Kamis, 26 November 2015

Mimpi Besar

Di antara keluarga, diantara teman-teman, di antara segala jaringan dalam komunitas, saya selalu menjadi seseorang yang berbeda. Mulai dari karakter, kebiasaan, sampai gaya saya yang berbeda.

Orang bilang, mata saya terlalu tajam kalau melihat, bibir saya terlalu ketus untuk bicara, dan tawa saya terlalu keras dan membahana. Haha… Selain dari itu, saya tak tahu pandangan orang lain, dan mungkin… saya tak perlu peduli. Saya… tak pernah merasa terganggu dengan pandangan orang, terlebih jika itu menyangkut prinsip.

Satu hal itu adalah tentang cara saya memandang pendidikan. Saya tak terlihat berbeda dengan orang-orang, sampai saya punya anak. Dari sejak mengandung, orang sudah tahu, saya berbeda.

Orang menganggap saya aneh karena saya membaca buku dengan suara nyaring, orang menganggap saya gila, karena mengajak janin saya bicara. Orang juga mengerutkan kening, ketika saya memberi anak saya buku sebagai mainan mereka.

Anak bertambah usia, saya semakin terlihat aneh. Saya mengenyahkan TV dari rumah, saya memilih menghabiskan jutaan untuk membeli ensiklopedi daripada membetulkan genteng rumah. Saya juga memilih sekolah yang agak mahal dan jauh, tapi juga tak terlalu peduli ketika nilai ulangan anak saya jelek.

Saya… lebih peduli tentang membangun minat daripada membangun hafalan anak. Saya juga lebih senang mereka menghabiskan uang jajan dengan mengeksplor kreatifitas lewat mainan sekali pakai, daripada makan jajanan. Saya juga tak terlalu ingin tahu berapa rangking kelas anak saya, karena bagi saya sekolah adalah membangun minat, bukan menilai anak.

Sekarang, orang juga memandang aneh pada saya, ketika saya memutuskan untuk menyekolahkan anak pada sebuah gubuk terpencil disisi kota. Bukan gedung mewah dengan lab lengkap dan makan siang menggiurkan selera.

Bagi saya sih simple saja, ini hanya tentang mimpi besar…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar