Krishna
Malam ini aku tak bisa tidur. Aku teringat Rana. Sebenarnya malam-malam yang lain pun aku mengingatnya, selalu. Tapi entahlah, ingatanku tentang Rana kali ini, rasanya lebih dari malam-malam yang biasanya.
Aku merasakan rasa rindu itu mencuat, meninggi dan hampir meluap. Tanpa sebab. Membuat memoriku tiba-tiba berputar mengingat detik-detik kebersamaanku dengan Rana. Sejak pertemuan, hingga perpisahan. Lalu aku tertawa sendiri, dan menangis sendiri. Bersama saputangan yang sudah lusuh karena termakan usia, juga rapuh akibat remasan tanganku.
Hanya saputangan ini yang jadi tumpahan kerinduanku...
Kelak aku mengetahui, bahwa kerinduan yang tiba-tiba mencuat itu, disebabkan oleh kembalinya Rana setelah lama menghilang.
* * *
Kantin sudah mulai sepi. Tapi beberapa cewek yang bergerombol membuat kantin seperti sedang dikunjungi ratusan orang! Mereka ngobrol dan tertawa-tawa seperti di rumah mereka sendiri. Benar-benar rese!
Aku menghampiri Jamie yang hampir menghabiskan makan siangnya.
“Nggak makan?” Jamie melihat tanganku yang cuma membawa satu gelas penuh jus alpukat.
“Lagi nggak selera,” jawabku berbarengan dengan suara tawa yang menggelegar. Sungguh, memang menggelegar kok, gedung kantor ini rasanya hampir rubuh. Aku menatap mereka dengan sinis.
“Apa sih yang mereka bicarakan?” Jamie bertanya padaku yang baru saja melewati mereka.
“Apalagi kalau bukan Nai. Nama itu sepertinya populer banget ya? Siapa sih dia...,” aku sedikit menerawang. Nama Nai memang sangat sering kudengar akhir-akhir ini. Bukan hanya jadi bahan pembicaraan kaum hawa saja, tapi laki-laki juga.
“Apa saja yang mereka bilang?”
“Tahu!” Aku mengangkat bahu. “Memangnya kenapa? Kamu kayaknya tertarik banget?”
Jamie tertawa sambil menggeleng. “Nai itu karyawati baru di accounting. Dia cantik, smart lagi. Dia lulusan S2 UI.”
“Oya?” kataku sangat tidak tertarik.
“Kamu percaya omongan mereka?”
Aku mengangkat bahu, mengatakan tak peduli dengan isyarat tubuh.
“Kasihan dia, dikucilkan karena sesuatu yang tidak mendasar.”
“Dikucilkan...,” aku mengulangi kata-kata Jamie. Entah untuk apa. Tapi yang jelas, dalam kepalaku sekarang terbayang wajah seorang gadis bermata hijau yang tengah menangis. Rana... saat itu dia juga sedang dikucilkan. “Apa dikucilkan itu sangat tidak menyenangkan?” sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur dari mulutku.
“Ha..ha...ha..., makanya jangan terlalu cuek. Dikucilkan itu makan sendirian, nggak ada teman bicara, menebalkan telinga dengan omongan-omongan nggak enak, apa itu bisa tak dipedulikan?”
“Kasihan juga ya..., pantas dia sampai menangis...” aku kembali menerawang.
“Menangis? Kamu lihat Nai menangis?”
“Oh, nggak! Bukan dia...”
“Siapa?”
“Bukan siapa-siapa,” jawabku cepat. “Oya, gimana perkembangan pekerjaanmu?” aku mengalihkan pembicaraan dengan berpura-pura menjadi teman yang perhatian. Belum lama ini Jamie mendapat pekerjaan baru, dia diangkat jadi sekretaris, sekaligus asisten dan kepercayaan seorang General Manager. Pak Bernard.
“Hhh...,” Jamie tak menjawab pertanyaanku. Dia tahu sifat perhatian yang aku tunjukan cuma panyamaran. Jelas saja, kami sudah dekat, dia tahu siapa aku.
Dan melihat reaksi Jamie aku hanya tertawa.
“Sudah ngambil gaji?” tanyanya setelah lama terdiam. Aku menggeleng pelan.
“Kamu?”
Jamie mengangguk. “Kalau ke Accounting, lihat Nai. Aku pikir... dia bakalan cocok sama kamu...”
Aku menghela nafas panjang. Kebiasaan Jamie yang aku tak suka muncul lagi. Dia selalu mendorong-dorong aku supaya menikah. Dia bilang, umurku yang hampir tiga puluh, sudah ketuaan untuk terus membujang. Enak saja dibilang hampir tiga puluh, padahal kan umurku baru dua delapan!
“Untuk kamu saja. Dari namanya saja sudah jelek begitu, bukan level!”
“Aku udah punya calon kan, tiga bulan lagi aku nikah! Emangnya kamu tega adikmu aku duakan? Lagian... namanya bukan Nai kok! Mereka sengaja ngambil yang jeleknya, untuk mengutarakan ketidaksukaan...”
“Ooo.., ok-lah aku lihat!” kataku sangat antusias. Pura-pura saja sih, untuk menutup mulut Jamie supaya dia berhenti membicarakan hal-hal semacam ini. Tapi sepertinya Jamie tahu itu. Buktinya, dia hanya mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menyerah.
Saat ke Accounting, aku langsung menemui Pak Nanta. Langsung menadahkan tangan meminta amplopku, berharap tak berdiam diruangan itu berlama-lama. Soalnya, Pak Nanta punya kebiasaan seperti Jamie. Padahal seharusnya dia juga memikirkan dirinya sendiri. Soalnya, meski sudah empat puluhan, Pak Nanta kan belum menikah.
Tapi ketika menyodorkan lembaran yang harus kutandatangani, kata-katanya keluar juga. “Sudah lihat Nai?”
“Selebritis itu? Kenapa?” aku membuka amplop, menghitung jumlahnya, untuk menyamakan dengan nominal yang tertera diluar amplop berwarna coklat itu.
“Kasihan...” katanya sambil berbisik. Refleks aku melihat wajah Pak Nanta. Apa maksudnya berkata begitu. Mata Pak Nanta melihat ke arah samping, jadi refleks juga mataku mengikuti pandangannya.
Seorang cewek berkerudung corak berwarna abu, berkulit putih dan berhidung mancung, bibirnya merah, alisnya hitam memanjang, pipinya segar merona. Diakah yang bernama Nai?
“Cantik kan? Kamu suka?” Pak Nanta meninju bahuku. Dan aku hanya mengucapkan terimakasih sambil mengacungkan amplopku, lalu berlalu dari hadapannya dengan cepat.
“Pikirkan ya, Kris! Aku bisa nyambungin kalian..,” teriak Pak Nanta. Hhh, memalukan!
Pak Nanta tak salah, Nai memang cantik, meski ia tampil apa adanya, tanpa polesan sedikitpun. Tapi kalau dibandingkan dengan Rana..., Nai pasti kalah.
Rana juga punya kulit yang putih, pipinya senantiasa merona, apalagi jika dia sedang tertawa. Matanya bulat, dan irisnya hijau berlian. Ya, hijau berlian. Sesuatu yang Nai tak punya. Jadi, meski aku belum bertemu Rana, aku sangat yakin, Rana lebih cantik dari siapapun!
Lagipula... antara aku dan Nai, sudah terjadi permusuhan sejak pertama kali bertemu. Harapan Jamie dan Pak Nanta, akan jadi harapan selamanya. Maaf ya...
* * *
“Ini luar biasa, Kaka melawan Cristian Ronaldo, aku tak mau bertaruh siapa yang menang, tapi yang jelas, pertandingan ini akan seru. Dijamin!” Dimas mengacungkan dua jempolnya kearahku. Aku berpaling, tak tertarik sedikitpun dengan apa yang dia bicarakan.
“Hei, bagaimana dengan Persib? Persib menempati posisi pertama lho, ya... sementara sih. Tapi tetap saja ini hebat! Tahun lalu, mereka hampir saja degradasi.”
Aku memasukkan peralatan menggambarku kedalam ransel, lalu bersidekap dada, mendengar celotehan Dimas dengan setengah nafsu.
“Tapi pemain Persib yang jagonya pemain luar semua...” seseorang datang menanggapi pembicaraan Dimas. Pak Nanta, dia datang keruangan ini untuk ikut jemputan. Ya, setiap pulang, dia selalu nebeng motor Dimas. Ngirit ongkos katanya.
“Siapa bilang? Zaenal Arif, Eka Ramdani... mereka nggak kalah hebat..”
Dan pembicaraan itu terus mengalir. Aku tertawa lega, akhirnya ada juga sasaran tembak Dimas. Sebenarnya selain diajak ngobrol masalah bola, aku pasti nyambung diajak ngobrol apapun. Aneh memang, aku cowok, tapi aku nggak suka bola. Padahal waktu kecil, aku selalu lupa waktu kalau sudah main bola. Ya, selalu lupa waktu.
Karena lupa waktu itu jugalah, aku kehilangan Rana. Aku hanya mendapati sapu tangan merah muda, beserta secarik kertas yang tertulis sebuah alamat yang sudah tak
terbaca karena hujan. Tanda bahwa Rana sudah menungguku beberapa lama...
Aku menghela nafas panjang. Mengurai rasa sesal yang tak kunjung habis.
Matahari baru saja menginjak bumi ketika aku sampai. Duduk terpaku sembari menatap matahari senja adalah rutinitasku setiap sore. Hujan ataupun tidak hujan, rutinitas
ini tak pernah kulewatkan, selama hampir delapan belas tahun. Dan entah sampai kapan rutinitas ini akan berakhir. Mungkin sampai Rana datang, dan aku mengatakan
‘maaf’. Dan setelah aku yakin, kalau mata hijau berliannya tak mengeluarkan air mata lagi...
Allah... apakah ini hukuman untukku? Karena selalu membiarkannya menunggu?
“Menunggu seseorang?” seseorang menepuk pundakku. Pak Bernard. Aku hampir saja terlonjak dari tempat dudukku.
“Ah, tidak. Hanya malas pulang...,” aku tertawa sambil mempersilakannya duduk disampingku.
“Malas pulang? Setiap hari?” kening Pak Bernard berkerut. Mendengar pertanyannya, keningku juga berkerut. Setiap hari? Darimana dia tahu?
Mata Bernard melihat sesuatu dari jauh, dan aku mengikuti pandangannya. Ruangan Pak
Bernard terlihat jelas dari sini, tentu, taman ini pun pasti terlihat jelas olehnya. Aku tersenyum, baru menyadari itu setelah sekian lama.
“Anda sendiri? Bertengkar dengan istri ya?” aku tertawa sembari menepuk pundaknya.
Tapi melihat dia diam saja, tawaku seketika berhenti. Jangan-jangan tebakanku benar...
“Aku belum punya istri.”
“Apa?! Yang benar saja?” aku menatap Pak Bernard dari ujung rambut sampai ujung kaki, berulang-ulang.
“Kenapa? Apa aku terlihat sangat tua?”
“Oh, bukan begitu. Hanya saja... Bapak type pujaan para cewek. Rasanya... tak mungkin belum punya istri...,” aku bicara untuk diriku sendiri. “Tapi kalau pacar sudah kan?” aku bertanya ragu. Soalnya jawaban untuk pertanyaan ini aku sudah tahu.
Jamie bilang, Pak Bernard tipe cowok yang sangat dingin, terutama sama makhluk bernama perempuan. Karena itu, dia memilih seorang cowok untuk jadi sekretaris pribadinya. Aku pikir itu karena dia sudah punya istri yang super cantik dirumah. Nyatanya...
“Aku belum pernah pacaran,” Pak Bernard menyandarkan tubuhnya dan menyilangkan kedua tangannya dibelakang kepala. Dalam keadaan santai seperti ini, Pak Bernard tampak sangat berkilauan. Kalau saat ini ada perempuan, aku jamin, mereka pasti menjerit histeris. Tidak, bukan pada saat seperti itu saja, tapi setiap saat pada semua keadaan, Pak Bernard selalu mengeluarkan aura aneh yang bisa membuat cewek bertekuk lutut.
“Kenapa?” tanyaku ingin tahu.
“Mungkin... belum menemukan yang cocok saja.”
“Yang cocok menurut Bapak seperti apa?”
“Aaah... panggilan Bapak itu rasanya resmi banget. Bagaimana kalau Bernard saja?”
Aku terdiam sejenak. Bukan apa-apa, tapi tawaran Pak Bernard berarti memintaku untuk berteman lebih dekat. Bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi lebih dari itu. Kenapa?
“Ok, Bernard saja...,” aku tertawa. “Mh... Bernard, Bernard,...” aku menimbang-nimbang. Apa cocok aku memanggil nama pada orang seperti dia?
“Kenapa?”
“Ah, tidak... hanya saja... Bernard itu nama yang asing, tak biasa.”
“Memang aku orang asing. Papaku dari Australi, Mama asli Sunda. Teman sekolahku bilang... aku ini anak penjajah..” Bernard tertawa hambar. “Apa tak terlihat?”
Aku tersenyum. Tak terlihat? Justru sangat terlihat. Kulitnya yang pucat, rambut dan alis coklat kemerahan, hidungnya yang mancung, bibir yang merah tipis. Jelas, sekilas melihat, orang akan tahu Bernard seorang peranakan.
“Lahir disana?”
Bernard menggeleng, “Asli Bandung,” katanya. “Ke Canberra kalau Lebaran saja.”
“O ya?”
“Ya, nengok Grandpa. Dia muslim kok!”
Aku menganguk-angguk. Asli, mengenai hal ini aku baru tahu. Dan aku yakin, dari semua penghuni kantor ini tak ada yang tahu, termasuk Jamie. Bernard bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Lalu kenapa tiba-tiba dia membuka dirinya padaku? Membiarkan aku melihat siapa dirinya? Kenapa?
Pertanyaan itu tak pernah terjawab, bahkan sampai kami berpisah menjelang Isya. Tak apa, masih ada hari esok. Toh, saat terakhir dia bilang, dia ingin sering-sering ngobrol denganku. Maksud sebenarnya akan kuketahui setelah itu. Bukan aku curiga sih, hanya penasaran saja...
* * *
Aku bertemu lagi dengan Nai. Kali ini bukan diluar Lift, tapi didalam Lift. Kalau saja tak perlu-perlu amat dengan Jamie, aku pasti takkan kesini. Jamie itu sahabatku dari SMA, dan sekarang dia akan menikah dengan adikku satu-satunya.
Jadinya masalah pernikahan ini membuat urusanku dengan Jamie semakin kerap.
“Namamu jelek banget ya?” kataku mencari gara-gara.
Dia melihatku dengan sebal. Tahu tidak? Aku malah senang. Rasa marahku waktu itu belum keluar sempurna, jadi membuatnya kesal adalah seperti membayar hutang.
“Kenapa mengikuti aku?” tanyanya ketika kami sudah keluar dari lift dan berjalan beberapa langkah.
“Heh, memangnya koridor ini punya nenek moyang kamu! Aku juga berhak dong jalan disini!”
“Tapi jangan dibelakangku dong! Memangnya koridor ini sempit apa? Mau cari-cari kesempatan ya?”
“Hah siapa juga yang nyari-nyari kesempatan! Memangnya kamu ini cantik apa? Ngapain juga lihat-lihat orang jelek kayak kamu! Sudah namanya jelek, wajahnya jelek, sifatnya juga jelek.” Aku ngeloyor pergi mendahuluinya.
“Dasar keras kepala!”
Aku sempat mendengar gerutuannya.
“Kamu kepala batu!” aku membalasnya sambil agak berteriak. Menyebalkan bicara dengan dia!
“Siapa yang kepala batu?” Jamie menyambutku dengan wajah masamnya.
“Bukan kamu... tapi cewek bernama Nai itu. Cewek jelek keras kepala! Kamu tahu kan...,” aku menutup mulutku tiba-tiba ketika kusadari promosi Jamie beberapa hari yang lalu.
“Bertengkar?”
“Aah... bukan, cuma...”
“Kapan sih kamu akan bersikap dewasa, Kris?”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Memangnya selama ini sikapku kekanakkan?
“Eh, aku mau ngasih ini. Dari Mama. Alamat butik langganannya. Katanya kamu harus kesana untuk memilih baju pengantin.”
“Sibuk amat, masih lama ini.”
“Tahu deh, cewek! Mau kukasih via SMS juga jangan. ‘Harus sampai langsung ketangan Jamie!’, cerewet banget kan cewek itu?!”
“Mulai deh, bawa-bawa gender. Lama-lama bisa alergi sama cewek kamu!”
Aku hanya mengangkat bahu sambil berlalu meninggalkan meja Jamie cepat. Aku tak boleh berlama-lama disini. Bertemu lagi dengan Nai, bisa benar-benar membuatku alergi sama cewek!
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar