Lembah yang biasa sepi itu, kini
terlihat ramai. Puluhan jumlah laki-laki tampak membentuk kelompok-kelompok.
Sebagian besar mereka adalah para pemuda, sebagian lagi kaum bapak, beberapa
ada kakek-kakek berusia senja. Mereka sedang melakukan latihan. Satu kelompok
sedang memainkan pedang. Satu kelompok lagi berkonsentrasi dengan busur dan
anak panah mereka, kelompok lain berpacu dengan kuda, dan kelompok lain lagi
tengah beradu fisik, berlatih kungfu. Beladiri khas Cina.
Abdul Aziz berjalan pelan melewati
mereka semua. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Matanya menyipit, mempersempit
celah agar sinar silau matahari tak banyak masuk kedalam bola matanya. Ia lalu
berdiri disalah satu sisi, mencari tempat yang memungkinkannya melihat mereka
keseluruhan.
Ini adalah hari ketiga mereka
menjalankan latihan. Semua terlihat bersemangat. Bahkan para orang tua yang
sudah lanjut, ikut serta. Padahal ia sudah memberi keringanan pada mereka untuk
beristirahat dirumah saja. Tapi mereka bersikeras.
Abdul Aziz tersenyum lagi. Semangat memang sesuatu yang sangat
mudah menular. Hampir pada semua orang. Tapi hampir itu tidak semua. Dan tidak
semua itu tengah menimpa pada satu orang...
Abdul Aziz melihat yang ‘satu orang’
itu dari kejauhan. Husain.
Ia sedang mengarahkan para pemuda yang
tengah bersiap-siap dengan busur dan anak panah mereka. Dari tempatnya berdiri,
Abdul Aziz bisa bisa melihat keringat yang menetes dari kening Husain karena
keringat itu berkilau oleh sinar mentari.
Sekilas, ia memang terlihat sama
bersemangat seperti pemuda yang lain. Tapi Abdul Aziz tahu, saat ini, Husain
adalah orang yang dikecualikan dari wabah semangat. Ada sesuatu yang tengah
dipikirkannya benar. Mungkin tentang perang yang sebentar lagi akan terjadi.
Sebelum kedua pasukan, pasukan Islam dan pasukan kekaisaran bertemu, perang
sudah berkecamuk lebih dulu didalam batin Husain.
Apakah ia gentar dan takut? Tidak.
Sebaliknya. Husain orang yang sangat berani dan tangguh. Masalahnya hanyalah,
Husain seorang yang tidak menyukai konflik. Jangankan untuk konflik yang
mengorbankan tertumpahnya darah, untuk konflik kecil saja, Husain lebih banyak
menghindar. Segala sesuatu, baru akan ia putuskan jika ia telah yakin
orang-orang disekelilingnya tak ada yang ia sakiti. Ia orang yang sangat
pengasih. Ia akan membiarkan bidikannya lepas saat berburu, untuk membiarkan
orang lain membidiknya.
Perang ini, jelas tidak sesuai dengan
kepribadiannya.
Abdul Aziz menarik nafas panjang. Tak
apa. Ia berharap, perang yang akan mereka hadapi, bisa melatih Husain untuk
bertindak lebih baik. Kapan ia harus bersikap kasih, kapan ia harus bersikap
tegas.
“Air, Syeikh?” seseorang menawarinya
air.
Abdul Aziz menoleh kesebelah kirinya.
Mei Lin berdiri disampingnya, membawa seember air. Abdul Aziz tersenyum dan
mengambil satu ciduk air lalu meminumnya. “Terima kasih,” kata Abdul Aziz.
“Alangkah baik jika Anda mengawasi mereka
dari tempat yang teduh,” kata Mei Lin sembari mengangguk hormat dan beranjak.
“Terimakasih,” kata Abdul Aziz lagi,
membalas senyuman Mei Lin.
Gadis itu lalu berjalan menuju
kelompok yang berlatih bela diri. Mereka satu-satunya kelompok yang belum didatangi
pembawa air.
Mei Lin adalah putri dari teman
dekatnya, Rasyid. Rasyid adalah temannya satu kapal ketika ia datang ketanah
Cina ini. Bedanya, Rasyid datang untuk kembali pada istri dan putrinya yang ia
tinggalkan selama satu tahun. Sementara dirinya, baru datang kali itu.
Rasyid seorang pedagang permadani
Persia. Kepergiannya saat itu, untuk membenahi kembali perdagangan permadani
yang mengalami kemunduran, sekalian melepas rindu pada tanah kelahiran katanya.
Putrinya, Mei Lin, hasil pernikahannya
dengan penduduk setempat. Mei Lin gadis yang sangat cantik. Meski namanya Mei
Lin, wajahnya lebih mirip orang Persia daripada orang Cina. Ia lebih mirip
ayahnya. Sementara adiknya, lebih mirip ibunya, meski namanya Hamid.
Abdul Aziz, terus memandangi Mei Lin,
hingga ia selesai dengan tugasnya.
“Apa makan malam hari ini, Mei Lin?”
tanya Abdul Aziz ketika Mei Lin melintas didekatnya.
“Aku tidak tahu Syeikh, tapi Ibu
sedang menguliti seekor rusa. Putra Anda memberikannya pada kami tadi pagi.”
“Oh, benarkah? Sepertinya akan menjadi
makan malam yang nikmat.”
“Insya Allah,” Mei Lin tersenyum dan
beranjak.
Setelah Mei Lin menghilang, Abdul Aziz
mengalihkan pandangannya pada Husain. Dia sedang duduk sekarang, beristirahat
seperti yang lain.
Sebuah bayangan untaian giok tiba-tiba
tergambar dalam benaknya. Apakah sudah saatnya Husain?
*
* *
Setiap malam, dikampung pelabuhan ada
pesta. Sebenarnya bukan pesta yang sesungguhnya. Hanya makan malam. Namun makan
malamnya berbeda dari makan malam-makan malam sebelumnya. Makan digelar
disebuah tanah lapang, dihadiri oleh semua anggota kampung, baik perempuan atau
laki-laki. Layaknya pesta.
Abdul Aziz duduk bersama para bapak
lainnya. Disana ada Rasyid, ayah Mei Lin, juga sahabat dekat Abdul Aziz. Jauh
didepannya juga duduk Husain, bersama para sahabatnya dari kalangan pemuda.
“Mengenai usul yang kau katakan padaku
kemarin, kami sudah membincangkannya,” kata Abdul Aziz kepada Mei Lin. Abdul
Aziz menahannya, ketika gadis itu selesai menyimpan hidangan makan malam untuk
mereka. Mei Lin duduk diantara Abdul Aziz dan ayahnya. Duduknya agak menjorok
keluar lingkaran, agak malu berada dalam barisan para laki-laki.
Mei Lin melihat Abdul Aziz, bibirnya
menyunggingkan senyuman senang. Kemarin, ketika ia memberi minum Abdul Aziz saat
latihan, Mei Lin meminta Abdul Aziz juga memberi latihan perang untuk kaum
perempuan.
“Menurutmu, apa yang bisa kami lakukan
untuk kalian? Latihan apa yang tidak memberatkan kalian?”
“Sesuatu yang tidak terlalu menguras
fisik, Syeikh.”
“Gadis pintar,” Abdul Aziz tersenyum.
“Memanah,” ujar Abdul Aziz kembali, “Husain, mulai besok kau latihlah mereka.”
“InsyaAllah,” Husain mengangguk kearah
Abdul Aziz.
“Terimakasih, Tuan Muda,” kali ini Mei
Lin bicara kepada Husain. Husain membalasnya dengan anggukan kecil.
“Kalian juga akan dilatih kungfu
dasar, memainkan pedang dan berkuda. Kau atur jadwalnya dengan bertahap Mei
Lin. Tapi jangan sampai mengurangi waktu kalian untuk membaca dan mempelajari
al-Qur’an, sebab hidup itu, butuh keseimbangan. Disini, disini, dan disini,”
seraya berkata seperti itu, Abdul Aziz berturut-turut menunjuk keningnya,
dadanya dan pangkal lengannya.
“Baik, Syeikh,” Mei Lin mengangguk. Ia
mengerti apa yang dimaksud Abdul Aziz. Akal, ruh dan jasad, tiga unsur yang
menyusun tubuh manusia itu sama-sama harus diisi dengan seimbang.
Setelah pembicaraan selesai, Mei Lin
mengundurkan diri dan beranjak. Selama itu, Abdul Aziz terus memperhatikan
Husain. Apakah pemuda itu memperhatikan Mei Lin barang satu jenak?
Hingga makan malam itu usai, dan semua
kembali kerumah masing-masing, mata Husain tak sekalipun singgah pada Mei Lin.
Tidak pada rumahnya, tidak pada pintu yang menelan tubuh Mei Lin, apalagi pada
wajah gadis itu. Bahkan saat Mei Lin berterimakasih tadi, Husain tak melihat
sedikitpun.
Abdul Aziz merasa gundah. Jika gelang
giok itu bukan milik Mei Lin, lantas milik siapa? Adakah gadis diperkampungan
ini yang melebihi Mei Lin? Atau Husain menyukai gadis biasa saja? Abdul aziz
membuang nafas, mengakhiri pikirannya yang terus mengembara.
Malam hampir usai dan subuh hampir
menjelang. Ada waktu beberapa saat hingga ia seharusnya bangun untuk shalat
malam. Ia memejamkan mata, mencoba beristirahat walau satu kejap. Esok, ia
kembali harus memimpin latihan yang keras.
*
* *
“Mereka berlatih dengan sangat
antusias, Syeikh.”
Suatu siang, Ma Yun Chen, pemimpin
Muslim dari suku Han berkunjung ke Desa Pelabuhan. Rombongan mereka
berjalan-jalan melihat latihan.
“Anda sungguh bahagia, Syeikh,
memiliki seorang putra yang hebat, juga rakyat yang taat,” ucap Ketua Ma ketika
Husain datang menghampirinya untuk memberi salam. Sambil berkata seperti itu,
Tuan Ma tersenyum. Namun senyuman itu terasa pahit dirasakan Abdul Aziz dan
Husain yang melihatnya. Senyuman pahit itu bukan senyum iri atau dengki dengan
keadaan Abdul Aziz. Namun yang ikut menyembul dari senyum itu adalah sebuah
penyesalan. Penyesalan karena ia seperti mengalami hal yang bersebrangan dengan
yang dimiliki Abdul Aziz. Selain itu, raut muka Tuan Ma pun seperti keruh.
“Mengapa bicara seperti itu sahabatku
yang mulia, anda memiliki putra terbaik seperti Tuan Muda Ma, bukankah itu
karunia besar yang diberikan Allah? Dan bukankah anda memiliki rakyat yang
jumlahnya demikian besar? Jumlah yang tak ada yang memilikinya diantara kita
selain Anda?”
Ma Yun Chen melihat Ma Xia Wu, putra
pertamanya yang tengah berdiri tepat disampingnya. Ma Yun Chen kemudian
tersenyum. “Benar, aku memang memiliki putra yang kuat dan pintar. Namun jumlah
rakyat yang banyak, Syeikh,” mata Ma Yu Chen berpaling pada Abdul Aziz, “apakah
artinya jumlah, jika jumlah itu hanya seperti buih dilautan?”
Abdul Aziz tersentak.
“Inilah maksud kedatanganku kali ini,”
kata Ma Yun Chen.
“Kalau begitu kita bicarakan dirumah.”
Abdul Aziz mempersilahkan Ma Yun Chen untuk berjalan bersamanya.
“Bagaimana kalau kita melihat-lihat
latihan, saudara Ma?” Husain memalingkan pandangan pada wajah Ma Xia Wu. Tapi
sahabatnya itu seperti tak mendengar. Pandangannya lurus menerawang. Kening
Husain berkerut dibuatnya. Sejauh ia
mengenal Ma Xia Wu, belum pernah Ma Xia Wu seperti ini. Ma Xia Wu adalah pemuda
kuat nan hebat. Permainan kungfunya sangat luar biasa. Ia tidak hanya ahli
memainkan pedang, ia juga ahli memainkan tombak, juga memanah. Bahkan dengan
tangan kosong sekalipun ia bisa mengalahkan ratusan prajurit bersenjata dengan
sekali tepuk. Selain itu, ia juga pintar. Pintar segala hal. Itu karena dia
orang yang sangat rakus dengan ilmu pengetahuan. Hafalannya tajam. Ia bahkan
bisa menghafal satu kitab hanya dalam waktu dua hari saja. Ia juga pintar berdagang.
Dalam usia semuda itu, ia bisa memasarkan permadani dan kain bergulung-gulung
dalam satu hari saja. Penghasilannya bisa bertail-tail emas sekali berdagang.
Bagi Husain, Ma Xia Wu adalah seorang pemuda yang sempurna. Kelemahannya satu
saja, ia agak tertutup pada orang lain.
Ma Xia Wu memang orang yang tenang,
namun bagi Husain, itu bukan sifat aslinya. Ketenangan Ma Xia Wu seperti topeng
yang selalu ia pakai untuk menutupi keadaan dirinya. Namun menutupi keadaan apa, Husain tak tahu. Ia hanya tahu,
kalau mata Ma Xia Wu seperti menyimpan suatu gelap yang dalam. Gelap bukan
berarti jahat. Namun gelap di mata Ma Xia Wu, berarti serba tak jelas. Mana
sifat yang aslinya, ia tak membiarkan orang lain tahu.
Mengetahui kelemahan Ma Xia Wu tidak
membuat Husain membuang rasa hormatnya. Memiliki kelemahan adalah sebuah
keniscayaan. Tak ada manusia yang hidup tanpa cacat dan cela. Sebenarnya ada,
namun hanya Rasulullah saja. Kelemahan Ma Xia Wu, bagi Husain, tertutup dan
terselimuti kebaikan dan kelebihan-kelebihannya. Bagi dia, Ma Xia Wu adalah
pemuda sempurna. Sahabat yang sempurna.
Seperti saat ini, Husain merasakan
kegelapan dalam hati Ma Xia Wu. Bukan hanya gelap, namun dingin dan sunyi. Ma
Xia Wu sedang merasakan sesuatu. Sesuatu yang membuat hati Husain ikut merasa
sendu. Apa yang tengah dipikirkannya?
“Saudara Ma,” Husain memanggil Ma Xia
Wu. Namun orang yang dipanggil masih asyik dengan lamunannya. Baru setelah
panggilan ketiga, Ma Xia Wu baru tersadar.
“Eh, apa? Kau memanggilku, Ho San Ni?”
tanya Ma Xia Wu tergagap.
“Aku hanya ingin mengajakmu
berkeliling melihat latihan, mumpung kau berkunjung kemari.”
“Oh, tentu saja. Tentu saja aku mau.”
“Mari,” kata Husain mempersilakan.
“Terimakasih.”
“Mereka bersemangat sekali,” kata Ma
Xia Wu ketika mereka mulai berjalan.
“Alhamdulillah.”
“Tentu bersemangat, karena memiliki
guru sepertimu,” kata Ma Xia Wu sambil tersenyum.
“Aah... kau ini, mereka bukan muridku,
aku juga bukan guru mereka.”
“Oya, jadi kalian itu saudara
seperguruan? Waah... aku ingin tahu sehebat apa gurunya? Lekas pertemukan aku
dengannya, aku akan berguru segera!”
Gurauan Ma Xia Wu membuat Husain
tertawa. Selama ini, Ma Xia Wu selalu menganggapnya sangat hebat dan kuat.
“Oh, ya. Masalah apa yang akan
dibicarakan Ketua Ma? Sepertinya sangat serius?”
Wajah Ma Xia Wu tiba-tiba keruh. Mirip
wajah ayahnya ketika mengatakan hal yang sama.
“Sebenarnya ada apa? Boleh aku
tahu?”
“Tentu saja. Apa yang bisa aku
sembunyikan padamu?” Ma Xia Wu tersenyum. Husain pun tersenyum. Banyak
saudaraku, banyak yang kau sembunyikan
dariku.
“Mengenai latihan yang kita rencanakan
ini, mungkin kami tidak bisa melakukannya,” Ma Xia Wu berhenti berjalan.
Matanya serius melihat ke arah Husain.
“Mengapa?”
Ma Xia Wu menjawab dengan helaan nafas
panjang.
“Sangat panjang Ho San Ni..., jika
kuceritakan akan sangat panjang....”
“Akan aku dengarkan...”
Ma Xia Wu kembali melihat Husain.
Badannya berbalik, memperhatikan laut yang berombak jauh dibawahnya. Ma Xia Wu
duduk diatas rerumpuatan kering ditebing itu. Hingga kepangnya yang panjang,
menjuntai menuruni punggungnya dan jatuh menyentuh tanah. Husain duduk
disampingnya. Memandang wajah Ma Xia Wu yang terus menerawang. Memutar kenangan
yang telah ia rekam bertahun-tahun silam...
*
* *
“Islam masuk ke Cina sejak masa
Dinasti Tang berabad-abad yang lalu. Kepiawaian pendatang Arab dalam berbagai
hal, membuat mereka diterima baik oleh Yung Wei, kaisar Tang yang berkuasa saat
itu. Bahkan beliau mendirikan sebuah masjid di Canton )13. Sampai pada masa
dinasti Ming, agama ini terus berkembang.”
Husain pernah mendengar tentang ini
dari Abdul Aziz. Bahkan yang ia ketahui Chu Yuan Chang, pendiri Dinasti Ming
adalah orang muslim. Meski ajaran dinasti Ming adalah Confusiesme, namun
hubungan Islam dan Kekaisaran tetap harmonis. Beberapa Kaisar Dinasti Ming juga
seorang Muslim. Orang-orang Muslim banyak yang menduduki jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan. Meski hubungan Kekaisaran Ming dengan Kekhalifahan
Islam mulai memburuk di akhir masa kekaisaran Ming, namun pengekangan terhadap
penganut Yisilan Jiaou tidak sampai terjadi.
“Kisah manis itu harus berakhir pada
saat orang Manchu berkuasa,” kata Ma Xia Wu melanjutkan. “Mereka bertindak
sangat keras terhadap penganut Yisilan Jiaou. Hanya urusan sepele seperti
kepang saja, bisa membuat kepala seseorang melayang. Kau tahu apa sebabnya, Ho
San Ni?”
“Karena Manchu suku minoritas?”
Ma Xia Wu mengangguk. “Mereka sangat
ketakutan dengan yang namanya ketidakpatuhan. Segala bentuk pembangkangan
adalah makar untuk menggulingkan pemerintahan. Namun ketika Kaisar Kang Xi
berkuasa, semuanya berubah.”
Kening Husain berkerut. Kaisar Kang
Xi? Bukankah itu adalah nama dari Kaisar yang sekarang tengah memimpin? Tapi
berubah? Tidak, Husain tidak merasakan perubahan hubungan antara Kaisar dan
Muslim. “Apakah sikap Kaisar terhadap Yisilan Jiaou lebih baik dari
kaisar-kaisar sebelumnya, saudara Ma?”
“Tidak. Maksudku bukan begitu. Berubah
bukan pada muslim, tapi pada orang Han, termasuk keluarga Ma.”
“Maaf, aku belum mengerti,” kata
Husain setelah lama berpikir.
“Sejak awal Kekaisaran Qing memimpin,
hubungan Manchu dan Han sangat tidak harmonis. Kang Xi datang menumpulkan
pertengkaran itu. Dia merangkul orang Han. Mengembalikan tanah yang dirampas
kaisar sebelumnya, memberikan pemuda-pemuda Han pendidikan dan pekerjaan.
Banyak orang Han yang tinggal di kerajaan. Bahkan Kang Xi mempercayai Wang
Shan, seorang Han menjadi guru pribadi bagi Yinreng, putra mahkota. Dia juga
sangat fasih berbahasa Mandarin, dan sangat hafal budaya-budaya Tiongkok. Kang
Xi telah berhasil mengambil hati orang-orang Han, apakah dia penganut Yisilan
Jiaou atau bukan.”
Husain menguraikan kerutan di
keningnya. Sekarang ia mulai mengerti. Orang Han yang muslim sulit direkrut
untuk memberontak pemerintah, karena sekarang, mereka merasa sudah menjadi
bagian dari pemerintah itu sendiri. Husain menghembuskan nafas pelan. Ini
berita yang kurang baik. Karena muslim Han sangat diharapkan partisipasinya,
terutama karena masalah jumlah.
Husain memandang lautan luas. Ombak
berukuran sedang saling susul-menyusul menyentuh pantai. Sekarang Husain
mengerti, apa arti keresahan dimata ketua Ma. Dan ia pun mengerti sebab kabut
yang terus bergelayut dimata Ma Xia Wu.
“Pasti ada hikmahnya,” kata Husain
tiba-tiba, membuat kepala Ma Xia Wu menoleh padanya. “Jumlah bukanlah ukuran
kemenangan, bukan? Saudara Ma?” Husain melihat Ma Xia Wu dengan pandangan
tulus, membuat senyum dibibir Ma Xia Wu
tersungging lebar.
Betul, jumlah bukanlah ukuran
kemenangan. Mereka tahu tentang sejarah Badar, ketika yang sedikit menjadi
pemenang, juga sejarah Hunain, ketika jumlah yang banyak bisa melenakan.
Sekarang tinggal mengambil cara, agar jumlah yang tak begitu banyak tetap bisa
membuahkan kemenangan. Agar mereka bisa menjadi prajurit Badar yang sebenarnya.
Sebab misi pemberontakan ini adalah penentu kemengangan dakwah dimasa depan.
Pandangan Husain dan Ma Xia Wu kembali
beralih jauh kedepan. Kali ini mereka melihat langit yang berhias awan
bergumpal-gumpal. Serupa itu sekarang pikiran mereka. Tentang tak-tik perang,
tentang latihan, tentang prajurit, tentang senjata. Bertumpuk-tumpuk semua itu
dalam otak mereka. Bersusun tak beraturan. Semrawut tak tentu tempat.
Husain menarik nafas panjang.
Tenang..., semua itu harus ia pikirkan matang. Sedikit salah langkah bisa
menjadi bumerang, lalu perjalanan yang sudah ditapaki menjadi sia-sia dan
percuma. Satu-satu, pikirkan satu-satu...
Husain memejamkan mata dalam belaian
angin dan suara pendar ombak yang hening. Pasti ada cara...
“Tuan Muda.”
Sebuah suara menyeruak dari belakang
punggung mereka.
“Tuan Muda Husain.”
Satu suara lagi. Namun tak mampu
diantarkan angin kedalam dunia hening Husain. Ma Xia Wu yang menoleh, melihat
seorang gadis yang tengah menunggu Husain. Gadis berwajah Persia, berbalut
gamis merah maroon, memakai tutup kepala seperti ulama timur tengah. Pakaian
yang dipakainya mirip pakaian para kaum lelaki ketika hendak berperang atau
melakukan perjalanan, hanya yang gadis itu kenakan lebih lebar, dan tanpa rompi
besi. Dari kejauhan, Ma Xia Wu juga melihat segerombolan orang yang agak
memisahkan diri dari pasukan yang lain, berpakaian sama seperti perempuan yang
ada dihadapannya ini. Apakah ia adik Husain? Lalu pakaian yang mereka kenakan,
apakah mereka terlibat latihan? Jika ya, alangkah membuat iri...
“Tuan Muda Husain?”
Melihat Husain, yang tak mempedulikan
suara yang memanggilnya, Ma Xia Wu berinisiatif untuk menyentuh pundak Husain.
“Saudara Ho?”
Husain tersentak, ia menoleh cepat
pada Ma Xia Wu. “Ah, ada apa saudara Ma?”
Ma Xia Wu menunjuk Mei Lin dengan
matanya, membuat Husain berbalik dan menyadari, bahwa sedari tadi ada orang
yang memanggilnya.
“Oh, Maaf Nona Mei Lin, ada sesuatu
yang tengah saya pikirkan.”
Nona? Berarti bukan adik Husain, bisik
Ma Xia Wu.
“Anda memang selalu memikirkan ummat,
Tuan Muda.”
“Ada Apa?”
“Latihan memanah. Kami sudah
menunggu.”
“Oh, ya. Sudah waktunya rupanya.
Tapi...,” Husain melihat Ma Xia Wu. “Ada seorang guru bermain pedang yang
hebat. Bagaimana kalau kita memanfaatkan kunjungannya yang sebentar ini Nona
Mei Lin?”
“Ah, tapi...,” Mei Lin melihat Ma Xia
Wu. “Bagaimana dengan jadwal latihan memanah kami Tuan Muda? Lagipula menurut
saya, bermain pedang...”
“Belajar memanah bisa disaat lain.
Sore atau esok hari.”
“Tapi kami juga sudah memiliki jadwal
lain...”
“Ah, maaf,” sela Ma Xia Wu. Ia mulai
merasa tak enak.“Kalau boleh saya tahu, siapa pelatih pedang yang hebat itu
saudara Ho?”
“Anda tentu saja, saudaraku,” jawab
Husain tersenyum.
“Kalau begitu maaf saya tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Husain kecewa.
“Pertama, karena saya bukan pemain
pedang yang hebat. Kedua, saya tidak bisa melatih kaum wanita. Bukan
membedakan, tapi pedang yang saya gunakan sangat berat untuk perempuan, harus
dibuat khusus dari bahan yang agak ringan. Jadi kalaupun bisa, tidak bisa
sekarang. Maaf saudara Ho.”
“Ah, kalau begitu, Anda melatih
pasukanku saudara Ma.” Sambil berkata seperti itu, Husain beranjak mendahului
Ma Xia Wu dan meninggalkan Mei Lin.
“Eh, Tuan Muda!”
“Saudara Ho!” kata Ma Xia Wu
berbarengan dengan Mei Lin. Melihat Husain yang menjauh, Ma Xia Wu pun segera
berlari menyusul Husain setelah ia melihat tak enak pada Mei Lin sekilas.
“Apakah disini kaum wanita berlatih
perang?” tanya Ma Xia Wu setelah langkahnya sejajar dengan Husain.
“Ya, sesuatu yang tidak aku setujui
sebenarnya.”
“Pantas kau tak mau melatih mereka.”
Ma Xia Wu tertawa. Belum bertahun mengenal Husain sebenarnya, tapi waktu yang
tak banyak itu cukup membuatnya sangat mengenal Husain. Husain orang yang
sangat enggang berhubungan dengan kaum perempuan. Sikapnya menjadi agak
pemarah, kaku, dan terlampau tegas. Kecuali pada kaum ibu dan kaum nenek Husain
tak seperti itu. Mungkin menjaga kuat hijabnya, tapi menurut Ma Xia Wu, tak
harus sekeras itu. Tapi Ma Xia Wu tak tahu, kalau sekarang Husain tengah
bersikap sangat lunak pada seorang gadis.
“Ya. Sebenarnya hanya tak biasa.
Lagipula saya sudah meminta saudara lain yang melatih mereka, tapi aku tak tahu
mengapa, akhirnya aku juga yang harus melatih mereka.”
“Mungkin karena kau memang sangat
pandai memanah.”
“Ah, sudahlah. Sekarang aku ingin
memanfaatkan kedatanganmu, saudara Ma. Disebelah sana, semua pasukan akan
berkumpul. Aku mohon, Anda mau mengajari kami, Guru.” Husain menangkupkan kedua
tangan didepan kepalanya sambil tersenyum.
“Baik, dengan satu syarat. Kau juga
mengajarku bermain panah, Guru,” kata Ma Xia Wu juga dengan menyatukan kedua
tangan diatas kepalanya dengan badan sedikit terbungkuk.
Sekarang, mereka berdua berjalan
mendekati pasukan sambil tertawa.
Dari jauh, Mei Lin memperhatikan kedua
pemuda itu. Memandanganya dengan pandangan yang tak lepas-lepas sedari tadi.
Ah, bukan. Bukan memandang kedua pemuda itu, tapi hanya memandang Husain. Hanya
memandang Husain.
Mengapa dia selalu marah padaku?
Membantah semua rencanaku? Tidak sukakah dia?
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar