Sabtu, 21 November 2015

Mozaik Cinta (Bagian VII)

Pertemuan Hanan dengan Tante Diah berjalan lancar. Luna yang ternyata sosok yang cukup jangkung untuk ukuran anak perempuan, ternyata sangat menyukai gaunnya. Sederhana tapi terkesan mewah dan mahal. Juga berkelas tentu saja. Itu kata Luna. Tapi Hanan harus sedikit merubah bagian pinggul agar jahitannya tak terlalu dibawah, supaya tubuh menjulang Luna sedikit tersamar. Luna setuju, bahkan gadis cantik bermata sipit itu berterimakasih berkali-kali.

Ia harus berterimakasih pada Sarah. Ia menelepon Sarah tadi malam, sebelum ia merancang gaunnya, meminta masukan Sarah tentang gaun yang cocok untuk konsep yang diinginkan Luna. Sesuai dugaannya, masukan Sarah ternyata sangat berguna.

“Aku tak tahu kalau kau menelepon Sarah,” kata Sami ketika siang itu lagi-lagi ia datang. Ia bertanya tentang tanggapan Tante Diah atas gaun hasil rancangan Hanan. Dan Hanan menceritakan detailnya pada Sami.

“Aku sudah kenyang,” kata Hanan. Bukan menjawab Sami, tapi menolak suapan Sami yang keempat.

“Baru satu suap, kau sudah kenyang?”

“Tiga,” Hanan mengoreksi.

“Tiga suap kecil, sama saja dengan satu suap kan?”

Hanan tertawa, “Satu suapmu terlalu besar!”

Sami melotot.

“Aku minta maaf.”

“Untuk?”

“Acara kita yang batal.”

“Kau mengatakan maaf untuk itu sudah seribu kali. Jangan ditambah meski satu kali lagi,” Sami menggigit ‘cincin cumi renyah’-nya.

“Bagaimana kalau aku menebusnya?” Hanan mencondongkan tubuhnya kearah Sami. Dan Sami menjawab ide Hanan dengan kening berkerut. Soalnya, mulutnya sedang penuh dengan nasi.

“Sekarang, aku ikut kekantormu ya?”

“Hah?”

“Pulangnya nanti, aku akan mengajakmu kesebuah tempat. Bagaimana?”

“Kujemput saja nanti.”

“Aku tak boleh tahu kantormu?”

Sami meneguk minum. Makannya sudah selesai.
“Bukan begitu, tapi kau bisa mati karena kesal.”

“Tidak akan...,” Hanan melingkarkan tangannya di lengan Sami, marajuk. “Kalau ada Sami, pasti tak akan bosan. Ya..., kecuali kalau kau meninggalkanku meeting sampai malam.”

Sami mendesah. Sebenarnya, masalah utamanya bukan itu, Hanan. Tapi bagaimana menjelaskannya padamu...

“Tak bisa ya?” Hanan menatap Sami sedih.

“Kau begitu ingin tahu kantorku ya?”

Hanan mengangguk. Aku ingin tahu kau lebih banyak. Itulah alasannya. “Kau sering datang kemari, tapi aku tidak pernah ketempatmu. Aku ingin kenalan dengan semua teman kerjamu, nah, aku bisa memberi brosur butikku kan?”

Ide Hanan membuat Sami tertawa, tapi ia mengangguk juga. Sudahlah, masalah yang akan timbul, jika memang akan ada masalah, biarlah terjadi. Kali ini, Sami hanya ingin menganggap Hanan lebih dari sekedar teman. Itu saja.

Jadilah hari itu, Hanan pulang lebih cepat.

“Map-nya aku bawa saja, nanti biar kupelajari dirumah,” Hanan berhenti dimeja Rani sementara Sami lebih dulu melangkah keluar.

“Ya, Bu.” Rani menyerahkan map berisi arsip para pelamar yang diingankan Hanan.

“Ini yang sudah kamu seleksi kan?”

“Tentu dong, Bu. Masa saya nambahin kerjaan Ibu, gak tega. Mana pengantin baru lagi...,” Rani melirik Sami dengan ujung matanya, menggoda Hanan. “Saya senang, sekarang Ibu lebih banyak tertawa.”

“Bisa saja, memangnya dulu aku banyak marah?” Hanan memukul bahu Rani dengan ujung map. “Sudah ya, aku pulang.”

Setelah mengucap salam pada semua dan menyapa pelanggannya sebentar, Hanan menyusul Sami ketempat parkir. Sami sudah siap berangkat ketika Hanan tiba, mobilnya sudah dibibir pintu keluar parkir.

“Maaf ya.”

“Menambah karyawan?”

Mobil mulai melaju kejalanan yang agak lenggang.

“Ada penjahit yang mau keluar, sebentar lagi melahirkan, katanya mau mengurus anak saja dirumah. Tapi sekalian juga menambah, dua penjahit lumayan keteteran,” Hanan memasang sabuk pengamannya.
“Jauh tidak?”

Hanan belum pernah kekantor Sami. Hanya dengar alamatnya saja. Dan perlu tahu, Hanan buta peta. Hanan tidak mengerti, Jalan Merdeka, tempat kantor Sami berdiam itu ada dimana.

“Sepuluh menit juga nyampe,” kata Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya. Lampu kuning, dan Sami memilih berhenti daripada menerobos cepat-cepat sebelum lampunya berubah merah. Mobil dibelakang Sami membunyikan klakson, tapi Sami tak peduli. Dan sedetik kemudian, lampu itu memang berubah merah.

“Jauh juga...,” Hanan tersenyum.

“Jauh tapi senang. Kok aneh!”

“Habis, Sami mau bolak-balik dua puluh menit cuma untuk makan siang bersamaku, aku benar-benar merasa senang,” Hanan melonjak sembari duduk. Maksudnya, kalau saat itu diluar mobil, Hanan pasti sudah loncat-loncat.

Sami tersenyum. Pandangannya beralih kedepan lagi, tapi tangan kirinya terulur kesamping dan mengambil jemari Hanan untuk ia remas. Hanan memandang tangan Sami dipangkuannya, lalu ia melihat wajah Sami. Katakan padaku, kalau sikapmu ini bukan sekedar untuk membahagiakan aku, Sami...

Sami benar soal meloncat-loncat itu. Hanan memang melakukannya saat ia mengingak teras kantor Sami. Hanan memang ekspresif, Sami menggeleng tersenyum.

“Pantas saja Ibu selalu memanggilmu gadis kecil,” kata Sami.

“Apa?”

“Tidak, bukan apa-apa,” Sami lagi-lagi tersenyum.
Setiap bertemu orang yang berpapasan dengannya, mulai dari satpam, cleaning servis sampai pegawai berdasi, Hanan selalu menyapanya. Senyum lebar tak pernah lepas darinya. Dan hebohnya, Hanan selalu memperkenalkan dirinya. “Saya Hanan, istri Sami.” Hhh! Bikin malu. Tapi, mungkin malu yang menyenangkan.

Sami menggenggam tangan Hanan dan menariknya, ketika langkah Hanan terhenti pada beberapa foto yang terpajang didinding lobi lantai dua. Kebanyakan foto-foto gedung atau rumah.

“Itu foto-foto hasil kerjamu?” Hanan tercengang. Kebanyakan adalah hotel dan kantor perusahaan terkenal. “Hah, ternyata kamu hebat ya?” Hanan meninju bahu Sami.

“Bukan hasil kerjaku, hasil kerja kami.”

“Ya... sama kan?” Hanan bertanya pada dirinya sendiri. Apa beda ya?

“Tentu saja beda,” jawab Sami ketus. Tapi Hanan tersenyum.

“Sami berubah berwibawa kalau dihadapan anak buah ya?”

Sami menoleh pada Hanan. Maksudnya? Sami melontarkan kata-kata itu lewat matanya.

“Ya..., berwibawa tapi cenderung galak.”

Sami berbalik dan tanpa diduga, mencubit pipi Hanan.

“Aw!” Hanan mengusap-ngusap pipinya. Sami mencubitnya keras sekali.

“Hati-hati kalau bicara! Dasar gadis kecil!” Sami meninggalkan Hanan dan membiarkannya berlari menyusul langkah-langkah lebar Sami.

“Apa? Aku bukan gadis kecil!”

Sami sudah masuk kedalam ruangannya, sementara Hanan tertinggal beberapa jarak. Langkah Hanan tertahan oleh sesuatu. Di pertigaan koridor Hanan berpapasan dengan perempuan berambut coklat itu. Sepupu Sami, Huda. Mereka saling memandang terpaku.

“Hai,” kata Hanan. ia berhasil menguasai diri lebih cepat. Seperti biasa, senyumnya mengembang lebar.
Huda membalasnya juga dengan senyuman, tapi senyuman Huda itu senyuman anggun. “Kau baru pertama kali kemari ya?”

“Mh,” Hanan mengangguk. Apa aku tak salah, kenapa mata Huda seperti itu? terlihat sendu? Bahkan sedih? Huda memang tersenyum, tapi matanya menangis. Entah kenapa, Hanan merasa seperti itu.

“Hanan, kau nyangkut dima...,” Sami mebuka pintu dan kalimatnya terhenti ketika dilihatnya Hanan tengah bersama Huda. Sami dan Huda berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya Sami masuk kedalam ruangannya kembali. Ada satu kilatan dimata Sami yang membuat Hanan menelan ludah. Tidak, ini cuma perasaanku saja!

“Baru selesai makan siang, ya?” tanya Hanan mengalihkan perhatian. Hanan melihat kotak makan siang yang didekap Huda. Huda melihat arah pandangan Hanan sebelum kemudian ia mengangguk ragu.

Hanan tak perlu tahu kalau kotak itu adalah kotak makan siang untuk Sami yang tak dimakannya. Ya, Huda baru mengambilnya kembali, dan makanannya utuh tak tersentuh. Apakah kau sudah benar-benar mengambil dia dariku, Hanan?

“Ruanganmu sebelah mana?”

“Ruangan sebelum ujung lorong ini,” Huda menunjuk dengan telunjuknya, dan Hanan mengikuti arah itu.

“Aku boleh kesana nanti ya?”

Huda mengangguk. Lalu Hanan pamit menuju ruangan Sami. Dada Hanan berdegup keras, kilatan dimata Sami itu...

Hanan menghela nafas. Tidak, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Sami masih menyimpan Huda didalam hatinya. Tapi sesuatu yang wajar bukan? Hanan baru beberapa saat masuk kedalam dunia Sami, sementara Huda, telah bersamanya berbilang tahun. Jadi butuh waktu bagi Hanan untuk menggeser posisi Huda. Ya, ini hanya masalah waktu. Tapi, bukankah aku juga harus berusaha?

Hanan tersenyum sebelum membuka pintu Sami. Ya, ia akan berusaha. Cinta Sami akan ia perjuangkan, dan ia yakin, perjuangannya akan membuahkan hasil yang baik.

Sami sedang menelfon seseorang ketika Hanan masuk. Ia berdiri (atau duduk) bersandar pada meja besar miliknya. Melihat Hanan, Sami melambai padanya untuk mendekat. Hanan menurut.

“Yah, masalah harga bisa kita negosiasikan lah,” Sami meraih tangan Hanan dan memainkannya. Hanan memutar pandangan mengelilingi ruangan. Interiornya sangat mirip dengan di rumah. Minimalis, dengan dominasi warna putih. Ruangan itu tampak lapang dan terang. Satu pohon anthurium diujung sana menambah hiasan untuk mata. Terlepas pohon itu palsu atau tidak.
Sami tertawa, membuat kepala Hanan menoleh padanya. Mata Sami juga sedang memperhatikan Hanan. “Tentu saja! Asal Bapak cocok dengan gambar kami. Bagaimana?”

Sami menarik Hanan semakin mendekat.

“Ya..., saya tahu lah bagaimana Bapak. Ya, tenang saja. Kami yakin Bapak puas,” Sami memandang tepat kemata Hanan.

“Memang lebih bagus kalau Ibu juga ikut dilibatkan, nantinya beliau kan yang akan sering ada dirumah?”

Orang diseberang Sami mengatakan sesuatu yang membuat Sami tertawa lagi. Lalu setelah menutup percakapan dan mengucap salam, Sami meletakkan telefonnya.

“Proyek besar?” Hanan bertanya antusias.

“Begitulah,” Sami memainkan lagi jemari Hanan, kali ini dengan kedua tangannya. “Beliau pejabat penting di Kejaksaan. Mau renovasi rumah. Dan ya, seperti Tante Diah-mu itu, dia ingin aku yang menggambar sendiri. Bukan karyawanku.”

“Baguslah,” Hanan tertawa. “Sekarang, giliranku yang menemanimu begadang. Mh?”

Sami mengangguk. “Eh, bagaimana kantorku?”

“Sangat Sami sekali!”

“Kalau begitu, Sangat Hanan juga. Benar kan?”

Senyum Hanan menguncup. Tentu mereka punya selera yang sama.

“Kenapa? Kau tak suka selera kita sama?”

Hanan diam untuk beberapa saat.

“Ada apa?”

“Tidak, sebenarnya aku agak terganggu dengan kata-kata yang sering kudengar.”

“Yang mana itu?”

“Bahwa suami istri itu punya sifat yang saling melengkapi.”

“Lalu karena kita punya selera sama, kita tak bisa saling melengkapi. Begitu menurutmu?”

“Kumohon katakan, keresahanku salah.”

“Hanan... Hanan,” Sami mengacak kepala Hanan. Kali ini bukan rambut, karena Hanan memakai kerudung. “Kau perempuan, aku laki-laki. Perbedaan itu cukup untuk membuat dua orang manusia memutuskan untuk bersama. Benar kan?”

“Cukup itu saja?”

“Cukup. Aku malah lebih senang selera kita sama, aku kadang tidak tahan dengan perbedaan.” Aku dan Huda jauh berbeda, jika kata-kata Hanan benar, itukah alasannya aku begitu sulit melupakan Huda?
Hanan merenung.

“Sudahlah. Bantu aku kerja ya?”

Sami melepaskan tangan Hanan dan berjalan mengitari meja lalu duduk dikursinya. “Ambil kursi dan bantu aku periksa ini,” Sami menyodorkan sebuah map tebal pada Hanan. Hanan menerimanya dan membukanya.

“Sini duduk,” Sami berdiri dan meminta Hanan duduk dikursinya. Ia baru sadar, tak ada kursi lain selain sofa diruangan ini.

Tapi bukannya membaca isi map yang diberikan Sami, Hanan malah melihat benda-benda diatas meja Sami. Hanan bertopang dagu dengan cemberut.

“Kenapa?”

“Kalau aku lihat di sinetron, diatas meja direktur selalu ada foto.”

Sami tersentak. Dimejanya memang ada foto, tapi bukan foto Hanan, melainkan foto keluarganya. “Memangnya dimejamu ada fotoku?”

“Tentu saja,” Hanan tersenyum. “Kamu tak memperhatikannya? Foto pernikahan kita.”

“Kamu memajang foto pernikahan kita?”

Hanan mengangguk kuat. “Kenapa kau tidak?”

Sami menutup mapnya dan menyimpan di meja. Kenapa ia tidak. Karena sama sekali ia tak ingat. Tapi jangan coba bicara jujur deh.

“Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang?”

“Eh?”

Sebelum Hanan sempat mengatakan apa-apa, Sami mengambil foto Hanan. “Nah bagaimana?” Sami menunjukkan hasilnya pada Hanan.

“Jelek!” Hanan mau merebut ponsel Sami, berniat menghapusnya. Ia tidak siap saat Sami mengambil gambarnya. Tapi Sami menarik kembali tangannya menghindari sambaran tangan Hanan.

“Jangan dihapus, ini bagus. Akan kuberi judul, gadis kecil yang sedang bengong,” Sami tertawa, apalagi setelah mulut Hanan mengerucut, tawanya semakin keras. Tak menyadari sama sekali, kalau tawanya mengundang tanya dan senyum dari para karyawannya.

“Pak Sami tertawa? Sekeras itu? hah, istri berpengaruh sangat besar ya!” dan komentar-komentar itu membuat Huda kesal tanpa sebab. Tanpa sadar, tangannya meremas kertas yang tengah dipegangnya.

Sami menyuruh Hanan berdiri. Lalu setelah Sami duduk dikursinya, tanpa aba-aba, ia menarik Hanan kepangkuannya. Hanan benar-benar kaget, sampai tak bisa bereaksi ketika Sami mengambil gambar mereka berdua.

“Heh? Gadis kecil ini suka bengong ya!” Sami melihat hasilnya. Hanan masih tak  bereaksi. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak karena ruang dadanya tiba-tiba berasa sempit. Ya Tuhan, aku duduk dipangkuan Sami! Apa Sami tak merasa gugup seperti dirinya?

“Hei, santai saja...,” Sami tersenyum pada Hanan. Hanan menoleh, tapi begitu menyadari bahwa wajah Sami begitu dekat, kegugupan Hanan semakin tak terkendali.

“Ayo lihat sini, lalu senyum yang lebar. Aku tak mau fotomu yang sedang bengong yang menemaniku kerja, nanti aku malah tertular bengongnya,” Sami mendekatkan kepalanya ke kepala Hanan, sementara tangan yang lain menjauhkan ponsel sejauh tangannya bisa terulur. “Senyum...” Sami mengambil gambar mereka beberapa kali. Lalu saat itu juga, Sami memprint hasilnya. Seperempat bagian kertas HVS.

“Nanti aku minta Rian memprint-nya di kertas foto. Lalu pulang dari sini, kita beli figuranya, ini untuk sementara saja,” Sami melipat kertas hasil print itu sedemikian rupa sehingga bisa berdiri. Sami menyimpannya disamping foto keluarga. “Kau senang sekarang?”
Hanan tersenyum. “Rian itu siapa?”

“Sekretarisku.”

Hanan membulatkan mulutnya, menyebut ‘oh’ panjang.
Setelah acara memotret itu selesai, Sami berniat kembali bekerja. Tapi keberadaan Hanan didekatnya, membuat konsentrasinya hilang sempurna. Bukannya menekuni layar laptopnya, Sami malah menekuni wajah Hanan yang tengah membaca isi map yang tadi diberikannya. Dan semakin melihat Hanan, Sami semakin tidak bisa bekerja.

Sejarah! Sami tak pernah seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada yang bisa mengalahkan perhatiannya dalam bekerja. Jadi, apa ini namanya?

*   *   *

 Sore itu Sami mendapatkan kejutan dari Hanan. Sebenarnya tak bisa dibilang kejutan juga. Karena tempat yang mereka kunjungi bukan tempat istimewa. Tapi tetap saja diluar dugaan Sami. Masalahnya, bagaimana Hanan tahu Sami sangat suka tempat ini? Tebak apa! Yup! TOKO BUKU!

“Simple saja, karena aku juga suka tempat ini...,” Hanan mengedipkan mata. “Jadi kau memaafkan aku?”
Sami tertawa lebar, sebelum akhirnya ia merengkuh Hanan. “Tentu saja, asal kau yang traktir!”

“Apa? Tidak! Tabunganku bisa habis semalam!” Hanan menghindar tertawa. Tapi sebenarnya, keduanya tak peduli siapa yang membayar. Asal kerakusan mereka disini bisa tersalurkan, jadi tak akan ada orang yang mengusir mereka karena mereka berkeliling berjam-jam tanpa membeli. Jadi selama mereka bisa pulang dengan segunung buku, tak masalah. Dari siapapun uangnya.

Tapi hindaran Hanan mungkin ada benarnya, karena setiap mereka berdiri dikasir, Selalu Sami yang mengeluarkan isi dompet. Tangan Hanan selalu dipegang Sami, jadi tak ada kesempatan baginya untuk menyumbang. Hanan membiarkan saja, karena ia tahu, lelaki sangat senang jika hasil keringatnya sangat berguna bagi istrinya.

“Mau membuatkanku?” Sami memperlihatkan sebuah buku yang terbuka pada Hanan. Sebuah kue tart penuh lapisan coklat. Hanan memperhatikan dan menangguk yakin. “Bagus! Kita beli ini,” Sami memasukkan buku resep itu kedalam tas belanjaanya.

“Kau suka coklat?”

“Sangat. Kenapa?”

“Tak aneh. Aku juga suka. Sangat!” Hanan mengerjapkan matanya.

“Oh? Bagus! Pulang dari sini, kita langsung beli bahannya ya?”

“Tidak mungkin!” Hanan meringis. “Ini sudah lewat dua puluh menit dari waktu Isya,” Hanan berbisik.
Sami tersentak melihat jam tangannya. Ajaib! Bukankah ia baru melakukan shalat maghrib satu menit yang lalu? Sami melihat sekeliling. Sudah hampir sepi.

“Ayo pulang,” Sami menggamit lengan Hanan.
Mereka membayar buku mereka untuk benar-benar pulang dan benar-benar kaget dengan prilaku mereka sendiri saat meminta kembali barang-barang yang dititipkan.

“Sebanyak ini?” mata Hanan membulat, bola mata birunya hampir meloncat. Petugas itu memberikan mereka tiga kresek penuh buku. Dan itu belum semua, petugas itu masih mengeluarkan isi kotak penitipan mereka.

“Tak ada yang terlewat kan?” petugas itu bertanya. Sami dan Hanan saling bertukar pandang, memangnya mereka ingat? Harusnya kan yang bertanya ‘masih ada yang tertinggal?’ itu kan mereka.

“Maaf, soalnya kotaknya kepenuhan, jadi kami simpan di bawah. Tapi seingat saya memang segini, di kotak yang lain nggak ada lagi kresek berisi buku,” kata petugas itu menggaruk kepala. Ya sudah. Tapi Sami dan Hanan kaget juga, mereka belanja gila-gilaan, seperti mau buka toko buku saja!

“Kita ini pasangan luar biasa!” Sami berbisik ditelinga Hanan. Tampak sekali ia merasa berat dengan kantong-kantong yang dibawanya. Tapi ketika Hanan mau membantu membawanya satu kantong saja, Sami menolak keras. Oh, baiklah, Sami sedang menikmati perannya sebagai lelaki. Sebagai suami.

“Apa kau... tak merasa lapar?” tanya Sami setelah mereka masuk mobil. Ia baru ingat, mereka belum makan. Makanan terakhir yang masuk keperutnya adalah dari nasi kotak makan siang yang dibuatkan Hanan.

“Mau kubuatkan sesuatu?”

“Bagaimana kalau... nasi goreng?”

“Sami... setiap pagi kita makan nasi goreng, apa menu makan malam juga harus nasi goreng?”

“Yup, nasi goreng ayam spesial buatanmu!”

Hanan menghembuskan nafas. Paling tidak, untuk urusan nasi goreng, ia tak semaniak Sami. Well, ini perbedaan yang cukup melegakan.

“Tapi kalau kamu capek, kita makan diluar saja,” Sami memutar kemudi ke arah kiri. Untungnya jalanan seputar Dago tak pernah sepi. Jadi tak perlu merasa pulang paling malam. Tapi memang tak terlalu malam sih, ini kan baru jam delapan. “Ke Ampera?”

“Ehm..., kau lebih suka dirumah Sami?”

Sami melirik Hanan dan tersenyum. Ya, ia lebih suka di rumah. Ia bersyukur Hanan begitu mengerti.

“Cuma masak nasi goreng sih tak perlu banyak energi,” Hanan tertawa, membuat Sami lega.

“Tenang, bantuan siap datang,” balas Sami.

Setelah makan, Hanan baru punya kesempatan melihat-lihat buku yang baru mereka beli. Cuci piringnya besok saja deh!

Bukunya sudah Sami keluarkan dari kantong kresek dan dikelompokkan secara bertumpuk. Sami melakukannya ketika ia sibuk membuat nasi goreng. Ya, Sami membual soal bantuan itu. Alih-alih Sami langsung membuka kantong belanjaannya. Tapi Hanan malah senang, kalau Sami membantunya mengiris bawang lagi, proses membuat nasi goreng bukannya ekspres, tapi malah setahun lebih lama.

Novel, buku tentang bangunan yang Hanan tak mengerti, buku Sejarah yang Hanan sukai, buku tentang busana, resep, sampai buku tentang politik, sudah bertumpuk berkelompok dengan teratur. Yang terakhir, tangan Sami yang paling banyak mengambil. Meski badannya agak lelah, tapi begadang sebentar untuk menyelesaikan satu novel rasanya bisa.

“Jangan pernah berpikir untuk membaca malam ini,” Sami tahu apa yang Hanan pikirkan.

“Meski satu buku?”

Sami menggeleng. Ia duduk disofa dengan kaki diselonjorkan keatas sofa disebelahnya. Tivi menyala dihadapannya, tapi matanya menekuri satu buku. 'Bung Tomo Suamiku', Hanan membaca judulnya. Nah, egoisnya Sami muncul lagi! Orang seperti ini perlu diberi pelajaran kan?

Hanan tiba-tiba merebut buku itu, membuat Sami tersentak dan mendongak. Tangan Sami terulur untuk mengambil buku dari tangan Hanan, tapi Hanan sengaja memutar-mutar tangannya, menghindari Sami.

“Hanan...,” Sami memelas meminta bukunya kembali. Jika buku yang terlanjur dibaca belum selesai, ia tak akan bisa tidur.

Hanan cuek, ia malah membuka-buka buku tadi.

“Sepertinya, aku akan membacanya lebih dulu... Eits!” Hanan menghindari Sami yang kembali hendak merebut. Kalau Hanan membuka lembaran lebih banyak, ia akan semakin tak bisa dihentikan.

“Baiklah, ok!” Sami menyerah. “Malam ini, silahkan membaca,” Sami mengangkat kedua tangannya. “Jadi, bisa kau kembalikan buku itu?” tangan Sami terulur meminta.

“Terimakasih,” Hanan tersenyum menang. “Ini..., tapi... kubaca dulu deh!”

Nah, benar kan, kalau sudah terlanjur membaca, meski cuma alenia pertama di Kata Pengantar, Hanan tak akan bisa berhenti. Ya..., sama seperti Sami kan?

“Baik, cukup sudah main-mainnya,” Sami mendekat kepada Hanan dan berdiri dihadapannya dan mengunci pergerakan Hanan. “Berikan atau tidak?” tanya Sami tepat didepan wajah merona milik Hanan. Mata coklat Sami lekat memandang bola mata biru milik Hanan.
“Berikan atau tidak?” ulang Sami setelah Hanan menggeleng dan menyembunyikan buku itu dibelakang tubuhnya. Tangan Sami melingkari tubuh Hanan, Hanan semakin erat memegang bukunya.

“Aku cuma penasaran dengan kehidupan pahlawan ini, kau lihat gambar dibelakangnya, dia dia menggendong istrinya. Aku hanya membacanya sebentar saja, setelah itu aku ber...”

Hanan salah. Sami bukan hendak mengambil bukunya, tapi merengkuhnya. Ya, merengkuh tubuhnya. Mulut Hanan mengunci, kata-kata tak mau keluar lagi. Ia hanya terhenyak takjub dalam dekapan Sami.

“Sami...”

“Sudah kudapatkan,” kata Sami pasti. “Kamu sudah kudapatkan, kamu tak bisa menghindar lagi, Hanan. Tak akan bisa.”

“Sami...”

Tapi bisikan Hanan tak didengar Sami. Ia terus mendekap Hanan untuk beberapa lama. Allah, apakah getaran tak beraturan ini? Apakah aku mulai mencintai gadis kecil ini? Ataukah getaran ini hanya getaran seorang laki-laki saat seorang perempuan bebas berkeliaran dirumahnya? Apakah hanya itu?
Dan Sami merengkuh Hanan semakin erat...

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 6
Berikutnya; Bagian 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar