Putri salju, cinderella, beauty and the beast. Rasanya semua anak cewek tahun 90-an tahu kisah itu. Meski saya agak aneh, saya tetap tahu kok kisah itu. Waktu SD saya pernah curi-curi baca semua dongeng itu dari kamar kakak saya. Buku selebar majalah bobo setebal 7 cm-an itu saya selesaikan seluruhnya. Tuntas setiap hurufnya. Dari semua dongeng viral itu, justru yang paling berkesan adalah kisah Ratu Salju, kisah seorang perempuan jahat yang tinggal di sebuah gua es. Lucunya, saya malah merasakan kesedihan dan kesepian hatinya dibanding benci pada sikap jahatnya. Untuk sekelas anak SD, ok, pikiran saya sama jahatnya dengan si Ratu Salju.
Hingga sekarang, perasaan terdalam ratu salju sering terlintas dan bahkan jadi tema dalam lamunan-lamunan tak penting saya.
Selain kisah itu, yang berbekas adalah kisah putri yang tidak bisa tidur hanya gara-gara sebutir kacang polong, yang sengaja disimpan di bawah tumpukan kasur setinggi rumah. Saya lupa judulnya, tapi saya ingat betul kisahnya. Bahkan gambar ilustrasinya masih lekat di ingatan. Saya kagum dengan kecermatan putri raja itu? Tidak, saat itu saya malah merasa dia konyol dan gila. Maksud saya, ‘hellooo, itu kacang polong ketahan sama tumpukan kasur setinggi rumah! Manja amat lu sampe nggak bisa tIdur gara-gara butir sejendil!' Intinya, saya paling tidak suka kisah itu, meski alur cerita justru memuja gadis itu karena ternyata dia putri raja yang sesungguhnya.
Selain itu, dalam buku juga tentu ada dongeng-dongeng putri yang judulnya saya sebutkan di awal. Itu bukan dongeng yang mau saya baca dua kali. Saya nggak suka, sebal, dan muak. Waktu itu saya pikir, para putri terlalu naif dan bodoh. Para pangeran terlalu dungu sampai mencium putri beracun atau putri yang jelas-jelas mati dan diarak menuju liang kubur. Hah, gila.
Kisah lainnya yang mewarnai masa kecil saya adalah kisah2 yang lebih rasional. Dongeng putri rupanya bikin saya kapok. Saya suka kisah rasional little missy, romantismenya nggak terlalu ngayal untuk ukuran anak sd, tapi anehnya yang menempel dikepala saya adalah kelamnya sejarah perbudakan pada masa itu. Meski saya masih ingat nama tokohnya, seperti Missy, Rudolfo, Baron Ararona, Candida, Dimas, Justo, Roberto, Anna, tapi tak satupun dari mereka yang jadi paforit saya. Saya tak suka mereka. Ok, sampai sini kalian berikir, saya anak kecil yang aneh banget. Hehe...
Saya memang begitu. Apa yang orang benci biasanya saya sukai. Apa yang orang suka dan puja, saya malah geli. Contohnya, ketika usia saya bertambah, saat itu lagi rame film Yoko dan bibi Ling. Semua orang suka tokohnya karena Yoko cerdas dan ceria (mirip judul sebuah acara ya). Tapi saya nggak suka. Tiap nonton saya malah berharap si yoko mati, si bibi Lung juga. Hahha... Maaf ya pemirsa, maklum pikiran anak kecil... Hihi...
Tokoh yang saya suka, bahkan jadi paforit saya justru paman si Yoko, Kwee Cheng dan Rong Er. Padahal waktu itu setahu saya, mereka cuma peran pembantu di cerita tersebut. Baru setelahnya saya tahu mereka tokoh utama di buku pertamanya. Mengapa saya tak suka Yoko? Karena dia egois, dan gila. Dia hanya memikirkan cinta sampai beruban, sementara orang lain memikirkan negara.
Tokoh terkenal sebelum zaman Yoko, sebenarnya ada kisah Siti Nurbaya-nya Novia Kolopaking dan Suamsul Bahri-nya Gusti Randa. Siapa tokoh paforit saya di sinetron itu? Him Damsyik si Datuk Maringgih. Weeew... Tanya kenapa...
Gampang, karena si Gusti Randa, eeh, si Syamsul Bahri rela nyari mati dan jadi pengkhianat bangsa sementara meskipun sempat jahat, si datuk maringgih mati syahid dalam barisan pejuang. Syahid? Yah, anggap saja dia sudah bertobat deh...
Nginjak SMP, dongeng-dongeng bertambah menjadi arsip di kepala saya. Karena sudah merasa dewasa (haha) saya juga merasa harus menyeleksi bacaan. Karena bekal sinetron Siti Nurbaya, semua buku novel di perpustakaan smp saya lahap habis. Tapi, saya tak pernah mau menyentuh buku Sitii Nurbaya, saya agak dendam sama penulis soalnya. Hehe... Tahulah kenapa.
Buku Mekar Karena Memar-nya Armijn Pane, Layar Terkembang, semua novel Hamka, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, I Swasta setahun di Bedahulu, Perempuan di Sarang Penyamun, sampai Olenka-nya Budi Darma. Iya, kepala saya berjejal cerita memang, hingga terdoronglah rumus-rumus fisika dan aljabar yang sebenarnya gampang-gampang saja buat dikerjakan. Hehe...
Dari semua kisah itu, mana yang jadi paforit saya?
Bertengkar Berbisik, kisahnya membuat saya tertawa bahkan kalau saya ingat sekarang. Padahal kata teman, itu nggak lucu-lucu amat. Kalau cerpen, saya suka karyanya Idrus, kisah Celana Kepar 300. Kalau novel, saya suka Olenka. Apa yang membuat saya suka Olenka? Bahasanya dan latar belakang kisahnya.
Olenka adalah seorang cewek aneh yang dikejar si tokoh. Dan keanehan ini yang membuat saya suka ceritanya. Si Olenka ini labil, pernah gagal berumah tangga, bahkan pernah terjerumus lesbi. Ini kisah rasional. Kisah kehidupan orang-orang biasa. Olenka membuat saya berpikir banyak, berpikir serius tentang latar belakang kerpibadian dan pergolakan hati ketika usia saya masih kelas dua smp. Kenapa Olenka akhirnya lari pada teman perempuannya? Apa yang ada dipikirannya? Dan, ya... Hal-hal semacan itulah. Ingat ya, zaman itu lgbt begitu jijik, tapi Olenka membuat saya tahu, bahwa mereka ada. Penyakit itu ada...
Kisah lainnya yang berbekas adalah Belenggu. Ini kisah novel rumah tangga, tentang konflik suami istri. Hadew, anak smp baca ginian..., eh, selain konflik rumah tangga, ini nggak ada jorok-jorokan ya! Ini sastra Pujangga baru sampai angkatan 45 ya, bukan Mira W dan teman-temannya. Tapi... Well, ini memang terlalu dewasa untuk bekal isi kepala anak smp kelas dua. Heuheu...
Lain kali, saya ingin bahas tokoh2 ini satu persatu... Stay tune ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar