“Begitulah Yesus berkata...,”
Ferdinand Verbiest menutup pembicaraan, diiring anggukan kecil pangeran ke
empat belas.
“Ajaran yang mulia,” kata Yinti. Ia
duduk tak seberapa jauh dari Verbiest. “Meski sebenarnya ada beberapa hal yang
tak kumengerti...,” Yinti menerawang.
“Pangeran bisa bertanya padaku, sebab
agama adalah sesuatu yang rasional dan masuk akal,” Verbiest tersenyum.
Yinti juga tersenyum penuh arti. Ia
mengerti Verbiest tengah menyerang Confuisme yang katanya serba mengkhayal.
“Bagus jika menurutmu begitu,” Yinreng
menghela nafas memberi jeda, “hanya tak tercerna oleh pikiranku Tuan Verbiest,
mengapa Yesus mengorbankan dirinya untuk menebus dosa-dosa manusia?”
“Itulah kemurah-kasihan Yesus, anakku.
Tak ada manusia yang semulia dia...”
“Kalau begitu, mengapa dia masih
menyuruh untuk berbuat baik dimuka bumi? Bukankah dosa dan perbuatan rusak
telah dia tebus sempurna?” tanya Pengeran Pertama dengan kelembutan. Tapi
kelembutan yang demikian itu ternyata cukup keras menampar muka Verbiest.
“Aku tidak suka kau menyerang ajaran
kami Verbiest! Tugasmu di Istana ini bukan untuk itu, Yinreng mendengus kesal.
Ia berdiri dan beranjak dari tempat itu, diikuti Pengeran-pangeran yang lain.
Verbiest menghela nafas. Ditatapnya
punggung para pemuda itu dengan putus asa. Apakah ia kurang bersabar dan
terlalu tergesa-gesa? Meski telah bertahun ia mendakwahkan segala pemahamannya?
Padahal Confusius yang mereka anut pun, mereka adopsi dari kepercayaan orang
Cina, sebab orang Manchu datang memimpin negeri ini tanpa punya pegangan sama
sekali. Mereka hanya meniru.
“Aku tertarik dengan uraianmu
Verbiest,” sebuah suara dari arah belakang membuat Verbiest tersadar, ada satu
Pangeran yang tinggal.
Verbiest berbalik. Diliriknya Pangeran
ke-14 yang tengah tersenyum padanya.
Sejak itu, pembicaraan antara Yinti
dangan Ferdinand Verbiest semakin sering. Banyak hal yang mereka diskusikan.
Tentang teknolongi, tentang peradaban, tentang budaya, dan tentu saja tentang
agama Kristiani.
*
* *
“Pangeran ke-14,” Yu Lan menyapa Yinti
ketika ia berpapasan dengannya dikoridor istana.
“Ah, Yu Lan. Baru pulang dari Wisma
Kecerdasan?”
Yu Lan mengangguk, membuat hiasan
rambutnya yang panjang menjuntai bergoyang-goyang kedepan dan kebelakang.
“Tidak mampir ketempatku, Pangeran?”
Yinti berbalik kebelakang, melihat
Istana Bunga Musim Semi tak jauh darinya. “Sebenarnya aku hanya lewat saja...”
“Apakah Kakak ke-14 sedang
terburu-buru?”
“Ah, tidak juga. Aku hanya akan
ketempat Guru Liu.”
“Tentu saja. Pangeran Yinti, kalau
tidak ketempat Guru Liu pasti ketempat latihan,” kata Yu Lan sambil tertawa.
“Kau ini...”
“Ya sudah kalau tidak mau beristirahat
ditempatku..., padahal aku punya cerita yang sangat bagus.” Yu Lan sedikit
merendahkan tubuhnya, dan melempar saputangan kebelakang pundaknya, memberi
hormat.
Yinti menoleh pada Yu Lan sambil
mengerutkan keningnya. “Baiklah, sebentar mungkin tak akan menyita banyak
waktu...,” kata Yinti akhirnya mengikuti langkah-langkah Yu Lan menuju Istana
Bunga Mesim Semi.
“Kaligrafi yang sangat indah!” Yinti
mengamati kaligrafi yang menghiasi tubuh sebuah guci ketika ia sudah berada
dalam Istana Bunga Musim Semi.
Yu Lan bertopang dagu ditempat
duduknya, melihat polah Yinti yang tak henti berkeliling Istana Bunga Musim
Semi dan mengatakan hal yang sama ketika sampai pada sebuah lukisan, atau Guci
yang dipajang diistananya. Lalu dia berhenti beberapa lama untuk memandang
kaligrafi itu dengan pandangan kagum dan takjub seperti ini. Dan beberapa lama
versi Yinti adalah beberapa jam! Seperti baru melihat benda aneh saja!
Ah, tunggu. Memang baru melihat kan?
Seingat Yu Lan, Yinti belum pernah datang keistananya. Bukan hanya Yinti,
Pangeran dan putri yang lain pun belum pernah ada yang mengunjunginya. Hanya
Baba, Permaisuri dan Ibu Suri saja yang pernah menginjakkan kaki disini. Itu
pun datang untuk memberi hukuman pada Yu Lan. Ya, kecuali Kun Lan, tak ada yang
datang ke istana ini khusus untuk menengok atau sekedar ingin melihatnya.
Sekarang ketika ada orang lain yang
berkunjung pun malah asyik melihat-lihat dinding dan hiasan rumah, seolah-olah
hiasan-hiasan itulah penghuni Istana Bunga Musim Semi ini. Padahal tahukah
Pangeran ke-14 kalau ia sudah ingin marah menunggunya selesai untuk diajak
bicara?
“Pangeran ke-14 benar-benar
menyebalkan!” Yu Lan tiba-tiba mengumpat, membuat Yinti seperti terlonjak dan
terlempar beberapa jauh dari tempatnya berdiri.
“Apa?” Yinti memandang Yu Lan tak
mengerti.
“Kau menyebalkan!” ulang Yu Lan.
“Kenapa aku menyebalkan?” tanya Yinti.
Ia bukan marah, sebaliknya, diujung bibirnya ada sesungging senyuman yang
setengah mati ia tahan. Ia memang sering mendengar dari
pembicaraan-pembicaraan, kalau Putri Yu Lan selalu bersikap aneh. Tapi terus
terang, baru sekarang ia melihatnya secara langsung. Diantara putra-putri
Kaisar, mungkin ia satu-satunya orang yang tidak menjalin kedekatan dengan anak
kaisar yang lain. Tepat, ia menjaga jarak.
Sebenarnya tak berarti mereka satu
sama lain sangat akrab, hanya biasanya, anak-anak kaisar membentuk sebuah
kelompok-kelompok kecil. Yang ini dekat dengan yang ini. Yang itu dengan yang
itu. Bahkan terkadang antar kelompok terjadi permusuhan. Itulah salah satu
sebab Yinti menghindari semuanya. Jadi wajar saja, kalau keanehan Yu Lan yang
sering jadi perbincangan itu baru ia lihat sekarang.
“Kenapa malah menahan tawa?” tanya Yu
Lan.
Yinti tidak menjawab. Ia malah
terlihat mengendalikan tawanya. Yu Lan melihat Yinti sebal. Yu Lan tahu, Yinti
pasti mentertawakan caranya berbicara dan mengumpat. Sama sekali tak
memperlihatkan kalau ia Putri seorang Kaisar Kang Xi.
“Ah, sudahlah. Lalu sebenarnya apa
cerita yang kau simpan untukku, Yu Lan?”
“Tentang kegiatanku dirumah keluarga
Hu.”
“Oh?”
“Kau tahu, disana aku mendapatkan
kebebasan. Aku seperti burung dalam sangkar yang dibebaskan. Ya... memang hanya
sehari, tapi itu cukup untuk melepaskan rasa jenuh yang kita rasakan. Sebaiknya
kau pun meminta hal yang sama pada Kaisar. Kaisar pasti akan mengizinkan,
karena itu berarti kau akan menemaniku kan?”
Yinti berjalan dan duduk disamping Yu
Lan. Ia menghela nafas. Sama sekali kelihatan tak tertarik.
Lalu Yu Lan berkata lagi, “Lalu kau
tahu, pemandangan disekitar wisma paman Hu sangat indah. Ada perbukitan, danau
juga hutan. Ah, kau suka berburu bukan? Dihutan itu ada banyak binatang buruan.
Kun Lan pernah mengajakku kesana.” Yu Lan bercerita dengan semangat yang
dibuat-buat. Tapi Yinti bisa menangkap kepura-puraan itu.
“Aah... sudahlah. Bicara saja terus
terang. Sebenarnya bukan itu yang ingin kau perbincangkan kan?”
“Maksudmu?”
“Kau memintaku kemari tak lain karena
sebenarnya kau ingin tahu sesuatu kan? Tentang apa?”
“Apa? Bagaimana kau tahu?”
Air muka Yinti tiba-tiba berubah.
Wajah yang ramah itu tiba-tiba menjadi dingin dan beku. “Aku tahu saja,”
katanya. Sebab orang yang mendekatiku, pasti karena membutuhkan sesuatu dariku,
bukan karena mereka ingin berteman denganku.
“Baiklah, aku ingin tahu silsilah
keluarga Kaisar.”
“Silsilah keluarga Kaisar? Kita semua
sudah tahu bukan? Apa yang belum jelas?”
“Ya tentu saja, tentang silsilah
Kaisar kita semua tahu. Tapi tak banyak yang tidak tahu tentang keluarganya
bukan?”
“Aku tak mengerti.”
“Tentang para selir, tentang anak-anak
mereka.... Atau..., apakah mereka tak dianggap keluarga Kaisar sehingga tak
perlu dipelajari?”
Yinti tersentak. “Kau ingin tahu
tentang ibumu?”
Yu Lan mengangguk muram. “Apa aku tak
berhak tahu?”
Yinti menghela nafas dan terdiam
beberapa lama.
“Apa yang ingin kau tahu?”
“Keberadaannya selama di istana.”
“Maksudmu?”
“Apa saja yang dilakukannya selama di
Istana? Apa saja yang terjadi selama dia ada, lalu sejauh mana hubungannya
dengan Kaisar.”
“Kalau begitu, kau telah salah
bertanya. Aku bukan tukang gosip yang suka mendengar berita-berita seperti
itu!” Yinti berdiri dan beranjak. Dia terlihat marah.
“Ah, Pangeran ke-14, tunggu! Maafkan
aku...,” Yu Lan berlari menyusul Yinti. “Aku tak bermaksud membuatmu marah. Aku
benar-benar minta maaf...”
Yinti menahan langkahnya, lalu
membalikkan tubuhnya. Dilihatnya wajah Yu Lan yang terlihat sangat menyesal.
Lama-lama, wajah itu memuram, dan tiba-tiba berair mata.
“Aku minta maaf. Seharusnya memang aku
tak bertanya masalah sepele seperti ini pada Kakak Laki-laki ke-14. Maaf... aku
hanya tak tahu harus bertanya pada siapa..., aku tak punya tempat untuk
bertanya...,” Yu lan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Yinti merasa iba. Tak ada tempat untuk
bertanya? Itu artinya, Yu Lan sendiri. Didunia seramai ini. Bukankah itu mirip
dengan dirinya? “Bukankah kau bisa menanyakan itu pada Kun Lan? Aku yakin, dia
pasti tahu sesuatu.”
“Tidak,” Yu Lan membuka wajahnya, lalu
tersenyum pahit. “Kun Lan tidak pernah sepenuhnya mempercayaiku. Dia lebih
takut pada Baba daripada ingin menjagaku.”
Yinti terdiam sejurus. “Kalau begitu
ayah Kun Lan?”
“Benar, hanya paman yang mau
memberitahuku kenyataan meski itu melanggar janjinya pada Kaisar. Dari dia aku
tahu, siapa ibuku. Meski aku menginginkan lebih dari apa yang ia ceritakan.
Tapi bagiku cukup. Sampai batas itulah kemampuannya.”
“Apa yang dia ceritakan?”
“Ibuku orang Han. Dia dari keluarga
Ma.”
“Keluarga Ma?” Yinti mengulang
perkataan Yu Lan, entah mengapa tiba-tiba dadanya berdegup kencang. Tubuhnya
tiba-tiba dilingkupi hawa panas dan dingin sekaligus.
“Benar, keluarga Ma. Yang aku tak
mengerti, mengapa Kaisar menyembunyikan identitasnya dari aku, anaknya? Padahal
dia tak pernah menyembunyikan edentitas selir manapun pada orang macam apapun.
Itulah yang ingin aku tahu. Makanya aku bertanya hal yang tidak-tidak padamu,
Pangeran.”
“Ah, tidak apa-apa,” Yinti lekas-lekas
mengendalikan jiwanya yang menggeledak. Tangannya mengepal, namun ia
sembunyikan dibalik pakaian longgar yang menutup lengannya. “Aku yang salah
terlalu berprasangka padamu, Yu Lan. Aku pikir, kau mempunyai alasan yang sama
dengan putri yang lain saat mereka mendekatiku. Aku benar-benar minta maaf...”
“Alasan yang sama?”
“Sebagaimana dirimu, aku, diistana ini
sendiri. Akan ada teman yang menyertaiku jika aku menguntungkan posisi mereka
dihadapan Kaisar...,” kata Yinti muram.
“Maaf.... Eh, tapi jika begitu, sekarang kau punya
teman kan?”
Yinti menatap Yu Lan tersentak.
“Aku bukan? Kita sama-sama sendiri dan
kesepian. Akan lebih indah jika kita bersama-sama saling berbagi sepi bukan?”
tanya Yu Lan tersenyum. Yinti mengiringi senyum itu dengan tawanya.
Keluar dari istana Yu Lan, Yinti
bergesas menuju keistananya sendiri dengan setengah berlari. Tujuannya semula
untuk menemui Guru Liu ia urungkan. Tidak bisa, dalam keadaan seperti ini ia
tidak bisa bertemu siapapun. Siapapun. Karena itulah, segera setelah ia sampai
diistananya, ia menutup pintu dengan cepat. Ia mengangguk saja saat pengawal
menanyakan prilakunya yang sedikit diluar kebiasaan itu.
“Apakah Anda sakit, Pangeran? Perlukah
kami panggilkan tabib?”
“Tidak usah, aku hanya perlu istirahat.
Jangan ada yang menggangguku.”
Yinti duduk diatas dipan kayu berukir
miliknya. Nafasnya masih tersengal-sengal.
Ibuku orang Han. Dia dari keluarga
Ma...
Ibuku orang Han. Dia dari keluarga
Ma...
Kata-kata Yu Lan terus-menerus
berulang diruang dengarnya.
Orang Han, bermarga Ma. Mungkinkah ia
penganut Yisilan Jiaou?
Yinti memejamkan matanya. Keringat
dingin sekarang benar-benar keluar dari sekujur tubuhnya. Tangannya terus
mengepal.
Sejak tadi, pikiran itulah, yang terus
menerus menyumbat tali pikirnya...
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar