Krishna
Aku sedang memandang mentari senja seperti biasa ketika Rana menghampiriku. Aku salah tingkah karena tak menyangka kehadirannya.
“Tak apa kan? Toh diantara kita sekarang tak ada apa-apa,” kata Rana tak memperdulikan kekikukkanku.
Aku membuang nafas. Entah kenapa, aku tak terbiasa dengan kata-kata ‘diantara kita tak ada apa-apa’. Karena tak bisa kuingkari, perasaanku tak pernah seperti itu.
Lalu untuk beberapa saat lamanya, kami terdiam dan memandang kaku pada matahari yang tersenyum menertawakan sikap kami.
“Boleh aku tahu sesuatu?” Rana membuka percakapan.
“Tentang?”
“Masa lalu?”
Aku menatap tak mengerti. Bukan, bukan menatap Rana, tapi menatap mentari. Cukup menatap mentari, karena selama ini, memang dia yang ada diantara kami berdua.
“Kenapa tak mengirm surat padaku? Atau menelepon?”
“Tak ada jejak.”
“Kertas itu... apa terbang?”
...
Hujan menderas. Menghentikan permainan kami tiba-tiba. Menghentikan derai tawa kami, membuyarkan keasyikan kami.
Aku menatap langit. Menatap tetesan-tetesan hujan yang susul-menyusul memukul wajahku. Menyentak dan menghentak, mengingatku pada janji terucap akan sebuah waktu yang aku nantikan.
“Hujan Nana! Kita pulang saja!” seorang teman meneriakiku yang berdiri mematung ditengah lapang. Menyuruhku segera berlari menepi.
“NANA!”
Suara ramai temanku tak terdengar. Yang kudengar malah suara Rana kemarin sore...
Aku tunggu jam empat ya?
Dan butiran-butiran air yang melewati mataku memantulkan wajah Rana. Wajah Rana yang tengah resah menungguku.
“NANA!” suara teman-temanku kembali terdengar. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk sedikit saja memperhatikan mereka. Segera, aku melempar bola yang tengah kugenggam dan berlari sekuat tenaga menuju Rana...
...
“Sore itu aku datang...,” mata Rana menerawang. “Tepat jam tiga. Karena aku... tak ingin melewatkan waktu sedetikpun tanpamu....” Rana menghela nafas panjang.
Aku menelan ludah. Menelan penyesalan-penyesalan yang terus mengalir keluar.
“Aku terus menunggumu. Sampai angin bertiup, sampai hujan menetes. Aku bahkan baru
ingat, kalau aku telah menunggumu dua jam, setelah Papa memayungiku dan mengajakku beranjak.” Sejenak, Rana menghela nafas berat. Memandang keatas untuk menyembunyikan dan memaksa airmata yang mulai menggenang supaya kembali masuk dan tenggelam.
Dua jam... dua jam...
Kemana terbangnya ingatanku saat dua jam itu ?
“Aku tak mau pergi, karena aku belum bertemu denganmu. Akhirnya Mama menawariku secarik kertas yang sudah tertulis alamat kami dan no telepon rumah di Semarang. Aku menurut, karena... jika kamu menyimpan alamatku... kamu akan mengingatku bukan?”
...
Aku berlari tanpa berhenti. Tanpa peduli hujan yang semakin menderas, tak peduli teriakan yang lain. Karena aku punya tujuan. Dan tujuanku... aku tahu... akan menghilang, jika aku berdiam lebih lama.
Tepat saat aku sampai ditaman ini... sebuah mobil kijang berwarna hijau menjauh. Aku tahu itu mobil Rana. Aku berlari dan berteriak sekuat tenaga. Menyusul Rana adalah cara satu-satunya...
Aku berlari.... berlari... dan berlari...
Aku berteriak... memanggil... dan memanggil...
Apa kau tak mendengar teriakanku Rana?
...
“Aku menangis terduduk ditempat itu. Ya, Rana... Nana waktu itu menangis.... Menangis karena penyesalan yang begitu menyakitkan. Lalu saat kuhampiri tempat kamu biasa menungguku, aku mendapati sapu tangan itu...”
Rana terdiam dan memandangku lama. “Lalu kertas itu? Terbangkah...,” Rana berisik pada dirinya sendiri.
“Bukankah kamu menyimpan batu diatasnya, Rana?”
Rana mengangguk.
“Sejak kecil... kamu memang pintar ya?” aku tertawa.
Rana memandangku lagi. Mengatakan ‘lalu?’ dalam diam.
“Kertas itu ada, tapi tulisannya... sudah hilang terhapus hujan....”
Rana memandangku terbeliak. Satu butir airmata jatuh cepat menuruni pipinya.
“Begitu...,” bisiknya parau.
Angin bersemilir. Memainkan rambutku, membisikkan rindu yang kian lama kian menggaung tak tertahan.
Aku berdiri tiba-tiba. Membuat wajah Rana mendongak dan matanya menumbruk mataku.
“Aku... harus pergi.” Tanpa menunggu jawaban Rana, aku berbalik dan pergi meninggalkannya.
“Harapan itu... apakah akan tetap jadi impian...”
Bisikan Rana mengantar kepergianku
Rindu yang kurasakan ini... masih bolehkah aku simpan?
* * *
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Padahal malam sudah merambat naik bahkan hampir menginjak dini hari.
Lanjutkan hubungan kalian. Aku menyukai Rana, karena aku tak tahu siapa dia. Setelah aku tahu, cinta itu telah terkikis habis. Jadi jangan memaksakan keinginnanmu, tapi ikutilah perasanmu...
Harapan itu... apakah akan tetap jadi impian...
Kau yakin bisa melupakannya?
Kalau begitu, kembalilah pada Rana, itu adalah kebahagianku
Apa kau bahagia?
Semua kata-kata itu terus berputar-puar dalam alam jiwaku. Alam pikiranku. Aku benar-benar bimbang. Disatu sisi, aku tak akan mungkin dapat melupakan Rana. Aku terlalu mencintainya. Tapi... bukankah aku telah mengambil janji?
Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Padahal semua tengah menunggu keputusanku. Ya! Keputusan itu ada ditanganku!
Allah... bantu aku...
Akhirnya, aku meminta keputusanNYA. Karena DIA lebih tahu yang terbaik untuk kami bukan?
* * *
Rana
Hari minggu sore. Aku menghabiskannya dengan bersantai dirumah. Aku sedang menikmati hari-hari tanpa kesibukan. Setelah beberapa bulan menghabiskan waktu tanpa jeda, beristirahat tanpa kegiatan apapun ternyata sangat menyenangkan. Dan akan terus menyenangkan jika tidak ada sebuah telepon dari Krishna.
“Apa kamu menyukai Bernard?” tanyanya tiba-tiba, membuat emosiku tiba-tiba naik.
“Kenapa bertanya seperti itu?”
“Karena Bernard mengizinkan aku untuk menyukaimu.”
Apakah ini pertanda baik? “Lalu?” tanyaku.
“Bernard bilang, kebahagianmu adalah bersamaku. Tapi kupikir... akan lebih baik jika kau sendiri yang memilih.”
“Apa?” Krishna bodoh! Jelas-jelas aku hanya menyukainya!
“Senja ini, aku akan menunggumu ditempat yang biasa. Sedangkan Bernard, dia akan menunggumu diatas ketinggian, dimenara Masjid Raya. Adalah hak milikmu untuk memilih Rana...”
Lalu sambungan ditutup. Lama aku terpaku, sebelum akhirnya aku menyambar kunci mobil dan melarikan mobilku dengan kecepatan tinggi. Masih ada satu jam menuju batas waktu yang ditentukan. Tapi aku tak ingin sedikitpun kehilangan waktu untuk kuhabiskan tanpa Nana.
Dalam perjalanan, wajah Nana yang riang menguasai fikiranku, namun selintas, aku juga melihat wajah Bernard. Lalu lintasan-lintasan itu menjadi bayangan sempurna yang menyingkirkan bayangan Nana. Bayangan Bernard ketika ia memandangku, atau ketika ia bicara tegas disela-sela pekerjaannya. Apa artinya semua ini?
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar