Kamis, 28 Desember 2017

Pangeran Istana Langit (3)


Pemukiman itu berada disebuah lembah. Tak ada satu dinding pun yang melindungi mereka dari lingkungan luar kecuali tebing-tebing terjal yang menyembunyikannya dari dunia luar. Tak ada sebuah benteng. Siapapun bisa saja masuk atau keluar tanpa diketahui. Tapi setelah ini, mereka mungkin harus membangun dinding yang kokoh. Pikir Husain.
Setelah memikirkan itu, Husain menarik nafas panjang. Kuda yang ia tunggangi, ia pacu pelan saja. Mengulur waktu dan memperpanjang jarak dari desa yang tengah ditujunya. Bahkan jika bisa, ia ingin pergi saja memacu kudanya menjauhi perkampungan.
Saat pergi beberapa hari yang lalu, Husain diantar dengan harapan dan hati yang lapang. Bukan saja oleh seluruh penduduk Cina-Persia penghuni perkampungan itu, tapi juga oleh orang Han muslim yang tersebar diseluruh daratan Cina, Suku Hui diutara, dan Suku Mongol diselatan. Para pemimpin mereka telah berkumpul, menyerahkan urusan mereka dengan Kaisar Kang Xi kepada Husain. Bukan tanpa alasan. Mereka menganggap Husain itu layaknya Mush’ab bin Umair ketika diutus Rasulullah berdakwah di Madinah. Lagipula, lobi para Ketua Suku sebelumnya yang gagal membuat Husain menjadi utusan terakhir mereka.
Tubuh Husain tegap dan penuh wibawa. Jika ia berjalan, akan terpancar keoptimisan yang keluar dari dalam tubuhnya. Wajahnya yang tampan dan berbinar, dibingkai rambutnya yang hitam tebal, akan membangkitkan perasaan suka pada siapapun yang memandangnya. Ditambah jika orang yang mendengarkan tutur katanya yang halus namun tegas, orang yang mendengar mungkin tak akan bisa menolak perkataannya. Dan mengenai ilmu pengetahuan, tak ada yang bisa menyamai Husain. Otaknya cerdas. Ia bahkan dapat menguasai bahasa Cina hanya dalam waktu satu bulan saja saat ia pertama datang dulu. Beserta tulisan dan sastra. Selain itu, ia memiliki hati yang bercahaya karena iman. Penggambaran yang sempurna untuk seorang pemuda.
Tapi semua itu seakan tak berguna sekarang. Harapan yang dulu ditebar sekarang berubah menjadi beban. Beban yang menghimpit dada Husain hingga ia merasa sempit dan sakit. Menghela nafas pendek pun terasa sangat berat.
Husain menghentikan kudanya. Ia berdiam mematung. Angin berhembus menggerakkan helai-helai rambutnya, juga ujung jubahnya. Dari jauh, ia menatap nanar pada perkampungan. Ia menatap dan menatap, hingga ia merasa puas. Tak akan lama lagi, mungkin perkampungan itu sudak tak terlihat, kecuali puing-puing tak beraturan. Jadi ia ingin memindahkan gambar perkampungan yang masih sempurna itu agar terekam jelas dalam pikirannya.
Bibir Husain tersenyum tipis. Perkampungan itu dihuni oleh orang-orang Cina Persia dan Arab. Bahkan, darah Cina, Persia dan Arab sudah bercampur aduk tak menentu. Sudah sangat sulit menelusuri jejak darah leluhur dari tubuh mereka. Apakah mereka berdarah Cina asli, atau sudah bercampur darah Persia dan Arab? Kecuali orang-orang Persia yang baru datang.
Perkampungan Cina-Persia itu, seperti perkampungan Rasulullah di Madinah. Cina adalah Anshar, Persia adalah Muhajirin. Muhajirin terus berdatangan, memperbanyak populasi. Seperti itu juga orang Persia di daratan Cina. Mereka terus berdatangan untuk berdakwah dan berdagang. Semua telah berlansung ratusan tahun lalu, ketika dinasti Tang berkuasa. Bahkan saat dinasti Ming bertahta, Muslim adalah kaum yang dirangkul dan dimanfaatkan dari segi ilmu. Banyak para pejabat, bahkan Kaisar yang memimpin adalah penganut agama Islam.
Saat itu, semua berjalan dengan damai...
Dan sesaat lagi, dalam waktu yang tak lama, sebentar saja, damai itu akan hilang. Salah satu sebabnya adalah kegagalan Husain dalam melakukan lobi dengan Kaisar.
Sebenarnya tidak begitu, tapi Husain merasa begitu. Ia merasa bersalah.
Satu helaan nafas panjang Husain keluarkan dengan susah payah.
Astaghfirullah...
Astaghfirullah...
Astaghfirullahal ‘Adzim...
Husain memejamkan mata, dan menganaksungailah air mata dipipinya.

*   *   *

Selangkah demi selangkah, Husain memasuki perkampungan. Ia tuntun kudanya, agar binatang itu tak berasa berat dengan beban yang tengah dideritanya. Ia juga ingin merasakan pijakan pada tanah yang masih damai.
Selangkah demi selangkah lagi. Hingga jarak yang memanjang menjadi demikian dekat.
Anak-anak dan penduduk yang melihatnya dari kejauhan terlihat tertawa dan berlari-lari, memberi tahu para penduduk lain. Hingga dalam waktu sebentar saja, Husain sudah ditunggu ratusan penduduk.
Husain menyunggingkan senyuman. Mencoba meredam rasa panik dan rasa bersalahnya agar tak terlihat. Kerumunan itu  menyingkir perlahan, memberi jalan pada Husain, lalu Husain berjalan mendekat pada Abdul Aziz, pemimpin mereka, juga ayah kandung yang sangat dihormatinya. Lalu ketika mereka berhadapan, Abdul Aziz menangkap senyum itu. Tahulah Abdul Aziz apa yang telah terjadi...

*   *   *

Husain telentang ditempat tidurnya. Selimut tebal menutup tubuhnya hingga bagian dada. Matanya belum lagi terpejam.
“Kita bicarakan lagi dengan para Ketua besok.”
Kata-kata  abinya tadi siang membuat otaknya terus bekerja. Padahal sore tadi, abi meremas pundaknya kuat dan memintanya beristirahat dengan suara pelan dan senyuman lebar. Tapi nyatanya, ia tak bisa istirahat. Mengapa abi tersenyum lebar dan menyuruhnya beristirahat? Apakah kegagalannya sama sekali tak berarti apa-apa bagi Abdul Aziz? Bagi orang Han, suku Hui dan Mongol? Bagi umat Islam, bahkan jika ia seorang Manchu sekalipun?
Tidak. Tidak mungkin tak berarti. Seperti harapan yang disebar saat kepergiannya ke istana, kepulangannya sangat dinantikan. Jika berhasil akan mendatangkan tawa bahagia. Jika tidak, bukankah sebaliknya?
Husain terduduk tiba-tiba dengan satu gerakan cepat. Ia sibakkan selimutnya segera. Lalu dengan kuat, ia mengusap wajahnya. Abi menyembunyikan kekhawatirannya. Dan itu berarti bahaya yang ada didepan nantinya dua kali lipat dari yang dibayangkannya...
Allah..., bagaimana ini?

*   *   *

Husain masuk keruang pertemuan itu. Jauh didepannya, Abdul Aziz duduk tenang. Satu senyum mengembang dimulutnya. Senyuman seperti kemarin.
Husain memalingkan pandangan, untuk memalingkan keresahan.
Disebelah kanan Husain, atau disebelah kiri Abdul Aziz, duduk tuan Ma Yun Chen. Ia mencukur rambut depannya dan menyisakan setengahnya untuk dipanjangkan dan dikepang. Ia seperti orang Manchuria. Tapi ia pemimpin kaum Muslimin dari suku Han. Orang Han memang melakukannya sejak perintah penggal diberlakukan kepada orang yang tak mengepang rambutnya. Husain mengangguk hormat padanya. Ma Yun Chen, lelaki setengah baya itu, membalas Husain dengan senyuman hangat. Senyuman hangat seperti yang diberikan ayahnya.
Husain merasakan keresahan itu lagi.
Disamping kiri Ma Yun Chen, atau tepat disebelah kanannya, duduk Ketua Khan. Ia pemimpin Muslim dari suku Mongol. Seperti Ma Yun Chen, disamping kiri dan kanannya berdiri dua orang. Bukan pengawal, tapi orang kepercayaannya, dan putranya sendiri. Pakaian mereka tebal dan dilapis bulu binatang, entah kulit serigala atau kulit beruang. Husain tak begitu tahu. Tapi topi yang menutup rambut mereka, terbuat dari kulit rubah. Husain bisa mengenalinya dari ekor rubah yang dibiarkan menjuntai dikepala bagian belakangnya. Pada mereka semua, Husain juga mengangguk hormat.
Husain memalingkan wajah pada seseorang disamping kirinya, atau tepat disamping kanan Abdul Aziz. Dia Tuan Chou, pemimpin suku Hui. Berbeda dengan suku Mongol dan Han, seluruh penduduk Hui Chi telah menjadi muslim. Meski jumlah mereka tak sebanyak suku Han yang tersebar. Pada lelaki yang berpakaian khas suku Hui Chi ini, Husain pun mengangguk hormat.
“Duduklah, anak muda,” Ketua Chou menunjuk kursi kosong disampingnya. Satu-satunya kursi yang tersisa untuk dirinya.
Mata Husain berkeliling ruangan, satu orang Ketua belum datang.
“Ketua Muslim dari Tibet tak bisa datang, suratnya sampai pagi tadi,” kata Ma Yun Chen mengerti siapa yang tengah dicari Husain.
Selain Ketua Tibet, semua memang telah hadir. Tapi Husain tidak datang terlambat, ia memang memastikan diri untuk masuk kedalam ruangan tepat setelah orang terakhir duduk. Ia tak ingin memamerkan keresahan yang jelas tergambar dan tak bisa ia sembunyikan.
Husain mengangguk dan menurut. Ia duduk disamping Ketua Chou.
“Sebelum menceritakan kabar kemarin, gembirakanlah kami dahulu dengan Taujih Robbani, Ho San Ni,” kata Ketua Ma Yun Chen kepada Husain. Yang lain mengangguk, menyetujui perkataan Ma Yun Chen.
Husain lalu membaca surah al-anfal ayat 5 sampai 14. Tidak, bukan untuk menasihati orang-orang yang akan mendengarnya, tapi ia ingin menasihati dirinya sendiri. Menghilangkan keresahannya sendiri. Meski ia merasa belum siap. Meski ia masih merasa berat.
Husain menarik nafas berat, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah satu beban yang ikut keluar bersama desahan nafasnya, akhirnya Husain memaksakan dirinya untuk bersedia membaca nasihat Robbani untuk dirinya sendiri. Akhirnya mulut Husain terbuka, dan ia mulai membaca;
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang),  seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab) kematian itu). Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu. Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dab memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhan-Mu lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan Itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman dari-Nya. Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syetan serta untuk untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepada mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan padamu), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab mereka.”
Sampai pada ayat ini Husain terdiam. Kepalanya tertunduk, beberapa saat kemudian bahunya terguncang. Suaranya tertahan sebak yang menekan. Sengajakah Allah menurunkan ayat-ayat ini untuk dirinya? Ya, Husain telah membaca dan menghafal ayat ini sekian lama, bertahun-tahun yang lalu, tilawahnya bahkan sampai diayat ini paling sedikitnya tiga kali dalam sebulan, tapi mengapa aku merasa Allah baru saja memperdengarkan ayat ini untuk pertama kali dalam mulut dan pendengarannya? Ya, seolah-olah Allah menurunkan ayat itu baru saja, khusus untuk dirinya. Bukankah yang Allah maksud disana adalah dirinya? Orang yang enggan berperang itu dirinya? Orang yang ketakutan dan waswas itu dirinya? Yang ingin menghindar dan takut kematian? Padahal, kematian itu akan datang meski ia berangkat berperang, atau bahkan tertidur pulas diatas tempat tidurnya?
Hidup itu pilihan. Tapi mati adalah kepastian. Yang jadi pilihan adalah mati dalam kelalaian, atau mati dalam keadaan bergerak. Dan bukankah perang itu adalah gerakan besar untuk menegakkan hak dan menghancurkan bathil? Terlepas dari mampu atau tidak, siap atau tidak. Sebab yang memberi kemenangan, bukanlah banyaknya pasukan dan lengkapnya persenjataan, tapi ketentuan Allah saja. Dia ikut peperangan atau tidak, tak akan menggugurkan ketentuan Allah. Perang itu akan terjadi, jika itu sudah ketentuan Allah. Sekali lagi, kesertaan dirinya hanya sebuah pilihan.
Allah menginginkan mereka berperang melawan pasukan Kang Xi yang berjumlah ribuan dan bersenjata lengkap. Tepat sekali, Allah menurunkan ayat ini untuknya, sebab, sebelumnya, ia memang menyesalkan golongan musuh yang dihadapinya. Kang Xi. Bukankah Allah jelas-jelas mengetahui keresahannya, dan menyentuh khusus lubuk hatinya?
Husain masih tenggelam dalam tangis sesalnya. Melarutkan orang yang melihat dan mendengar hingga menitikkan air mata. Tidak, Husain salah, surat itu bukan diperuntukkan bagi Husain seorang. Tapi mereka juga. Karena dalam masing-masing mereka, para Ketua Klan, sama tak menginginkan perang. Mereka lebih menginginkan hidup damai tanpa lelahnya latihan, tanpa intaian, turunnya pedang dan tergantungnya baju besi. Mereka khawatir dengan maut. Bukan maut yang menimpa diri mereka sendiri, tapi kekhawatiran bahwa maut akan menjemput para tentara mereka, rakyat mereka, anak dan menantu mereka. Mereka tersentak dengan surat yang dibaca Husain. Ini adalah jawaban Allah untuk mereka. Mereka harus berperang, dan mereka tak seharusnya memilih meninggalkan seruan Allah itu.
Husain mengusap hidungnya yang berat berair, lalu dimulainya lagi bacaannya yang sempat terhenti. Lalu suara merdu itu mengalun lagi, meski berat, tapi kemerduan itu tetap menyentuh sisi batin yang mendengar hingga jiwa yang terdalam. Menyentuh sisi ruhaniyah, hingga naik melesat kesebuah kenikmatan akan sapuan iman. Husain terus membaca, tapi kemudian berhenti lagi sebelum ia sempat menyelesaikan ayat ke-17.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tapi Allahlah yang membunuh mereka; dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi ujian kepada orang-orang mukmin, dengan ujian yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Husain berusaha menyelesaikan ayat ini dengan sebak yang tak bisa ditahannya lagi, hingga pada ujung ayat, tangisnya meledak tak tertahan. Air matanya bercucuran. Bahunya berguncang-guncang. Telapak tangannya menutup muka. Allah... itukah juga yang kuragukan selama ini? Meragukan pertolonganMu. Tidak yakin bahwa Kau akan selalu ada bersamaku? Bersama kami? Tidak yakin bahwa Kau tak akan meninggalkan kami? Tidak yakin akan kesertaanMu dalam setiap gerakan kami?
Setipis itukah imanku?
Ighfirlii ya Rabbii...
“Subhanallah, bacaan yang indah...,” Ketua Chou bergumam setelah beberapa lama semua terdiam.
Rangkaian ayat yang baru saja selesai Husain baca, sebenarnya sudah menyiratkan kabar yang akan disampaikan. Tapi toh mereka tetap ingin tahu dengan tersurat, dengan jelas, juga rincian kejadiannya. Rincian pembicaraan Husain dan Kang Xi.
“Sekarang Husain, kau tahu, mengapa kami berkumpul disini,” Suara Abdul Aziz terdengar untuk pertama kalinya. “Karena itu, beritakan kepada kami, apa yang memang seharusnya kami dengar.”
Setelah menarik nafas, Husain menceritakan semuanya. Tentang pembicaraannya dengan kaisar, penolakan kaisar, kegagalan. Semua, kecuali tentang seorang gadis yang ia lihat diatap istana. “Maafkan saya,” kata Husain menutup pembicaraan.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, anak muda,” kata Ma Yun Chen bijak. Tak ada keterkejutan. Sebab, bukankah usaha mereka sebelumnya juga menghasilkan hal yang sama?
“Jika saja saya bisa mengemban tugas dengan baik.”
“Hasil tidak berhubungan dengan usaha yang kita lakukan, Husain. Hasil dan usaha adalah sesuatu yang berbeda. Usaha adalah sesuatu yang mengundang keberkahan Allah, sedangkan hasil adalah ketentuan yang sudah ditulis-Nya,” kata Ketua Khan.
“Benar, Husain. Tak ada tempat untuk rasa bersalah,” timpal Ketua Chou. Sebab jika rasa bersalah itu memang harus ada, sebelum Husian, mereka lah, para Ketua yang lebih berhak merasakan rasa bersalah.
“Ketua Chou benar. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana melajutkan hidup tanpa harus berperang.”
“Tidak Ketua Khan, jalan perang mungkin harus kita tempuh. Meski tidak sekarang. Tidak mungkin kita bertahan atau tunduk pada keinginan kaisar. Kita punya hal yang harus kita lakukan, tanggung jawabnya dengan Allah. Kurasa, kita harus mempersiapkan itu.”
“Aku sependapat dengan Syeikh. Kita memang tak menginginkan perang. Tidak ada yang menginginkan perang. Tapi Kaisar Manchu itu menginginkannnya. Dan kita, tak bisa diam. Jika dikumpulkan, ditambah dengan muslim Tibet, jumlah kita banyak.”
“Tapi bagaimana dengan pelayaran, Ho San Ni? Apa Kaisar membicarakannya?”
“Tidak Ketua Ma, saya pikir lebih baik tak menyinggungnya. Sebab, jika Kaisar menyadari hal itu, aku khawatir ia juga akan melarangnya.”
“Kalau begitu,” kata Abdul Aziz, “untuk sementara, aku akan meminta orang-orang Persia dan orang-orang Arab untuk datang lebih banyak, selagi pintu yang satu itu belum ditutup.”
“Mintalah lebih banyak orang-orang yang pandai mengajar al-Qur’an, Syeikh Abdul Aziz.”
“Orang-orang pandai perang pun.”
“Juga senjata.”
Husain mendesah. Perang...
“Mungkinkah kita mendatangi kaisar lagi, Baba? Bukan hanya Ho San Ni, tapi seluruh ketua, juga membawa upeti...,” Ma Xia Wu, putra Ketua Ma Yun Chen yang sedari tadi diam saja tiba-tiba angkat bicara.
“Tidak, putraku. Yang diinginkan Kaisar Manchu bukan itu. Dinasti Manchu belum lama berdiri )9, yang mereka inginkan adalah ketaatan yang kuat dari kita, sebagai pengakuan atas kekuasannya.” Ma Yun Chen teringat dengan penerimaan Kang Xi pada mereka sebelum mereka mengutus Husain. Mereka, Para Ketua Muslim dari setiap suku boleh menghadap Kaisar dengan syarat janggal yang harus dipenuhi. Mereka tidak boleh datang bersama-sama, bahkan para pengawal tak dibiarkan masuk menyertainya, mereka mengambil upeti yang ia bawa, tapi meninggalkan para pengawalnya diluar pintu gerbang. Ma Yun Cen tersenyum kecut. Jika Kang Xi seorang yang jantan, seorang pendekar, ia tak akan melakukan itu. Ketakutan Kang Xi pada mereka terlalu berlebihan.
Jawaban Ma Yunchen terhadap pertanyaan Ma Xia Wu, membuat Husain menunduk. Pembicaraan masih terus berlangsung, tapi Husain tak angkat bicara, hingga ia masuk kekamarnya dan kesunyian telah benar-benar menyelimutinya. Dam kesendirian itu membuat Husain semakin menyelami rasa bersalahnya. Ia sudah tahu perang itu harus terjadi, tapi tetap saja, ada satu sisi hatinya yang masih ingin berusaha mencari jalan terbaik selain perang?
Husain mengambil sesuatu yang tergantung dilehernya dan tersembunyi dibalik bajunya.
Gelang giok.
Husain sengaja menggantungkan benda itu, agar gelang itu tak berpisah darinya. Bukan apa-apa, ia tak ingin seorang pun tahu, bahwa ia mempunyai benang penghubung dengan kekaisaran Manchu. Meski benang penghubung itu sangat tipis hingga tak terlihat.
Husain memperhatikan gelang giok itu untuk kesekian kali. Melihat ukiran-ukiran yang menghiasi giok itu, orang akan tahu kalau giok itu milik istana. Bahkan pada setiap butir giok itu, terpahat kecil-kecil nama Yu Lan. Yu Lan, nama putri diatas atap. Mengingat itu, Husain tersenyum.
Ia lalu ingat dengan janji Yu Lan di bukit Xi Hu. Haruskah ia datang? Atau...
Husain tiba-tiba tersentak dengan lintasan pikirannya sendiri.
Bisakah Yu Lan ia jadikan celah jalan keluar dan menjadi jalan antara muslim dan istana? Mengingat ketertarikan Yu Lan pada Persia?
Dan malam ini pun, Husain melewatkan malam dengan terjaga...

*   *   *

Untuk kesekian kali, Yu Lan memandangi kitab dengan tulisan Persia itu dengan teliti. Ia sangat ingin bisa membacanya dan mengerti isinya. Agar dengannya, ia bisa mengenal mamanya lebih jauh. Mama? Benar. Tiga benda yang ada dalam guci itu adalah milik mamanya. Bukan hanya tiga benda itu saja, semua benda yang ada di Istana Bunga Mesim Semi adalah peninggalan mama. Baba melarang siapa pun, termasuk Yu Lan, untuk merubah atau menghilangkan benda-benda yang ada di Istana Bunga Mesim Semi. Semua, termasuk guci-guci dengan kaligrafi zaman dinasti Ming itu.
Yang jadi pertanyaan besar Yu Lan adalah, mengapa ketiga benda itu disimpan didalam guci? Kitab, sapu tangan, dan tanda Kaisar? Kenapa ketiga benda itu Mama sembunyikan? Mungkin takut oleh Baba? Apa yang ditakutkan dari tulisan berbahasa Persia ini? Apakah ada isinya yang rahasia, yang tidak boleh diketahui Baba? Tapi kalau ditulis dengan bahasa Persia seperti ini kan, Baba tak akan mengerti isinya. Lagipula, kenapa dengan bahasa Persia? Apakah Mama orang Persia? Sama seperti Ho San Ni?
Yu Lan menarik nafas panjang.
Kemungkinannya memang demikian. Ah, andai Yu Lan bisa mengingat wajah mamanya sesamar apapun. Tapi, kata ‘mengingat’ itu hanya berlaku bagi orang yang sudah pernah melihat bukan? Nyatanya, Yu Lan memang tak pernah melihat wajah Mama. Wanita itu meninggal ketika ia melahirkan Yu Lan.
“Eh, Yu Lan, kau belum tidur?” suara Kun Lan tiba-tba terdengar dibelakang Yu Lan.
Yu Lan cepat-cepat menyembunyikan kitab itu dibalik baju hangatnya.
Malam ini, Yu Lan memang sedang berada dirumah Pangeran  Hu. Ini adalah malam kebebasannya. Bebas dalam banyak hal, termasuk sebutan-sebuatan istana yang membuat Yu Lan mual. Disini, Yu Lan dan Kun Lan bisa saling menyebut nama, tanpa sebutan Tuan Putri. Tak ada juga acara berlutut atau bersujud seperti di istana. Ya..., kecuali kalau mendesak saja. Kalau ada utusan istana yang datang misalnya, atau jika kebetulan ada Menteri dan Pejabat yang berkunjung.
“Hei, aku ini bicara padamu!” Kun Lan sudah berada disisi Yu Lan.
“Ah, maaf, aku sedang melamun,” kata Yu Lan.
“Kenapa belum tidur, ini sudah malam.”
“Aku belum mengantuk.”
“Oh, jadi karena belum mengantuk, kau melamun?”
“Habis apa yang bisa kukerjakan? Kalau diperbolehkan, aku akan memanah!”
“Ha..., maksudku bukan begitu. Kalau kau hanya melamun, untuk apa diam diluar seperti ini? Bagaimana kalau sakit? Nanti Baba memarahi kami. Disangkanya, kami yang tidak becus mengurusmu satu malam pun. Padahal putrinya yang bersalah,” kata Kun Lan panjang lebar.
“Katakan saja langsung, kau menyuruhku masuk?”
“Benar Tuan Putri, udara malam kurang baik.”
Yu Lan meninju bahu Kun Lan sambil cemberut. Ia tak mau dipanggil Putri oleh Kun Lan.  Tapi sikap Yu Lan membuat Kun Lan tertawa.
“Besok kita kemana?” tanya Kun Lan sambil berjalan bersama menuju kamar Yu Lan.
“Aku ingin berjalan-jalan saja. Tak perlu ditemani.”
“Ah, mana bisa. Kami bisa dimarahi Yang Mulia.”
“Ah, Baba lagi, Baba lagi! Padahal kan Baba sendiri yang mengatakan kalau hari ini aku bebas.”
“Iya, tapi bukan bebas dari pengawalan!”
“Aku tak akan pergi jauh dari wisma Paman Hu ini.”
“Kemana?”
“Bukit Xi Hu.”
“Oh, belajar memanah lagi?”
Yu Lan mengangguk cepat.
“Baiklah. Tapi kau harus menjaga kepercayaanku,” kata Kun Lan tersenyum.
Yu Lan tiba-tiba tertawa riang. Ia tak menyangka kalau bisa pergi tanpa pengawalan. Bukit Xi Hu memang tak jauh, hanya naik kuda beberapa saat ke arah utara dari Wisma Kecerdasan. Tapi meski dekat, biasanya ia tetap ditemani, atau dikawal, oleh Kun Lan. Tapi sekarang ia bisa pergi tanpa Kun Lan!
“Baik! Aku akan kembali dengan selamat dan kau tak akan dimarahi Baba! Terimakasih!” gadis itu masuk kamarnya sambil tertawa lagi, kali ini lebih riang. Matanya sangat berbinar. Dan binar dimata Yu Lan membuat senyum Kun Lan memudar perlahan-lahan. Ia terkesima. Sejak mereka bersama waktu kecil dulu, Yu Lan tidak pernah tertawa sampai seriang itu. Yu Lan memang gadis periang, namun seriang-riangnya Yu Lan, tak pernah ia sebahagia itu.
Kun Lan menatap langit malam. Purnama bercahaya terang, bintang pun berpendar. Tapi bagi Kun Lan, keindahan mereka, kalah jauh dari indahnya binar di mata Yu Lan.

*   *   *

Yu Lan merenggut kesal. Sejak tadi, anak panahnya tak ada yang mengenai sasaran. Kenapa hari ini ia bermain dengan sangat buruk?
“Kunci memanah adalah konsentrasi. Kalau Anda tak bisa menghadirkannya, anak panah yang Anda lesakkan akan bingung mencari sasaran.”
Sebuah suara yang tiba-tiba terdengar membuat kepala Yu Lan berpaling kesamping kanan. Disana, laki-laki yang ditunggunya berdiri. Berdiri membelah matahari pagi yang bersinar dibelakangnya. Angin bukit yang baru saja bertiup menerbangkan jubah coklatnya.
Yu Lan menatapnya terpaku. Pemandangan seperti yang ia lihat sekarang, pernah ia lihat dimasa lalu. Memori masa kecil yang seharusnya sudah usang termakan waktu itu, masih terlihat jelas dalam ingatannya. Dan memori tentang seorang pemuda yang memanah diatas bukit itu, tak akan ia buang walau sebentar pun. Dan bukankah memori itu yang membuatnya sangat tertarik dengan busur dan anak panah? Dan sekarang, memori itu kembali terulang. Mungkinkah mereka orang yang sama?
“Lihat kelinci itu.” Husain, laki-laki itu, membuka jubahnya dan mengambil busur dan anak panah yang tadi dilempar Yu Lan. Lalu ia mulai menarik tali busur dan mengarahkan anak panah pada kelinci yang tengah asyik memakan daun. Seperti mendapat ilham, kelinci itu tiba-tiba melihat Husain. Sesaat, mata hitam Husain dan mata merah kelinci itu beradu. Lalu, setelah sesaat itu berlalu, dengan kecepatan tinggi, kelinci itu berlari. Namun secepat apapun makhluk mungil itu berlari, ia kalah cepat dari anak panah Husain yang berlari secepat cahaya dan dalam sepersekian detik, tubuhnya sudah menembus tubuh kelinci. Binatang itu terkapar, tanpa merasa sakit yang sangat karena prosesnya terbunuh begitu cepat.
“Lihat?” Husain berpaling kearah Yu Lan yang masih berdiri ditempat tadi. Melihat Yu Lan yang hanya terpaku melihatnya, bukan melihat arah panahnya, tawa yang mengembang dibibir Husain mengerut tiba-tiba.
“Ah, Maaf,” kata Yu Lan tertunduk malu. “Anda mengingatkan saya pada seseorang.” Untuk menutupi rasa malunya, Yu Lan berlari kearah kelinci itu dan mengambilnya. “Kita bisa mencucinya disungai itu, lalu kita bakar. Bagaimana?” tanpa menunggu jawaban Husain, Yu Lan berlari kearah sungai.
Sementara Husain memandangnya diam. Ia meraba sesuatu yang menggantung didadanya dari balik pakaian tebalnya. Kabut bergelayut dalam benaknya. Apakah gadis itu masih mengingat pertemuan singkat dulu sebagaimana dirinya?
Mereka mencari ranting-ranting untuk kemudian membakar kelinci itu diatasnya. Selama itu, mereka terdiam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari keduanya. Memori yang singkat itu, ternyata jika diurai dan diingat, membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Ah, sudah matang!” kata-kata Husain membuyarkan lamunan Yu Lan.
Husain salah, kelincinya bukan matang, tapi terlalu matang. Yu Lan tersenyum kecut. Hah, lama sekali aku melamun ya! Waktu untuk tahu Persia lebih banyak tersita sudah. Tersita dengan sesuatu yang sangat percuma!
“Anda akan jawab pertanyaanku, Tuan Ho San Ni?” tanya Yu Lan sambil menerima daging kelinci yang sudah Husain bagi dua. Tangan kirinya erat memegang daging kelinci yang tertusuk ranting itu, sementara tangan kanannya mulai mencubit daging kelinci yang asapnya masih terlihat mengepul. Tapi tangan kanannya melepas cubitan daging itu cepat, dan Yu Lan mengibas-ngibaskannya. Panas.
Husain menahan tawa. “Jangan tergesa-gesa jika Anda makan, Tuan Putri. Kipas dulu dagingnya hingga asapnya menghilang, jika tidak, Anda akan melukai lidah Anda.”
Yu Lan memandang Husain yang mengipas-ngipas tangan kanannya menghilangkan asap. “Kun Lan malah mengatakan, makan itu lebih enak kalau asapnya masih mengepul,” kata Yu Lan. Tapi ia mengipas-ngipas tangannya juga mengikuti gerakan Husain.
“Kun Lan?”
“Dia sepupuku.”
“Oh.”
“Anda belum menjawab pertanyaanku, Tuan Ho San Ni.”
“Oh, Ya. Bercerita tenang Persia ya?”
“Mh,” Yu Lan mengangguk cepat.
“Persia adalah tempat yang sangat indah dan damai. Tanahnya sama seperti yang Anda pijak disini. Sebagaimana tanah ditempat yang lain di bumi ini. Ada lembah, ada sungai. Pepohonan pun banyak, meski tak sebanyak disini.” Sampai sini Husain berhenti, tangannya mulai mencubit daging kelinci yang asapnya sudah tak keluar.
“Lalu kecapi?”
“Ada alat untuk menyanyi. Namun bukan kecapi.” Husain mengunyah dagingnya.
“Apa?”
“Maaf, saya tidak tahu tentang musik. Sama sekali.” Tangannya kembali mencubit daging kelinci untuk kedua kali.
“Teratai?”
“Teratai?” Husain balik bertanya.
“Bunga yang tumbuh diatas kolam.”
“Oh, saya baru melihat bunga itu disini. Bunga yang sangat indah,” Husain tersenyum tulus. “Kami juga punya bunga yang tidak tumbuh disini.” Sedetik setelah mengatakan itu, Husain tertawa.
“Kenapa?”
“Kata-kata saya seperti anak-anak yang tak mau kalah ya?”
Mau tak mau Yu Lan ikut tertawa.
“Hei, apa kelincinya tak enak?” tanya Husain melihat daging yang ada ditangan Yu Lan masih utuh.
“Ah, bukan. Saya menunggu asapnya menghilang...,” kata Yu Lan berbohong. Tentu saja, jika jujur, ia akan sangat malu. Sejak tadi, Yu Lan lupa dengan daging kelincinya. Yang jadi pusat perhatiannya hanya Persia, dan Laki-laki ini...

*   *   *

“Bisakah bulan depan saya menemui Anda lagi, Tuan Ho San Ni?”
“Tergantung pada Anda, Tuan Putri.”
“Saya pasti datang.”
“Insya Allah, Tuan Putri.”
“Apa?”
“Artinya, bisa,” Husain tertawa lagi.
“Bahasa Persia sangat enak didengar,” sekarang Yu Lan yang tertawa. “Terimakasih atas semuanya, Tuan Ho San Ni. Saya permisi.” Yu Lan sedikit menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia menghentak tali kekang kudanya, membuat kaki kuda itu melangkah pelan.
“Putri Yu Lan,” kata-kata Yu Lan yang terakhir membuat Husain menahan kepergian Yu Lan.
Yu Lan menghentikan kudanya lalu berbalik dan tersenyum. “Ya?”
“Bolehkah saya mengetahui sesuatu?”
“Apa itu, Tuan Ho San Ni?”
“Mengapa Anda sangat ingin tahu tentang Persia?”
Yu Lan tersentak, mukanya memerah tiba-tiba.
“Ah, Maaf. Anda tidak perlu menjawabnya. Permisi,” kata Husain setelah melihat reaksi Yu Lan yang demikian. Husain menghentak perut kuda dengan kakinya dan kuda itu mulai berjalan menjauhi Yu Lan.
“Apakah Anda bisa dipercaya, Tuan Ho San Ni?”
Husain berbalik dan memandang Yu Lan lama. Ia melihat mata Yu Lan yang juga tengah memandangnya dengan berkaca.
Husain tak menjawab. Ia terus terdiam. Lama.


*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar