Tirai yang tersibak
Krishna
Aku menunggu Lift terbuka berdua dengannya.
Ruangan kerjaku sebenarnya di lantai dasar, tapi Jamie memanggilku. Ada sesuatu yang katanya harus dibicarakan. Lagipula aku ingin menemui Bernard, sudah beberapa hari ini kami tak jalan bersama. Apalagi setelah aku dapat kreditan motor, aku jadi tak ikut pulang dengan mobilnya.
“Jadi Jamie akan menikah dengan adikmu ya?” Nai membuka percakapan. Aku diam saja, mengatakan ‘ bukan urusanmu’ dalam diam.
“Aku tahu dari Jamie. Dia bilang adik kamu manis, tak mirip kakaknya sama sekali.”
“Enak saja bicara! Asal kamu tahu, aku ini populer dikalangan cewek!”
“Oya? Lalu kenapa didahului adik? Bukankah itu artinya tidak laku?”
Perkataan Nai membuat kepalaku berputar menatapnya dengan refleks. Cewek ini benar-benar menyebalkan!
“Kalau aku mau, aku tinggal memilih...” perkataanku mengantung diudara, ketika aku melihat wajah Nai yang tengah menantangku.
Aku seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Tubuhku lemas, persendianku kaku.
Aku melihat Rana didepan mataku...
Lift terbuka tanpa kusadari sama sekali. Teriakan Nai membuat jantungku kembali berdetak. Sungguh, beberapa saat, jantungku benar-benar berhenti, nafasku juga berhenti, termasuk peredaran darahku.
“Cepat, aku sudah baik menahan pintu ini untukmu.”
Aku menarik nafas panjang. Berjalan memasuki lift dan berdiri disamping Nai dengan
kaki yang melayang.
Aku menatap Nai dari pintu lift yang memantulkan bayangan kami. Benar, matanya memang berwarna hijau. Apa itu hanya lensa semata?
“Kenapa pakai lensa kontak? Warna hijau lagi?” tanyaku ketika aku sudah memiliki kekuatan. Sangat tidak rela kalau ada seseorang yang menyamai Rana, apalagi dengan cara menipu!
“Salah,” katanya. “Lensa kontakku berwarna hitam, dan kemarin adalah kali terakhir aku memakainya.”
Kata-kata Nai kembali menyentak tubuh dan jiwaku. Kesadaranku terbang, aku benar-benar pingsan. Pingsan dalam posisi berdiri kaku.
“Hei, kau mau keluar tidak? Ini lantai terakhir. Apa kamu mau turun lagi? Jangan-jangan urusan dengan Jamie memang cuma kedok, sebetulnya kamu memang memata-matai aku kan?” Nai menahan pintu lagi. Untukku. Aku keluar tanpa melihatnya.
Aku tahu Nai sedang heran melihatku. Dalam keadaan normal, aku akan menjawab ejekannya dengan ejekan serupa.
“Kamu nggak sakit kan?” Nai melihatku khawatir. Harusnya aku tertawa, Nai mengkhawatirkan teman bertengkarnya.
Aku tak menjawab. Aku hanya melangkah menuju dinding kaca, melihat nanar pada taman dibawah sana.
“Siapa nama lengkapmu?” tanyaku tanpa menoleh dari taman yang memaku pandanganku.
“Memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu?” seperti biasa, Nai bicara ketus.
“Siapa nama lengkapmu?” ulangku, dengan nada dan intonasi yang sama dengan pertanyaan pertama. Nada rendah, dan intonasi yang lemah.
“Nairana,” katanya tegas. Setelah itu aku mendengar langkah sepatunya menjauh.
Aku menarik nafas panjang. Pandanganku masih tertuju pada tempat yang sama.
...
“Siapa namamu?”
“Nairana.”
“Kalau begitu kupanggil Rana ya? Aku Nana.”
...
Sesuatu yang hangat tiba-tiba menyentuh pipiku. Aku mengusapnya cepat.
Allah... terimakasih..., telah memberiku kebahagiaan begini rupa. Mempertemukan aku kembali dengan Rana...
Aku tertawa pelan. Tertawa dengan air mata berlinangan. Aku telah menemukan Rana,
setelah sekian lama. Sekarang, aku harus menemuinya, sebelum aku bertemu Jamie dan
Bernard sekalipun. Aku akan menunjukkan saputangan ini pada Rana, dan mengucapkan maaf terus menerus hingga aku melihatnya tertawa dan mengatakan cukup.
Tapi entahlah, aku merasa tubuhku masih lemas. Kenyatan ini begitu tiba-tiba. Kehadirannya begitu menghentak, bahkan disaat keyakinanku hampir pupus.
Aku menunggu beberapa saat. Mengatur nafas, menormalkan irama jantung, dan memulihkan kesadaranku.
“Hai! Lagi ngapain?” suara Bernard membuka mataku yang sedang terpejam.
“Ternyata sedang melihat dari sini...,” Bernard berdiri disisiku, memasukan kedua tangannya kedalam saku celana, dan matanya melihat kearah taman.
Bernard memandangku. Senyumnya yang mengembang perlahan-lahan pudar. “Kenapa? Sedang merindukannya ya?”
Aku tertawa. Benar, aku sedang merindukannya. Merindukan Rana, merindukan Nai.
“Kamu sendiri? kelihatannya ceria sekali.”
“Oya? Apa terlihat?” Bernard menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangannya.
“Terlihat.“ Aku tertawa. “Kenapa? Sedang jatuh cinta?” aku menggodanya. Tapi tak kusangka matanya terbeliak memandangku.
“Darimana kau tahu?”
“Wah benarkah?” sekarang mataku yang terbeliak. “Padahal itu kan dugaanku saja...”
“Hhh... kupikir... karena aku tak bisa menyembunyikan perasaan.”
“Jadi luka itu sudah mulai terobati ya?”
Bernard mengangguk. “Ini berkat dia. Sejak dia hadir, mimpi buruk itu tak lagi datang.”
“Sungguh?”
Bernard mengangguk.
“Saat aku sedang sakit, dia ngasih bubur. Dan setelah aku memakannya aku langsung sembuh. Menurutmu bagaimana?”
Aku tertawa. “Berarti kamu harus terimakasih sama aku dong! Gara-gara aku kamu sakit, gara-gara sakit dia ngasih bubur, gara-gara bubur itu kamu jadi menyadari cinta...,” kataku masih ditengah-tengah tawa.
“Benar juga...,” Bernard mengangguk serius.
“Kenapa nggak pernah bicara sebelumnya?” aku menepuk punggungnya kuat. Bernard meringis kesakitan.
“Habis... kamu sombong sekali punya motor baru.”
“Apa? Nggak ah, kamu yang nggak pernah datang waktu aku duduk ditaman.”
“Iya, iya maaf. Urusan kantor agak berat akhir-akhir ini. Penjualan agak menurun.
Belum lagi masalah internal staf yang berpengaruh pada kinerja. Benar-benar membuat pusing,” Bernard menarik rambut coklatnya kebelakang.
“Jadi bisa juga kamu pusing karena kerjaan?”
“Ya iyalah, memangnya aku ini bukan manusia?” Bernard berpura-pura marah. Aku tertawa.
“Tapi buku cerita yang kau buat, pembelinya mengalami peningkatan. Terus menerus.”
“Oya?”
“Mereka suka gambarmu.”
Aku tertawa keras.
“Aku serius.”
“Terimakasih,” tawaku terhenti.
Kami terdiam beberapa lama.
“Jadi siapa?” kataku memecah keheningan.
“Apanya?”
“Cewek pengganti Shasha?”
“Oh, dia.”
“Siapa?”
“Musuhmu dikantor.”
“Musuhku dikantor?” Aku mengingat-ingat. “Nai-kah?” kataku ragu.
Dan senyum yang tersungging dibibir Bernard, memberiku hentakkan ribuan volt untuk ketiga kalinya. Hingga aku yakin, kalau sedetik sesudah itu aku akan terkapar dan mati karena lemas. Tapi Allah tetap berlaku baik padaku. Karena aku masih bisa menjalani hari itu meski dengan setengah nyawaku...
* * *
Aku menemukan Rana. Dan sedetik setelah aku tahu, aku harus melepas Rana, bahkan sebelum aku menyentuh dan merengkuhnya kedalam kalbuku. Bisakah dibayangkan bagaimana menderitanya aku?
Pulang kerja, aku meminta Jamie memboncengku kerumahnya. Mengendarai motor dalam galau seperti ini bisa membuatku benar-benar mati.
Dan disinilah aku sekarang, dikamar Jamie yang rapi, sambil duduk menatap HiFi Samsung tanpa berkedip.
Tanganku memutar-mutar gelombang tak tentu. Setelah menemukan gelombang yang jelas, aku memutar lagi untuk mencari gelombang berikutnya. Tak jelas apa yang kudengar.
“Sahabat dan cinta ya...,” Jamie juga ikut menekur. Bedanya, dia duduk diatas kasur. Aku sudah mengatakan semuanya pada Jamie. Tentang aku dan Rana, tentang kenangan kami, juga tentang Bernard. Sungguh, aku tak sanggup menanggungnya sendiri.
“Jika melepaskan cinta, kita seperti kehilangan separuh nyawa, tapi jika kita mengorbankan sahabat, kita akan kehilangan nyawa yang separuhnya lagi. Aah..., aku benar-benar tak punya ide Kris!”
“Kalau itu terjadi sama kamu?”
“Kalau kamu ternyata mencintai calon istriku? Ah, enggak mungkin! Masa kamu sister complex!”
Aku melempar bantal yang tengah kududuki padanya. “Misalnya Rere mau diambil sahabat kamu yang lain, gimana?”
“Ya... aku yang menang. Sahabatku pasti mengalah, soalnya kan masalah pernikahanku sudah nyebar...,” Jamie tertawa. Dan tawanya baru berhenti ketika aku melempar lagi bantal kedua tepat kekepalanya.
“Serius sedikit kenapa sih?”
“Aku hanya sedikit bercanda, untuk hibur kamu...” Jamie mengangkat kedua tangannya disamping kepala, menyerah dan kembali memasang tampang serius.
“Bicarakan dengan Bernard,” sarannya kemudian.
Aku menggeleng. “Dia akan menekan perasaannya sendiri.”
“Tapi itu lebih baik kan? Sebelum cintanya mekar dari kuncup?”
“Apa aku tega Jam? Padahal dia baru berhasil bangkit dari keterpurukannya, dan dia mengatakan jatuh cinta dengan wajah berbinar seperti bintang? Apa aku berani menatap matanya yang akan tiba-tiba redup ketika kukatakan kalau orang yang tengah dia sukai adalah orang yang selama ini aku nanti? Apa aku berani? Padahal... sejak aku dekat dengannya, aku bertekad untuk menjadi sahabat yang sesungguhnya. Bahkan aku mau menjadikan nyawaku sebagai tameng kebahagiannya...”
Jamie terdiam. “Apa itu artinya kau akan merelakan Rana?”
“Aku tak tahu.”
“Padahal kau sama sekali belum tahu, dengan siapa dia akan bahagia?”
“Aku tak tahu.”
“Padahal mungkin saja, selama ini dia juga seperti kamu. Menunggu Nana hingga
belasan tahun?”
“Aku tak tahu...”
“Kau sungguh-sungguh akan menyerahkan Rana pada Bernard?”
“Aku tak tahu!”
“Padahal itu sama saja dengan membunuh dirimu sendiri?”
“Sudah kubilang aku tak tahu!!”
“Jadi...”
“Allah... beri aku jawaban... kumohon...”
* * *
Ini tak biasa. Aku berjalan dengan roda dorong dibagian depan dan memutar-mutar seluruh isi Supermarket. Huh, Mama memang kejam. Kenapa menyuruh anak cowok belanja? Hanya gara-gara anak perempuan sedang dipingit! Kenapa harus aku yang jadi korban? Ditambah daftar belanjaan yang hampir memenuhi tiga lembar notes lagi! Udah gitu, banyak nama barang yang sama sekali tidak kukenal. Benar-benar bete!
Bagaimana kalau minta bantuan pada penjaganya? Ya… kata yang halus untuk mengatakan ‘menyuruh mereka yang belanja’. Jadi aku tinggal diam dan menunggu roda dorong ini penuh terisi. Tapi... apa boleh?
Aku menggeleng pelan. Kasihan ah, tugas mereka kan lumayan banyak. Lagian wajah-wajah mereka sudah terlihat sangat lelah, meski bibir mereka full senyum.
Jadi semakin nggak tega…
Jadilah sejak detik itu, aku menjadi orang tersibuk didunia. Bolak-balik, celingak-celinguk, lalu mengambil ini itu. Ditengah kesibukan itulah, aku melihatnya.
Melihat tubuh rampingnya tengah menggapai-gapai sesuatu dari tempat yang tinggi. Sebuah kerinduan yang sekian lama terpendam, menyeruak tiba-tiba. Saling bersusulan untuk muncul dan menjelma keluar.
Aku menghampirinya, setelah sebelumnya menata hati dengan menarik nafas panjang.
Aku mengambil sebuah benda yang tengah ia gapai. Dia melihatku beberapa saat, kemudian mengambil benda itu dari tanganku.
“Terima kasih,” gumamnya lirih.
Dan aku melihat punggungnya menjauh, berharap kerinduan yang begitu menyesakkan ini dapat terurai perlahan-lahan, meski hanya dengan melihatnya. Aku kembali memenuhi kereta dorongku dengan daftar belanja. Tapi pikiranku tak seluruhnya terfokus pada daftar belanjaanku. Sebuah bayangan telah berhasil membuyarkan konsetrasiku. Telah berhasil meremas perasaanku dan memenuhi jiwaku dengan rindu.
Sesekali aku kembali menatapnya, meski anganku sudah berlari jauh, dan mendekapnya penuh. Aku kembali berpaling menjauhi Rana ketika bayangan Bernard melintas dalam ingatanku.
Lalu dengan tanpa menoleh lagi, aku segera menuju kasir dan berlalu meninggalkan Supermarket itu dengan segunung perasaan sesal yang tak kunjung habis.
Bernard... bolehkah aku menyapanya untuk sesaat saja? Hanya untuk mengucapkan maaf...
* * *
“Coklat masaknya mana?” Rere, adikku yang lagi dipingit itu, membuka-buka plastik belanjaan yag baru saja kusimpan diatas meja makan.
“Ini” aku mengambil Silverquen dan menunjukkannya pada adikku.
“Ya ampun, Kakak! Ini sih bukan coklat masak!”
“Bukan coklat masak gimana? Ini kan jelas-jelas coklat yang sudah dimasak?”
“Maksudnya coklat masak itu bukan coklat yang udah dimasak, tapi coklat buat masak! Kakak gimana sih?”
“Yee..., makanya jangan suruh anak cowok belanja dong!” aku berjalan masuk kamar, untuk istirahat, untuk menghindar dari persidangan.
“Kalau keju parmesan?” teriakan Rere masih terdengar menyertai suara decit pintu.
“Di kresek yang ada coklatnya itu!” aku membuka kembali pintu yang sudah hamir tertutup sempurna.
“Masya Allah.. Kakak! Ini mah keju chedar! Kakak gimana sih? IBUU..!!
Haah... Aku menutup pintu kembali, kemudian menguncinya rapat. Aku tak mau diganggu lagi. Karena persoalan tak akan berhenti sampai teriakan Rere berakhir, tapi justru disitulah awal dari sebuah rangkaian kiamat besar.
“KRISHNA...!” itu suara Ibu. Setelah itu, akan ada kata-kata lain yang menyertai.
Tapi aku sudah tak mendengar. Karena dimensi kami sudah berbeda. Ditambah lantunan
Jose Mari Chan menuntun terus anganku semakin masuk kedalam dunia nirwana cinta.
Dunia kerinduan yang tak kunjung usai. Dunia aku dan Rana yang selalu kuciptakan jika geledak dalam dada ini semakin bergolak tak tertahan...
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar