“Aku harus memperbaiki semuanya!”
Tangan Verbiest mengepal kuat. Surat
dari orang yang telah mengutusnya ke Cina ia remas dalam kepalnya. Bagaimana
bisa, keteledoranku yang sedikit saja bisa tercium olehnya? Pasti ada yang
melaporkan. Pasti ada! Tapi siapa?
Kening Verbiest berkerut berlapis-lapis.
Ia memutar ingatan tentang semua Pastor yang sama ada ditanah Cina bersamanya.
Salah satu dari merekakah? Kenapa? Dengki dengan kedekatannya dengan Kang Xi?
Dengki untuk apa? Bukankah tujuan mereka sama? Kenapa harus dengki? Iri? Jika
tujuan yang sama mereka junjung tercapai sempurna?
Tapi sudahlah, pikiran tentang hal
seperti itu harus ia kesampingkan terlebih dahulu. Sekarang ia harus memikirkan
tentang tujuannya. Ia harus memperbaiki kepercayaan Kang Xi, sekaligus
memberangus orang-orang Islam terkutuk itu!
Memikirkan tentang Muslim selalu
membuat Verbiest gelisah. Muslim, selalu mengingatkan Verbiest akan luka-luka
kekalahan yang terus menganga dan tak kering berdarah. Luka kekalahan di
Andalusia, luka perih atas perebutan tanah Konstantinopel, dan rasa panas
membara atas kekalahan pasukan salib di Jerusalem. Kejadian yang sudah lama
berselang, tapi luka yang dihasilkan seolah baru kemarin terjadi.
Memang, ia tak menyaksikan semua proses peperangan yang menyebabkan
tercerabutnya tanah-tanah suci milik Kristiani. Namun ia tak menyangsikan
kebenaran kisah yang ia dengar langsung dari Pastur Smith. Pastur yang
membaptisnya, Pastur yang memberikan banyak masukan ruhani untuknya, Pastur
yang mendekatkan jarak antaranya dengan Yesus, sehingga Yesus terasa demikian
dekat.
Pastur Smith juga menceritakan,
bagaimana umat Kristiani terusir dari tanah air sendiri, sehingga ia bisa
merasakan bagaimana terhinanya keluar dari tanah yang sudah terjajah. Meski
banyak yang masih tinggal dan rela untuk tunduk dibawah Kekhalifahan Utsmaniyah
)11, keinginan untuk mengambil kembali tanah yang terampas itu akan menjadi
mimpi yang ia yakin akan terwujud lagi.
Lalu setelah luka-luka yang masih
terasa amat sakit itu, kini, orang-orang Islam itu kembali mengusiknya. Tidak tanggung-tanggung,
bahkan sekarang, ia sendiri yang berhadapan langsung dengan mereka!
Masih terdengar perkataan Pastur Smith
saat keberangkatannya ketanah Cina, “Orang Islam sudah ada ditanah itu sejak
ratusan tahun yang lalu. Jika mereka mencoba menghalang-halangimu, tumpas
mereka sejak mereka menguncup. Sebab jika ia dibiarkan besar, ia akan menjadi
ombak yang menyeret dan menghempas. Jadi, berhati-hatilah...”
Fendinand Verbiest, misionaris asal
Belgia itu kembali mengepalkan tangannya. Jika orang-orang Islam itu dibiarkan,
tujuannya untuk menyebarkan Kristani di tanah Asia ini akan kacau balau. Dan
jika ia juga tidak bisa menjadikan Kaisar-kaisar Dinasti Qing tunduk pada
kepentingan Gereja, apa manfaatnya ia berada ditanah ini?
Tidak. Ia tak akan membiarkan semua
itu terjadi!
Verbiest mendengus marah.
*
* *
Lagi, Verbiest melihat Kang Xi dengan
ujung matanya. Ia ingin membicarakan ancaman dari Muslimin dengan cara yang
sangat halus, cara yang tak disadari oleh Kang Xi sedikitpun. Biasanya, jika
Kang Xi sudah mempelajari satu lagu yang baru, hatinya terlihat senang.
Sejak ia mengenalkan piano pada
Kaisar, ia tampak begitu tertarik. Sejak itu juga, ia mengajarkan Kaisar
bermain piano dan Kaisar belajar padanya. Selain Kaisar, ada beberapa pangeran
yang juga tertarik dengan piano. Pada saat belajar piano itulah, biasanya
Verbiest membicarakan banyak hal. Tentang negaranya, tentang kebudayaan,
tentang politik, hingga agama.
“Betapa hebat! Bagaimana tangga nada
bisa diciptakan? Bagaimana sebuah musik bisa dibaca dengan tulisan?” Suatu
hari, Pangeran ke-14, Yinti, bertanya padanya mengenai partitur. Diantara semua
pangeran, dialah satu-satunya pangeran yang memiliki sifat rakus akan ilmu
seperti Kang Xi.
“Gerejalah yang telah membuatnya
pangeran. Leluhur kami telah menciptakan bagaimana ilmu pengetahuan bisa
dikembangakan menjadi lebih baik, untuk selanjutnya diwariskan kepada generasi
berikutnya.”
“Siapa leluhur itu, Pastor?”
“Tidak jelas. Dia seorang Fisikawan,
hanya itu yang diketahui.”
Yinti mengangguk-anggukkan kepalanya,
sementara Verbiest tersenyum puas. Tak apa berbohong sedikit. Bukankah tak ada
kesalahan ketika berbohong untuk kemuliaan Yesus? Ia memang tak tahu siapa yang
menciptakan tangga nada. Ia hanya tahu, kalau tangga nada dibawa oleh para
ilmuwan barat yang pulang belajar dari tanah Baghdad. Dan mereka mengatakan,
bahwa pencipta tangga nada adalah seorang ulama ahli Fisika.
“Bagaimana permainanku Verbiest?”
suara Kang Xi menyentak halus lamunan Ferdinand Verbiest.
“Ah, luar biasa yang mulia. Semakin
hari, permainan Anda semakin baik saja,” kata Verbiest sambil bertepuk tangan.
Kang Xi berdiri dan berpindah duduk.
Verbiest mengikutinya dan duduk terhalang satu meja dari tempat duduk Kang Xi.
Kaisar mengambil gelas minuman dan meneguknya satu teguk saja. “Bagaimana
Yinreng?”
“Aku tidak begitu tahu Yang Mulia,
tapi ketika belajar bersamaku, keinginannya untuk belajar mengalami kemajuan.
Meski jelas tidak seperti semangat Pangeran ke-14.”
“Yinti? Tentu saja. Semua pangeran
jika dibandingkan dengan dia, tak punya kelebihan. Dia seorang pemuda yang
sempurna. Sayang sekali...,” Kaisar meneguk kembali air tehnya.
Yinti adalah putra ke-14 Kaisar dari
35 putra yang dimilikinya. Semua kelebihan yang dimilikinya memang pantas
mendapat gelar Putra Mahkota. Semua orang di Kerajaan yakin, jika Yinti kelak
yang memimpin, kemajuan yang sudah dicapai Kaisar Kang Xi akan terus mengalami
kegemilangan. Namun harapan yang juga diinginkan Kang Xi itu harus ia pendam
dalam-dalam. Masalahnya bukanlah kesalahan Yinti sendiri, tapi kesalahan darah
yang mengaliri tubuhnya. Yinti adalah seorang pangeran yang lahir dari selir
kelas rendah. Tak terlalu rendah, sebenarnya, tapi tetap belum pantas jika
dibandingkan Yinreng yang seorang putra dari Mendiang permaisurinya yang
pertama, Permaisuri Xiaocheng.
“Namun Putra Mahkota pun Yang Mulia,
tinggal dididik sedikit saja, aku yakin dia akan menjadi pemimpin yang besar.
Menyamai Paduka yang mulia sekarang ini...”
Kang Xi tersenyum masam. “Semoga
saja...”
“Anda terlalu khawatir Yang Mulia.
Sebenarnya Anda tinggal mengajarkan Putra Mahkota cara memimpin, cara mengatur
rakyat, cara mengatur pemberontak. Kalau Putra Mahkota tahu ilmunya, ia akan
menjadi pemimpin dengan mudah.”
“Maksudmu, Verbiest?”
“Menurutku, Yang mulia harus sering memberi Putra Mahkota
sedikit rangsangan. Ikutkan ia dalam misi-misi kenegaraan, kalau perlu, kirim
dia ke perbatasan.”
Kaisar tertawa. “Bodoh. Apa kau pikir
anak manja itu mau? Dia akan berlari sambil terkencing-kencing.”
“Menurutku, itu karena Yang mulia
belum mengajarkan hal terpenting padanya.”
Kang Xi menatap Verviest penuh tanya.
Sementara Verbiest, hatinya riang berjingkrak, sebab Kaisar sudah masuk dalam
perangkapnya, lewat pembicaran yang yang dia ciptakan sendiri. Ah, betapa
pintar aku! Teriaknya dalam hati.
“Sebenarnya, menumpas musuh atau
pemberontak itu mudah saja kan Yang Mulia? Kita tinggal memecah belah mereka,
mengadu domba, menimbulkan prasangka diantara mereka. Jangan biarkan mereka
bersatu ataupun berkomunikasi. Dengan begitu, kita bukan saja mudah mendapatkan
panji mereka, tapi mungkin mereka akan saling berperang dan kita yang akan
dapat kemenangan. Kalau Putra Mahkota Yinreng tahu hal ini, dia tidak akan
ketakutan seperti yang mulia katakan.”
Kening Kang Xi mengerut, matanya
sedikit memicing. Memikirkan dan mencerna kata-kata yang dikeluarkan Ferdinand
Verbiest. Apa maksud dia mengatakan hal ini semua? Apakah masih berkenaan
dengan Yisilan Jiaou?
*
* *
Husain berdiri disisi bukit. Berdiri
menghadap langit timur, membelah mentari yang menghias langit pagi hari.
Berdiri ditempat dulu Yu Lan menemukannya, juga berdiri ditempat yang sama saat
sebulan yang lalu ia menemui Yu Lan.
Sudah beberapa saat ia menunggu
disini. Namun tanda-tanda kedatangan Yu Lan belum terlihat. Apakah Yu Lan
memang tidak akan datang? Tidak datang karena gadis itu tak begitu
mempercayainya?
Husain menggelengkan kepala pelan,
menepis kekhawatiran. Entah mengapa, ia yakin Yu Lan mempercayainya. Ia juga
yakin Yu Lan akan menguraikan keresahan yang selama ini dipendamnya pada
Husain.
Namun hingga menjelang siang, ketika gadis berkulit kuning itu belum juga
datang, Husain mulai meragukan keyakinannya. Tapi ia tetap menunggu. Sebelum
hari ini habis, Husain masih punya kewajiban menunggunya. Entah, ia ingin
menjadi orang yang dipercaya Yu Lan.
Penantiannya memang tidak sia-sia.
Sebuah suara langkah membuat perasaan Husain tiba-tiba berwarna. Tepat ketika
Husain berbalik Yu Lan melihatnya. Pandangan Yu Lan terpaku.
“Tuan Husain?”
Husain tersenyum. “Saya senang,
ternyata Anda mempercayaiku...”
“Anda datang sejak pagi?” tanya Yu Lan
yang matanya tiba-tiba berkaca.
Husain mengangguk dengan heran.
Mengapa Yu Lan menangis? “Tuan Putri?”
Yu Lan tak menjawab, ia masih
tenggelam dalam tangisnya. Tangis pelan karena setengah mati ia tahan. Tangis
yang membuat bahunya berguncang.
Husain memandang iba. “Jika Tuan Putri
ingin menangis, menangis saja. Saya juga sering menangis, padahal kan saya
seorang laki-laki...,” kata Husain dihiasi tawa pelan.
“Maafkan saya...”
Mendengar kata-kata Husain, tangis
yang sudah mendesak dilehernya keluar tak tertahan.
Beberapa saat keadaan masih seperti
itu. Baru setelah Yu Lan dapat menguasai dirinya dan meredakan tangisnya,
pembicaraan mereka kembali dimulai.
“Seharusnya, aku tak menangis, karena
aku tak merasa sedih,” kata Yu Lan sambil mengusap air mata dengan telapak
tangannya.
Husain diam tak mengerti.
“Sebenarnya aku malah merasa bahagia,
karena melihat Anda masih berdiri meski hari telah sesiang ini.”
“Ah, tidak. Hari masih pagi, dan saya
tak menunggu anda selama itu.”
“Saya sangat senang karena ada orang
yang mau mendengarkan keluh kesah saya. Keluh kesah yang bertahun-tahun saya
pendam sendirian....” Yu Lan menerawang.
“Bertahun-tahun?”
Yu Lan mengangguk. “Di Istana tidak
ada seorang pun yang bisa saya ajak bicara.”
“Tidak juga Kun Lan? Sepupu anda itu?”
Yu Lan memandang Husain sedikit
tersentak. “Bagaimana Anda tahu mengenai Kun Lan?”
“Anda pernah membicarakannya bukan?”
“Pernahkah?”
“Ya. Kun Lan mengatakan pada Anda
kalau makanan itu akan lebih enak jika dinikmati saat panas. Masih ingat?”
“Hanya itu?”
Husain tiba-tiba sama tersentak. Ya,
hanya itu. Tapi mengapa ia begitu ingat tentang seseorang bernama Kun Lan itu?
“Ehm.. selama Anda bicara, Anda tidak pernah mengungkit-ngungkit nama orang
lain, kecuali nama Kun Lan. Jadi saya mengingatnya...” Husain tertawa kering.
Benarkah begitu? Entah hatinya juga ragu. Alasan sebenarnya mengapa nama Kun
Lan diingatnya, ia juga tak tahu.
Yu Lan mengangguk-angguk pelan,
mengerti alasan Husain. “Saya memang dekat dengan Kun Lan. Paman Hu, ayah Kun
Lan, sangat menyayangi saya. Karena itu, hanya dia teman bermain saya sejak
kecil. Tapi bagaimana pun juga, Kun Lan tetaplah orang istana, saya tidak bisa
mengajaknya bicara tentang masalah ini...”
“Begitu...,” Husain tersenyum lega.
Tapi lekas-lekas ia menyadari senyuman dan kegirangan yang muncul dalam
batinnya. Mengapa ia begitu senang, hanya karena mengetahui jika Kun Lan hanya
teman dekat gadis ini?
“Tuan Husain, apakah Anda mengerti
arti sulaman ini?” Yu Lan mengeluarkan sapu tangan dan menunjukkannya pada
Husain.
Sapu tangan berwarna merah muda itu,
seketika berpindah tangan. Lalu tangan Husain meraba sulaman yang menghias
ujung sapu tangan berbahan sutra itu.
“Bukankah itu tulisan Persia?” tanya
Yu Lan terlihat tak sabar. Husain menjawabnya dengan pandangan yang tak dapat
dimengerti Yu Lan.
“Apa arti tulisan itu? Katakanlah
sesuatu padaku...” mata Yu Lan hampir berkaca.
“Sebelum itu...,” kata Husain
akhirnya, “bolehkah saya tahu, milik siapa saputangan ini?”
“Selir Su Zu. Ibuku.”
“Ibu anda?”
“Saya pun tak mengerti Tuan Husain,
tiba-tiba saja saya menemukan benda-benda ini disuatu tempat yang tersembunyi
di istanaku, seolah sengaja disembunyikan Mama hanya untukku,” Yu Lan
mengeluarkan kedua benda lainnya. Sebuah kitab, dan sebuah tanda kekaisaran. Ia
letakkan kedua benda itu diatas sebuah batu besar yang memisahkan dirinya
dengan Husain.
Husain mengambil kitab itu perlahan.
Dan jiwanya terkesiap, ketika lembaran pertama ia buka.
“Apa katanya Tuan Husain? Apa yang Ibu
ingin aku tahu?” Yu Lan bertanya tak sabar.
“Kitab ini tidak ditulis dengan bahasa
Persia, Tuan Putri. Juga sulaman yang menghias saputangan itu...”
“Jadi? Anda tak mengerti? Anda tak
bisa menjelaskan sesuatu apapun padaku?”
Husain memandang wajah Yu Lan sekilas,
sebelum akhirnya ia berpaling. Mata gadis itu berkaca kembali. Perlukah
dijelaskan sekarang? Padahal ia pun butuh waktu untuk menenangkan pikirannya?
Husain lalu memandang halaman pertama kitab itu. Dibacanya pelan-pelan, dengan
bahasa dan intonasi yang sama sekali tak Yu Lan kenal.
“A’uudzubillaahiminasyaithaanirrajiim.
Bismillahirrahmaanirrahiiim. Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiiin.
Arrahmaanirraahiiim. Maalikiyaumiddiiin. Iyyaakana’budu, wa iyyaakanasta’iiin.
Ihdinashshiraathal mustaqiiim. Shiraathalladzina an’amta alaihim ghairil
maghdhuubi alaihim waladlaaliiin. Shaadaaqallahul’adziim.”
Yu Lan memandang Husain dengan beribu
pertanyaan.
“Ini bukan bahasa Persia. Ini bahasa
Arab,” kata Husain.
“Bahasa Arab? Bahsasa yang orang-orang
Persia pakai?”
“Bahasa yang kami pakai. Orang Persia,
orang Arab, orang Manchu, orang Han, orang Tibet, orang Mongol...”
“Saya tidak mengerti Tuan Husain...”
“Mamamu belum tentu seorang Persia,
Tuan Putri. Tapi dia seorang Yisilan Jiaou. Itu pasti.”
Yu Lan tersentak. Yisilan Jiaou?
“Aku berlindung kepada Allah dari
Syetan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertoongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu
jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka
yang sesat.” Husain membacakan arti surat yang ia baca.
“Yisilan Jiaou adalah keyakinan yang
hanya mempercayai satu Tuhan.”
Air mata Yu Lan terurai kembali. Ia
teringat dengan percakapan Baba dengan Husain dulu. Lalu Yu Lan menggelengkan
kepalanya berkali-kali, ia menangis... “Aku tak mengerti... aku tak mengerti...”
Husain membiarkan Yu Lan seperti itu
untuk beberapa saat. Ia tahu apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis
itu...
“Sekarangpun aku baru memahami...,” bisik
Husain setelah tangis Yu Lan reda.
“Apa yang Anda pahami, Tuan Ho San
Ni?” tanya Yu Lan masih dengan suara yang parau.
Husain tersentak dengan perkataannya
sendiri. Tapi setelah itu dia merasa tak peduli. Yu Lan sudah memberikan
kepercayaan padanya. Membuka rahasia besar yang sekian lama disimpan dirinya
sendiri. Lalu adakah alasan untuk tak mempercayainya? Bukankah Yu Lan bisa
dipercaya seperti juga dirinya dipercaya oleh Yu Lan?
“Tentang Kaisar Kang Xi...”
“Baba? Apa yang Anda mengerti dari
ayahku Tuan Ho San Ni?”
Husain berdiri. Disisi bukit seperti
biasa. Sekarang ia menjadi siluet ditengah-tengah lembayung yang bersapu
jingga.
“Sudah senja. Bagaimana jika kusimpan
ceritaku untuk bulan depan, Tuan Putri?”
Yu Lan tersenyum dan mengangguk.
“Tentu saja, masih ada bulan depan.”
“Tapi Tuan Husain,” kata Yu Lan
setelah diantara mereka tak ada satupun pembicaraan untuk beberapa saat,
“bisakah Anda tidak memanggilku Tuan Putri lagi?”
“Mengapa? Bukankah Anda memang Tuan
Putri?”
“Jika orang istana yang menyebutku
seperti itu memang biasa. Tapi mendengar Anda yang mengatakannya, rasanya asing
sekali.”
Lagipula... aku memang tidak ingin
menjadi Tuan Putri jika aku bisa memilih...
“Baiklah. Tapi saya juga minta, Anda
jangan memanggil saya Tuan.”
“Mengapa?”
“Kau memanggilku begitu, aku jadi
merasa sangat tua. Atau... apakah aku memang setua itu?”
Yu Lan tertawa. Lalu tawa Yu Lan yang
lepas itu memasung pandangan Husain untuk beberapa saat. Seketika itu sebuah
rasa bersemburat membuat langit jiwanya berpelangi. Husain segera mengalihkan
pandangannya kearah lain, ketika ia menyadari warna baru yang tiba-tiba menyapu
batinnya itu.
“Tentu saja tidak. Anda belum tua.
Umur Anda tak lebih dari Kun Lan.”
“Tapi tetap saja kau memanggilku
Anda,” kata Husain tanpa senyum.
“Ah, maaf. Mulai sekarang, tak ada
saya dan Anda, tapi aku dan kau.
Sepakat?”
“Sepakat.”
“Sudah semakin sore, aku pamit.”
Husain mengangguk.
“Eh, bagaimana cara penganut Yisilan
Jiaou jika berpamitan?” tanya Yu Lan ditengah langkahnya mendekati tempat
kudanya ditambat.
“Assalamu’alaikum.”
“Oh, Assa... ah, apa artinya?”
“Keselamatan menyertaimu.”
“Boleh kuucapkan dengan bahasa
mandarin saja?”
Husain mengangguk sambil tersenyum,
melihat Yu Lan yang sudah berada diatas kudanya.
“Tapi aku janji, saat pertemuan
mendatang, aku pasti sudah bisa mengucapkannya.” Yu Lan menghentak kudanya,
hingga kuda itu meringkik dan berlari.
“AKU PASTI AKAN MENUNGGU UNTUK
MENDENGARNYA!” teriak Husain berpacu dengan suara kuda yang ditunggangi Yu Lan.
Lalu mata Husain mengantar kepergian
Yu Lan hingga sosoknya menjauh, mengecil dan tak terlihat.
*
* *
Yu Lan pulang ke Wisma Kecerdasan
dengan mata sembab yang masih terlihat. Ia sudah berusaha untuk menghapus sisa
tangis, namun sesulit apapun ia berusaha, ternyata waktu belum bisa
menyembunyikannya.
“Sudah pulang?” Kun Lan datang
menyambut Yu Lan digerbang depan.
“Kau menungguku?”
“Aku mengkhawatirkanmu.”
“Ah, maaf. Aku pulang terlalu sore.
Maaf telah membuatmu khawatir.”
Yu Lan berjalan mendahului Kun Lan. Ia
berharap senja yang temaram bisa menyembunyikan mata sembabnya dari pandangan
Kun Lan.
“Setelah makan malam nanti, Baba ingin
bicara padamu.”
Yu Lan berhenti berjalan. Ingin
bicara? Ada apa? Tapi, bukankah ia pun ingin membicarakan sesuatu dengan paman?
Lalu ia melanjutkan berjalan tanpa
menoleh lagi. Kun Lan melihatnya dengan pandangan sendu. Pandangan khawatir,
dan pandangan takut.
Apakah sudah masanya aku melepasmu Yu
Lan?
*
* *
“Akhir-akhir ini, aku jarang
melihatmu, anakku,” Hu Zuang membuka pembicaraan. Selain ia dan Yu Lan, Kun Lan
dan ibunya ada diantara mereka.
“Aku pergi ke bukit Xi Hu paman.”
“Oh. Sendirian?”
“Tidak.”
“Tidak? Bukankah kau pergi tanpa
pengawalan, Yu Lan?” kali ini Bibi Lin, istri Hu Zuang, juga ibu Kun Lan yang
bertanya.
“Aku memang minta begitu. Tapi
sepertinya Kun Lan tidak bisa mempercayaiku sebagaimana ucapannya. Dia
mengawalku tanpa sepengetahuan aku.”
Mendengar kata-kata Yu Lan, bukan
hanya Kun Lan yang tersentak, tapi juga Hu Zuang dan Bibi Lin.
“Aku tidak bisa mengabaikan perintah
Kaisar,” kata Kun Lan akhirnya.
“Nah,” kata Yu Lan lagi tanpa
menghiraukan perkataan Kun Lan sama sekali. “Kun Lan pasti sudah memberikan
laporan pada Paman. Apakah sesuatu yang ingin Paman bicarakan itu mengenai
lelaki yang aku temui?”
Hu Zuang menarik nafas panjang. Yu Lan
ini, kelincahan berpikirnya, ketajaman instingnya, sangat mirip dengan ayah dan
ibunya.
“Dia seorang penganut Yisilan Jiaou.
Aku membicarakan mengenai hal ini,” Yu Lan mengeluarkan sapu tangan dan memperlihatkannya
pada mereka.
“Apa itu?” tanya bibi Lin.
“Sebuah sapu tangan,” jawab Kun Lan.
“Ibu tahu itu. Tapi tulisan apa itu?”
“Tulisan Arab,” kata Hu Zuang. “Ini
milik ibumu?”
Yu Lan mengangguk. “Ada diantara
barang-barang peninggalan ibu, jadi aku yakin kalau ini memang miliknya.
Hu Zuang mengelus-elus janggutnya. Yu
Lan tahu, jika bersikap seperti itu, berarti Hu Zuang sedang resah. Kalau tidak
sedang resah, maka dia sedang cemas. Cemas karena apa? Karena melihat sapu
tangan ini? Yu Lan tersenyum, itu artinya Paman Hu tahu sesuatu. Tidak, bukan
hanya sesuatu, tapi mungkin banyak hal. Banyak hal yang ia ingin tahu tentang
ibunya.
“Awalnya aku menyangka ini tulisan
orang Persia. Karena itu, aku ingin tahu dari orang Persia langsung. Tapi
ternyata, orang Persia itu mengatakan kalau tulisan ini tidak selalu
berhubungan dengan orang Persia. Namun sesuatu yang aku tahu akhirnya, bahwa
tulisan ini sangat pasti berhubunan dengan Yisilan Jiaou. Mama bisa dari suku
mana saja. Dia bisa orang Manchu, Mongol, Hui Chi, Tibet, Han, Arab, atau
Persia. Tapi yang pasti, ibuku seorang Yisilan Jiaou.” Yu Lan menatap Paman Hu,
Bibi Lin dan Kun Lan satu persatu. “Apakah aku benar?” lanjut Yu Lan.
“Mamamu seorang Han,” kata Hu Zuang
singkat. Membuat Yu Lan tersentak.
“Orang Han?” tanya Yu Lan.
Hu Zuang menyambutnya dengan anggukan
kepala.
“Suamiku?” sekarang Bibi Lin yang
bertanya. Mempertanyakan keberanian Hu Zuang membuka rahasia yang seharusnya
diamanatkan Ibu Suri untuk dijaga, terutama pada Yu Lan sendiri.
“Tak apa, Yu Lan sudah dewasa. Sudah
bisa menentukan yang benar dan yang salah. Lagipula, mengetahui warna darah
yang mengaliri tubuhnya adalah hak Yu Lan.”
“Selir Su Zu adalah salah seorang
keturunan Kaisar Ming. Putri dari Kaisar Ming yang terakhir menikah dengan keluarga
terpandang bermarga Ma. Dia penganut Yisilan Jiaou. Dari pernikahan merekalah,
leluhur Selir Su Zu lahir.”
“Tapi Baba, bukankah Kaisar Chong Zhen
)14 telah membunuh semua keluarga kerajaan sebelum dia bunuh diri?”
“Tapi ada yang menyembunyikan keberadaan
seorang putri yang lahir di luar kerajaan. Banyak yang mengatakan, kalau dia
sengaja disembunyikan seseorang, agar suatu saat, mereka bisa kembali
mendirikan Kekaisaran Ming dari darah putri itu. mereka adalah orang-orang yang
sangat setia pada Dinasti Ming.”
“Mereka juga kah yang selama ini
mengadakan pemberontakan pada Kaisar?”
Hu Zuang mengangguk. “Seperti kau
tahu, kaisar-kaisar kita tidak ada yang menyukai Han. Rakyat Han selamanya akan
terus dipinggirkan. Tapi Selir Su Zu datang menyelamatkan mimpi buruk itu.” Hu
Zuang memandang Yu Lan.
“Maksud Paman?”
“Suatu hari, Babamu keluar istana
untuk menangkap langsung seorang Han yang dianggap berbahaya bagi pemerintahan
Qing. Tapi justru dirumah pemberontak itulah, Babamu bertemu Selir Su Zu.
Melihat ayahnya ditangkap, Selir Su Zu melawan dengan kata-katanya yang cerdas.
Selir Su Zu-lah orang pertama yang berani berkata pada Kaisar, kalau
pemberontakan itu tidak akan terjadi jika Kaisar bersikap adil. Jadi menurut
Selir Su Zu, kesalahan itu bukan ada di tangan ayahnya, tapi di tangan Kaisar
sendiri. Karena kata-kata itu, Babamu pulang kembali ke istana tanpa membawa
tahanannya. Sebaliknya, ia malah membawa Selir Su Zu ke Istana.”
“Lalu segalanya berubah sejak itu.
Tanah-tanah orang Han yang dirampas dikembalikan. Kaisar juga banyak
memperkerjakan orang-orang Han di pemerintah. Dan langkah yang dianjurkan Selir
Su Zu itu memang berhasil meredam pergolakan.”
“Apakah itu syarat yang diajukan Mama
pada Baba?”
“Kau cerdas seperti mamamu Yu Lan,”
kata Hu Zuang sembari tersenyum. “Tentang hal itu, hanya Kaisar sendiri yang
tahu. Apakah Kaisar mengambil hati orang Han sebagai tak-tik untuk meredam
pergolakan orang Han, atau ia melakukannya hanya sebagai penunai janjinya untuk
Selir Su Zu? Tak ada yang tahu.”
“Bagaimana dengan Yisilan Jiaou?”
“Maksudmu?”
“Mengapa hanya orang Han? Mengapa Baba
juga tidak melakukan hal yang sama untuk Yisilan Jiaou?”
Hu Zuang tersentak dengan pertanyaan
Yu Lan. Dan ia menjawab hanya dengan diam. Tak ada satu pun suara yang ia
keluarkan untuk menjawab pertanyaan Yu Lan. Yu Lan malah memandangnya dengan
curiga. Entah mengapa, sikap Hu Zuang yang tiba-tiba itu membuat Yu Lan yakin
kalau Hu Zuang masih menyembunyikan sesuatu darinya. Ia ingin mendesak dan
menyelesaikan rasa ingin tahunya saat itu juga, tapi suara Bibi Lin yang
mengingatkan kalau malam sudah larut memutus percakapan seketika. Ia mengerti,
Bibi Lin menyuruh Paman Hu berhenti bercerita.
Lalu sampai ia kembali kekamarnya, ia
tak bertanya apa-apa lagi.
Yu Lan meniup nyala lilin yang malam
itu menerangi kamarnya. Hari ini, banyak rahasia yang dulu sangat ingin ia
ketahui terkuak sempurna. Mamanya seorang Han bermarga Ma, dan ia penganut
Yisilan Jiaou. Tapi hatinya malah semakin gelisah. Setelah mengetahui itu lalu
apa? Apa yang akan dilakukannya setelah tahu kalau ibunya seorang Han? Apakah
ia akan meminta Baba untuk mengembalikannya pada keluarga dari garis ibunya
itu?
Kepala Yu Lan menggeleng pelan. Ia
belum mengetahui apa yang ingin ia lakukan setelah ini. Terutama karena masih
banyak hal yang ingin diketahuinya. Pertama, ia ingin tahu, mengapa Mama
merahasiakan ketiga benda itu dari Baba? Kalau dia memang ingin memberikan
ketiga benda itu untuknya, mengapa harus disimpan didalam guci? Bukan
dititipkan pada Baba atau pada Paman Hu, atau pada siapapun yang ia percayai?
Apa sebenarnya yang Mama ingin aku melakukannya?
Yu Lan masih duduk mematung. Duduk
dalam kegelapan. Ia tak hendak membuka jendela untuk memasukkan sinar rembulan,
tak juga menyalakan lilin. Ia berdiam terus dalam bimbang, seolah mewakilkan
kegamangan hatinya dalam gelapnya cahaya. Atau sekedar menipu Hu Zuang
sekeluarga agar menganggapnya telah tertidur lelap? Tak tahu. Jawabannya hanya
Yu Lan yang tahu...
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar