Jumat, 05 Januari 2018

Pangeran Istana Langit (6)

“Aku harus memperbaiki semuanya!”
Tangan Verbiest mengepal kuat. Surat dari orang yang telah mengutusnya ke Cina ia remas dalam kepalnya. Bagaimana bisa, keteledoranku yang sedikit saja bisa tercium olehnya? Pasti ada yang melaporkan. Pasti ada! Tapi siapa?
Kening Verbiest berkerut berlapis-lapis. Ia memutar ingatan tentang semua Pastor yang sama ada ditanah Cina bersamanya. Salah satu dari merekakah? Kenapa? Dengki dengan kedekatannya dengan Kang Xi? Dengki untuk apa? Bukankah tujuan mereka sama? Kenapa harus dengki? Iri? Jika tujuan yang sama mereka junjung tercapai sempurna?
Tapi sudahlah, pikiran tentang hal seperti itu harus ia kesampingkan terlebih dahulu. Sekarang ia harus memikirkan tentang tujuannya. Ia harus memperbaiki kepercayaan Kang Xi, sekaligus memberangus orang-orang Islam terkutuk itu!
Memikirkan tentang Muslim selalu membuat Verbiest gelisah. Muslim, selalu mengingatkan Verbiest akan luka-luka kekalahan yang terus menganga dan tak kering berdarah. Luka kekalahan di Andalusia, luka perih atas perebutan tanah Konstantinopel, dan rasa panas membara atas kekalahan pasukan salib di Jerusalem. Kejadian yang sudah lama berselang, tapi luka yang dihasilkan seolah baru kemarin terjadi.
Memang, ia tak menyaksikan  semua proses peperangan yang menyebabkan tercerabutnya tanah-tanah suci milik Kristiani. Namun ia tak menyangsikan kebenaran kisah yang ia dengar langsung dari Pastur Smith. Pastur yang membaptisnya, Pastur yang memberikan banyak masukan ruhani untuknya, Pastur yang mendekatkan jarak antaranya dengan Yesus, sehingga Yesus terasa demikian dekat.
Pastur Smith juga menceritakan, bagaimana umat Kristiani terusir dari tanah air sendiri, sehingga ia bisa merasakan bagaimana terhinanya keluar dari tanah yang sudah terjajah. Meski banyak yang masih tinggal dan rela untuk tunduk dibawah Kekhalifahan Utsmaniyah )11, keinginan untuk mengambil kembali tanah yang terampas itu akan menjadi mimpi yang ia yakin akan terwujud lagi.
Lalu setelah luka-luka yang masih terasa amat sakit itu, kini, orang-orang Islam itu kembali mengusiknya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sekarang, ia sendiri yang berhadapan langsung dengan mereka!
Masih terdengar perkataan Pastur Smith saat keberangkatannya ketanah Cina, “Orang Islam sudah ada ditanah itu sejak ratusan tahun yang lalu. Jika mereka mencoba menghalang-halangimu, tumpas mereka sejak mereka menguncup. Sebab jika ia dibiarkan besar, ia akan menjadi ombak yang menyeret dan menghempas. Jadi, berhati-hatilah...”
Fendinand Verbiest, misionaris asal Belgia itu kembali mengepalkan tangannya. Jika orang-orang Islam itu dibiarkan, tujuannya untuk menyebarkan Kristani di tanah Asia ini akan kacau balau. Dan jika ia juga tidak bisa menjadikan Kaisar-kaisar Dinasti Qing tunduk pada kepentingan Gereja, apa manfaatnya ia berada ditanah ini?
Tidak. Ia tak akan membiarkan semua itu terjadi!
Verbiest mendengus marah.

*   *   *

Lagi, Verbiest melihat Kang Xi dengan ujung matanya. Ia ingin membicarakan ancaman dari Muslimin dengan cara yang sangat halus, cara yang tak disadari oleh Kang Xi sedikitpun. Biasanya, jika Kang Xi sudah mempelajari satu lagu yang baru, hatinya terlihat senang.
Sejak ia mengenalkan piano pada Kaisar, ia tampak begitu tertarik. Sejak itu juga, ia mengajarkan Kaisar bermain piano dan Kaisar belajar padanya. Selain Kaisar, ada beberapa pangeran yang juga tertarik dengan piano. Pada saat belajar piano itulah, biasanya Verbiest membicarakan banyak hal. Tentang negaranya, tentang kebudayaan, tentang politik, hingga agama.
“Betapa hebat! Bagaimana tangga nada bisa diciptakan? Bagaimana sebuah musik bisa dibaca dengan tulisan?” Suatu hari, Pangeran ke-14, Yinti, bertanya padanya mengenai partitur. Diantara semua pangeran, dialah satu-satunya pangeran yang memiliki sifat rakus akan ilmu seperti Kang Xi.
“Gerejalah yang telah membuatnya pangeran. Leluhur kami telah menciptakan bagaimana ilmu pengetahuan bisa dikembangakan menjadi lebih baik, untuk selanjutnya diwariskan kepada generasi berikutnya.”
“Siapa leluhur itu, Pastor?”
“Tidak jelas. Dia seorang Fisikawan, hanya itu yang diketahui.”
Yinti mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Verbiest tersenyum puas. Tak apa berbohong sedikit. Bukankah tak ada kesalahan ketika berbohong untuk kemuliaan Yesus? Ia memang tak tahu siapa yang menciptakan tangga nada. Ia hanya tahu, kalau tangga nada dibawa oleh para ilmuwan barat yang pulang belajar dari tanah Baghdad. Dan mereka mengatakan, bahwa pencipta tangga nada adalah seorang ulama ahli Fisika.
“Bagaimana permainanku Verbiest?” suara Kang Xi menyentak halus lamunan Ferdinand Verbiest.
“Ah, luar biasa yang mulia. Semakin hari, permainan Anda semakin baik saja,” kata Verbiest sambil bertepuk tangan.
Kang Xi berdiri dan berpindah duduk. Verbiest mengikutinya dan duduk terhalang satu meja dari tempat duduk Kang Xi. Kaisar mengambil gelas minuman dan meneguknya satu teguk saja. “Bagaimana Yinreng?”
“Aku tidak begitu tahu Yang Mulia, tapi ketika belajar bersamaku, keinginannya untuk belajar mengalami kemajuan. Meski jelas tidak seperti semangat Pangeran ke-14.”
“Yinti? Tentu saja. Semua pangeran jika dibandingkan dengan dia, tak punya kelebihan. Dia seorang pemuda yang sempurna. Sayang sekali...,” Kaisar meneguk kembali air tehnya.
Yinti adalah putra ke-14 Kaisar dari 35 putra yang dimilikinya. Semua kelebihan yang dimilikinya memang pantas mendapat gelar Putra Mahkota. Semua orang di Kerajaan yakin, jika Yinti kelak yang memimpin, kemajuan yang sudah dicapai Kaisar Kang Xi akan terus mengalami kegemilangan. Namun harapan yang juga diinginkan Kang Xi itu harus ia pendam dalam-dalam. Masalahnya bukanlah kesalahan Yinti sendiri, tapi kesalahan darah yang mengaliri tubuhnya. Yinti adalah seorang pangeran yang lahir dari selir kelas rendah. Tak terlalu rendah, sebenarnya, tapi tetap belum pantas jika dibandingkan Yinreng yang seorang putra dari Mendiang permaisurinya yang pertama, Permaisuri Xiaocheng.
“Namun Putra Mahkota pun Yang Mulia, tinggal dididik sedikit saja, aku yakin dia akan menjadi pemimpin yang besar. Menyamai Paduka yang mulia sekarang ini...”
Kang Xi tersenyum masam. “Semoga saja...”
“Anda terlalu khawatir Yang Mulia. Sebenarnya Anda tinggal mengajarkan Putra Mahkota cara memimpin, cara mengatur rakyat, cara mengatur pemberontak. Kalau Putra Mahkota tahu ilmunya, ia akan menjadi pemimpin dengan mudah.”
“Maksudmu, Verbiest?”
“Menurutku,  Yang mulia harus sering memberi Putra Mahkota sedikit rangsangan. Ikutkan ia dalam misi-misi kenegaraan, kalau perlu, kirim dia ke perbatasan.”
Kaisar tertawa. “Bodoh. Apa kau pikir anak manja itu mau? Dia akan berlari sambil terkencing-kencing.”
“Menurutku, itu karena Yang mulia belum mengajarkan hal terpenting padanya.”
Kang Xi menatap Verviest penuh tanya. Sementara Verbiest, hatinya riang berjingkrak, sebab Kaisar sudah masuk dalam perangkapnya, lewat pembicaran yang yang dia ciptakan sendiri. Ah, betapa pintar aku! Teriaknya dalam hati.
“Sebenarnya, menumpas musuh atau pemberontak itu mudah saja kan Yang Mulia? Kita tinggal memecah belah mereka, mengadu domba, menimbulkan prasangka diantara mereka. Jangan biarkan mereka bersatu ataupun berkomunikasi. Dengan begitu, kita bukan saja mudah mendapatkan panji mereka, tapi mungkin mereka akan saling berperang dan kita yang akan dapat kemenangan. Kalau Putra Mahkota Yinreng tahu hal ini, dia tidak akan ketakutan seperti yang mulia katakan.”
Kening Kang Xi mengerut, matanya sedikit memicing. Memikirkan dan mencerna kata-kata yang dikeluarkan Ferdinand Verbiest. Apa maksud dia mengatakan hal ini semua? Apakah masih berkenaan dengan Yisilan Jiaou?

*   *   *

Husain berdiri disisi bukit. Berdiri menghadap langit timur, membelah mentari yang menghias langit pagi hari. Berdiri ditempat dulu Yu Lan menemukannya, juga berdiri ditempat yang sama saat sebulan yang lalu ia menemui Yu Lan.
Sudah beberapa saat ia menunggu disini. Namun tanda-tanda kedatangan Yu Lan belum terlihat. Apakah Yu Lan memang tidak akan datang? Tidak datang karena gadis itu tak begitu mempercayainya?
Husain menggelengkan kepala pelan, menepis kekhawatiran. Entah mengapa, ia yakin Yu Lan mempercayainya. Ia juga yakin Yu Lan akan menguraikan keresahan yang selama ini dipendamnya pada Husain.
Namun hingga menjelang siang,  ketika gadis berkulit kuning itu belum juga datang, Husain mulai meragukan keyakinannya. Tapi ia tetap menunggu. Sebelum hari ini habis, Husain masih punya kewajiban menunggunya. Entah, ia ingin menjadi orang yang dipercaya Yu Lan.
Penantiannya memang tidak sia-sia. Sebuah suara langkah membuat perasaan Husain tiba-tiba berwarna. Tepat ketika Husain berbalik Yu Lan melihatnya. Pandangan Yu Lan terpaku.
“Tuan Husain?”
Husain tersenyum. “Saya senang, ternyata Anda mempercayaiku...”
“Anda datang sejak pagi?” tanya Yu Lan yang matanya tiba-tiba berkaca.
Husain mengangguk dengan heran. Mengapa Yu Lan menangis? “Tuan Putri?”
Yu Lan tak menjawab, ia masih tenggelam dalam tangisnya. Tangis pelan karena setengah mati ia tahan. Tangis yang membuat bahunya berguncang.
Husain memandang iba. “Jika Tuan Putri ingin menangis, menangis saja. Saya juga sering menangis, padahal kan saya seorang laki-laki...,” kata Husain dihiasi tawa pelan.
“Maafkan saya...”
Mendengar kata-kata Husain, tangis yang sudah mendesak dilehernya keluar tak tertahan.
Beberapa saat keadaan masih seperti itu. Baru setelah Yu Lan dapat menguasai dirinya dan meredakan tangisnya, pembicaraan mereka kembali dimulai.
“Seharusnya, aku tak menangis, karena aku tak merasa sedih,” kata Yu Lan sambil mengusap air mata dengan telapak tangannya.
Husain diam tak mengerti.
“Sebenarnya aku malah merasa bahagia, karena melihat Anda masih berdiri meski hari telah sesiang ini.”
“Ah, tidak. Hari masih pagi, dan saya tak menunggu anda selama itu.”
“Saya sangat senang karena ada orang yang mau mendengarkan keluh kesah saya. Keluh kesah yang bertahun-tahun saya pendam sendirian....” Yu Lan menerawang.
“Bertahun-tahun?”
Yu Lan mengangguk. “Di Istana tidak ada seorang pun yang bisa saya ajak bicara.”
“Tidak juga Kun Lan? Sepupu anda itu?”
Yu Lan memandang Husain sedikit tersentak. “Bagaimana Anda tahu mengenai Kun Lan?”
“Anda pernah membicarakannya bukan?”
“Pernahkah?”
“Ya. Kun Lan mengatakan pada Anda kalau makanan itu akan lebih enak jika dinikmati saat panas. Masih ingat?”
“Hanya itu?”
Husain tiba-tiba sama tersentak. Ya, hanya itu. Tapi mengapa ia begitu ingat tentang seseorang bernama Kun Lan itu? “Ehm.. selama Anda bicara, Anda tidak pernah mengungkit-ngungkit nama orang lain, kecuali nama Kun Lan. Jadi saya mengingatnya...” Husain tertawa kering. Benarkah begitu? Entah hatinya juga ragu. Alasan sebenarnya mengapa nama Kun Lan diingatnya, ia juga tak tahu.
Yu Lan mengangguk-angguk pelan, mengerti alasan Husain. “Saya memang dekat dengan Kun Lan. Paman Hu, ayah Kun Lan, sangat menyayangi saya. Karena itu, hanya dia teman bermain saya sejak kecil. Tapi bagaimana pun juga, Kun Lan tetaplah orang istana, saya tidak bisa mengajaknya bicara tentang masalah ini...”
“Begitu...,” Husain tersenyum lega. Tapi lekas-lekas ia menyadari senyuman dan kegirangan yang muncul dalam batinnya. Mengapa ia begitu senang, hanya karena mengetahui jika Kun Lan hanya teman dekat gadis ini?
“Tuan Husain, apakah Anda mengerti arti sulaman ini?” Yu Lan mengeluarkan sapu tangan dan menunjukkannya pada Husain.                      
Sapu tangan berwarna merah muda itu, seketika berpindah tangan. Lalu tangan Husain meraba sulaman yang menghias ujung sapu tangan berbahan sutra itu.
“Bukankah itu tulisan Persia?” tanya Yu Lan terlihat tak sabar. Husain menjawabnya dengan pandangan yang tak dapat dimengerti Yu Lan.
“Apa arti tulisan itu? Katakanlah sesuatu padaku...” mata Yu Lan hampir berkaca.
“Sebelum itu...,” kata Husain akhirnya, “bolehkah saya tahu, milik siapa saputangan ini?”
“Selir Su Zu. Ibuku.”
“Ibu anda?”
“Saya pun tak mengerti Tuan Husain, tiba-tiba saja saya menemukan benda-benda ini disuatu tempat yang tersembunyi di istanaku, seolah sengaja disembunyikan Mama hanya untukku,” Yu Lan mengeluarkan kedua benda lainnya. Sebuah kitab, dan sebuah tanda kekaisaran. Ia letakkan kedua benda itu diatas sebuah batu besar yang memisahkan dirinya dengan Husain.
Husain mengambil kitab itu perlahan. Dan jiwanya terkesiap, ketika lembaran pertama ia buka.
“Apa katanya Tuan Husain? Apa yang Ibu ingin aku tahu?” Yu Lan bertanya tak sabar.
“Kitab ini tidak ditulis dengan bahasa Persia, Tuan Putri. Juga sulaman yang menghias saputangan itu...”
“Jadi? Anda tak mengerti? Anda tak bisa menjelaskan sesuatu apapun padaku?”
Husain memandang wajah Yu Lan sekilas, sebelum akhirnya ia berpaling. Mata gadis itu berkaca kembali. Perlukah dijelaskan sekarang? Padahal ia pun butuh waktu untuk menenangkan pikirannya? Husain lalu memandang halaman pertama kitab itu. Dibacanya pelan-pelan, dengan bahasa dan intonasi yang sama sekali tak Yu Lan kenal.
“A’uudzubillaahiminasyaithaanirrajiim. Bismillahirrahmaanirrahiiim. Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiiin. Arrahmaanirraahiiim. Maalikiyaumiddiiin. Iyyaakana’budu, wa iyyaakanasta’iiin. Ihdinashshiraathal mustaqiiim. Shiraathalladzina an’amta alaihim ghairil maghdhuubi alaihim waladlaaliiin. Shaadaaqallahul’adziim.”
Yu Lan memandang Husain dengan beribu pertanyaan.
“Ini bukan bahasa Persia. Ini bahasa Arab,” kata Husain.
“Bahasa Arab? Bahsasa yang orang-orang Persia pakai?”
“Bahasa yang kami pakai. Orang Persia, orang Arab, orang Manchu, orang Han, orang Tibet, orang Mongol...”
“Saya tidak mengerti Tuan Husain...”
“Mamamu belum tentu seorang Persia, Tuan Putri. Tapi dia seorang Yisilan Jiaou. Itu pasti.”
Yu Lan tersentak. Yisilan Jiaou?
“Aku berlindung kepada Allah dari Syetan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertoongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka yang sesat.” Husain membacakan arti surat yang ia baca.
“Yisilan Jiaou adalah keyakinan yang hanya mempercayai satu Tuhan.”
Air mata Yu Lan terurai kembali. Ia teringat dengan percakapan Baba dengan Husain dulu. Lalu Yu Lan menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia menangis... “Aku tak mengerti... aku tak mengerti...”
Husain membiarkan Yu Lan seperti itu untuk beberapa saat. Ia tahu apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu...
 “Sekarangpun aku baru memahami...,” bisik Husain setelah tangis Yu Lan reda.
“Apa yang Anda pahami, Tuan Ho San Ni?” tanya Yu Lan masih dengan suara yang parau.
Husain tersentak dengan perkataannya sendiri. Tapi setelah itu dia merasa tak peduli. Yu Lan sudah memberikan kepercayaan padanya. Membuka rahasia besar yang sekian lama disimpan dirinya sendiri. Lalu adakah alasan untuk tak mempercayainya? Bukankah Yu Lan bisa dipercaya seperti juga dirinya dipercaya oleh Yu Lan?
“Tentang Kaisar Kang Xi...”
“Baba? Apa yang Anda mengerti dari ayahku Tuan Ho San Ni?”
Husain berdiri. Disisi bukit seperti biasa. Sekarang ia menjadi siluet ditengah-tengah lembayung yang bersapu jingga.
“Sudah senja. Bagaimana jika kusimpan ceritaku untuk bulan depan, Tuan Putri?”
Yu Lan tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja, masih ada bulan depan.”
“Tapi Tuan Husain,” kata Yu Lan setelah diantara mereka tak ada satupun pembicaraan untuk beberapa saat, “bisakah Anda tidak memanggilku Tuan Putri lagi?”
“Mengapa? Bukankah Anda memang Tuan Putri?”
“Jika orang istana yang menyebutku seperti itu memang biasa. Tapi mendengar Anda yang mengatakannya, rasanya asing sekali.”
Lagipula... aku memang tidak ingin menjadi Tuan Putri jika aku bisa memilih...
“Baiklah. Tapi saya juga minta, Anda jangan memanggil saya Tuan.”
“Mengapa?”
“Kau memanggilku begitu, aku jadi merasa sangat tua. Atau... apakah aku memang setua itu?”
Yu Lan tertawa. Lalu tawa Yu Lan yang lepas itu memasung pandangan Husain untuk beberapa saat. Seketika itu sebuah rasa bersemburat membuat langit jiwanya berpelangi. Husain segera mengalihkan pandangannya kearah lain, ketika ia menyadari warna baru yang tiba-tiba menyapu batinnya itu.
“Tentu saja tidak. Anda belum tua. Umur Anda tak lebih dari Kun Lan.”
“Tapi tetap saja kau memanggilku Anda,” kata Husain tanpa senyum.
“Ah, maaf. Mulai sekarang, tak ada saya dan Anda, tapi  aku dan kau. Sepakat?”
“Sepakat.”
“Sudah semakin sore, aku pamit.”
Husain mengangguk.
“Eh, bagaimana cara penganut Yisilan Jiaou jika berpamitan?” tanya Yu Lan ditengah langkahnya mendekati tempat kudanya ditambat.
“Assalamu’alaikum.”
“Oh, Assa... ah, apa artinya?”
“Keselamatan menyertaimu.”
“Boleh kuucapkan dengan bahasa mandarin saja?”
Husain mengangguk sambil tersenyum, melihat Yu Lan yang sudah berada diatas kudanya.
“Tapi aku janji, saat pertemuan mendatang, aku pasti sudah bisa mengucapkannya.” Yu Lan menghentak kudanya, hingga kuda itu meringkik dan berlari.
“AKU PASTI AKAN MENUNGGU UNTUK MENDENGARNYA!” teriak Husain berpacu dengan suara kuda yang ditunggangi Yu Lan.
Lalu mata Husain mengantar kepergian Yu Lan hingga sosoknya menjauh, mengecil dan tak terlihat.

*   *   *

Yu Lan pulang ke Wisma Kecerdasan dengan mata sembab yang masih terlihat. Ia sudah berusaha untuk menghapus sisa tangis, namun sesulit apapun ia berusaha, ternyata waktu belum bisa menyembunyikannya.
“Sudah pulang?” Kun Lan datang menyambut Yu Lan digerbang depan.
“Kau menungguku?”
“Aku mengkhawatirkanmu.”
“Ah, maaf. Aku pulang terlalu sore. Maaf telah membuatmu khawatir.”
Yu Lan berjalan mendahului Kun Lan. Ia berharap senja yang temaram bisa menyembunyikan mata sembabnya dari pandangan Kun Lan.
“Setelah makan malam nanti, Baba ingin bicara padamu.”
Yu Lan berhenti berjalan. Ingin bicara? Ada apa? Tapi, bukankah ia pun ingin membicarakan sesuatu dengan paman?
Lalu ia melanjutkan berjalan tanpa menoleh lagi. Kun Lan melihatnya dengan pandangan sendu. Pandangan khawatir, dan pandangan takut.
Apakah sudah masanya aku melepasmu Yu Lan?

*   *   *

“Akhir-akhir ini, aku jarang melihatmu, anakku,” Hu Zuang membuka pembicaraan. Selain ia dan Yu Lan, Kun Lan dan ibunya ada diantara mereka.
“Aku pergi ke bukit Xi Hu paman.”
“Oh. Sendirian?”
“Tidak.”
“Tidak? Bukankah kau pergi tanpa pengawalan, Yu Lan?” kali ini Bibi Lin, istri Hu Zuang, juga ibu Kun Lan yang bertanya.
“Aku memang minta begitu. Tapi sepertinya Kun Lan tidak bisa mempercayaiku sebagaimana ucapannya. Dia mengawalku tanpa sepengetahuan aku.”
Mendengar kata-kata Yu Lan, bukan hanya Kun Lan yang tersentak, tapi juga Hu Zuang dan Bibi Lin.
“Aku tidak bisa mengabaikan perintah Kaisar,” kata Kun Lan akhirnya.
“Nah,” kata Yu Lan lagi tanpa menghiraukan perkataan Kun Lan sama sekali. “Kun Lan pasti sudah memberikan laporan pada Paman. Apakah sesuatu yang ingin Paman bicarakan itu mengenai lelaki yang aku temui?”
Hu Zuang menarik nafas panjang. Yu Lan ini, kelincahan berpikirnya, ketajaman instingnya, sangat mirip dengan ayah dan ibunya.
“Dia seorang penganut Yisilan Jiaou. Aku membicarakan mengenai hal ini,” Yu Lan mengeluarkan sapu tangan dan memperlihatkannya pada mereka.
“Apa itu?” tanya bibi Lin.
“Sebuah sapu tangan,” jawab Kun Lan.
“Ibu tahu itu. Tapi tulisan apa itu?”
“Tulisan Arab,” kata Hu Zuang. “Ini milik ibumu?”
Yu Lan mengangguk. “Ada diantara barang-barang peninggalan ibu, jadi aku yakin kalau ini memang miliknya.
Hu Zuang mengelus-elus janggutnya. Yu Lan tahu, jika bersikap seperti itu, berarti Hu Zuang sedang resah. Kalau tidak sedang resah, maka dia sedang cemas. Cemas karena apa? Karena melihat sapu tangan ini? Yu Lan tersenyum, itu artinya Paman Hu tahu sesuatu. Tidak, bukan hanya sesuatu, tapi mungkin banyak hal. Banyak hal yang ia ingin tahu tentang ibunya.
“Awalnya aku menyangka ini tulisan orang Persia. Karena itu, aku ingin tahu dari orang Persia langsung. Tapi ternyata, orang Persia itu mengatakan kalau tulisan ini tidak selalu berhubungan dengan orang Persia. Namun sesuatu yang aku tahu akhirnya, bahwa tulisan ini sangat pasti berhubunan dengan Yisilan Jiaou. Mama bisa dari suku mana saja. Dia bisa orang Manchu, Mongol, Hui Chi, Tibet, Han, Arab, atau Persia. Tapi yang pasti, ibuku seorang Yisilan Jiaou.” Yu Lan menatap Paman Hu, Bibi Lin dan Kun Lan satu persatu. “Apakah aku benar?” lanjut Yu Lan.
“Mamamu seorang Han,” kata Hu Zuang singkat. Membuat Yu Lan tersentak.
“Orang Han?” tanya Yu Lan.
Hu Zuang menyambutnya dengan anggukan kepala.
“Suamiku?” sekarang Bibi Lin yang bertanya. Mempertanyakan keberanian Hu Zuang membuka rahasia yang seharusnya diamanatkan Ibu Suri untuk dijaga, terutama pada Yu Lan sendiri.
“Tak apa, Yu Lan sudah dewasa. Sudah bisa menentukan yang benar dan yang salah. Lagipula, mengetahui warna darah yang mengaliri tubuhnya adalah hak Yu Lan.”
“Selir Su Zu adalah salah seorang keturunan Kaisar Ming. Putri dari Kaisar Ming yang terakhir menikah dengan keluarga terpandang bermarga Ma. Dia penganut Yisilan Jiaou. Dari pernikahan merekalah, leluhur Selir Su Zu lahir.”
“Tapi Baba, bukankah Kaisar Chong Zhen )14 telah membunuh semua keluarga kerajaan sebelum dia bunuh diri?”
“Tapi ada yang menyembunyikan keberadaan seorang putri yang lahir di luar kerajaan. Banyak yang mengatakan, kalau dia sengaja disembunyikan seseorang, agar suatu saat, mereka bisa kembali mendirikan Kekaisaran Ming dari darah putri itu. mereka adalah orang-orang yang sangat setia pada Dinasti Ming.”
“Mereka juga kah yang selama ini mengadakan pemberontakan pada Kaisar?”
Hu Zuang mengangguk. “Seperti kau tahu, kaisar-kaisar kita tidak ada yang menyukai Han. Rakyat Han selamanya akan terus dipinggirkan. Tapi Selir Su Zu datang menyelamatkan mimpi buruk itu.” Hu Zuang memandang Yu Lan.
“Maksud Paman?”
“Suatu hari, Babamu keluar istana untuk menangkap langsung seorang Han yang dianggap berbahaya bagi pemerintahan Qing. Tapi justru dirumah pemberontak itulah, Babamu bertemu Selir Su Zu. Melihat ayahnya ditangkap, Selir Su Zu melawan dengan kata-katanya yang cerdas. Selir Su Zu-lah orang pertama yang berani berkata pada Kaisar, kalau pemberontakan itu tidak akan terjadi jika Kaisar bersikap adil. Jadi menurut Selir Su Zu, kesalahan itu bukan ada di tangan ayahnya, tapi di tangan Kaisar sendiri. Karena kata-kata itu, Babamu pulang kembali ke istana tanpa membawa tahanannya. Sebaliknya, ia malah membawa Selir Su Zu ke Istana.”
“Lalu segalanya berubah sejak itu. Tanah-tanah orang Han yang dirampas dikembalikan. Kaisar juga banyak memperkerjakan orang-orang Han di pemerintah. Dan langkah yang dianjurkan Selir Su Zu itu memang berhasil meredam pergolakan.”
“Apakah itu syarat yang diajukan Mama pada Baba?”
“Kau cerdas seperti mamamu Yu Lan,” kata Hu Zuang sembari tersenyum. “Tentang hal itu, hanya Kaisar sendiri yang tahu. Apakah Kaisar mengambil hati orang Han sebagai tak-tik untuk meredam pergolakan orang Han, atau ia melakukannya hanya sebagai penunai janjinya untuk Selir Su Zu? Tak ada yang tahu.”
“Bagaimana dengan Yisilan Jiaou?”
“Maksudmu?”
“Mengapa hanya orang Han? Mengapa Baba juga tidak melakukan hal yang sama untuk Yisilan Jiaou?”
Hu Zuang tersentak dengan pertanyaan Yu Lan. Dan ia menjawab hanya dengan diam. Tak ada satu pun suara yang ia keluarkan untuk menjawab pertanyaan Yu Lan. Yu Lan malah memandangnya dengan curiga. Entah mengapa, sikap Hu Zuang yang tiba-tiba itu membuat Yu Lan yakin kalau Hu Zuang masih menyembunyikan sesuatu darinya. Ia ingin mendesak dan menyelesaikan rasa ingin tahunya saat itu juga, tapi suara Bibi Lin yang mengingatkan kalau malam sudah larut memutus percakapan seketika. Ia mengerti, Bibi Lin menyuruh Paman Hu berhenti bercerita.
Lalu sampai ia kembali kekamarnya, ia tak bertanya apa-apa lagi.
Yu Lan meniup nyala lilin yang malam itu menerangi kamarnya. Hari ini, banyak rahasia yang dulu sangat ingin ia ketahui terkuak sempurna. Mamanya seorang Han bermarga Ma, dan ia penganut Yisilan Jiaou. Tapi hatinya malah semakin gelisah. Setelah mengetahui itu lalu apa? Apa yang akan dilakukannya setelah tahu kalau ibunya seorang Han? Apakah ia akan meminta Baba untuk mengembalikannya pada keluarga dari garis ibunya itu?
Kepala Yu Lan menggeleng pelan. Ia belum mengetahui apa yang ingin ia lakukan setelah ini. Terutama karena masih banyak hal yang ingin diketahuinya. Pertama, ia ingin tahu, mengapa Mama merahasiakan ketiga benda itu dari Baba? Kalau dia memang ingin memberikan ketiga benda itu untuknya, mengapa harus disimpan didalam guci? Bukan dititipkan pada Baba atau pada Paman Hu, atau pada siapapun yang ia percayai?
Apa sebenarnya yang Mama  ingin aku melakukannya?
Yu Lan masih duduk mematung. Duduk dalam kegelapan. Ia tak hendak membuka jendela untuk memasukkan sinar rembulan, tak juga menyalakan lilin. Ia berdiam terus dalam bimbang, seolah mewakilkan kegamangan hatinya dalam gelapnya cahaya. Atau sekedar menipu Hu Zuang sekeluarga agar menganggapnya telah tertidur lelap? Tak tahu. Jawabannya hanya Yu Lan yang tahu...


*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar