarin, Sami menjadi seseorang yang berbeda. Dia kembali menjadi Sami semula. Sami yang diam, Sami yang ketus, Sami yang egois. Ia tak lagi memeluk Hanan dari belakang. Tak lagi menggenggam tangan Hanan, tak lagi tertawa, tak lagi memperhatikan wajah Hanan. Dan sekarang, Hanan memandang Sami dengan penuh penyesalan.
“Sami?” Hanan menyentuh punggung tangan Sami. Sami tak bereaksi. “Aku minta maaf,” Hanan membungkukkan badannya dan menyetuhkan kepalanya pada punggung tangan Sami. “Aku tak bermaksud begitu...”
Sami melihat kepala Hanan diatas pangkuannya. Tak bermaksud begitu?
“Aku hanya... tak ingin terlihat Huda...”
“Maksudmu?”
“Huda mencintaimu, Sami. Karena itu, aku tak ingin membuatnya sakit dengan memperlihatkan kemesraan kita didepannya.”
“Lalu kau? Apa kau mencintaiku?”
Hanan mendongak, memandang Sami. Pertanyaannya tak lembut, tapi ada nada kesal didalamnya. “Kau tahu bagaimana perasaanku, Sami. Aku mencintaimu. Sudah ratusan kali kukatakan itu bukan?”
“Lalu kenapa kau tak peduli dengan perasaanku? Kenapa yang kau pedulikan malah perasaan Huda? Kau pikir, dengan menepis tanganku dihadapan Huda dan Sarah akan membantu perasaan Huda lebih baik?” Sami menepis tangan Hanan dan berdiri.
“Aku tahu kau selalu meragukan perasaanku, Hanan. Sekarang biar kujelaskan agar kau tak punya keraguan sedikitpun padaku.” Sami bersidekap dada. Pandangannya tegas menatap Hanan. “Kau ingat? Kau pernah mengatakan padaku, laki-laki bisa tidur dengan  wanita yang bahkan tak dicintainya sama sekali. Kau ingat?”
Hanan memandang Sami cemas.
“Dulu aku mengelak, tapi sekarang aku pastikan, aku termasuk laki-laki seperti itu.” Sami melempar buku kesamping Hanan, ketempat duduknya yang kini ia tinggalkan. Sekali lagi, sama seperti dulu, Sami masuk kamarnya dan menutup pintu dengan sangat keras.
Suara berdebam yang memekakkan telinga, sekaligus menjatuhkan jantung Hanan ke titik terendah. Pertahanan Hanan hancur sudah. Tak bersisa.
Namun karena begitu tragisnya, air mata Hanan tak ada yang mau keluar. Ia hanya menatap kosong. Menerawang, syok.
Aku pastikan, aku termasuk laki-laki seperti itu
Kau sangat berarti bagiku, Huda.                                                                                                            
Karena kau begitu sempurna.

*   *   *

Sami mendatanginya lagi malam ini. Tengah malam, saat Hanan tengah terlelap tidur. Suara pelan engsel pintu yang terbuka membuka mata Hanan. Membangunkannya dari lelap. Suara langkah dibelakang punggungnya, membuat jantungnya berdebar hebat.
Sejak hari itu, Sami tak lagi tidur bersama Hanan. ia kembali tidur dikamarnya sendiri. Tapi pada saat-saat tertentu, saat ia membutuhkan Hanan, ia akan datang, dan pergi begitu saja setelah hajatnya selesai. Tanpa berterimakasih seperti biasanya, tanpa mempedulikan kebutuhan Hanan. Ya, pergi begitu saja, seolah tak ada sesuatupun yang terjadi diantara mereka.
Setelah Sami mendatanginya, berkali-kali Hanan tak pernah bisa tidur kembali. Sebab Sami, telah menghujamkan belati kedalam hatinya. Sami menyamakan dirinya dengan barang. Pernah, Hanan mengungkit masalah ini untuk dibicarakan. Tapi Sami menjawabnya dengan jawaban yang sangat menyakitkan.
“Seharusnya kau biasa saja diperlakukan seperti itu. Sejak kecil kau biasa hidup ditengah wanita yang sama dengan barang kan?”
Nyawa Hanan hilang saat itu. Tercerabut dan terbang entah kemana. Diantara rasa sakit yang ia terima, kalimat yang Sami hujamkan adalah yang paling terasa perih. Hanan sampai tak mampu menangis, tak mampu berkata, bahkan tak mampu berdiri. Seharian itu Hanan duduk memeluk lutut sembari memandangi hujan. Menyelami rasa sakit yang terus menggerogoti kalbunya.
Sami telah menyiksanya begitu kejam. Seperti malam ini. Hanan ingin menolak. Tapi bisakah? Selain tubuhnya yang lemah didepan Sami, dia juga masih ingat betul, bahwa dalam keadaan apapun, ia masih istri Sami. Sami berhak meminta Hanan kapan saja.
Setelah selesai dan Sami hendak beranjak dari tempat tidur Hanan, dengan sisa nyawanya yang masih tersisa, Hanan menahan tangan Sami. Tidak bertenaga, seharusnya Sami mudah saja melepaskan diri, tapi Sami tak melakukannya. Ia diam ditempat meski membelakangi Hanan. Ia menunggu Hanan bicara.
Setelah beberapa saat, Hanan menarik tangannya dan melepaskan Sami. Tanpa berkata apapun. Ia tak memiliki kekuatan untuk bicara. Tanpa Hanan ketahui, Sami menelan ludah. Menyesal dengan kediaman Hanan. Bicaralah Hanan, kumohon... atau menangislah, agar aku bisa memelukmu...
Setelah masuk dan menutup pintu kamarnya, Sami tidak naik ketempat tidur. Tapi ia terduduk diatas karpet bersandar pada kaki tempat tidur. Ia menundukkan kepalanya diatas lututnya. Beberapa saat seperti itu, sampai sebuah guncangan menggerakkan tubuhnya. Guncangan pelan yang semakin lama semakin kencang.
Sami menangis, dalam diam...
Kenapa kau tak marah padaku, Hanan? Kenapa kau tak kesal sedikitpun padaku? Kenapa kau masih menyiapkan sarapan untukku? Masih memberiku bekal? Masih menemaniku makan? Bukankah seharusnya kau memukulku?
Hanan kumohon... bicaralah...
Sebab dengan begitu, aku tahu, kalau kau mencintaiku...

*   *   *

Hanan melihat jam dinding. 11.10 malam. Dan Sami belum pulang. Apakah sekarang Sami tak mau makan masakannya lagi? Menghindarinya lagi? Kembali seperti dulu? Bukankah selama ini ia bertahan untuk tetap menajdi istri Sami bagaimanapun sakitnya? Tapi mengapa ia menghindar lagi?
Sungguh, ini lebih menyakitkan daripada dulu. Puluhan kali lipat sakitnya. Hanan memejamkan mata. Lalu setelah menata hatinya, ia membereskan makan malam. Ia masih berharap, jika Sami pulang, Sami meminta makan seperti biasanya, dan akan menyantap masakan Hanan seolah ia tak menemukan makanan selama satu tahun lamanya. Hanya sikap Sami itulah, hiburan bagi Hanan selama ini.
“Aku lapar,” sebuah suara membuyarkan lamunan Hanan. Suara Sami. Apakah hanya khayalannya saja?
“Keluarkan lagi makanannya, aku lapar.”
Hanan menoleh kebekang. Dilihatnya Sami baru menjauh dari pintu, ia melonggarkan dasinya dengan satu tangan. Wajahnya kelihatan kusut, rambutnya masih rapi seperti Sami biasanya, tapi beberapa terurai di dahinya.
“Biar kuhangatkan dulu,” Hanan mengambil wajan.
“Tak usah.”
“Tapi kan ding...”
“Sudah kubilang tak perlu!” Sami berteriak, membuat tubuh Hanan kaku. “Cepatlah! Aku belum makan kau tahu?”
Hanan menurut. Ia mengeluarkan lagi makanan dan menyimpannya didepan Sami. Lalu seperti kebiasaannya, Hanan menyendok nasi dan menyimpannya dipiring Sami, lalu berturut-turun sayur dan lauknya.
Hanan duduk bertopang dagu dihadapan Sami. Bibirnya menyunggingkan senyuman melihat bagaimana Sami makan. Selarut apapun Sami datang, ia tak akan pernah makan diluar. Entah karena janjinya dulu, bahwa ia hanya akan makan masakan Hanan, atau karena memang perutnya ketergantungan masakan Hanan.
Apapun itu, kebiasaan Sami ini membuat Hanan senang.
Sami berhenti menyapkan nasi dan mendongak. Ia menyadari pandangan Hanan yang terus memperhatikannya. Senyumnya merekah, mata birunya menyipit, dan pipinya merona. Hanan yang biasa telah kembali. Sami merasakan jantungnya berdetak sangat kencang.
“Kau tak makan?” tanya Sami. Hanan menggeleng. Entah kenapa, beberapa hari ini Sami tak pernah melihat Hanan makan. Nafsu makannya semakin parah.
“Kau semakin kurus. Apa kamu sengaja, biar kelihatan menderita hidup denganku?” Sami makan kembali dengan tenang. Sementara Hanan masih memandang Sami, namun kini dengan tatapan kaget. Sami menyangkanya begitu?
Senyum Hanan hilang. Rona dipipinya juga hilang, berganti pucat yang sangat kentara. Andai Sami melihat Hanan saat itu, Sami tidak akan meneruskan perbuatannya yang ia lakukan terhadap Hanan.
“Sami.”
Sami sudah hendak mencapai pintu kamarnya, ketika Hanan menghentikan langkahnya. Apakah sekarang saatnya kau bicara, Hanan? Kata-kataku barusan menyakitmu kan?
“Sebenarnya, aku tak mau mengatakan ini karena kau baru pulang kerja. Tapi... aku benar-benar membutuhkannya.”
“Apa?”
“Kran dikamar mandiku mati, Sami. Aku pernah mengatakan ini sebelumnya bukan?”
Sami kecewa lagi. Hanya tentang kran air yang mati. Ia langsung masuk kamar tanpa punya keinginan untuk menoleh lagi.

*   *   *

Hanan terburu-buru masuk kamar Sami ketika Sami berangkat ke Masjid. Kran dikamar mandinya macet sejak kemarin siang. Entah karena apa, Hanan sama sekali tak tahu. Ia tak mengerti urusan seperti itu. Nah, karena Sami juga sepertinya belum punya waktu untuk mengeceknya, Hanan pagi ini terpaksa menyelinap kekamar Sami.
Karena Hanan sadar, ia masuk tanpa izin, Hanan terburu-buru menyelesaikan urusannya. Mandi, lalu keluar secepat dia bisa. Hanan merasa sudah sangat cepat, tapi tetap saja tangannya hanya dua. Jadi Hanan masih di kamar mandi ketika Sami masuk rumah. Sami masuk kekamarnya dan menutup pintu ketika secara kebetulan, Hanan keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang beberapa saat.
“Maaf,” Hanan merasa bersalah. Seharusnya ia empat kali lebih cepat.
Sami terpaku menatap Hanan. Matanya menyiratkan kemarahan. Hanan masuk kekamarnya, tanpa izin.
“Sedang apa kau disini?”
“Maaf Sami, tapi kran dikamar mandiku tak mau mengeluarkan air. Jadi aku terpaksa mandi disini.” Suara Hanan terdengar pelan, tapi sebenarnya cukup jelas untuk didengar mereka berdua. Tapi Sami meminta Hanan mengulanginya lagi.
“Kran dikamar mandiku rusak, aku sudah bilang padamu kan?”
Sami berjalan, mendekati Hanan, dan tanpa duduga menarik tangan Hanan keluar.
“Sami, sakit...”
“Jangan masuk kesini! Kau dengar aku? Kamar ini disiapkan bukan untukmu! Lagipula kran rusak apanya!” Suara keras Sami menggema keseluruh rumah. “Kau pikir aku tak tahu tak-tikmu? Kau sengaja masuk kemari, sengaja mandi dan keluar hanya dengan kimono seperti itu! Kau pikir kau bisa menggodaku? Kau kira kau ahli hanya karena kau anak seorang pe..”
Diam.
Suara keras itu tiba-tiba diam. Tak ada yang bersuara selain suara jarum jam yang seolah bersuara seperti drum. Tangan kecil digenggaman Sami melemah. Cengkraman tangan Sami juga melemah.
Tuhan, apa yang telah kukatakan...
Sami berbalik, melihat Hanan. Dan Sami segera tahu, ia telah membuat masalah besar.
Hanan berdiri syok memandang Sami. Tubuhnya kaku, matanya berkaca.
“Apa?” suara Hanan terdengar sangat lemah. Tapi cukup jelas terdengar ditelinga Sami.
“Tidak, Hanan...”
“Lanjutkan, Sami...”
“Tidak, aku tak mengatakan apapun, Hanan.” Jantung Sami berdebar sangat cepat. Tiba-tiba ia merasa takut. Bayangan kehilangan Hanan terbentang didepannya. Dan rasa takut itu semakin menguasai hatinya.
“Aku anak seorang apa, Sami...” Air mata Hanan jatuh menetes, padahal mata Hanan tak terpejam. Air mata itu tumpah karena kelopak matanya sudah tak bisa menampung volume air yang terus bertambah.
“Tidak, Hanan. Aku tak mengatakan apapun....” Sami menggenggam tangan Hanan memelas.
“Kau ingin bilang, ibuku seorang...” Hanan tak sanggup bicara.
“Tidak Hanan. Sudah kubilang aku tak mengatakan hal itu! Aku mohon...” kata-katanya berlebihan, sehingga reaksi Hanan pun sangat lebih dari yang ia harapkan. Entah apa yang akan dilakukan Hanan. Tapi apapun itu, Sami berhak untuk takut.
“Lalu kau bilang apa tadi? Kamar ini tidak disiapkan untukku?”
Sami menggeleng lemah. Hanan... tidak! Kau harus menghapus ingatanmu... Sekarang mata Sami juga berkaca.
“Lalu untuk siapa?” Hanan tersenyum pahit. “Untuk Huda-kah?”
Sami merasakan dadanya tiba-tiba sesak. “Aku mencintaimu, Hanan.” katanya disela-sela nafasnya satu-satu. Pernyataan cinta yang terlambat.
“Ya Tuhan...” Hanan memegang keningnya. Ia baru menyadari sesuatu yang menyakitkan. Sami telah bergadang dua malam untuk menyelesaikan gambar rumah ini. Hanan berpikir, Sami melakukan semua itu untuknya, calon istri Sami. Tapi ternyata, saat menggambar rumah ini, yang Sami bayangkan hidup didalamnya adalah seorang perempuan bernama Huda. Jantung Hanan rasanya tak berdetak lagi. Tubuhnya lemas, ia mencari pegangan.
Selama ini, inilah pegangan Hanan. Saat ia merasa kekuatannya habis, saat ia merasa ingin menangis, ia masih bisa berpegangan. Ia selalu mengatakan pada dirinya sendiri, paling tidak, Sami membuatkan rumah ini untuknya. Ya, paling tidak...
Hanan benar-benar limbung dan hampir saja terjatuh, jika saja Sami tidak mengambil bahunya.
“Hanan, dengarkan aku. Kau tak mendengar apapun. Kau tak mendengar apapun...,” Sami memindahkan tangannya kekepala Hanan, dan menutup kedua telinga Hanan dengan kedua telapak tangannya. Airmata Sami tumpah. “Kau tak mendengar apapun...”
Hanan membalas tatapan Sami kecewa. Juga sakit, dan... pasrah. Hanan mengambil tangan Sami dan melepaskannya.
“Ibuku seorang pelacur... dan rumah ini bukan untukku...”
Hanan berjalan gontai menuju kamarnya. Sami terus mengikutinya dan mengambil tangan Hanan sambil menangis. Tapi Hanan menepisnya pelan.
“Cukup sudah, Sami. Cukup...”
Hanan mengurung diri didalam kamar hingga menjelang siang. Ia menutup diri rapat-rapat dari Sami. Mengunci pintu, mengunci jendela sekaligus menutup gordennya. Ia ingin berpikir tentang segala hal. Terutama tentang dirinya sendiri. Tentang lukanya, tentang harapannya yang kandas, tentang cintanya yang berbalas perih. Juga tentang wanita yang sangat dihormatinya, apapun profesinya.
Hanan duduk tepekur. Kepalanya ia simpan diatas lututnya. Kadang arimata mengalir dari pipinya, kadang juga diam berhenti. Kadang ia menangis keras seperti ia biasanya, kadang juga menangis diam karena saking perihnya. Lalu apa yang harus dilakukannya?
Hanan memeluk lututnya. Lalu matanya berkeliling memperhatikan kamarnya, seolah-olah ia baru pertama kali melihatnya. Dinding yang menghadap taman didominasi kaca-kaca lebar. Ruangan yang sangat luas dan lapang. Lantai parkit, juga teras diluar sana. Hanan tersenyum. Warna catnya, juga gordennya, seperti diperuntukkan sebagai ruang kerja. Bukan kamar. Ya, jika tak ada tempat tidur dan lemari, ruangan ini lebih pantas disebut kantor daripada kamar. Lalu jendela besar dari kaca, yang juga berpungsi sebagai pintu taman, dibuat sedemikian rupa hingga seseorang yang memandang dari sini, bisa melihat seluruh isi rumah. Ya, Sami membuatnya seperti itu... agar saat ia bekerja... ia bisa melihat Huda dimanapun Huda berada...
Allah... luka ini perih sekali...
Perkataan Sarah dulu benar. Ini ruang kerja, dan disanalah kamarnya. Mengapa lalu Sami menempatkannya di ruangan ini? Bukan dikamar sebenarnya? Jawabannya sekarang jelas, karena Hanan hanya penghuni sementara, bukan penghuni sesungguhnya. Ia hanya dipinjami. Sebab bukan hanya rumah ini saja, tapi juga kursinya, karpetnya, bahkan alat dapur, bukanlah miliknya. Tapi milik Huda. Sami menyiapkannya untuk Huda.
Hanan mengelus karpet yang didudukinya perlahan.
Sekarang semuanya jelas. Bahkan Hanan sudah menemukan jawaban, mengapa ia tak boleh meginjakkan kaki di kamar Sami. Ah, Allah... andai aku mengerti sejak awal...
Hanan mengusap airmatanya kuat. Kali ini ia bertekad untuk menghapusnya terakhir kali. Tak bisa seperti ini terus. Ia harus bangkit. Kembali menjalani hidupnya sendiri. Beberapa saat, Hanan mengumpulkan kekuatan. Ia harus berkemas, secepatnya. Itulah keputusannya.
Hanan mengambil tas dilemari pakaian bagian bawah. Hanan mengambil pakaiannya. Pakaian yang ia bawa saat datang beberapa bulan lalu, dan mengabaikan pakaian-pakaian baru yang Sami belikan. Jangan-jangan, saat memilihkan baju itu, yang ada dibenak Sami bukanlah Hanan. Tapi Huda. Hanan tersenyum pahit.
Hanan melihat dirinya tak sengaja dalam bayangan cermin. Mata merah dan bengkak, kimono yang kusut, rambut semrawut. Jelek sekali! Hanan tersenyum. Kau masih muda Hanan, belum punya anak pula. Suatu saat, ia akan bisa menemukan cinta sejatinya seperti Sami dan Huda. Ia bisa bahagia. Ia berhak untuk bahagia. Jadi tetaplah menjadi cantik...
Hanan mengambil sisir dan merapikan rambut hitam lebatnya. Setelah mengepangnya, Hanan mengambil Handuk. Tapi karena kran dikamar mandinya tak mengeluarkan air, Hanan berjalan menuju ketanam. Dibukanya gorden dan pintu. Ia akan membasuh mukanya di kran yang ada ditaman.
Dipintu kamar Hanan, Sami tengah duduk memeluk lutut, menunggu Hanan. ia tak beringsut sedikitpun. Ia mendengar hampir semua suara. Tangisan, hingga isakan. Dan tanpa Hanan tahu, Sami menemaninya manangis diluar. Menyesal tak berkesudahan. Begitu Sami mendengar suara gorden dan pintu yang dibuka, Sami lekas mendongak. Benar. Hanan membuka pintu!
Suara gemericik air terdengar. Sami lekas berdiri dan berjalan menuju taman. Dan tubuhnya kaku ketika ia melihat Hanan. Hanan sedang berwudhu dibawah kran ditaman.
“Kran dikamar mandiku mati, Sami. Aku pernah mengatakan ini sebelumnya bukan?”
“Kran dikamar mandiku rusak, aku sudah bilang padamu kan?”
 “Jangan masuk kesini! Kau dengar aku? Kamar ini disiapkan bukan untukmu! Lagipula kran rusak apanya! Kau pikir aku tak tahu tak-tikmu? Kau sengaja masuk kemari, sengaja mandi dan keluar hanya dengan kimono seperti itu! Kau pikir kau bisa menggodaku? Kau kira kau ahli hanya karena kau anak seorang pe..”
Sami memandang Hanan dengan sedih. Kenapa ia tak segera merespon Hanan? Kenapa ia tak segera melihat kamar mandi Hanan? Kenapa Sami mengabaikannya?
Hanan menutup kerannya. Ia sudah selesai. Begitu ia berbalik hendak kembali kekamarnya, pandangannya menyapu Sami yang berdiri diruang tengah memandangnya. Setetes air mata jatuh dipipi lelaki itu.
Hanan melanjutkan kegiatannya. Ia berjalan lagi menuju kamar, tanpa menghiraukan Sami. Sudah terlambat, Sami. Untuk apa kau menangis?
Setelah Hanan masuk kembali kekamarnya, dan kembali menutup pintunya rapat, Sami baru tersadar dari keterkejutannya. Rasa terkejut dengan dirinya sendiri. Kejut yang hampir mengambil nyawanya. Sami terduduk di sofa, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang telah aku lakukan?
Setelah beberapa saat, Hanan membuka pintu kamarnya. Sami terperanjat dan langsung berdiri. Hanan berdiri memandang kepadanya dengan pakaian yang rapi dan lengkap. Ditangannya, Hanan membawa sebuah tas pakaian berwarna coklat. Tas yang seketika membuat Sami sangat panik.
“Hanan?” Sami bernafas cepat. Dadanya sesak. Hanan memandang Sami tersenyum. Senyum merona yang baru Sami sadari, adalah senyum yang telah membuatnya jatuh cinta.
“Hanan apa ini?” Sami mengeluarkan air mata lagi. Hanan melihat tasnya, lalu melihat Sami lagi dengan senyum yang sama.
“Aku... mungkin akan kembali pada kehidupanku sebelum aku bertemu denganmu,” pelan dan serak. Tapi bagi Sami kalimat itu seperti halilintar yang menghanguskan seluruh tubuhnya. Kenapa ia merasa sangat takut Hanan meninggalkannya?
“Hanan, kumohon, aku minta maaf...” Sami menghampiri Hanan dan berdiri begitu dekat dengan Hanan. Mata biru yang bening, senyum yang merekah. Sami tak mau kehilangan wajah itu. Tidak mau. “Marahlah padaku! Jangan tersenyum seperti itu, Hanan! Marahlah! Teriaki aku! Pukul aku! Tapi kumohon... jangan pergi...” Sami mengambil kedua tangan Hanan dan menyimpannya dipipinya. Hanan merasakan jambang lelaki ini menusuk-nusuk telapak tangannya.
“Aku tak berhak tinggal disini, Sami...”
“Lupakan apa yang kukatakan, ok? Rumah ini untukmu. Segala yang ada didalam rumah ini untukmu. Kau bebas masuk kemanapun kau mau. Kekamar itu, kekamar mandinya. Atau kemanapun! Bahkan kalau kau membongkarnya sekalipun kau berhak melakukannya, Hanan! Kumohon...” Sami terisak lagi. Air matanya membasahi jemari Hanan. Air mata yang baru pertama kali dilihatnya keluar dari mata seorang Sami. Dan mungkin, air mata yang terakhir.
“Memangnya, kau tak ingin meraih kebahagiaanmu, Sami?” Hanan bicara lembut seperti tengah membujuk seorang anak.
“Kebahagiaanku bersamamu.”
“Jika aku pergi, kau bisa bahagia bersama Huda...”
“Jangan bicara tentang dia! Aku mencintaimu!”
“Jujurlah pada dirimu sendiri..”
“Aku mencintaimu, Hanan....” Sami memohon. “Percayalah padaku...” tangisnya mengeras. Dadanya berguncang.
Hanan membiarkannya seperti itu. Baru setelah tangis Sami sedikit mereda, Hanan kembali bicara. “Bagaimana jika aku kerumah Ibu?”
Sami mendongak. “Tidak. Ini rumahmu!” Sami menggeleng.
“Ini bukan rumahku, kau tak membuatnya untukku,” Hanan tak bisa menahan airmatanya juga. “Kau sudah berkali-kali menyakitiku, Sami...”
“Maafkan aku...”
“Kau tahu apa yang membuatku bertahan?”
Sami menatap Hanan sendu.
“Aku selalu mengatakan pada diriku, paling tidak, Sami membuat rumah ini untukku. Kau bergadang dua malam membuat rumah ini, sambil membayangkan kalau akulah yang ada didalamnya. Bukankah dugaanku ini tak benar, Sami?”
Sami menggenggam kedua tangan Hanan dan menekankannya pada mulutnya. Ia tergugu lagi.
“Bukankah, aku tak punya alasan lagi untuk tinggal disini? Bisakah kau biarkan aku pergi?”
Sami menggeleng kuat, berulang-ulang. Bahunya berguncang lebih keras.
Hanan merasa, jantungnya diremas kuat. Sakit sekali melihat Sami menangis hingga seperti ini. Tapi ia tak punya pilihan lain. Setelah ia pergi, Sami akan menyemai lagi cinta untuk Huda. Mereka berdua bisa bahagia. Hanan menarik tangannya dari genggaman tangan Sami. Lalu tanpa menoleh lagi, ia beranjak.
“Hanan!” Sami menyusul lagi. “Apa yang bisa kulakukan agar kau memaafkanku?”
“Kau tak bersalah padaku, Sami...”
“Aku bersalah! Aku mengatakan sesuatu yang salah!”
“Kau hanya mencoba untuk bicara jujur. Dan aku senang, akhirnya, kau mengatakan hal yang sebenarnya.”
“Tinggallah...”
Hanan menghela nafas. Ia tak bisa.
“Ke rumah Ibu! Kau mau kerumah Ibu kan?” Sami menatap wajah Hanan penuh harap. Sekarang harapannya tinggal satu. Sami berharap, Ibu dapat meredakan amarah Hanan dan menahannya agar tak pergi. Harapan Sami terjawab. Hanan mengangguk. Tapi ia tak berniat untuk menyelesaikan masalahnya, ia hanya berniat untuk berpamitan.
Hari minggu. Seperti biasa, rumah sedang penuh, karena semua berkumpul. Saat mobil Sami mendekat, semua menyambut dengan cerah.
“Lihat, pasangan romantis itu akhirnya datang juga,” kata Sarah mengundang senyum semua orang. Tapi senyum itu menghilang perlahan, berganti bingung ketika mereka melihat wajah Sami, dan tas pakaian yang Hanan bawa.
Apa yang terjadi?
Sami merangkul Hanan, dan Hanan tak menolak. Mereka berjalan beriringan mendekati semua orang yang berkumpul dihalaman depan. Hanan datang dengan senyum cerianya meski matanya sembab. Tapi Sami terlihat begitu kusut. Matanya masih basah, rambutnya semrawut. Sami juga hanya memakai jins dan kaos rumah. Sangat bukan Sami yang biasanya selalu rapi.
“Hanan akan tinggal disini beberapa hari,” kata Sami murung. Mereka sudah ada diruang keluarga, berkumpul. Tak ada yang bertanya tentang tas yang dibawa Hanan, juga aura kesedihan yang menguasai Sami. Mereka semua menunggu Sami dan Hanan mengatakan sesuatu. Dan setelah Hanan sedikit basa-basi, Sami bicara langsung pada pokok permasalahan. “Baru setelah kami menemukan rumah yang baru...”
“Memangnya kenapa dengan rumah kalian yang sekarang?” Sarah bertanya tak sabar. Huda menyimak Sami dengan seksama. Apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Tak ada kaitannya denganku kan?
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja... kami ingin pindah...”
Semua diam mencerna perkataan Sami. Tak ada apa-apa, tapi ingin pindah? Bukankah ‘tidak ada apa-apa’nya justru terdengar aneh?
“Sebenarnya Sami...,” Hanan membetulkan duduknya dan menghadap Sami yang duduk tepat disampingnya. Seperti biasa, Sami menggenggam tangan Hanan. Tapi sekarang sangat erat, seperti takut kehilangan. “Sebenarnya... aku datang kesini untuk... berpamitan...”
“Sudah kubilang tidak. Kau tak akan kemana-mana, Hanan!” Sami bicara sangat tegas. “Kau tak akan kemana-mana. Kau akan terus disampingku sampai aku tua. Kau dengar itu?”
Hanan mendesah. Sami sama sekali tak bisa diajak bicara. Ia menatap Ayah, Ibu, Sarah, Ilham dan Huda. Satu persatu. “Sebenarnya,...”
“Kau akan tinggal disini.” Sami berkata lagi. Pelan namun sungguh-sungguh.
“Ada apa? Kalian berdua membuat kami bingung,” Ibu memandang Hanan dan Sami khawatir. “Kalian bertengkar?”
Mereka berdua diam. Hanan tak tahu harus menjawab apa.
“Pertengkaran antara suami istri itu biasa, tapi kalian akan kembali baik. Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.” Ibu tersenyum sembari memegang tangan kiri Hanan yang tidak digenggam Sami.
“Kami tahu. Tapi sepertinya sekarang...,” Hanan mencari kata-kata yang tepat. “Sebenarnya ini bukan pertengkaran. Kami hanya membicarakan kebenaran.”
“Kami tidak mengerti,” Ilham bersuara.
“Aku mengatakan sesuatu yang salah, lalu dia membuat keputusan untuk meninggalkanku. Kumohon pada kalian, tahanlah dia...” Sami menatap semua bekeliling dengan matanya yang berkaca. “Kumohon...”
“Sami, bisakah kau beri kesempatan aku untuk bicara?” Hanan menyentuh pipi Sami. Dia terlihat sangat kusut. “Sebentar saja?”
Sami memejamkan mata, pasrah. Hanan memang harus bicara, tapi bukan kata-kata pamit. Tapi Sami diam juga, ia membiarkan Hanan bicara.
“Sebelumnya, aku ingin berterimakasih pada kalian semua. Terutama Ibu. Kalian sudah banyak membantuku. Mengangkatku, dan menghargaiku...,” tenggorokan Hanan mulai sesak. Perpisahan selalu sangat menyedihkan. Semua diam mendengarkan, kata-kata Hanan kali ini sangat tidak biasa, juga kesedihannya. Tapi mereka memutuskan untuk diam dan mendengarkan perkataan yang selanjutnya.
“Kedua, aku minta maaf. Karena tak bisa membalas kebaikan kalian, aku hanya berharap Allah-lah yang membayar kalian dengan pahala yang lebih banyak dan lebih baik dari yang kalian berikan padaku,” Hanan berhenti sebentar, menarik nafas. “Juga minta maaf, karena aku... sudah berani-beraninya masuk dalam kehidupan kalian...”
“Apa maksudmu?” Ibu mulai kelihatan panik.
“Juga minta maaf secara khusus padamu Ibu, juga Ayah. Karena aku... tak bisa... menjalankan amanah kalian...”
“Hanan!” Sami meminta Hanan berhenti. Tapi Hanan tak bisa dihentikan.
“Aku tak bisa menjaga Sami selama hidupku. Aku memutuskan untuk mengembalikan...”
“Tidak!” Sami memeluk Hanan. “Tidak boleh begitu...” bahunya berguncang.
Sarah menutup mulutnya. Tak percaya dengan apa yang dikatakan Hanan.
“Sami kumohon..., aku belum selesai bicara...”
“Kau tak boleh bicara lagi.... Aku mencintaimu...”
“Sami...”
“Sami, biarkan Hanan selesai bicara. Setelah itu, kita bisa merembukkan jalan keluarnya,” Ayah meremas pundak Sami. Sami menurut. Ia melepaskan pelukannya, tapi tidak genggaman tangannya.
“Juga pada Huda, karena... aku telah mengacaukan hubungan kalian berdua...”
“Hanan! berapa kali kukatakan, aku tak merasakan apa-apa pada Huda. Aku menyayanginya, tapi bukan cinta... bukan cinta, Hanan...” Sami menyela lagi.
“Lalu Kak Sarah, aku menitipkan butik padamu.”
“Apa? Tapi kenapa?”
“Karena hanya kau bisa mengurusnya,” Hanan tersenyum.
“Hanan, dengar baik-baik. Kurasa... ini masih bisa kita bicarakan...,” Ayah menotong kata-kata Hanan. “Kalian berdua benar-benar membuat kami bingung. Kalian datang beberapa minggu kemarin dengan keakraban yang luar biasa, lalu sekarang kalian tiba-tiba datang dengan keputusan untuk berpisah? Sebenarnya ada apa?”
“Aku mengatakan sesuatu yang salah, Ayah...”
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa,” Hanan yang menjawab.
“Jika bukan apa-apa kenapa kau memutuskan untuk pergi dari Sami?” Sarah terdengar marah. “Jadi ada kata-kata yang mengganggumu kan? Apa yang Sami katakan?”
“Sami hanya mengatakan kejujuran. Dan bukan kata-kata Sami yang menyebabkan aku pergi.”
“Katakan apa, Sami? Kau mengatakan apa?”
“Tak ada!” Hanan berkeras. “Jika ada yang salah, maka itu adalah aku. Salahku yang sudah berani masuk dalam kehidupan Sami...”
“Aku mengatakan sesuatu tentang ibunya...,” Sami berkata lemah... tak ada yang perlu disembunyikan. Dia memang salah...
“Kenapa dengan Ibu Hanan? Jangan berbelit-belit!” Sarah mulai marah dan kesal. Ia juga mulai menangis.
“Aku mangatakan...”
“Kau tak mengatakan apa-apa, Sami.” Hanan menahan Sami.
“Aku bilang, Ibu Hanan seorang pela...” Sami tak melanjutkan kata-katanya. Guncangan dibahunya menghentikan mulutnya. Hanan mengeluarkan airmata. Ibu menutup mulutnya yang ternganga. Huda demikian, Sarah juga. Juga Ayah dan Ilham.
Waktu seperti berhenti. Kata-kata Sami yang mereka dengar terlalu keras menggedor gendang telinga mereka. Kata-kata itu pasti hanya kesalahan pendengaran mereka.
“Tidak Sami, kau tak mungkin mengatakan hal seperti itu... tak mungkin...” Sarah mengggelengkan kepalanya. Meyakinkan dirinya kalau dia benar.
“Aku juga mengatakan padanya, kalau rumah yang kubangun itu bukan untuknya.”
“Hentikan Sami, apa yang membuatmu berkata seperti itu!” Ibu meraba keningnya. Ia merasa pening. Ia ingin menghentikan pikirannya untuk bekerja. Ini hanya mimpi. Ini pasti mimpi.
“Aku menyakitinya setiap aku membutuhkannya, Ibu. Aku juga mengatakan dia hanya barang..., aku juga mengatakan kalau aku bisa tidur dengan seorang perempuan yang tak kucintai...”
“Sami hentikan!” Suara keras Ayah menghentikan kata-kata Sami. “Jangan bicara sembarangan.”
“Aku memang mengatakan itu Ayah.., aku memang gila. Karena itulah Hanan ingin menjauh dariku. Kumohon tahanlah dia...” Sami masih bicara ditengah-tengah tangisnya.
“Hanan, anakku..,” Ibu membelai kepala Hanan. Tapi hanya itu kata-kata yang keluar. Ia ingin membujuk Hanan. Tapi bagaimana caranya? Sami sudah mengatakan hal yang sangat tidak pantas. Ia harus membela apa? Akhirnya Ibu hanya tergugu. “Mana mungkin kau mengatakan hal semacam itu, Sami...”
Semua terguncang. Tak ada yang berkata. Kenapa Sami mengatakan itu?
Hanya Hanan yang akhirnya bertahan. Sami tak perlu mengatakan kesalahannya. Padahal Sami cukup mengatakan sebab keputusannya untuk pergi. Tak perlu mengungkit kesalahannya yang lain.
“Sebenarnya, nasabku yang tidak jelas, adalah gambaran siapa orangtuaku sesungguhnya.”
“Jangan mengatakan keburukan orang yang sudah meninggal anakku...” Ayah berkata sedih.
“Kalian mememintaku secara baik-baik. Maka aku juga akan mengembalikan secara baik-baik,” suara Hanan yang tenang menggelegar disemua pendengarnya.
“Mengembalikan? Apa maksudnya?” Sami mendongak. Lalu Hanan melepaskan tangan kanannya dari genggaman Sami. Ia menyentuh tangan kirinya, lalu menyentuh sebuah cincin yang melingkar dijari manisnya.
“TIDAK! TIDAK!” Sami histeris. Ia meraih tangan kiri Hanan dan menggenggamnya didada, menahan Hanan untuk tak menyentuh cincin itu. Sami mengerti, jika Hanan mengembalikan maskawinnya, maka ia tak punya harapan. Hanan telah menceraikannya. Wanita punya cara yang baik untuk memutuskan pernikahan. Dengan mengembalikan maskawin. Dan maskawin itu hanya bisa dikembalikan pada suami karena satu sebab. Istri telah didzalimi. Sami sadar, Sami memang telah menzalimi Hanan. Tapi Sami juga tahu, jika Hanan benar-benar melakukan khulu’ padanya (mengembalikan maskawin untuk memutuskan pernikahan), maka ia tak akan punya kesempatan lagi, meski ia menangis darah sekalipun. Maka ia berkeras menahan tangan Hanan.
“Aku tahu, aku salah, Hanan. Aku tahu... kau boleh menghukum apapun. Kau boleh melarangku bicara selamanya, maka akan aku lakukan. Kau juga boleh memukulku hingga mati, aku ridha. Tapi jangan begini...., jangan meninggalkanku... jangan melepaskanku...”
“Aku sudah cukup bertahan, Sami...” kata Hanan akhirnya. “Aku sudah cukup bertahan...”
“Bertahan sekali lagi, Hanan. Kau mau? Kita akan memulai lagi dari awal....”
Hanan menggeleng. “Aku sudah tak punya cukup kekuatan...”
“Kumohon....” Sami memeluk tangan Hanan, menekankan kedadanya, seolah itulah harta berharga yang dimiliknya. Satu-satunya.
“Sami, lihatlah aku...”
“Tidak! Jangan membujukku, Hanan. Marahlah padaku, itu lebih baik. Jangan membujukku....”
Hanan menarik nafas. Sami, dia seperti seorang anak yang menangis karena mainan satu-satunya akan diambil orang lain. Apa memang bagi Sami aku begitu penting? Tapi sepenting apa jika dibandingkan dengan Huda. Jika Huda yang ada diposisi Hanan sekarang, apakah Sami akan menangis seperti ini? Hanan tersenyum. Mungkin lebih.
“Izinkan hati kita untuk berpikir jernih. Kita hidup terpisah beberapa saat, lalu kita evaluasi perasaan kita. Sungguhkah kau mencintaiku? Sungguhkah aku memaafkanmu? Apakah kita bisa bersama?”
“Tidak. Hanan... sekali kau pergi dariku, kau akan menjauhiku selamanya...”
“Jika kita berjodoh, kita akan bersama kembali...”
“MASALAHNYA, AKU TAK BISA KEHILANGANMU WALAU UNTUK SEDETIK! APA KAU TAK MENGERTI?” Sami menangis keras. “Ibu... tolonglah aku, tolong tahan dia... kalian semua... tolong tahan dia...”
Tak ada yang bersuara. Semua diam. Ia tak bisa memaksa Hanan. Mereka tahu, jika Hanan telah membuat keputusan, ia tak bisa disanggah. Jika Hanan  telah membuat keputusan, maka itu berarti, Hanan telah memikirkan keputusan itu masak-masak. Maka mereka membiarkan mereka berdua membuat keputusan.
“Sami..., kau membuat tanganku sakit...”
Sami bergeming.
“Sami.., tanganku sakit....”
Sami menguraikan genggaman kerasnya. Dan Hanan segera melepaskan diri dari Sami. Dengan gerakan cepat, tangan kanannya hendak melepaskan cincin dari Sami.
“TIDAK! HANAN! TIDAK!” Sami berhasil menangkap tangan Hanan.
“Baiklah... baiklah... kau bisa pergi...” Sami tergugu lagi. “Tapi kumohon... kau harus tetap jadi istriku....” Sami berkata dengan putus asa.
Hanan menatap Sami. Pergi, tapi tetap menjadi istri Sami? Tanpa ada perceraian?
“Kau bilang kita mencoba dulu kan? Suatu saat, jika kau memutuskan untuk kembali padaku, kau akan kembali padaku kan?” Sami memandang Hanan penuh harap.
Mencoba dulu, jika suatu saat memutuskan kembali, Hanan bisa kembali. Tapi mungkinkah ia kembali? Pada Sami? Tapi bukankah itu juga berlaku sebaliknya? Jika Hanan memutuskan untuk bepisah, maka ia bisa mengembalikan mas kawin ini kapan saja.  Benar begitu bukan? Lagipula tangisan Sami mengundang rasa ibanya. Paling tidak, meski Sami mungkin akan menangis lebih keras dari ini untuk Huda, paling tidak, ada tangisan yang menyayat untuk Hanan. Bukankah itu karena sebentuk cinta yang sebenarnya sudah ada dihati Sami untuknya?
Akhirnya Hanan menggangguk. Ia akan pergi, tapi ia masih akan menjadi istri Sami.
“Aku mencintaimu, Sami. Sejak pertama kali kita dipertemukan Ibu. Kau ingat, saat kita bertemu pertama kali didepan butik?”
Sami menangis.
“Saat itu, aku sudah mencintaimu...” Hanan tersenyum pada Sami. Senyum dengan uraian airmata.
“Apakah cinta itu tak cukup besar untuk memaafkanku?”
“Tidak butuh cinta untuk memaafkan, Sami.” Hanan tersenyum.
“Kau memaafkanku?”
Hanan mengangguk. “Aku tak bisa marah padamu, Sami.”
“Apakah itu artinya, suatu saat kau memang akan kembali padaku?”
“Tak ada yang tahu masa depan.”
Berarti tak ada jaminan.
Sami menarik Hanan dan mendekapnya erat. “Kau masih istriku. Aku masih bisa menemuimu kapan saja. Aku masih bisa menciummu kapan saja. Kau dengar?” Hanan tersenyum. Bahkan saat tertekan, Sami masih ingin mendominasi.
“Dan itu berarti, kau tak kuizinkan jatuh cinta pada orang lain. Kau hanya boleh mencintaiku. Mengerti?” Sami menangis.
Hanan mengangguk lagi. Cintanya begitu besar pada Sami. Rasanya mustahil mencintai orang lain seperti ia mencintai Sami. “Tapi kau bisa menikah dengan orang yang kau cintai kapan pun kau mau,” ucap Hanan tulus.
“Aku hanya mencintaimu, kau tahu itu.”
“Aku tahu.” Hanan menenggelamkan diri dalam pelukan Sami. Ia akan jauh dari Sami, maka untuk terkahir kali, ia ingin merasakan dekapan lelaki ini.
“Andai aku bisa menahanmu Hanan. Apa kau tahu, aku sangat mencintaimu... aku menyesal baru menyadarinya sekarang...”
“Kau mengizinkanku untuk pergi, adalah bentuk cintamu, Sami...”
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu,  aku mencintaimu...” Sami terus berkata seperti itu berulang-ulang.
Sebuah suara mobil terdengar mendekat.
“Taksiku sudah datang, Sami...”
Sebelum berangkat, Hanan menelfon taksi untuk menjemputnya di rumah Ibu. Sami tak tahu mengenai itu. Jadi ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Sami melepas Hanan. Hanan beranjak, tanpa melihat lagi pada Sami. Tapi semakin langkahnya menjauh, semakin keras ia mendengar isakan Sami. Sami berusaha menahannya, tapi tak bisa. Ia baru mengalaminya kali ini, dimana ia harus melepaskan sesuatu seperti ia melepaskan nyawanya sendiri pelan-pelan. Berat, dan sangat sakit...
Ketika suara mobil menderu, Sami tidak kuat menahan dirinya. Ia berdiri dan berlari melihat Hanan. Ia tahu ia tak bisa menyusul, maka lututnya yang lemas jatuh di atas aspal. Tangannya luruh, dan kepalanya tertunduk.
Semua menyusul Sami. Ibu memeluknya, dan Ayah menggenggam erat bahu Sami. Melihat Sami seperti itu, menarik rasa iba dari semua orang. Sami tak pernah menangis, apalagi menangis seperti ini. Apa Hanan tak tahu, apa yang dia lakukan pada Sami sungguh sangat menekan dirinya?
Sarah juga mendekat dan berlutut memeluk Sami. Tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali mengalirkan kekuatan dan mengatakan pada Sami, bahwa ia tak sendiri.
Huda lain lagi. Ia berbalik dan berlari kekamarnya. Setelah dikamar, ia baru menangis mengeluarkan isakannya tak bersuara. Ada yang lebih menyakitkan yang ia tangisi, selain keadaan Sami yang demikian. Tangisan itu adalah tangisan yang muncul dari rasa sakit, karena mengetahui kenyataan, bahwa Sami begitu mencintai Hanan. Sami sangat takut kehilangan Hanan, karena cintanya yang begitu besar. Sekarang apa yang bisa ia lakukan? Sementara dihadapan Sami, ia benar-benar tak punya harapan...


*   *   *

Sebelumnya; Bagian 11
Berikutnya; Bagian 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar