Selasa, 03 Desember 2013

Mozaik Cinta (Bagian 3)

3

Sami membuka lemari pakaiannya. Tiga buah kemeja tergantung disana. Putih  polos, biru kotak, dan merah terang. Sami memegang satu persatu. Putih tak mungkin ia pakai. Bukan ia tak suka warna putih, tapi pakaian ini pernah dipakai saat akad nikah. Ia tak sudi memakainya. Biru kotak tak mungkin juga, warnanya sudah memudar di bagian pundak. Sedikit sih, tapi tetap kelihatan. Kecuali ia tahan memakai jas terus menerus dari datang hingga pulang saat cuaca Bandung sedang panas-panasnya. Merah terang? Hei, siapa sih yang membeli baju warna norak seperti itu?
Sami mendengus. Kemana baju-baju yang lain? Ia berkacak pinggang berbalik membelakangi lemari dan matanya berkeliling. Mencari belasan baju yang menghilang dari lemarinya. Matanya tertuju pada kotak cucian diujung kamar. Tutup kotak itu sudah menganga, tak bisa menutup lagi dikarenakan isinya yang terlalu berjejal melebihi kapasitas dirinya. Sami membuang nafas. Apa sih kerjaan cewek sialan itu? Kenapa pula bajunya menumpuk semua disitu?
“HANAN!” Sami bergegas keluar kamar, jalannya menghentak kuat. Sami lupa, ia tak memakai pakaian kecuali sehelai handuk yang menutup hingga lututnya.
Hanan sedang makan dengan tenang ketika ia mendengar teriakan itu. Ketenangannya tak terusik sedikitpun kecuali setelah ia melihat Sami yang bertelanjang dada. Tolol! Hanan mendengus. Tapi dadanya berdetak tak karuan.
“Heh! Apa sih kerjamu?” Sami melihat sekilas omelet yang menjadi santapan pagi Hanan. Perutnya lapar tiba-tiba.
“Banyak,” kata Hanan dengan tenang. “Tapi kerjaanmu adalah marah. Tanpa alasan jelas.” Hanan membuka koran pagi yang baru ia baca headlinenya sembari mengunyah makanan. Biasanya, Hanan benci makan sambil baca, karena secara otomatis, kenikmatan makanan akan teralihkan dengan sebaris berita hangat. Tapi untuk sekarang, ia butuh pengalihan. Sami terlalu berbahaya untuk dilihat.
“Banyak? Apa banyak itu tak termasuk mencuci baju? Apa nyuci terlalu repot bagimu?”
“Kenapa aku harus mencuci bajumu?”
“Tentu saja! Itu kerjaan perempuan kan?”
“Kenapa perempuan itu harus aku?”
Sami hampir membuka mulutnya, tapi kemudian mengatup lagi. Ia jelas tak punya jawaban. Kenapa harus Hanan? Karena Hanan adalah istrinya. Tapi jika ia menjawab seperti itu, sudah pasti akan jadi bumerang buat dirinya. Memang ia suami bertanggung jawab sampai harus menuntut istrinya melakukan sesuatu untuknya?
“Karena otot perempuan lemah, jadi ia mengerjakan pekerjaan sepele seperti nyuci!”
Hanan memandang wajah Sami takjub. Berani sekali dia berkata seperti itu. “Kalau begitu Tuan Sami, aku ingin tahu, apa laki-laki yang punya otot kuat tak sanggup mengerjakan pekerjaan sepele seperti mencuci?”
“Kau pikir aku tak bisa? Kau menyepelekan aku ya?” intonasi Sami semakin meninggi.
“Aku yakin kau bisa Tuan Sami, jadi kau akan melakukan sendiri pekerjaan mudah itu. Benar kan?” Hanan tersenyum menang, Sami mendengus kesal. “Satu lagi, pastikan dulu kau berpakaian sebelum keluar kamar,” sambung Hanan menghentikan langkah Sami menuju kamarnya.
Sami berbalik dengan wajah marah berkali lipat dari sebelumnya. Sebenarnya malu, karena ia sama sekali lupa. Jadi ia merasa sangat kesal pada ‘lupa’-nya. Tapi ia tak mungkin marah pada diri sendiri kan?
“Kau tahu, Nona Hanan? Ini rumahku, aku bebas mamakai apa saja yang aku inginkan,” Sami membungkukkan wajahnya  dan berbisik tepat ke telinga Hanan yang berbalut kerudung sutra. Wajah Sami yang terlalu dekat membuat Hanan berpaling menjauh, tapi ia tak bisa menutup hidungnya dari aroma sabun tubuh Sami. Aroma maskulin.
“Aku bahkan bebas untuk tak memakai baju sekalipun. Kenapa? Kau tergoda?” kata Sami setelah ia melihat rona merah menyebar tiba-tiba dipipi Hanan. Darimana datangnya rona merah itu ya? Kenapa menyebarnya begitu sempurna? Pipi Hanan jadi kelihatan lebih manis dari manis yang sebelumnya.
Sebelum pikirannya berlari lebih jauh, Sami menjauhkan kepalanya dari Hanan dengan senyum. Ia lalu beranjak meninggalkan Hanan yang terpaku sendirian.
Sami sialan!

*   *   *

Sami menjauhkan kotak sarapannya. Lalu dengan pasti, ia menutupnya kembali. Omelet Hanan tadi kelihatan lebih enak.
Tak cukup sampai disitu, kotak makan siang juga ia singkirkan begitu saja bahkan sebelum ia melihat apa isinya. Sami malah berlari ke kantin untuk meredakan rasa lapar yang menguasai pencernaannya dan mengambil alih pikirannya. Tujuannya satu. Ia mencari balado terong di kantin kantor. Entah kenapa, tiba-tiba mulutnya ingin makan itu. Untungnya ada, dan Sami makan dengan lahap. Tapi ditengah lahapnya ia masih sempat membayangkan balado terong buatan Hanan yang pernah ia siapkan suatu malam. Balado terong yang tak pernah disentuhnya itu bumbunya lebih banyak dan lebih merah dari yang tengah dimakannya. Bayangan itu tiba-tiba merengguk lahapnya, berganti rasa kenyang yang tiba-tiba. Hasilnya, setengah piring makanan ia tinggalkan sempurna. 
 Lalu kotak makan malam? Sama saja. Sebab Sami hari ini keluar kantor sesudah ashar. Rasanya ia ingin segera pulang...

*   *   *

Sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat didepan outletnya membuat Hanan terkejut. Ia kenal mobil itu. Sangat akrab malah. Tapi kenapa? Apa mau orang itu? Sebelum Sami sempat keluar dari mobil, Hanan sudah berbalik dan segera naik ke lantai dua, ke kantor pribadinya.
Hanan ingin berlari menghindar. Tapi mungkinkah? Sementara langkah Sami yang menaiki tangga sudah demikian dekat. Akhirnya Hanan berpura-pura duduk serius menekuri pekerjaannya dibalik meja besar. Hanan mengambil pensil dan menggoreskan sesuatu diatas kertas. Tak ada ide yang keluar tentu saja. Jadi ia memutuskan untuk mengulang design yang yang terakhir ia selesaikan. Sebuah gaun warna maroon yang dipadu kerudung warna kuning.
Langkah Sami berhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok Hanan. Sangat berwibawa dan anggun. Inikah keseharian Hanan? Ia kembali melanjutkan langkahnya mendekat.
“Ada sesuatu?” tanya Hanan tanpa menoleh. Sami berdiri didepan Hanan dan mengamati apa yang dilakukan Hanan. Sangat cepat tangan itu membentuk manusia, sangat lihai. Apa semua designer membuat gambar secepat itu?
“Ada sesuatu yang bisa kubantu, Tuan Sami? Tidak biasanya kau kemari.”
Sami tak menjawab. Ia malah berjalan menuju sofa coklat muda di bawah jendela. Sami duduk menyamping sehingga memungkinkan tubuhnya melihat pemandangan dari jendela besar dengan leluasa. Matanya berkeliling memandang langit, beralih memandang jalanan dibawahnya. Pemandangan pertokoan biasanya tak terlalu indah untuk di lihat. Tapi dilihat dari jendela Hanan rasanya berbeda.
“Sami?” suara Hanan menarik kembali keasyikan Sami, membuat ia menoleh pada Hanan sehingga kedua pasang mata mereka bertemu. “Ada perlu apa? Jujur saja, aku cukup terkejut dengan kedatanganmu.”
“Selesaikan pekerjaanmu, aku akan mengajakmu kesebuah tempat,” Sami membetulkan posisi tubuhnya hingga bersandar.
“Apa?” sekarang rasa terkejut Hanan melebihi rasa terkejut karena kedatangan laki-laki ini. “Kau mau mengajakku kemana?”
“Ke sebuah tempat.”
Hanan meletakkan pensilnya lalu bersidekap dada dan bersandar. Ia tersenyum tak percaya. “Kau? Mau mengajakku ke sebuah tempat? Kau ini salah makan obat atau apa?”
“Apa saja, terserah.” Sami berdiri dan kembali mendekat.
“Sepertinya kau sudah selesai,” Sami memegang pergelangan tangan Hanan dan menariknya kasar.
“Hei!”
“Kau harus ikut.” Sami menyambar tas Hanan yang tertidur begitu saja di atas meja.
“Kau benar-benar tak tahu cara bersikap pada perempuan!” kata Hanan berbisik. Ia tak mau karyawannya tahu keanehan pasangan pengantin baru ini. Tangan kirinya berusaha membuka jari-jari tangan Sami yang mencengkeram pergelangan tangan kanannya. “Sakit!” Apa yang dilakukan Sami? Apa ia tak sadar kalau aku bisa jatuh karena terus diseretnya bahkan saat menuruni tangga? Bagaimana pula jika karyawannya melihat kejadian ini! Ia bisa malu seumur hidup! Kalau saja bisa, ia ingin memecat dirinya sendiri sebagai pemilik butik ini. Tapi emang bisa?
“Oh, kau ingin diperlakukan seperti perempuan? Baiklah!” kata sami juga dengan berbisik. Sami melepas cengkeramannya, tapi secepat kilat sebelum Hanan bisa menghindar, tangan kekar itu beralih mencengkeram bahunya. Hanan ingin berontak, tapi bisikan Sami ditelinganya membuat ia terdiam. “Bersikap manislah, atau karyawanmu akan tahu apa yang terjadi di antara kita!” entah bagaimana Sami melakukannya, tapi ia mengancam Hanan dengan tersenyum. Membuat Hanan kesal setengah mati. Untuk beberapa saat, Hanan harus bertahan berada dalam pelukan Sami. Sebenarnya, jauh dilubuk hatinya, ia menikmati keadaan itu. Apa salah? Hanan ingat betul, ini adalah rangkulan Sami yang pertama. Peduli amat ia melakukannya dengan hati atau tidak, tapi Hanan ingin, Sami melakukan itu selama ia bisa...
“Tidak apa-apa bosnya saya culik ya?” kata Sami tersenyum. Bukan hanya karyawannya yang menoleh dan tertawa, tapi pelanggannya juga. Kedengarannya sangat tulus, dan terlihat sangat tulus juga Sami membawakan tas Hanan dan merangkul bahunya. Lebih dari itu, Sami membukakan pintu butik untuk Hanan, juga mempersilahkan Hanan masuk mobil setelah ia membukakan pintu mobil untuk Hanan. Tapi setelah dari sini apa Sami akan menghempaskannya? Jika benar begitu, alangkah lihainya Sami bersandiwara.
Sampai mobil melaju, tak ada yang bicara. Hanan masih asyik merasakan debaran jantungya dari kehangatan dibahunya yang ditinggalkan tangan Sami. Sementara Sami, entah apa yang dipikirkannya. Hanan penasaran dan menoleh perlahan mencari wajah Sami. Di luar dugaan, Sami membisu dengan wajah kesal. Atau lebih dari itu, marah? Hanan mendesah kecewa. Sami benci telah merangkulnya seperti tadi.
Hanan memalingkan wajah keluar jendela disamping kirinya. Kaca riben membuat keadaan lebih mendung dari cuaca sebenarnya. Dan membuat perasaan Hanan lebih terluka dari yang seharusnya. Apakah Sami begitu membenci dirinya sampai telah bersikap lembut pun ia menyesal? Hanan memutar bola matanya keatas. Ia menahan air mata yang terlanjur menggenang agar jangan tumpah dan meluncur tak tertahan. 

*   *   *
Mulut Hanan asli menganga. Pemandangan didepannya benar-benar membuat ia syok. Suatu tempat yang Sami katakan itu adalah Supermarket! Hah! Yang benar saja? Kenapa Sami tak langsung bilang saja? Daripada membuat imajinasinya membayangkan hal-hal lain  karena kata misterius Sami. Seorang laki-laki kalau mengatakan mengajak ke ‘suatu tempat’ biasanya akan mengajak ke tempat yang romantis kan?
“Ayo cepat! Kau ingin aku menahan pintu ini sampai kapan?” Sami berteriak kesal. Bodoh! Bukankah seharusnya aku yang kesal? Hanan mendengus.
Ia menurunkan kakinya dari mobil dan menjejak dengan enggan. Keengganan yang membuat lagi-lagi, Sami menarik lengan Hanan dengan paksa. Hanan melangkah teseret oleh tenaga kuat Sami. Beberapa orang yang berpapasan memandang mereka heran. Bahkan ada yang terang-terangan tertawa atau memutar kepala melihat mereka berdua meski mereka sudah jauh didepan. Hanan benar-benar malu. Ya Allah, beri aku izin untuk memukul kepalanya dengan benda apapun yang kulihat sekarang... Hanan mengerang.
“Sami kumohon, langkahku pendek! Jangan menyeretku...” Hanan memohon pelan.
Seolah baru tersadar, Sami berhenti tiba-tiba lalu melangkah pelan. Seperti saat di butik tadi, Sami ganti merengkuh bahu Hanan.
“Sekarang berkelilinglah, beli barang apapun yang kau perlukan.” Sami mengambil tangan Hanan dan menyimpannya di pegangan kereta dorong. Ia lalu membimbing Hanan dan berjalan bersama. Kontras sekali dengan tadi! Sembari berjalan, Hanan memandang Sami dari samping, mengamatinya diam-diam dengan bingung. Sami itu sebenarnya yang mana? Yang kasar atau yang lembut? Yang ketus atau yang tulus? Mana yang sandiwara mana yang sebenarnya? Atau kedua hal itulah Sami yang sebenarnya?
Hanan menghembuskan nafas perlahan. Jika Sami tak bersandiwara, maka ada dua kemungkinan. Pertama, Sami memiliki jiwa yang labil hingga dalam sedetik bisa berubah bahagia dari sedih yang ia alami sedetik lalu. Atau bersikap sangat lembut dari sikap kasarnya sedetik sebelumnya. Kemungkinan kedua jika sami tak labil, maka Sami... gila! Hanan tersenyum. Sepertinya kemungkinan kedua yang benar. Sami gila! Hanan mencibir diam-diam.
 “Apa tak ada barang yang habis di kamarmu?”tanya Sami kembali ketus setelah mereka berkeliling beberapa kali.
“Tidak ada,” jawab Hanan enggan.
“Sabun?”
Mereka melewati lorong sabun mandi.
“Masih ada.”
“Shampo?”
Sekarang dilorong perawatan rambut.
“Untuk mengoles kulitmu?”
Hand body maksud Sami.
“Aku baru beli kemarin.”
“Untuk wajahmu?”
Sami melihat counter kosmetik dari kejauhan. Hanan menghembuskan nafas dan berhenti melangkah. “Kau ini kenapa? Sebenarnya apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin kau belanja. Jadi lakukanlah!”
Hanan memejamkan mata menahan kesal. “Kau menarikku kesini memaksaku meninggalkan pekerjaan untuk membelikanku sesuatu yang sama sekali tak kubutuhkan?”
“Bekerja? Kukira kau hanya menyalin gambar, itu bukan pekerjaan, tapi gak ada kerjaan.”
Kata-kata Sami yang tenang membuat pipi Hanan memerah. Ya Tuhan, dia tahu? Sami memalingkan muka. Melihat pipi Hanan seperti itu, selalu membuat telapak tangannya berkeringat. Tanpa bertanya lagi, kini Sami mengambil botol-botol yang tulisannya pun tak ia baca. Tak peduli isinya apa, Sami memasukkannya kedalam kereta dorong. Terserah Hanan mau pakai atau tidak. Mau dijual lagi atau dibuang juga tak apa. Sami hanya ingin Hanan belanja. Itu saja.
“Aku tak pakai merek ini,” Hanan mengambil sebuah botol Hand body, lalu menyimpannya kembali di rak. Ia berjalan dua langkah, lalu mengambil sebuah botol Hand Body berwarna biru. “Kau ingin aku belanja? Baiklah...,” Hanan mengambil lagi botol pencuci wajah, penyegar, lalu botol-botol yang lain. Sami mendorong kereta dan mengikuti Hanan dengan sebuah senyum. Hanan tersentak, diputar lagi kepalanya untuk memastikan wajah Sami. Memang tersenyum! Tiba-tiba dada Hanan terasa lapang. Seperti bukit-bukit berbunga tersiram matahari pagi. Hanan tak bohong. Senyum Sami sangat cerah seperti matahari pagi.
“Kau suka warna pink?” Sami menundukkan tubuhnya memperhatikan sesuatu di susunan rak.
“Ya, tapi lebih suka warna tanah.”
“Warna tanah...” Sami memilih sesuatu serius. Hanan menghampiri karena penasaran. Apa sih yang mau dibeli lelaki ini?
“Tapi Hanan, tak ada sikat gigi berwarna coklat... atau abu-abu... warna tanah itu apa sih?”
“Warna tanah itu maksudnya warna natural...,” Hanan berdiri dibelakang Sami sambil tersenyum. Ternyata sikat gigi...
“Warna pink juga bagus,” Hanan merebut sikat gigi warna pink lembut yang tengah Sami genggam lalu menyimpannya ke kereta dorong.
“Kau tak mau memilihkan sikat gigi untukku?”
Hanan berbalik dan memandang takjub pada Sami, sejurus kemudian ia tersenyum lebar. Sami banyak memberi kejutan padanya hari ini...

*   *   *

“Kau masih megang uang?”
Keluar dari supermarket dengan bawaan tiga kresek besar, mereka kini melaju menuju rumah.
“Kenapa?”
“Aku masih ingin membeli sesuatu.”
Sami masih memandang jalanan, tapi matanya berbinar dan mulutnya tersenyum diam-diam. Ia teringat percakapan orang-orang dikantornya yang tanpa sengaja ia tangkap saat ia melewati mereka.
“Istriku tiga jam!”
“Tiga jam? Istriku lebih dari itu. Bisa lima jam dia bertahan. Kau tahu, aku sampai kering kerontang kayak tanaman kurang disiram!”
Tawa beberapa orang menyambut kalimat itu. Sami yang kebetulan berdiri dimesin fotokopy, mau tak mau mendengar percakapan itu, paling tidak, sampai mesinnya berhenti mengeluarkan kertas.
“Memangnya, apa sih yang mereka beli?” ini pertanyaan seseorang yang Sami kenal. Dia Anto, karyawannya yang termuda, satu bulan lagi ia menikah. Sami mengangkat alisnya. Oh, masalah belanja.
“Ya urusan kita juga sih. Masakan, buat dandan, terus kepentingan anak-anak.”
“Tapi kadang tak beli sesuatu juga. Ya kan?”
“Ya, sih.”
“Hah? Tak beli sesuatu tapi keliling pasar? Ngapain?” itu suara Anto lagi.
“Cuman ngebandingin harga. Cari yang paling murah.”
“Bete banget. Kita yang cari uang mereka yang ngabisin.”
Sami tersenyum. Hanan tak pernah memakai uangnya satu rupiah pun. Jika orang lain, apakah orang itu akan menghabiskan uangnya seperti para istri menghabiskan uang mereka?
“Nggak juga,” seseorang menjawab.
“Sebenarnya ada kenikmatan tertentu sih saat mereka belanjain uang kita.”
“O ya? Kayak apa?”
“Ya..., semacam perasaan merasa dibutuhkan.”
“Kalau aku, senang aja lihat anak istri kita tersenyum karena jerih payah kita. Senang bisa ngebahagiakan mereka.”
“Susah sih ya ngejelasin  sama orang yang belum nikah. Pokoknya, perasaan senang itu baru dirasakan kalau kamu udah ngalamin. Percaya deh!”
Mesin fotokopi berhenti. Sedikit membungkuk Sami mengambil kertas hasil fotokopi dan membuka bagian atas mesin untuk mengambil kertas aslinya. Waktu istirahat sebentar lagi habis. Saatnya karyawan itu kembali bekerja. Tapi Sami masuk keruangannya masih dengan percakapan tadi. Rasa senang dan bahagia saat uang kita bisa dipakai istri? Ia sudah menikah, tapi ia belum merasakannya. Apakah ia yang tolol atau Hanan yang terlalu... tak berhitung mungkin?
Sami mengangkat bahunya. Bagaimana pun, ia ingin mencoba merasakan perasaan bahagia semacam itu.
“Uangmu habis ya?” tanya Hanan membuyarkan lamunan Sami.
“Masih ada, memangnya kau mau beli apa?”
“Beberapa baju.”
Sami menoleh. Baju? Hanan kan punya butik?
“Aku cuma ingin punya baju dari hasil keringatmu. Itu saja.”
Sami mencari tempat parkir dan memutar stir saat menemui tempat kosong.
“Tunggu saja, aku sebentar.” Hanan membuka pintu mobil. “Mau kubelikan makanan?”
Sami menggeleng. “Kita sudah beli banyak makanan, kita makan dirumah.”
Setengah berlari Hanan menuju toko tujuannya. Setengah ragu, ia mengambil beberapa helai pakaian berwarna lembut sebagaimana yang disukainya. Tapi kali ini, Hanan memilih pakaian yang sangat ‘bukan dirinya’.
Belanja kilat ala Hanan berhenti di kasir dengan bingung. Ia lupa bawa uang!
“Katanya mau pakai uangku?” Sami tiba-tiba ada dibelakangnya? Tangannya lalu terulur menyerahkan uang sesuai nominal yang terpampang dikomputer milik kasir. Setelah transaksi selesai, kasir itu menyerahkan satu kresek baju yang Hanan beli dan Hanan merebutnya. Sikap Hanan membuat kening Sami berkerut. Hanan tersenyum misterius. Tapi pipinya kembali bersemu merah dan tangannya menyembunyikan kresek dibelakang tubuhnya. Apa sih yang dibeli gadis ini?


*   *   *

Sebelumnya ; Bagian 2
Berikutnya; Bagian 4

1 komentar: