Rabu, 20 Desember 2017

Mozaik Cinta XVII (Tamat)

17

“Kau pulang?” Harry menyambut Hanan heran. “Bukannya seharusnya kau bersama dia?” Harry meneliti wajah Hanan yang terlihat ceria.
“Ya. Tapi mulai besok. Malam ini, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.” Hanan membuka sepatunya dan menyimpan tasnya.
“Bicara? Tentang apa?” Harry mengucurkan jus jeruk dari kotak jus kemasan, ia mengacungkan pada Hanan, menawari. Hanan mengangguk.
“Tentang kita.” Hanan melihat Harry mengambil gelas dan memasukkan jus dingin kedalam gelas bening itu. “Sudah, segitu saja.” Kata Hanan ketika air jus memenuhi gelas ditangan Harry tak lebih dari setengah gelas. Harry memberikan gelas berisi setengah itu kepada Hanan yang tengah duduk di pantry, menghadap padanya. Setelah memasukkan kotak jus kemasan kedalam kulkas dan menutupnya, Harry duduk dihadapan Hanan.
“Kau akan kembali pada suamimu, aku akan kembali kenegaraku. Ada lagi selain itu?”
“Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan,” Hanan memutar-mutar gelas digenggamannya, tapi matanya lekat memandang Harry.
“Tentang?”
“Aku. Saat pertama kali melihatku, juga saat ini.”
Harry memandang Hanan tak mengerti.
“Jawab saja. Apa pendapatmu tentang aku?”
“Jika ingin tahu pendapat laki-laki karena ingin membahagiakan suamimu, bertanya padaku tidak tepat. Kusarankan kau bertanya langsung pada dia. Apa yang dia sukai darimu, apa yang ingin dia lihat darimu. Saranku, paling cuma...’sering-sering pakai lingerie didepan dia,” Harry tersenyum nakal.
“Bukan tentang Sami,” Hanan mendesah. Apakah hanya itu yang ada dipikiran seorang laki-laki barat tentang wanita? “Tapi tentang kita. Aku ingin, kita menjadi dekat.”
Harry masih memandang Hanan, kali ini ia menyipitkan matanya. “Apa kita kurang dekat? Kurasa, selama ini, kita cukup dekat.”
“Kau tahu segalanya tentang aku. Kehidupanku, kegembiraanku, kesedihanku, masalahku. Tapi aku tak tahu apa-apa tentangmu.”
Harry termenung. Hanan sedang membicarakan kemurungannya akhir-akhir ini. Tapi bagaimana perempuan ini bisa tahu tentang sesuatu yang ia pendam sendiri? “Wah, kalau kau ingin tahu aku sejauh itu, kau harus ikut ke London. Kau akan tahu kehidupanku seutuhnya,” Harry tertawa menghindar. Tapi Hanan yang masih memandangnya serius, membuat tawa itu terhenti perlahan.
“Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”
Harry memandang jendela. Dibalik kaca bening itu, ia melihat langit Bandung yang biru jernih. Ada semaian awan tipis yang indah menghias. Hanan bilang, ia sering memandangi langit bersama Sami. Perlukah Hanan tahu, bahwa ia juga sangat sering memandang langit London bersama Ayah?
“Langit satu-satunya pemandangan damai ditengah sibuknya kota London,” suara Ayah suatu senja kembali terngiang ditelinganya. Sebelumnya, ia percaya. Tapi ia tak pernah mengira, bahwa Ayah memandangi langit untuk mencari kenangan tersisa bersama perempuan itu. Perempuan yang telah melukai hati ibunya.
“Tentang Ayah kita?” tanya Hanan canggung. Menyebut kata ‘Ayah’, lidahnya belum terbiasa. Dan saat lidahnya harus terbiasa, Ayah malah telah menghilang. Menyebut Ayah untuk pertama, pada sosok yang sudah tiada. Rasanya, seperti menyentuh bayangan gelap yang telah lama dirindukan.
“Tak ada.” Harry memutuskan untuk tak mengatakan apa-apa. Lebih baik menyembunyikan luka, pada perempuan yang sedang berbahagia ini.
“Kalau begitu... tentang pekerjaanmu?”
Harry mendesah. “Tak ada.” Kalaupun ada, Harry sekali lagi memilih untuk menyembunyikan. Masalahnya, Hanan tak mengerti sedikitpun pekerjaannya.
“Haa... tentang seorang gadis ya?” tebak Hanan yakin, ia tersenyum puas, seolah-olah Harry sudah menjawab bahwa tebakannya benar-benar tepat. Dan, Harry benar-benar terkejut, karena tebakan Hanan memang tepat mengena.
Seorang gadis, dengan gaun tidur putihnya tertiup angin, dengan matanya yang berkaca, dengan biola digenggamannya. Seorang gadis, yang bahkan ia sendiri tak tahu namanya.
“Sok tahu!” Harry tertawa. Karena dengan tertawa, jendela matanya akan menyempit, dengan begitu, keresahan hatinya yang tiba-tiba mencuat, tertutup sempurna. Harry beranjak meninggalkan Hanan masih dengan tawanya. Hanan memandang punggung kekar itu menjauh.
Sungguhkah tak ada masalah? Hanan terdiam tak yakin.
Didalam kamar, Harry duduk mematung. Hatinya  melembayung jingga. Antara sedih dan bahagia. Tentang Hanan, ia merasa lega. Meski sebenarnya, ia lebih suka Hanan ikut bersamanya. Kesedihan Hanan sejak ia bertemu kakaknya itu, membuat hatinya sedikit antipati terhadap Sami. Sebab Sami, tentu saja satu-satunya orang yang bisa disalahkan atas luka Hanan. Tapi keceriaan Hanan setelah memutuskan untuk kembali pada Sami membuat Harry mendukung keputusan itu. Tapi keputusan Hanan itu juga berarti satu hal. Ia harus segera kembali ke London.
Mengingat itu, Harry tiba-tiba merasa berat. Haruskah aku pergi secepatnya? Menjelaskan Pada Mommy tentang kepahitan? Lalu bagaimana dengan hatiku? Bukankah ia telah tertambat disini? Diwajah gadis itu?
“Mau kubuatkan nasi goreng, Harry?”
Suara Hanan terdengar dari pantry, menyentak lamunan Harry.
“Ya! Sosisnya yang banyak ya!” Harry balas berteriak, setelah ia menarik nafas tentu saja.
“Lalu bagaimana dengan kita?” kata Hanan menyambut Harry yang membuka pintu kamar dan berjalan kearahnya.
“Bagaimana apanya?” Harry memperhatikan aktfitas Hanan. Gadis pemilik mata Daddy itu menghentikan tangannya yang tengah memotong sosis, mata birunya menatap Harry.
“Tidakkah kita bisa bersama saja disini?”
Harry tersenyum, tawaran yang menggiurkan, tapi Harry menggeleng pelan. “Kita sama-sama punya kehidupan.”
“Lalu kapan kita berpisah?”
“Mungkin secepatnya.”
“Besok?”
“Lusa, sepertinya. Aku butuh waktu untuk berkemas.”
“Tak bisa lebih lama? Kau belum mengunjungi tempat-tempat mengasyikkan disini...”
“Mungkin lain kali...”
Hanan tertunduk diam. Ia ingin menangis. Meski belum dekat, tapi tetap saja, ia masih belum puas hidup sebagai seorang kakak.
“Kok, seperti aku yang kakakmu ya?” Harry mengacak rambut Hanan. “Cengeng!”
Hanan tersenyum. Kenapa ya, Sami dan Harry punya banyak kemiripan? Terutama, cara mereka memperlakukan Hanan. Termasuk, ketertutupan Harry. Sebelum kepulangan Harry, Hanan bertekad untuk membuka semua itu...

*   *   *

Sami tersenyum sejenak sebelum ia menekan bel pintu. 1256. Sami lekat memandang nomor kamar yang tergantung tepat didepan matanya. Tapi apakah Hanan akan marah mendapati dirinya datang menjemput? Terkejut iya, tapi marah sepertinya tidak. Hanan sudah mengijinkannya untuk datang kan?
Akhirnya dengan keyakinan itu, Sami menekan bel. Tapi senyum Sami mengerut tiba-tiba ketika dilihatnya seorang laki-laki tampan yang membuka pintu. Bukan Hanan. Apakah ia salah alamat?
Lelaki itu juga terpaku memandang Sami keningnya berkerut halus. “Kau Sami?” tanyanya sejurus kemudian.
“Masuklah, Hanan ada di dalam,” Harry membuka pintu lebih lebar. Tapi Sami masih mematung ditempatnya berdiri.
Matanya memaku mata Harry lekat.
“Sami?” Hanan muncul dibelakang Harry, ia terlihat terkejut sekaligus sumringah. Wajahnya benar-benar terlihat cerah. Tapi Sami memandang wajah cerah Hanan dengan senyum sekuncup. Matanya menyiratkan sesuatu yang tak terbaca. Baik Hanan ataupun Harry, tak ada yang bisa menafsirkan arti pandangan itu. Yang mereka tahu hanyalah, mata Sami berkaca tipis...
“Sami?” Hanan memandang Sami dengan khawatir yang sangat. Tidak, Sami. Jangan-jangan kau...
“Aku... hanya ingin melihatmu...” Sami tersenyum. Dipaksakan. Ya, sangat terlihat kalau senyumnya dipaksakan. Dan memang, senyum berat itu akhirnya tak bertahan lama. Sami tak berkata-kata setelah itu, ia memandang Hanan dan Harry, lalu mengangguk pelan berpamitan,kemudian benar-benar beranjak dengan salam yang sangat pelan.
Hanan terpaku ke tempat dimana Sami baru saja berdiri, dan Harry memandang Hanan dengan kening berkerut.
“Dia belum tahu tentang aku?”
Tak ada jawaban. Tapi Harry tahu, apa artinya itu...
“Ya Tuhan... dia salah faham, kakak...” Harry mendesah. Hanan tahu, Sami salah faham tentang Harry. Tapi entah dengan alasan apa, Hanan menahan tangan Harry ketika adiknya itu akan menyusul Sami.
“Kenapa?” Harry meminta jawaban.
“Tak perlu...”
“Kenapa?” Harry mulai marah dan tak sabar.
“Karena dia... tak percaya padaku...,” Hanan berbalik dan beranjak. Masuk kamar, dan membenamkan dirinya sendiri dalam kesedihan. Sami tak mempercayaiku... Sami tak percaya padaku...

*   *   *

Sami melepas jaketnya pelan. Berjalan menuju balkon dan memandang langit dengan mata yang sendu. Tapi bibirnya menggariskan senyuman tulus.
“Sudah kau temukan ambisimu, Hanan?” bisiknya pelan. Hatinya luka, goresan itu bertambah tak henti. Bahkan menyayat-nyayat di atas parut luka yang masih meninggalkan darah. Tapi apa yang bisa dilakukan? Jika takdir memang menghendaki demikian. Sami jelas merasa, ia tak berhak melakukan apa-apa, selain menerima apa yang telah Tuhan bentangkan untuknya...
Hanan akan meninggalkannya... sendiri...
Tuhan... izinkan aku menangis... menikmati luka ini...
Angin senja berdesir lembut, mengayun helaian-helaian rambut hingga menari. Sebagaimana senja yang biasa, langit bersemai semburat jingga. Entah bagaimana bisa, senja yang sama, bisa menghasilkan dua rasa yang berbeda.
Suara pintu yang terbuka membuat muka Sami berpaling. Huda baru saja keluar kamar, dan baru saja ia hendak melangkah menjauh, matanya bersirorok pandang dengan mata milik Sami, hingga gerakan tubuhnya kaku seketika. Langkahnya membeku dan gerakan tangannya berhenti di udara. Melihat Sami, lukanya terasa sangat menyakitkan dibanding ia tengah sendirian. Maka seketika setelah ia berhenti dari keterkejutan, Huda berbalik dan melankah cepat meninggalkan tempat itu.
“Huda!” Sami menahan langkah Huda. Huda menghentikan langkahnya, tapi ia belum ingin berpaling dan melihat ke arah Sami.
Sementara Sami memandang punggung Huda dengan sedih. Adik. Huda adalah adiknya. Adik adalah kata yang mudah bagi Sami, sebaliknya, bukan menyakitkan tapi malah menyenangankan. Sangat menyenangkan. Sebab dengan empat suku kata itu, ia bisa memahami kebenaran cintanya pada Hanan. Tapi bagaimana dengan Huda?
Sami menarik nafas dalam. Tidak, ini adalah masalah terbesar dalam hidup Huda.
“Huda, tunggu!” Sami kembali menahan Huda, karena Huda hendak menghindarinya dengan berlari menjauh. “Huda tunggu, kumohon...” kali ini Sami melangkah cepat dan menahan pergelangan tangan Huda. Memaksa Huda menghentikan langkahnya.
Huda terkesiap. Sami memegang lengannya. Memang, hanya pergelangan tangan yang terbungkus pakaian. Tapi entah mengapa, hati Huda bergelombang badai. Sami tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Tidak satu sentuhan pun. Hingga itu menjadi impian Huda siang dan malam. Sami menyentuhnya dengan punuh kasih, paling tidak, memegang pergelangan tangan Huda seperti sekarang. Tapi kenapa semuanya justru terjadi di saat Huda justru harus benar-benar mengubur impian itu dalam-dalam?
Huda... sadarlah, Sami adalah kakakmu...
Huda memejamkan matanya, berusaha menenangkan badai yang masih bergemuruh didalam dadanya.
“Tolong lepaskan tanganmu...,” pinta Huda lirih. Sungguh, Huda belum bisa menghentikan gemuruh itu. Sama sekali belum bisa. Semakin ia ingat bahwa Sami kakanya, Huda malah semakin tak ingin melepaskan Sami begitu saja. Huda hampir menangis untuk keseribu kali, ia sadar, ia mulai depresi dan gila menghadapi perasaannya sendiri.
“Maaf...,” Sami melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Huda. Sami tersenyum perih. Huda, aku ini kakakmu... lagipula, bukankah yang aku sentuh adalah pakaianmu? Bukan kulitmu? Bukankah itu berarti kau belum bisa menerima aku sebagai kakak kandungmu?
“Aku mengerti ini berat bagimu, Huda...”
Berat? Apa kau tak tahu, Sami... ini bukan berat, tapi sangat berat. Tubuhku bahkan tak sanggup menerima beban yang kini bergelayut dipundakku, jiwaku juga tak sanggup menyingkirkan himpitan bongkah yang terus menyesaki dada ini. Lebih dari itu, aku hampir saja gila dibuatnya... tidak, bukan hampir, tapi aku memang sudah gila! Kau tahu kenapa? Karena aku masih belum ingin menyingkirkan perasaan yang telah bertahun bersarang didalam dadaku. Silahkan sebut aku gila, Sami. Karena aku memang gila. Benar-benar gila!
“Tapi... aku tahu, kau adalah Huda yang kukenal tegar. Huda yang bisa mengatasi masalah dengan mudah. Asal kau tahu, luka bukan hanya ada dihatimu, adikku... tapi juga dihatiku...”
“Apa?” Huda berpaling menatap wajah Sami marah. Entah bagaimana, hatinya yang tengah terluka itu tiba-tiba merasa sangat tersulut. “Apa kau bilang?” Huda tersenyum sarkatis. “Hatimu juga terluka?”
Sami memandang Huda tak mengerti, tapi akhrinya ia mengangguk juga.
“Bagaimana kau bisa terluka, Sami? Bukankah ini berita yang menggembirakan bagimu? Bagi kalian? Kau dan Hanan? Bukankah ini yang justru kau tunggu-tunggu? Kau bahkan tertawa melihatku terluka!”
“Apa maksudmu, Huda?”
“Aku curiga, kau dan Hanan sengaja melukaiku, sengaja menyembunyikan ini dariku! Sengaja ingin membuat aku menangis! Bukankah ini rencana kalian berdua, hah?”
“Huda?!”
“Benar, ini rencana kau dan Hanan! Bukankah perempuan itu selalu ingin mengambil apa yang aku punya? Bukankah perempuan itu sejak awal kedatangannya selalu membuat hatiku sakit? Perempuan menyebalkan!”
“Huda! Hentikan bicaramu... Kau tahu aku tak seperti itu... kau tahu Hanan tak pernah berpikir seperti itu. Jika ada yang dikorbankan dan paling terluka, maka Hananlah orangnya... bukan aku, atau kau... Hanan lebih terluka dari kita semua...”
“Apa?! Kau membela Hanan didepanku? Disaat aku seperti ini?” air mata Huda tumpah.
“Huda... maaf... tadinya, aku menahanmu untuk memberimu kekuatan... memberimu semangat... justru aku tak mengerti mengapa tiba-tiba kau menyalahkan Hanan? Kau tahu Hanan tak ada hubungan sama sekali...”
“Tak ada hubungan? BUKANKAH KALIAN SEMUA SEPAKAT UNTUK MEMBOHONGIKU? BUKANKAH KALIAN SEMUA SEPAKAT MELUKAIKU?” Huda mulai bereteriak histeris.
“Bukan hanya kau yang dibohongi, Huda... tapi aku juga... aku sama terluka...” Sami berusaha tetap bicara lembut. Bukankah ia kakak Huda? Bukankah ia memang seharusnya lebih sabar dari Huda? Meskipun Huda telah membuatnya marah karena Huda telah melibatkan Hanan dalam masalah yang sama sekali Hanan tak tahu. Oh, Hanan... ternyata berlaku sabar dan menahan amarah itu teramat sulit. Lalu bagaimana kau bisa diam saat aku terus melukaimu? Bagaimana kau bisa sesabar itu....
“AKU BENCI KALIAN!” Huda berbalik melangkah kekamarnya dan membanting pintu hingga berdebam keras.
Sami memandang dengan luka perih...
Huda, aku hanya berusaha menjadi kakak yang baik...

*   *   *

“Sami, ada tamu...,” Ibu menyentuh pundak Sami lembut. Tapi selembut apapun sentuhan itu, tetap saja membuat Sami tersentak. Entahlah, ia sudah memutuskan mantap, untuk kebahagiaan Hanan. Tapi mengapa ia masih merasa sangat terluka?
“Sami?” Ibu menatap Sami khawatir. “Ada apa?”
Sami tersenyum, ibu belum tahu tentang keputusan yang telah diambilnya. Tapi Sami tak ingin menjelaskan sekarang, jadi ia hanya tersenyum memberi keyakinann pada ibunya bahwa tak ada hal penting yang terjadi. Tapi Sami lupa, tentang tajamnya perasaan seorang Ibu.
“Siapa, Bu?” Sami bertanya tentang tamunya, mengalihkan pandangan ibu yang terus menelisik matanya dan mengalihkan kembali pembicaraan. Ia tak ingin menyebut nama Hanan sekarang. Terlalu menyakitkan.
“Entahlah, ibu baru melihatnya sekarang...” ibu mengangkat kedua bahunya, tapi pandangannya belum beralih dari mata Sami. Tentu, ia merasakan kesedihan itu. Tapi karena apa? Yang pasti bukan Hanan. Sebab mereka akan bersama sekarang kan? Tapi apa? Bukankah hanya Hanan yang bisa membuat Sami sedih seperti ini?
 “Aku akan menemuinya sekarang..., terimakasih Bu.” Sami segera berpaling dan beranjak menjauhi Ibunya. Sepeka itukah perasaan seorang ibu? Meski ia bukan ibu kandungku? Sami terseyum perih...

*   *   *

Senja telah beranjak sejak tadi, berganti gelap dan dingin menyelimuti batin Sami. Pemuda bermata biru itu telah ada sisampingnya sekarang. Keputusan yang cukup berat untuk mengikuti ajakannya. Tentu tak mudah, sebab bagaimanpun ridha-nya hati Sami untuk menyerahkan Hanan pada pemuda ini, tetap saja ia merasa sakit. Manusiawi bukan? Sebab Hanan sekarang bukan lagi separuh jiwanya, tapi rasanya telah menjadi seluruh nyawanya. Memberikan Hanan, berarti membunuh dirinya sendiri.
“Tadinya kupikir... kau orang yang sangat menyebalkan...,” satu kalimat keluar dari mulut Harry, menggariskan satu senyum enggan dibibir Sami. Tak ada tanggapan lebih selain kepala yang sedikit tertunduk memperhatikan langkahnya yang susul menyusul. Betapa pun sakitnya, ia harus memperlihatkan ketegaran disamping Harry, ia sangat tidak ingin terlihat rapuh. Tidak, ia sama sekali tak peduli dengan Harry, ia hanya tak ingin berita tentang dirinya akan sampai pada Hanan. Hanya itu.
“Bagaimana Hanan?” tanya Sami dengan hati yang berat. Ia ingin tahu keadaan Hanan, ingin tahu apa yang dilakukan Hanan setiap detik, ingin tahu perubahannya setiap jenak, tapi Sami tahu, jawaban yang sangat ia ingin tahu itu, mungkin akan membuat dirinya bertambah sakit. Nyawa itu telah pergi dari rongga dadaku, membiarkannya menjadi kosong... begitu saja...
“Dia banyak menangis...,” Harry menghentikan langkahnya dan melihat wajah Sami seksama. Tak ada yang berubah dari raut muka itu.
“Hanya untuk beberapa hari... setelah itu, dia tak akan menangis lagi...,” Sami juga menghentikan langkahnya. Kali ini ia menghadapkan tubuhnya dan menyandarkan kedua sikutnya di pagar jembatan. Pandangannya menatap jauh, melihat kerlap-kerlip lampu kota yang terlihat gemerlap. Ya, hanya untuk beberapa hari. Untuk kedepannya, hari-hari Hanan akan penuh tawa. Dia akan bahaga karena dia akan bersama obsesi yang selama ini dia harapkan. Tidak akan terluka dan banyak menderita seperti saat Hanan hidup dengan dirinya...
Ah, mengingat itu, luka dihati Sami kembali basah dan mengucurkan darah.
“Kukira...,” Harry memotong kata-katanya. Ia mengikuti gerakan Sami dan berdiri tepat disamping Sami. Tapi Harry tak melihat kejauhan, ia hanya melihat mobil-mobil melaju dan menghilang dibawah jembatan yang tengah dipijaknya, atau mobil yang tiba-tiba muncul dibawah kakinya. “Kukira... kau salah faham tentang kami berdua, Sami...” Harry tersenyum, tapi Sami tidak. Mata sendu itu menatap Harry tak mengerti.
“Aku dan Hanan...”
“Kalian bersaudara, kan?”
Kini Harry yang tersentak.
“Apa aku salah?” Sami memandang bertanya pada mata Harry. Dan Harry menjawabnya dengan tawa sarkartis.
“Kau sudah tahu aku adiknya, tapi kau tetap meninggalkannya dan membuangnya?”
“Aku tak tahu kau adik Hanan, tapi aku yakin kalian bersaudara. Dan memang karena alasan itu aku meninggalkan Hanan,” Sami mengalihkan pandangan, kembali melihat kejauhan.
“Heh, kau gila ya? Kalau kau tak menyangka aku pacarnya, buat apa kau meninggalkannya?” Harry bertanya menahan marah.
“Karena aku ingin mewujudkan obsesi Hanan...”
“Apa?” Harry lekat memandang wajah Sami dari samping. Tapi meski begitu, ia melihat senyum tulus itu. Ketulusan yang baru pertama kali ini ia lihat di wajah seseorang. Ketulusan, seperti pandangan mommy pada dady, juga pandangan Hanan pada Sami. Sekarang, ketulusan itu hinggap di pancaran mata Sami. Ya, mata itu sendu, tapi tulus, sekaligus bahagia. Entahlah...
“Hanan begitu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia jelas-jelas mengatakan padaku, kalau ayahnya, adalah obsesi terbesar dalam hidupnya. Apa salah jika aku ingin Hanan bahagia dengan obsesinya?” Sami lagi-lagi tersenyum, namun kali ini, senyumnya diarahkan pada Harry. Harry menjawabnya pertanyaan Sami dengan diam.
Jadi Sami menyangka, kalau aku akan membawa Hanan pada Ayah? Jika pun itu mungkin, rasanya aku berpikir ulang puluhan kali…
“Heh, kau membiarkan dirimu terluka untuk kebahagian dia?” Harry tersenyum sinis, membuat Sami memandang Harry dengan kening berkerut.
Kenapa? Apakah cinta begitu asing bagi anak ini?
“Aku tak tahu orang lain, tapi aku akan melakukannya untuk Hanan. Aku tak tahu karena cinta atau karena rasa bersalah yang dalam. Aku hanya tahu, kalau aku ingin melakukannya... membuat gadis kecilku tersenyum selamanya...” Sami tersenyum menerewang.
“Kau akan sakit hati luar biasa jika dia jauh, sakit karena kau merindukannya...,” Mata Harry sedikit berkaca. Dan kerinduan di puncak hatinya kembali terbelah. Nah, rindu itu sakit kan? Apa kau belum merasakan apa yang aku rasakan, Sami? Tahu rasa jika kau merasakannya segores saja! Harry mencibir dalam hati.
Sami menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan. “Sudah... sudah kurasakan...,” Sami menepuk sekaligus meremas dadanya. “Tapi jika hanya itu yang bisa ku lakukan...”
“Kalau begitu tak perlu kau lakukan, kakakku bahagia bersamamu...”
Sami menoleh dan membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi dengan segera mulutnya mengatup, karena ternyata kalimat Harry belum selesai.
“Lagipula... aku tak perlu membawa dia bersamaku...”
“Tapi...”
“Tadinya... aku memang berpikir untuk membawanya bersamaku. Dia adalah keluargaku satu-satunya sekarang, apalagi setelah matanya bengkak setiap hari karena menangisimu, aku bernar-benar bertekad membawanya jauh darimu.”
Sami membeliak, tapi Harry tak peduli, ia terus berkata dan menyelesaikan kalimat-kalimatnya.
“Hhh... tapi setelah dia mengatakan kalau dia memilihmu, daripada aku, aku... menyerah...” Harry mengangkat kedua bahunya sembari tersenyum. Senyum pertama yang diperlihatkannya pada Sami. Sebenarnya mungkin, Sami memang tak seburuk dugaannya. Lagipula... memang tak mungkin kan Hanan mencintai seseorang yang tak pantas untuknya?
“Memilihku? Maksudmu...” Sami mulai lelah menerka.
“Kau tahu Sami, Aku datang menemuinya setelah kematian ayah beberapa tahun silam. Itu mungkin lebih baik...,”Harry tersenyum sendu.
“Ayah Hanan sudah meninggal? Tapi bagaimana mungkin?” Sami tiba-tiba merasa sedih. Kesedihan yang tiba-tiba muncul mengingat perasaan yang mungkin Hanan rasakan. Ya, ia merasa sedih untuk Hanan. Obsesi Hanan tak akan pernah sampai pada tujuannya...
“Lagipula, bayinya lebih butuh ayah daripada paman kan?” Harry tertawa, tapi tawanya tiba-tiba menguncup seketika setelah ia menyadari reaksi Sami yang justru mematung kaku dengan wajah yang pias.
“Apa... tidak. Tidak. Jangan katakan kalau Hanan belum mengatakan ini padamu...,” Harry menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hanan... hamil?” suara Sami rendah. Sungguh ini halilintar yang meledak dalam kalbunya. Hanan hamil?
Harry menjawabnya dengan mata yang juga terbeliak sama. Hanan bodoh!
“Tidak Hanan..., kenapa dia menghukumku sekeras itu, Harry...” Sami menangis. Tapi meski dengan sebak yang belum dapat ditahannya, ia berlari tanpa bisa dicegah. Berlari, menuju Hanan.
Hanan sedang berdiri menatap angin di balkon apartemen ketika Sami membuka pintu cepat dan menerobos masuk, tanpa salam.
“Sami?” Hanan berbalik segera setelah ia mendengar bunyi pintu terbuka. Kini mereka saling berdiri berhadapan beberapa jarak. Sami menangis, sekarang beruraian semakin deras, meski tanpa isakan. Sementara kaca dimata Hanan yang sejak tadi tertahan, kini pecah dan berhamburan keluar.
“Kenapa kau tak mempercayaiku, Sami?” Suara Hanan terdengar keras.
“Kakak, kau salah faham,” Harry hendak menghampiri Hanan, namun Sami menahannya.
“Aku memang bersalah  padamu, Hanan. Besar. Terlalu besar. Tak bisa kutimbang lagi. Tapi tak terlalu beratkah hukuman yang kau timpakan padaku?”
“Hukuman apa? Aku bahkan memaafkanmu tanpa hukuman sedikit pun, sementara kau tetap mencurigaiku?” Hanan marah, tapi Sami semakin menangis sedih.
“Aku baru saja dibohongi oleh seseorang yang begitu kuhormati dan kucintai sepenuh jiwaku, sekarang, dalam waktu sesingkat ini, aku dibohongi kedua kali oleh seseorang yang kucintai sepenuh nyawaku...” Sami tergugu.
Beberapa saat Hanan memandang Sami beku. Ia sadar sekarang, Sami mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia bicarakan. Hanan memandang Harry, meminta jawaban. Tapi Harry berpaling dan malah berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.
Sekarang, Hanan kembali memandang Sami.
“Berbohong? Siapa…” Hanan mendekat selangkah pada Sami. Hatinya mulai beriak tak enak. Apakah ia telah berbohong pada Sami? Mungkinkah Sami…
“Kalian berdua!”
“Kalian…”
“Ya… Ibu… dan kau…”
“Berbohong apa, Sami? Kami tak pernah membohongimu…,” meski sungguh, saat mengatakan itu, Hanan sendiri mulai meragukannya.
“Apa bedanya? Ibu menyimpan rahasia itu selama bertahun-tahun. Menyimpan sesuatu yang seharusnya aku paling tahu… kau tahu Hanan, kenyataan bahwa aku bukan anak nya rasanya seperti ditusuk ribuan pedang sekaligus. Bukankah ibu sangat kejam melakukan itu padaku?”
Hanan mendekat semakin memperpendek jaraknya dengan Sami.
“Tidak Sami…”
“Tapi sekarang aku tahu, kau lebih kejam daripada ibu…”
“Tidak, Sami…” Hanan menggeleng, sembari mengusap air mata Sami dengan kedua tangannya.
“Tidak? Apa bedanya? Kau  menyembunyikan sesuatu yang seharusnya aku yang paling tahu… seharusnya aku orang yang pertama kali tahu…,” Sami menangis lagi. “Atau kau sengaja menghukumku, Hanan? Inikah hukumanmu atas semua kesalahanku? Karena aku tak pernah layak jadi suamimu? Jadi ayah bayimu?”
“Tidak Sami, hentikan!” Hanan merengkuh kepala Sami dan menenggelamkannya kedalam pundaknya. “aku tak pernah berniat membohongimu…”
“Kenapa kau lakukan itu, Hanan? Hukuman itu rasanya terlalu berat…”
“Tidak, Sami… kumohon hentikan. Kau adalah suami yang paling pantas untukku, dan ayah yang paling pantas untuk bayiku, Sami. Bayi kita…”
Tapi Sami tak ingin mendengar. Berulang-ulang kata ‘kenapa’ itu masih keluar dari mulutnya, bersama desahan luka penyesalan, dan luka tersakiti yang tak kunjung memudar…

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar