“Luruskan posisi punggung,
tegakkan kepala, dan betulkan posisi kakimu. Kemarin aku sudah mengajari kalian
tentang hal ini bukan?” Tanya Husain tegas. Matanya menatap lekat pada sasaran
yang telah ia buat, menunggu anak panah Mei Lin menancap disana.
Mei Lin menatap sasaran anak
panah yang harus anak panahnya tuju. Jantungnya bergetar lebat. Kekhawatiran
menyeruak dalam dadanya. Bisakah ia melakukannya? Melesakkan anak panah ini
tepat ke lingkaran sekecil itu?
“Cara berdirimu masih salah,”
kata Husain setengah menyentak. Menghentak tubuh Mei Lin hingga benar-benar
kaku tersengat.
Husain menunggu Mei Lin
membenarkan posisinya. Tapi tubuh Mei Lin yang menegang benar-benar tak bisa
digerakkan.
Husain mendesah dalam hati. Yu
Lan lebih cepat belajar dibanding mereka. “Kita sudah lelah, kita lanjutkan
lagi besok.” Husain lalu memberi salam, dan beranjak.
“Istirahatlah Mei Lin, kau
terlihat lelah...,” seorang teman menepuk pundaknya pelan. Mereka, kelompok
prajurit wanita-pun bubar teratur.
Mei Lin membuang nafas. Ia
merutuk dirinya sendiri. Telah selesai? Latihan ini telah selesai? Padahal
latihan ini baru dimulai beberapa saat yang lalu. Mengapa ia membuat latihan
ini selesai lebih cepat?
Mei Lin berusaha melemaskan
tubuhnya. Berhasil. Tangannya luruh. Busur dan anak panah jatuh dari kedua
lengannya.
Akhir-akhir ini ia memang
sibuk. Mungkin, dari luar akan terlihat seperti itu. Dari sejak shubuh belum
lagi datang. Mei Lin sudah menyiapkan makanan untuk disantap saat sarapan pagi
hari. Lalu ketika matahari merambat naik, ia menjadi komandan pasukan
perempuan. Siang, ia mengajari anak-anak dan sorenya, giliran ia yang mengkaji
ilmu dengan Syeikh Abdul Aziz. Menjelang malam, ia menyiapkan makan malam,
setelah itu ia lanjutkan dengan merancang materi latihan juga materi kajian esok
harinya.
Memang sangat sibuk. Sekali
lagi, mungkin.
Tapi adakah yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi?
Mei Lin tersenyum sinis.
Tidak, ia tidak sesibuk kelihatannya. Ia hanya tengah mengalihkan perhatian
pada pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan. Ia hanya menyibukkan dirinya
sendiri dan membuat pikirannya sejenak melupakan perasaan sakit yang
memporak-porandakan batin keperempuannya.
Sungguh, sepanjang umur, ia
baru merasakan perasaan kacau semacam ini. Bukan terluka, bukan juga kecewa.
Hanya perasaan suka. Suka yang membuat warna-warna dihatinya bercampur aduk tak
menentu. Tiba-tiba panas menyengat. Sedetik kemudian dilanda badai dahsyat.
Sebenarnya peasaan itu indah,
tapi begitu menyiksa.
Mei Lin terduduk diatas rumput
yang embun didaunnya sudah menguap sejak tadi.
Satu hal yang membuat rasa itu
tak indah lagi bagi Mei Lin. Ia hanya ingin, segala yang ia kerjakan, tak
ternoda sedikitpun. Hanya itu...
* * *
Abdul Aziz memperhatikan Mei
Lin sedari tadi. Pikirannya mengembara, menyelami segala kemungkinan yang
seharusnya tejadi. Memikirkan sekap yang harus segera ia ambil.
* * *
Yu Lan merasa terkejut.
Pangeran ke-14 mengunjungi dirinya!
“Pangeran Yinti!” Yu lan
terlihat sumringah. “Ada angin apa gerangan yang membawa hati Pangeran
kemari...,” Yu Lan bersegera menyambut Yinti.
“Tak ada angin yang aneh,
Putri. Hanya angin persaingan...,” Yinti tertawa. Ia duduk ditempat yang
dipersilakan Yu Lan.
“Sho Chan, buatkan teh untuk
Pangeran!” Yu Lan melihat Sho Chan, lalu perhatiannya kembali pada Yinti.
“Aku senang ada orang yang
masih mengingatku hari ini.... Tapi aku tidak mengerti, angin persaingan apa
yang Anda maksud?”
“Pesaingan para Pangeran untuk
mendapatkan posisi khusus dimata Kaisar,” Yinti tertawa lagi. Tapi tawanya
tiba-tiba memelan, melihat wajah Yu Lan yang memuram.
“Sebenarnya, perlukah ini
dibilang sebagai lelucon, Kakak?”
Lalu tawa Yinti benar-benar
menghilang. “Benar, maafkan aku. Padahal, aku datang kesisni karena ingin
menenangkan diri.”
Sho Chan datang membawa teh
untuk mereka berdua. Lalu ia memberi hormat dan beranjak mundur.
“Rupanya masalah ini
mengganggumu, Kakak?”
“Apa kau tidak merasa
terganggu, Yu Lan?”
“Seluruh Istana terbakar.
Istana Bunga Mesim Semi tak bisa menghindar dari panasnya kobaran itu.”
Yinti terdiam. Benar, siapa
yang bisa menghindar? Siapa yang bisa tak peduli? Sebab kobaran itu kini telah
menghanguskan seluruh dataran negeri.
Kobaran api itu membakar
Istana, ketika beberapa hari yang lalu, Putra Mahkota Yinreng tertangkap basah
tengah melakukan perbuatan yang sangat memalukan dengan seorang anak perempuan
yang sengaja ia beli dari perbatasan. Lebih parahnya lagi, bukan pertama kali
ini ia melakukan pembelian anak perempuan dibawah umur dari daerah Jiangsu
untuk menjadi korban kekejian nafsunya.
“Aku merasa kasihan pada Yang
Mulia...,” Yu Lan bergumam lirih.
“Benar, jika mengingat betapa
Yang Mulia menaruh harapan besar pada Yinreng.”
Perhatian Kang Xi pada Yinreng
memang melebihi pada putranya yang lain. Pada Yinreng, Kang Xi turun tangan
untuk mengajari Yinreng banyak hal. Ia juga mendatangkan guru khusus untuk
Yinreng. Membawanya ke Perbatasan, mengajarinya taktik berperang. Singkat kata,
Kang Xi mengajari Yinreng langsung dengan tangannya sendiri. Mengingat betapa
harapan Kang Xi tertumpah ruahnya pada Yinreng, membuat Yu Lan merasa kasihan
pada Kaisar. Sikap Yinreng bukan hanya mengecewakan Kaisar, tapi juga
Permaisuri, juga seluruh istana.
“Aku sangat tidak suka dengan sikap Yinreng.
Sama tak sukanya dengan sikap para pangeran yang saling berlomba mencari perhatian
Kaisar untuk menggantikan posisi Putra Mahkota.” Rahang Yinti mengeras.
“Mengapa Anda tidak ikut
persaingan itu saja, Kakak?” tanya Yu Lan.
Yinti terhenyak menatap Yu
Lan. Namun melihat senyum diwajah Yu Lan, rahangnya mengendur, dan hatinya
melunak. Ia pun tiba-tiba tertawa.
“Mengapa anda tertawa?”
“Sampai kapanpun, aku ini
tidak akan jadi Kaisar, Yu Lan.”
“Mengapa tidak? Reputasimu
baik dimata semua orang. Bahkan mendiang Ibu Suri dan Permaisuri pun sering
memuji Anda. Berbeda dengan kau...,” kata Yu Lan.
“Bahkan jika sikap baik semua
orang berkumpul padaku, Yu Lan. Darah rakyat jelata yang mengalir dalam
tubuhku, tak mengizinkan hal itu.”
Yu Lan dan Yinti terdiam
sejurus.
“Kalau kau laki-laki, Baba
akan memilihmu, Yu Lan...”
“Tidak, Pangeran. Anda salah.
Kita ini sama. Kau, anak dari selir berkasta rendah. Sedangkan aku, meski ibuku
seorang bangsawan, bahkan keturunan kerajaan, tapi aku membawa darah Han.”
“Darah, leluhur, keturunan,..”
lanjut Yu Lan, “Mengapa tiga hal itu berpengaruh pada nasib kita, Kakak?
Padahal kita tidak pernah memilih oleh siapa kita dilahirkan.” Yu Lan memandang
Yinti.
“Tanyakan pada Dewa, mengapa
ia membuat manusia berkasta.”
Yu Lan terdiam. Ia ingat satu
kalimat yang Husain ucapkan. “Andaikan Tuhan menilai manusia dari perbuatannya,
alangkah adilnya...” kata Yu Lan bergumam.
Namun gumaman Yu Lan yang tak
disangka membuat Yinti terhenyak.
“Apa yang kau katakan?”
“Ah, tidak! Aku tak mengatakan
apapun!”
“Tuhan menilai manusia dari
perbuatannya?”
“Aku hanya mengulang kata-kata
orang lain...”
“Orang lain? Siapa?”
“Ah,bukan siapa-siapa...,” Yu
Lan mulai merasa jengah.
“Maafkan aku. Hanya saja,
kata-kata itu begitu asing terdengar. Tapi... maknanya yang mendalam.... ah,
andai memang seperti itu...”
Yinti terdiam. Kata-kata Yu
Lan seperti kata-kata seorang Yisilan Jiaou. Ibu Yu Lan seorang Han, orang Han
bisa saja seorang Yisilan Jiaou. Apalagi jika dia bermarga Ma. Apakah Yu Lan...
Tiba-tiba Yinti merasa
kecemasan yang beberapa hari yang lalu ia rasakan, terulang kali ini.
“Jika seperti itu, Yang Mulia
pasti tidak akan repot-repot mengajari Yinreng yang memang sulit, tapi Baba
pasti akan langsung mengangkatmu sebagai penggantinya....”
“Kau ini bisa saja...”
Mereka lalu tertawa...
* * *
Malam yang gelap. Senyap.
Hanya satu suara yang terdengar. Desahan nafasnya sendiri yang berjalan tak
beraturan, mengiringi langkahnya yang ia atur diam-diam.
Kepalanya sesekali menoleh
kesamping kanan, kekiri, atau kebelakang. Lalu setelah sampai disebuah daun
pintu berwarna merah, laki-laki itu berhenti dan mengetuk sejenak.
Tak menunggu lama, seseorang
dari dalam membuka pintu.
“Pangeran ke-14?”
“Verbiest, maaf mengganggumu
malam-malam. Ada yang ingin aku bicarakan, penting sekali!”
“Lekas masuk!”
Lalu pintu berderit tertutup,
melahap dua tubuh itu hingga tertelan...
* * *
“Berita tentang Istana sudah
sampai kepada Anda, Syeikh?”
Suatu hari, Ketua Ma kembali
mengunjungi Syeikh Abdul Aziz.
“Tentang Putra Mahkota? Aku
sudah mendengarnya...”
“Sebenarnya, saya tidak
terlalu peduli dengan berita itu, tapi
paling tidak, kekisruhan ini, bisa kita manfaatkan...”
“Saya mengerti kemana arah
pembicaraan Anda, Tuan Ma.”
Abdul Aziz dan Ketua Ma
tersenyum cerah.
* * *
“Tiga ratus prajurit, seratus
kavileri, tujuh puluh pemanah, seratus sepuluh tombak, sisanya pedang.”
“Terimakasih, Ketua Chou, Anda
Ketua Ma?”
“Aku tidak bisa mengerahkan
semua kekuatan seperti Ketua Chou. Tapi seribu limaratus prajurit, kupastikan
berbagung.”
“Subhanallah,” semua berdecak.
“Tujuh ratus orang pedang,
limaratus tombak, sisanya pasukan panah,” Ma Xia Wu menimpali ucapan ayahnya.
“Jika ditambah dengan prajurit
kami, jumlahnya tak lebih dari dua ribu orang.”
“Kita masih menunggu utusan
dari Mongol,” Abdul Aziz mendesah. Ia teringat dengan pasukan Kang Xi yang
banyaknya bisa berlipat-lipat.
“Menurutku tak akan lebih dari
duaratus orang, Ayah,” kata Husain.
“Itupun jika mereka membantu,
Syeikh,” Ma Xia Wu mendesah.
“Pasti memberi bantuan. Mereka
tak akan mengingkari kesepakatan kita. Sebab keimanan mereka tetap bersama
kita,” timpal Abdul Aziz, membuat ketua Ma mengangguk tersenyum.
“Menurutku jumlah tak perlu
kita khawatirkan, Ayah. Jika semangat jihad para prajurit berkobar.”
“Kau benar, Husain. Tak ada
yang perlu dikhawatirkan dengan jumlah.”
“Selain keadaan pasukan kita, kurasa,
kitapun harus tahu keadaan musuh. Bukankah begitu?” tanya ketua suku Hui Chi.
“Benar sekali Ketua Chou, itu
yang tengah aku pikirkan. Bagaimana Ketua Ma?”
Ma Yun Chen menarik nafas
berat. “Banyak memang orang Han yang masuk istana, tapi mereka tak mempunyai
misi apapun, selain kepentingan pribadi mereka semata,” Ketua Ma meremas
pangkuannya. Terlihat sekali, ia sangat menyesal dengan keadaan yang tengah ia
ceritakan.
Ma Xia Wu memperhatikannya
dengan iba.
“Bagaimana caranya...,” Abdul
Aziz bergumam. Keningnya berkerut melipat-lipat.
“Berarti, kita harus menunggu.
Menyerang tanpa perhitungan sama saja menghancurkan pasukan kita sendiri.”
“Anda benar, Ketua Ma.
Lagipula tujuan kita bukan untuk menghancurkan Kang Xi, kita mengumpulkan
pasukan hanya untuk bertahan.”
“Tapi kesempatan tak datang
dua kali,” kata Abdul Aziz tersenyum, membuat semua orang yang ada diruangan
itu melihat kearahnya. “Maksudku, manfaat kelengahan Kang Xi kali ini, dengan
menguatkan konsolidasi kita, mengatur jalannya komunikasi antara kita, agar
jarak yang jauh menjadi demikian dekat, lalu…”
Pembicaraan masih berlanjut,
tapi mata Husain menerawang jauh.
Sekarang, kepalanya selalu
menambat wajah Yu Lan jelas-jelas.
* * *
Pagi masih lagi buta. Fajar
belum terlihat nampak. Tapi kaki Yu Lan sudah menapak satu-satu dipermukaan
bukit Xi Hu.
Terlalu pagi, memang terlalu
pagi. Sejak pertama kali bertemu Husain, pertemuan dengannya adalah sesuatu
yang sangat dinanti-nantikan Yu Lan. Tapi bukan itu alasannya untuk datang
sepagi ini.
Ia ingin menghindari Kun Lan.
Kali ini, ia tak ingin Kun Lan tahu. Pertemuan kali ini, Yu Lan ingin hanya
pertemuan antara dirinya dengan Husain saja. Lagipula, pada pertemuan terakhir
Husain menyebut nama Kaisar Kang Xi.
Langkah Yu Lan terhenti. Ia
melihat sosok Husain. Seperti biasa, diujung bukit. Tapi kali ini tidak sedang
membelah matahari. Ia sedang melakukan sesuatu hal. Hal yang Yu Lan tidak
mengerti. Husain berdiri, lalu membungkukkan badan, lalu bersujud seperti orang
melakukannya pada Kaisar.
Ini bukan pertama kali Yu Lan
melihat Husain melakukan itu. Saat pertemuan-pertemuan yang lalu, Husain kerap
melakukannya. Dua kali selama pertemuan sehari. Saat matahari berada dipuncak,
dan saat pertengahan antara itu dengan senja. Husain sedang bertemu Tuhannya,
itu yang Husain katakan ketika ia bertanya.
Yu Lan melihat Husain duduk
dan menengokkan kepalanya kekanan dan kekiri. Setelah itu Husain menggumamkan
sesuatu. Dulu, Yu Lan mengira, apa yang diucapkan Husain itu adalah bahasa
Persia, tapi sekarang, Yu Lan tahu, sesuatu yang diucapkan Husain sambil
menengadahkan tangan itu adalah Bahasa Arab.
Yu Lan menunggu dengan syahdu.
Suara Husain membuai telinganya. Hatinya tenang, keresahannya hilang.
Yu Lan tersenyum. Dalam
keadaan seperti itu Husain seperti berada ditempat yang sangat jauh, tak bisa
tergapai...
Setelah Husain puas bercumbu
dan bercengkrama dengan Tuhannya, ia berdiri. Dan sebuah suara desahan nafas
jauh dibelakangnya, membuat tubuhnya refleks berbalik. “Putri Yu Lan? Sejak
kapan Anda disana?”
Yu Lan tersenyum. “Kau baru
saja mengingkari janjimu...”
Husain pun tersenyum. “Maaf,
sejak kapan kau disana?”
“Sejak kau memulainya.”
“Selama itu? Mengapa tak
beritahu segera setelah aku selesai?” Husain bertanya menyesal. Sungguh, jika
ia tahu sejak tadi Yu Lan dibelakangnya, ia tak akan melanjutkan shalat
shubuhnya dengan muroja’ah al-Imran-nya hingga usai.
“Tak apa Husain..., tak akan
ada yang berani mengganggu keasyikan semacam itu. Ah, kalau saja, keasyikan dan
ketentraman itu bisa juga aku rasakan...,” Yu Lan menerawang. “Eh,
ngomong-ngomong, mengapa kau disini? Sepagi ini?” tanya Yu Lan kemudian.
“Bukankah seharusnya aku yang
bertanya seperti itu? Seorang gadis tak baik keluar pagi buta seperti tadi...,”
Husain mengambil jubah yang menghampar di tanah dan dikenakannya kembali,
membuat jubah itu bersuara berkelebat. Jubah itu ia pakai untuk alasnya shalat.
“Ah, benar juga,” senyum Yu
Lan. “Aku ingin menghindari Kun Lan. Aku ingin, pembicaraan kali ini tak ada
seorangpun yang mendengar, apalagi jika pendengarnya orang istana.”
“Aku pikir sekarang pun Kun
Lan akan bersama kita.”
“Ya Ampun, Husain! Kau pun
tahu tentang hal itu?”
Husain mengangguk. “Cara-cara
dia memata-matai terlalu mencolok. Tapi aku baru tahu kalau itu Kun Lan.”
Yu Lan tertegun. Tidak, tidak
mencolok. Jika Husain orang lain, kehadiran Kun Lan tak akan disadarinya. Sebab
tak ada rumput yang bergoyang karena kehadiran tubuh Kun Lan, tak ada pula
angin yang tertahan, bahkan binatang pun tak akan memaku pandangannya pada
kehadiran sosok asing ditengah-tengah mereka. Jika Husain tak cerdas dan
waspada, jika dia orang biasa, dia tak akan tahu...
“Jadi karena itu ya, kau
datang jauh lebih pagi? Kau juga ingin menghindari mata-mata itu?”
“Tidak, bukan karena itu...,”
Husain menggeleng. “Aku tak meragukan sama sekali, orang yang kau percayai...,”
Husain bergumam. Gumaman yang cukup menghentak Yu Lan.
Lelaki ini..., sejak awal
membiarkan Kun Lan mendengar, hanya karena percaya padaku? Tidak, bahkan Kun
Lan pun tidak pernah mempercayaiku sedalam itu...
“Aku datang sepagi ini hanya
untuk menenangkan pikiran...,” wajah Husain bersabut muram.
“Kau sedang dilanda sebuah
masalah?” tanya Yu Lan.
“Sebaiknya kita segera
bergegas, Yu Lan. Tak akan lama lagi, mentari datang. Ikuti langkahku, aku
punya tempat yang bagus...”
“Ah, ya, sebelumnya, lepaskan
tali kekang kudamu, biarkan ia berkelana, atau pulang sendiri jika ia tahu
jalan...,” sambil berkata seperti itu, Husain turun bukit dan menghampiri
tempat dimana kuda milik Yu Lan ditambat. Ia lepas talinya, lalu ia tepuk
pantatnya. Kuda itu berjalan menjauh, perlahan.
Husain naik lagi, ketempat Yu
Lan memandangnya, lalu berjalan kearah hutan mendahului Yu Lan.
Yu Lan diam. Ia tak banyak
bertanya. Mulutnya terkatup rapat selagi kakinya melangkah cepat-cepat
dibelakang langkah-langkah Husain yang melangkah perlahan-lahan.
Tak perlu ditanyakan. Yu Lan
gadis pintar. Ia mengerti dan paham maksud dan prilaku Husain. Husain ingin Kun
Lan benar-benar kehilangan jejaknya. Tapi ia tak ingin beranjak jauh-jauh.
Sebab tempat yang paling dicurigai, justru tempat yang paling aman.
Hutan yang lembab. Tanahnya
agak basah, dan cahayanya tak cerah. Pohon-pohon besar menjulang susul-susulan.
Akar-akar beringin yang menjuntai sesekali menghalangi jalan mereka. Yu Lan
terus mengikuti lagnkah-langkah Husain. Langkah-langkah yang tak pernah
menginjak tanah. Husain melangkah dari rerumputan ke daun-daun berserakan, jika
ada tanah, dia akan meloncatinya dengan cekatan.
Yu Lan tersenyum lagi, Husain
itu pintarnya bukan main. Tanah, apalagi sedikit basah, akan meninggalkan
jejak-jejak langkah.
“Kau bisa mengikutiku Yu Lan?”
tanya Husain tanpa menoleh.
“Aku adalah putri yang nakal,
Husain.”
Jawaban Yu Lan membuat Husain
tertawa kecil. Putri nakal ya? “Sebentar lagi kita akan sampai dipohon yang tidak
terlalu tinggi...”
Tak seberapa lama, Husain
memang berhenti berjalan. Ia lalu mendekati pohon yang katanya tak terlalu
tinggi itu.
Yu Lan melihat keatas.
Pohonnya sangat tinggi! Tapi dibanding pohon-pohon disekitarnya, pohon ini
seperti adik terkecil. Sebab Yu Lan masih bisa melihat puncaknya, tidak seperti
pohon yang lain. Dahannya pun tak selebar rentangan tangan. Yu Lan masih bisa
memeluknya, meski tangan mungilnya belum tentu sampai.
Husain mulai memanjat, kakinya
berpindah dari satu dahan kedahan lainnya. Tak mendengar kaki Yu Lan mengikuti,
Husain sedikit menoleh padanya.
“Tiang Istana bisa kau panjat.
Ini lebih mudah,” Husain tertawa.
“Tentu saja,” Yu Lan
tersenyum. Husain salah, ia bukan ragu untuk memanjat. Pohon-pohon sepenuh
Istana sudah ia jajaki. Ia hanya terlalu kagum dengan Husain, hingga
pandangannya tak pernah bisa lepas dari sosok lelaki itu.
“Disini,” Husain berdiri
disebuah dahan yang cukup besar untuk menopang tubuhnya.
Yu Lan berhenti memanjat. Ia
duduk tepat disamping Husain. Sebuah dahan besar, sebagai dahan utama ada
diantara mereka.
Yu Lan menghirup napas
panjang. “Segar sekali...”
“Kau lelah?’
“Sama sekali tidak.”
“Lihatlah kebelakangmu.”
Yu Lan melihat Husain yang
tengah tersenyum cerah. Cahaya mentari yang menembus celah-celah daun tak
seterang wajah Husain.
Yu Lan lalu menoleh kebelakang
perlahan. Seketika napas Yu Lan terhenti. “Duhai...”
“Bagaimana?”
Pandangan Yu Lan menangkap
pemandangan luar biasa. Sinar matahari yang hangat baru saja menyibak kabut
tipis yang menyelimuti barisan bukit-bukit yang hijau. Di kejauhan, Yu Lan bisa
melihat Wisma Paman Hu samar-samar.
“Serupa istana
langit...,” bisik Yu Lan menyatakan
kekagumannya.
“Benar, serupa surga,” timpal
Husain.
“Surga?”
“Istana di langit. Tuhan kami
menjanjikan kami istana di langit untuk kami...”
Kening Yu Lan berkerut, Husain
tersenyum.
“Tuhan kami, Allah,
menciptakan manusia untuk berbuat baik. Berbuat baik pada dirinya sendiri, pada
keluarganya, pada alam, pada sekitarnya. Berbuat baik demi agama kami. Jika
kami melakukan itu, Allah menjanjikan kami Istana di langit. Istana yang
luasnya sepenuh bumi, dengan sungai-sungai susu, lampu permata bercahya yang
bergantung tanpa pengikat, batu-batu pijakan mutiara, juga dayang-dayang
penurut yang tak membantah.”
“Setelah mati kalian mendapat
semua kesenangan itu?”
Husain mengangguk, sementara
Yu Lan tersenyum samar.
“Alangkah irinya, Dewa kami
malah akan mengirimkan kami kembali kebumi setelah kami mati.”
“Reinkarnasi?”
“Kembali menjalani kehidupan
yang membosankan,” kata Yu Lan tanpa menjawab pertanyaan Husain.
Husain kini tersenyum samar.
Tentu saja, bagi orang yang menyukai kebebasan seperti Yu Lan, hidup diistana
bagai dalam penjara.
“Tiap hari kesini, Husain?”
“Tidak tiap hari, hanya sering
sekali. Jika sudah ada disini aku selalu lupa pulang...,” Husain tertawa.
“Tentu saja. Disini, kau
seperti telah mendapatkan Istana langit sebelum waktunya...”
...
“Jadi, apa yang baru saja
kau fahami dari Baba, Husain? Bolehkah
aku tahu?”
Husain menghela nafas panjang
sebelum akhirnya menjawab, “Sikap Kang Xi pada kami.”
Kening Yu Lan berkerut. “Yang
kutahu, Baba tidak menyukai kalian.”
“Benar, dia tak menyukai
penganut Yisilan Jiaou, tapi sikapnya tak begitu pada orang Han. Padahal orang
Han banyak penganut Yisilan Jiaou. Awalnya aku tak mengerti mengapa, tapi
kurasa, jika Ibumu orang Han, semua bisa kumengerti.”
“Mama?”
Husain mengangguk.
“Itu yang menyebabkanmu
menduga kalau ibuku orang Han?”
Husain mengangguk lagi. “Itu
kalau duagaanku benar.”
“Benar.”
Husain melihat Yu Lan
terkejut. “Kau sudah tahu?”
Yu Lan mengangguk pelan,
wajahnya terlihat sedih. “Paman Hu menceritakannnya padaku. Mama memang orang
Han.”
Allah..., jadi dugaanku benar?
Ibu Yu Lan orang Han? Sekarang teka-teki tentang Kang Xi terjawab sudah.
“Lalu mengapa kau masih
bersedih? Kau sudah tahu tentang ibumu. Bukankah kau menginginkan itu? Atau kau
memang mengharapkan ibumu bukan orang Han?”
“Ah, tidak. Bukan begitu
Husain. Aku senang. Siapapun ibuku, aku tak akan merasa tak senang pada orang
yang telah memberiku nyawa. Tapi... aku hanya belum menemukan jawaban
pertanyaan lain.”
“Apa itu?”
“Sapu tangan, tanda kekaisaran
dan kitab itu. Untuk apa Ibu menyembunyikannya untukku?”
“Dia ingin kau tahu, kalau dia
penganut Yisilan jiaou.”
“Lalu setelah aku tahu?”
“Dia ingin kau mengikuti
jejaknya.”
Yu Lan terdiam.
“Kau sudah tahu bukan? Ah,
tentu saja kau sudah tahu. Kau pintar, bahkan kau lebih pintar dari yang kau
duga. Atau justru itukah yang membuatmu khawatir?”
Yu Lan tersentak. Itukah yang
selama ini membuatnya khawatir? Khawatir kalau itu yang memang ibunya inginkan?
Khawatir kalau Mama menginginkannya menjadi penganut Yisilan Jiaou?
Yu Lan merasa malu tiba-tiba.
Ia merasa Husain telah menelanjangi dirinya.
“Tak apa Yu Lan,
kekhawatiranmu beralasan. Kau tahu bagaimana sikap Kaisar pada kami.”
Yu Lan tertunduk dalam.
“Kau tahu tulisan yang
tertulis disaputangan sutra itu? Aku belum sempat memberitahumu bukan?”
“Apa itu?” tanya Yu Lan ingin
tahu.
“Fatimah.”
“Apa itu?”
“Fatimah adalah nama putri
terakhir Muhammad, Nabi kami. Jika itu bukan nama ibumu, maka aku yakin, itu
namamu.”
“Ibuku memberiku nama Fatimah,
bukan Yu Lan?”
Husain mengangguk. “Atau, itu
nama ibumu sebelum ia dipanggil Selir Su Zu.”
Yu Lan menekur, kepalanya
tertunduk dalam dan matanya terpejam. Lalu ia berkata; “Apakah aku harus
mengikuti Mama? Menganut Yisilan Jiaou?”
“Seseorang memeluk Yisilan
Jiaou bukan karena paksaan,” jawab Husain. Artinya, ia memberi kesempatan Yu
Lan untuk berpikir lebih jauh. “Aku mengerti Yu Lan, memilih Yisilan Jiaou,
berarti memilih untuk bersebrangan dengan ayahmu. Aku tahu itu sulit...”
“Aku tidak dekat dengan Baba.
Sebagaimana dia memang tak ingin dekat dengan aku.”
“Tak ada ayah yang tak ingin
dekat dengan anaknya, Yu Lan.”
“Tapi kenyataannya memang
begitu. Ia terlalu disibukkan dengan ribuan perempuan daripada puluhan anak.”
Husain diam prihatin.
“Aku butuh waktu karena memang
aku butuh lebih banyak tahu.” Yu Lan memandang bola matahari yang terus
meninggi dengan bola mata hitam pekatnya. “Fatimah...,” gumam Yu Lan. “Jadi
Mama memberi saputangan itu untuk
memberitahu bahwa namaku bukan Yu Lan, lalu Mama memberi kitab itu agar
aku banyak belajar Yisilan Jiaou, lalu bagaimana dengan tanda kekaisaran,
Husain?”
“Sampai saat ini kita belum
tahu.”
“Kau tak bisa menduganya?”
“Tidak, maaf. Lagipula
dugaanku tak selalu benar.”
Yu Lan tertawa lembut, “Selama
ini dugaanmu selalu benar...”
Husain pun tersenyum.
Yu Lan mengeluarkan kitab yang
selalu ia bawa kemanapun ia pergi. “Sekarang, apa yang bisa aku lakukan dengan
menggenggam sesuatu yang tak kumengerti, Husain? Bagaimana aku bisa tahu
darinya?”
Husain tersenyum lebar. Itulah
perkataan yang terus ia nantikan sejak pertemuan pertamanya dengan Yu Lan.
Ternyata kata itu lebih cepat keluar daripada dugaannya...
Dan ruang batinnya terus
tertawa gembira.
* * *
“Kemana saja kau?” Kun Lan
menghampiri Yu Lan selepas makan malam disajikan dan disantap sekedarnya oleh
Yu Lan.
“Kau yang kemana saja? Sejak
sore aku sudah sampai di rumah,” Yu Lan menjawab ringan. Ia lalu berjalan
keluar dari kamarnya. Ia ingin duduk ditaman, menikmati lebih dalam ketentraman
yang baru kali ini ia rasakan.
Tadi siang Husain mengajarinya
macam-macam. Ia diajari untuk membaca tulisan Yisilan Jiaou, juga menerangkan
makna salah satu tulisan itu. Sedikit tapi sangat-sangat berisi. Husain
menceritakan tentang istana dilangit. Husain juga menceritakan tentang kasta
kemanusiaan yang didasarkan pada kebaikan, kedalaman kepercayaan, juga kualitas
dari sebuah perbuatan. Bukan karena darah warisan leluhur, apalagi harta peninggalan
yang tak dibawa sedikitpun ketika mati.
(...) ayat al-Qur’an
Yu Lan bersidekap dada,
memandang bintang. Bertabur tak beraturan, gemerlap seperti mutiara. Senyumnya
mengembang cerah. Apakah keindahan langit itu bisa menyamai keindahan hatinya
sekarang? Tidak. Bintang-bintang dilangit hatinya lebih indah dari itu.
“Aku mengkhawatirkanmu, Yu
Lan. Aku terus menunggumu dibukit Xi Hu.” Kun Lan telah berdiri dibelakang Yu
Lan.
“Kau menungguku dibukit Xi
Hu?” Yu Lan berbalik.
Kun Lan menjawab dengan
anggukan mantap.
“Untuk apa?”
“Menunggumu.”
“Untuk apa menungguku?”
“Karena aku
mengkhawatirkanmu.”
“Jika mengkhawatirkanku kenapa
tak mencariku?”
Kun Lan terdiam. Ia tak punya
jawaban.
“Seharusnya jika seseorang
mengkhawatirkan orang lain, ia akan tergerak untuk mencarinya bukan? Bukan
hanya diam menunggu ketidakpastian.”
“Aku memang sudah mencarimu.”
“Kemana?”
“Kukelilingi bukit Xihu.”
“Kau mendapatiku?”
“Aku mendapatimu disini.”
“Jika tidak mendapatiku
dibukit Xihu, kenapa tidak mencariku ketempat lain?”
Kun Lan terdiam lagi.
“Lagipula untuk apa
mengkhawatirkanku, jika kau tak pernah mempercayaiku?” Yu Lan menatap Kun Lan
sedih, setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Kun Lan.
“Kau berubah Yu Lan.”
Kalimat pendek Kun Lan membuat
Yu Lan berhenti berjalan dan berbalik menatapnya.
“Sejak kau bertemu lelaki
itu,” lanjut Kun Lan.
“Apa yang berubah dariku?”
“Kau menjadi sangat pendiam.
Kau tak pernah meledak-ledak, kau juga tak pernah memanjat.”
“Bukankah itu bagus?” Yu Lan
berbalik lagi, dan sekarang benar-benar meninggalkan Kun Lan sendiri.
“Bagus? Bukankah itu artinya
sebentar lagi kau akan meninggalkan aku? Tak membutuhkanku lagi?” pertanyaan
Kun Lan tak terjawab. Sebab pertanyaan itu memang ia tujukan pada hembusan
angin yang ditinggalkan Yu Lan.
Ia menengadah. Menatap
bintang. Memandang sesuatu yang tadi dipandang Yu Lan.
Tapi binar dimata itu memang
ada setelah pemuda itu datang...
Kun Lan menghela nafas sesal.
* * *
Mata Yu Lan memang terlihat
berbinar-binar. Air mukanya riang. Sikapnya ceria. Yu Lan memang selalu
terlihat ceria dan lincah. Tapi mata Yu Lan yang gemerlap seperti permata itu,
baru pertama kali Kang Xi lihat.
“Akhir-akhir ini Anda sering
berkunjung kemari, Yang Mulia.”
“Aku ingin sedikit menenangkan
pikiranku. Apa kau tak senang?”
“Ah, tidak. Tak ada yang tak
senang dikunjungi Yang Mulia. Aku turut prihatin dengan peristiwa yang menimpa
Putra Mahkota.”
Kang Xi mengangguk-angguk
saja. Yu Lan tahu, jika bersikap seperti itu, artinya Kang Xi tak ingin
membicarakannya.
“Lalu ada apa dengan binar diwajahmu
itu?” tanya Kang Xi.
“Maksud Baba?”
“Kau terlihat sangat bahagia.”
“Ah, aku...,” Yu Lan mencari
jawaban. Tak mungkin ia menjawab sejujurnya, kalau ia tengah sangat bahagia,
karena Kitab yang akhir-akhir ini selalu digenggamnya erat, karena tulisan Arab
yang baru saja dipelajarinya dari Husain, karena namanya Fatimah, dan karena
cahaya yang selalu memancar dari mata Husain ketika lelaki itu melihat
kearahnya.
“Kau sedang menyukai
seseorang? Kun Lan kah?”
“Ah, tidak! Lagipula, kenapa
kebahagiaanku selalu saja dihubungkan dengan dia? Aku hanya bahagia karena
kunjungan Anda. Aku bahagia, karena akhirnya, Yang Mulia datang menemuiku,
bukan karena kenakalanku..., bukan karena ingin menghukumku...,” akhirnya Yu
Lan menemukan jawaban. Tapi jawaban Yu Lan membuat Kang Xi sedikit muram.
“Jadi begitukah kau
memandangku, Yu Lan? Seseorang yang kau takuti.”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia.
Aku tidak takut pada Anda. Hanya saja, karena kenakalanku, Anda menjadi jengkel
padaku. Aku tidak menyalahkan Anda sedikitpun...” kata Yu Lan tertunduk. Tidak,
yang seharusnya ia katakan bukan seperti itu. “Aku ini anak yang tidak
patuh....”
“Kau anak yang luar biasa, Yu
Lan.”
Yu Lan memandang Kang Xi
berkaca. “Aku minta maaf jika aku besikap kasar padamu dulu. Lagipula sekarang kau
sudah berubah.”
“Berubah? Maksud Anda?”
“Kun Lan mengatakan padaku,
kalau sekarang kau menjadi anak yang patuh dan baik. Kau tak banyak bermain.
Bahkan Permaisuri mengatakan, kalau sekarang kau sangat jarang keluar dari
Istana Bunga Mesim Semi. Apa itu benar?”
Mata Yu Lan buram. Harapan dan
kebahagiaan yang sempat mencuat kembali tertekan dan terkubur dalam. Kang Xi
mengunjunginya karena ia sekarang sudah menjadi Putri sebagaimana layaknya,
bukan karena Kang Xi merindukan dirinya sebagai anaknya. Menyadari hal itu Yu
Lan tersenyum samar. Tentu saja, mengharapkan Kang Xi mememenuhi keinginannya
adalah mimpi.
“Benar, Yang Mulia.
Akhir-akhir ini aku memang tidak keluar istana. Banyak hal yang sedang aku
pikirkan...”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Tentang hidupku, masa
depanku, masa laluku.” Yu Lan memandang mata ayahnya itu dalam. “Juga tentang
orang-orang yang terikat dengan hidupku.”
Kang Xi juga memandang Yu Lan,
mencoba menebak kemana arah pembicaraan Yu Lan.
“Aku tengah memikirkan Anda,
Yang Mulia. Juga Mama,” Yu Lan mengamati wajah Kang Xi yang tersentak.
“Mengapa kau tiba-tiba
memikirkan ibumu?”
“Ini tidak tiba-tiba.
Pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya terus bergelayut dalam benakku sejak masa
kanak-kanak silam. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah Yang Mulia jawab,
pertanyaan-pertanyaan yang akan terus jadi pertanyaan tanpa jawaban. Sebab
jawaban itu adalah Yang Mulia sendiri.”
Kang Xi tiba-tiba berdiri, dan
beranjak. Diambang pintu Istana Bunga Mesim Semi ia berhenti lalu mengatakan,
“Selir Su Zu hanya milikku sendiri,” tanpa berbalik.
Yu Lan mengantar kepergiannya
dengan mata yang berkaca.
* * *
“Satu, tak beranak tak juga
diperanakkan.”
“Tak beranak, juga tak
diperanakkan. Sama.”
“Sama?”
“Tuhannya juga begitu. Dia
bilang, “Tuhanku tak mempunyai anak...”
“Dia?”
“Seseorang. Husain, aku sudah
lama mencari Tuhan seperti ini. Tuhan yang tak bersekutu, Tuhan yang satu.
Bagaimana bisa kau datang memberikan jawaban itu padaku? Bagaimana bisa,
jawabannya selama ini ternyata berada begitu dekat denganku? Bukankah itu
karena Kehendak Tuhan?”
“Benar, semua sudah
direncanakan Dia...”
Yu Lan memandang pohon
Magnolia yang tumbuh di taman istananya. Tapi ingatannya mengembara pada
percakapan-percakapannya minggu dengan Husain. Tak beranak, juga tak memiliki ayah
ibu. Satu, berdiri sendiri. Tak bergantung pada apapun. Benar-benar sama dengan
Tuhan pemuda itu. Dan, bukankah Tuhan seperti itu yang dicarinya selama ini?
Hingga ia hampir-hampir saja merasa putus asa. Dan untung saja, ia telah
menemukannya sekarang.
Serombongan Kasim dan pelayan
berjalan beriringan. Pandangan Yu Lan mengikuti langkah-langkah mereka.
Tiba-tiba Yu Lan merasa sedih untuk mereka.
“Allah memandang manusia itu
sama, Yu Lan. Laki-laki, perempuan. Tuan, pelayan. Atasan, bawahan. Hanya
manusia egois yang menciptakan kasta. Padahal mulia hinanya seseorang dihadapan
Allah, hanya dilihat dari takwa.”
Apakah ia juga termasuk
manusia egois seperti yang diceritakan Husain? Sebab sejak kecil dulu, dirinya
hidup dalam lingkungan seperti itu.
“Tuan Putri,” sebuah suara
dibelakangnya membuat Yu Lan bangun dari lamunannya. Tubuh Yu Lan berbalik ke
asal suara. Sho Chan sedang berdiri disana. Ada sebuah hentakan dalam dadanya
yang datang tiba-tiba. Hentakan yang membuat rasa sedihnya menyeruak cepat.
“Tuan Putri? Ada apa?” Sho
Chan memandang Yu Lan khawatir.
Yu Lan menggelengkan
kepalanya, berusaha menyingkirkan cemas yang tersirat di wajah Sho Chan. Tapi
usaha Yu Lan tak membuahkan hasil, wajah sedih Yu Lan tetap membuat cemasnya
berdiam dan bersarang.
“Bisa kau panggilkan yang
lain, Sho Chan? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Sho Chan masih memandang Yu
Lan. Kali ini, rasa cemasnya bertambah menjadi sebuah pertanyaan. Tapi ia tak
ingin membantah. Hingga tak lama berselang, ia, Sho Er, Chan Lu dan Chan Hu
telah berkumpul dihadapannya.
“Duduklah.”
Mereka menurut. Dulu, waktu
pertama kali mereka datang pada Yu Lan beberapa tahun lalu, butuh waktu lama
untuk membuat mereka mau duduk sejajar dengan Yu Lan. Tentu saja, mereka telah
diajari tata karma Kota Terlarang, bahwa mereka adalah budak yang sama sekali
tak berharga. Budak yang kehormatannya ada di kaki majikan mereka dan hidupnya
ada di ujung cambuk Kaisar. Ya, butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka, kalau
duduk sejajar adalah sesuatu yang membuat Yu Lan, majikan mereka, merasa
nyaman.
“Ada sesuatu yang ingin aku
bicarakan.”
“Kami mendengarakan, Tuan
Putri,” kata mereka serentak.
“Akhir-akhir ini aku banyak
berpikir tentang kehidupan yang kita jalani.” Yu Lan memandang mereka satu
persatu, mencari riak perubahan diwajah mereka. “Apakah kalian bahagia dengan
hidup kalian?”
Mereka saling pandang. Dalam
ketidak mengertian mereka, terselip suatu ketakutan yang dalam.
“Seperti kalian tahu, aku
orang yang tak puas dengan hidup. Tak puas, karena aku merasa tak bahagia.”
Mereka tertunduk. Yu Lan tahu,
mereka tak bahagia. Memangnya manusia mana yang bahagia dengan kehidupan
seperti yang mereka miliki? Tak ada harta, tak ada harga diri. Tak ada yang
mencintai, tak ada juga yang bisa dicintai. Tentu saja, bagaimana bisa
mencintai jika mereka dikastrasi? Jalinan apa yang bisa dirangkai dengan orang
yang sama sekali tak dianggap ada?
“Aku tahu apa yang kalian
pikirkan,” Yu Lan berdiri dan berjalan perlahan menuju jendela yang terbuka.
“Ada seseorang yang mengatakan padaku, bahwa
manusia itu sama. Laki-laki, perempuan. Tuan, pelayan. Atasan, bawahan.
Manusia egoislah yang menciptakan kasta. Tingkatan, derajat, kehormatan
seseorang hanya ditentukan oleh perbuatannya.” Yu Lan memalingkan pandangannya
dari magnolia yang berbunga pada wajah mereka. “Kalian setuju dengan kata-kata
itu?”
Mereka kembali saling pandang
sebelum akhirnya mereka turun dari kursi itu untu berlutut. “Kami tidak pernah
berani, Tuan Putri! Kami tidak mungkin berpikir seperti itu.”
“Aku setuju dengan kata-kata
itu,” kata Yu Lan tenang. “Aku tak peduli kalian setuju atau tidak. Tapi bagiku
ini adalah sesuatu yang masuk akal. Jika hanya untuk menjadi manusia yang bukan
manusia, untuk apa manusia dibuat? Lagipula, tidakkah kalian ingin mendapatkan
kebahagiaan? Memiliki keluarga, memiliki cinta?”
Seperti Yu Lan yang mulai
merasa sebak, mereka pun terisak. Yu Lan tahu, ia tengah mengorek impian mereka
yang telah terkubur dalam.
“Aku tak ingin pasrah menerima
hidup. Aku ingin berjuang untuk kebahagiaanku, meski aku tahu aku harus
berhadapan dengan siapa. Kalaupun aku mati, aku akan mati dengan terhormat.
Kalian tahu mengapa aku mengatakan hal semacam ini pada kalian?”
Tak ada jawaban selain isak
tertahan.
“Karena kalian keluargaku, dan
aku mencintai kalian…”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar