Rabu, 09 Desember 2015
Selasa, 08 Desember 2015
Kemas-kemas madu
Kemas madu puluhan akhirnya selesai! Udah diambil sebagian sama pemesan, sisanya yang belum diambil dan dikirim masih sempat difoto.
Eh... ada si cantik pengen jadi model! boleh lah! Haha...
Senin, 07 Desember 2015
Blazer 2
Resmii banget! Tapi dengan warna ceria begini, musim hujan jadi lebih semangat ya! Ayo kerja!
Modelnya elegan sederhana, ada strip kecil yang nongol dari bawah dasi dan bagian bawah blazer. Kesannya jadi manis ya?
Minggu, 06 Desember 2015
Pelatihan PKP Hari Kedua
Hari kedua pelatihan. Sambil nunggu sarapan yang belum siap, foto dulu dikamar deh...
Karena waktu masih panjang (Beuh! PKP mah rarajin pisan atuda), nih para tetangga kamar pada berkunjung, lalu karena lihat kami teman sekamar pada cantik-cantik sudah di make over sama ceu Lina si member Oriflame, jadinya pada ngekor buat di make over juga. Haha! Nah, jadi gareulis nyak? Natural sih, kan kita mah anggun gituh...
Anggun? Mh... diragukan sih kalau lihat foto yang bawah...
Lewat lorong cantik dengan juntai-juntai akar yang romantis. Tertarik untuk mengabadikan jejak...
Coat 2
Coat lagi....
Habisnya musim hujan gini memang cocoknya yang hangat-hangat kan? Sok... buat yang ngantor atau belanja, cocok-cocok aja...
Pake ini keluar rumah, kayab berjalan di trotoar klasik di Turki. Haha...
Sabtu, 05 Desember 2015
Pelatihan PKP, 1 Desember
Pelatihan PKP di Lembang nih!
Hari pertama, berangkat dari rumah nyubuh pisan, tetep we datang kelokasi pas-pasan, nggak sempat 'ngarenghap', langsung berangkat pake mobil rombongan.
Nyatanya, sudah tituturubun gitu, acara belum dimulai, sarapan pun tak disediakan. heuheu...
Akhirnya dengan perut keorncongan, kita menghibur diri dengan foto-foto.
Meskipun lapar, emak-amak tetap nggak ketinggalan rempongnya! Haha...
Sesudah acara dibuka, langsung diisi dengan materi berat dari Ibu Gubernur. Kata siapapun juga (yang saya kenal tentu saja), beliau tuh kalau kasih materi selalu asyik. Tematis, simple, kena, dan seru! Jadi meski lapar (padahal udah dapat snack juga), nih mata bisa bertahan buat molotot! Materi berat juga bisa ditampung mudah di otak, meski memang sih belum teruji keabsahan dari pernyataan ini. hehe...
Sudah itu, yah... bukan pelatihan namanya kalau nggak foto-foto. klik, klik, klik...
Jabar, Kahiji!
Emang ya, pelatihan kita mah kagak main-main! Hari pertama yang berlangsung dari jam 10 pagi, ternyata harus berakhir jam 10 malam! Sumpeh! Abis itu, baru bisa makan malam... hiks hiks...
Tapi karena si saya emang cerewet, kebagian ngomong, dapatlah door prize. Lumayan ya!
Coat 1
Resmi, hangat, dengan gara Eropa, tapi praktis khas saya. Kesannya keren dan gaya ya?
Boleh ditiru... gratis kok! Nggak usah bayar royalti. hehe...
Pakai bahan yang kaku ya, biar kesan resminya tetap ada.
Jumat, 04 Desember 2015
Blazer 1
Lagi banyak ngisi pelatihan dan ikut pelatihan, jadinya butuh baju yang resmi begitu. Kebetulan juga sekarang sedang musim hujan, jadinya blazer kayaknya cocok buat menahan hawa dingin dengan elegan. hehe...
Modelnya polos, tapi anggun. Bahan yang digunakan bagusnya bahan blazer yang kaku.
Kamis, 26 November 2015
Pengorbanan
Melihat si cikal pulang setelah mondok 2 bulan lebih, ada yang mengiris hati. Dia kurus, berat badannya hampir menghilang 10kg. Saya menahan diri untuk mengelus dada, menahan diri untuk mengatakannya kurus, menahan diri untuk memeluk sambil menangis.
Saya sambut dia dengan rentangan tangan selebar-lebarnya, dan berkali-kali menyebut dia bertambah ganteng. Satu hal yang pertama terlintas adalah, saya, bagaimana pun keadaannya, saya tertap harus membesarkan dia, juga mungkin… membesarkan diri saya sendiri. Oh… ayolah, cuma kehilangan berat badan!
Setelah bicara, terungkitlah, bahwa penyebabnya bukan karena jatah makannya yang dibatas, bukan juga karena dia tak betah (Alhamdulillaah, hal yang saya takutkan tak terjadi). Masalahnya hanyalah, dia jadi tidak ngemil, karena memang tak ada sesuatu untuk dijadikan cemilan. Padahal biasanya, si cikal ngemil nasi atau mie instan dua bungkus. Haha!
Saya kira… ini hanya soal pendisiplinan saja. Dan saya sangan mendukung hal itu. Saya pikir… pengendalian pertama, pendisiplinan pertama, adalah dari perut. Seseorang yang sudah mudahmengendalikan nafsu perutnya, maka dia akan mudah mengendalikan nafsu yang lainnya.
Sekarang, setelah si cikal kembali ke pesantren beberapa minggu lalu, seliweran itu masih saja terdengar. Teman bilang saya terlalu tega kalau membiarkan, ada yang usul juga, saya harus mengambil anak saya dari pesantren tersebut karena kwalitas gizi yang buruk, padahal anak asuh sedang dalam masa pertumbuhan, dan… entah apalagi.
Saya? Seperti biasa, tak terllau peduli. Saya mendapat rekomendasi pesantren yang bersangkutan, langsung dari Allah. Saat kami hampir dipuncak lelah, dengan waktu semakin terdesak, kami minta petunjuk pada-Nya. Dan kontan, Allah menjawabnya. Jadi,dengan berbagai pertimbangan, kemantapan hati kami (saya dan suami) tak akan luntur hanya karena anak saya jadi kurus. Bayarannya sangat tak sebanding, jika mimpi besar saya, harus saya buang hanya karena kasihan tabungan berat badan anak saya hilang perlahan. Terlalu konyol.
Saya tak kasihan? Kemana hati saya sebagai ibu? Sebagai seorang ibu, hati saya lebih miris daripada siapa pun. Tentu saja. Tapi sekali lagi, mimpi saya terlalu besar jika harus ditukar perasaan saya yang terlalu remeh. Yah, anggap saja ini pengorbanan yang harus kami bayar untuk kemenangan besar (fauzan 'adzim) dimasa datang.
Pada akhirnya, saya titipkan dia pada Yang Memiliki dia, saya serahkan penjagaannya pada Yang Tak Pernah Tidur, saya wakafkan dia untuk Allah. Mempersiapkan dia, menjadi panglima penting dalam pemerintahan Imam Mahdi kelak. Maka Allah, terimalah…
Saya sambut dia dengan rentangan tangan selebar-lebarnya, dan berkali-kali menyebut dia bertambah ganteng. Satu hal yang pertama terlintas adalah, saya, bagaimana pun keadaannya, saya tertap harus membesarkan dia, juga mungkin… membesarkan diri saya sendiri. Oh… ayolah, cuma kehilangan berat badan!
Setelah bicara, terungkitlah, bahwa penyebabnya bukan karena jatah makannya yang dibatas, bukan juga karena dia tak betah (Alhamdulillaah, hal yang saya takutkan tak terjadi). Masalahnya hanyalah, dia jadi tidak ngemil, karena memang tak ada sesuatu untuk dijadikan cemilan. Padahal biasanya, si cikal ngemil nasi atau mie instan dua bungkus. Haha!
Saya kira… ini hanya soal pendisiplinan saja. Dan saya sangan mendukung hal itu. Saya pikir… pengendalian pertama, pendisiplinan pertama, adalah dari perut. Seseorang yang sudah mudahmengendalikan nafsu perutnya, maka dia akan mudah mengendalikan nafsu yang lainnya.
Sekarang, setelah si cikal kembali ke pesantren beberapa minggu lalu, seliweran itu masih saja terdengar. Teman bilang saya terlalu tega kalau membiarkan, ada yang usul juga, saya harus mengambil anak saya dari pesantren tersebut karena kwalitas gizi yang buruk, padahal anak asuh sedang dalam masa pertumbuhan, dan… entah apalagi.
Saya? Seperti biasa, tak terllau peduli. Saya mendapat rekomendasi pesantren yang bersangkutan, langsung dari Allah. Saat kami hampir dipuncak lelah, dengan waktu semakin terdesak, kami minta petunjuk pada-Nya. Dan kontan, Allah menjawabnya. Jadi,dengan berbagai pertimbangan, kemantapan hati kami (saya dan suami) tak akan luntur hanya karena anak saya jadi kurus. Bayarannya sangat tak sebanding, jika mimpi besar saya, harus saya buang hanya karena kasihan tabungan berat badan anak saya hilang perlahan. Terlalu konyol.
Saya tak kasihan? Kemana hati saya sebagai ibu? Sebagai seorang ibu, hati saya lebih miris daripada siapa pun. Tentu saja. Tapi sekali lagi, mimpi saya terlalu besar jika harus ditukar perasaan saya yang terlalu remeh. Yah, anggap saja ini pengorbanan yang harus kami bayar untuk kemenangan besar (fauzan 'adzim) dimasa datang.
Pada akhirnya, saya titipkan dia pada Yang Memiliki dia, saya serahkan penjagaannya pada Yang Tak Pernah Tidur, saya wakafkan dia untuk Allah. Mempersiapkan dia, menjadi panglima penting dalam pemerintahan Imam Mahdi kelak. Maka Allah, terimalah…
Mimpi Besar
Di antara keluarga, diantara teman-teman, di antara segala jaringan dalam komunitas, saya selalu menjadi seseorang yang berbeda. Mulai dari karakter, kebiasaan, sampai gaya saya yang berbeda.
Orang bilang, mata saya terlalu tajam kalau melihat, bibir saya terlalu ketus untuk bicara, dan tawa saya terlalu keras dan membahana. Haha… Selain dari itu, saya tak tahu pandangan orang lain, dan mungkin… saya tak perlu peduli. Saya… tak pernah merasa terganggu dengan pandangan orang, terlebih jika itu menyangkut prinsip.
Satu hal itu adalah tentang cara saya memandang pendidikan. Saya tak terlihat berbeda dengan orang-orang, sampai saya punya anak. Dari sejak mengandung, orang sudah tahu, saya berbeda.
Orang menganggap saya aneh karena saya membaca buku dengan suara nyaring, orang menganggap saya gila, karena mengajak janin saya bicara. Orang juga mengerutkan kening, ketika saya memberi anak saya buku sebagai mainan mereka.
Anak bertambah usia, saya semakin terlihat aneh. Saya mengenyahkan TV dari rumah, saya memilih menghabiskan jutaan untuk membeli ensiklopedi daripada membetulkan genteng rumah. Saya juga memilih sekolah yang agak mahal dan jauh, tapi juga tak terlalu peduli ketika nilai ulangan anak saya jelek.
Saya… lebih peduli tentang membangun minat daripada membangun hafalan anak. Saya juga lebih senang mereka menghabiskan uang jajan dengan mengeksplor kreatifitas lewat mainan sekali pakai, daripada makan jajanan. Saya juga tak terlalu ingin tahu berapa rangking kelas anak saya, karena bagi saya sekolah adalah membangun minat, bukan menilai anak.
Sekarang, orang juga memandang aneh pada saya, ketika saya memutuskan untuk menyekolahkan anak pada sebuah gubuk terpencil disisi kota. Bukan gedung mewah dengan lab lengkap dan makan siang menggiurkan selera.
Bagi saya sih simple saja, ini hanya tentang mimpi besar…
Orang bilang, mata saya terlalu tajam kalau melihat, bibir saya terlalu ketus untuk bicara, dan tawa saya terlalu keras dan membahana. Haha… Selain dari itu, saya tak tahu pandangan orang lain, dan mungkin… saya tak perlu peduli. Saya… tak pernah merasa terganggu dengan pandangan orang, terlebih jika itu menyangkut prinsip.
Satu hal itu adalah tentang cara saya memandang pendidikan. Saya tak terlihat berbeda dengan orang-orang, sampai saya punya anak. Dari sejak mengandung, orang sudah tahu, saya berbeda.
Orang menganggap saya aneh karena saya membaca buku dengan suara nyaring, orang menganggap saya gila, karena mengajak janin saya bicara. Orang juga mengerutkan kening, ketika saya memberi anak saya buku sebagai mainan mereka.
Anak bertambah usia, saya semakin terlihat aneh. Saya mengenyahkan TV dari rumah, saya memilih menghabiskan jutaan untuk membeli ensiklopedi daripada membetulkan genteng rumah. Saya juga memilih sekolah yang agak mahal dan jauh, tapi juga tak terlalu peduli ketika nilai ulangan anak saya jelek.
Saya… lebih peduli tentang membangun minat daripada membangun hafalan anak. Saya juga lebih senang mereka menghabiskan uang jajan dengan mengeksplor kreatifitas lewat mainan sekali pakai, daripada makan jajanan. Saya juga tak terlalu ingin tahu berapa rangking kelas anak saya, karena bagi saya sekolah adalah membangun minat, bukan menilai anak.
Sekarang, orang juga memandang aneh pada saya, ketika saya memutuskan untuk menyekolahkan anak pada sebuah gubuk terpencil disisi kota. Bukan gedung mewah dengan lab lengkap dan makan siang menggiurkan selera.
Bagi saya sih simple saja, ini hanya tentang mimpi besar…
Sabtu, 21 November 2015
Mozaik Cinta (Bagian VII)
Pertemuan Hanan dengan Tante Diah berjalan lancar. Luna yang ternyata sosok yang cukup jangkung untuk ukuran anak perempuan, ternyata sangat menyukai gaunnya. Sederhana tapi terkesan mewah dan mahal. Juga berkelas tentu saja. Itu kata Luna. Tapi Hanan harus sedikit merubah bagian pinggul agar jahitannya tak terlalu dibawah, supaya tubuh menjulang Luna sedikit tersamar. Luna setuju, bahkan gadis cantik bermata sipit itu berterimakasih berkali-kali.
Ia harus berterimakasih pada Sarah. Ia menelepon Sarah tadi malam, sebelum ia merancang gaunnya, meminta masukan Sarah tentang gaun yang cocok untuk konsep yang diinginkan Luna. Sesuai dugaannya, masukan Sarah ternyata sangat berguna.
“Aku tak tahu kalau kau menelepon Sarah,” kata Sami ketika siang itu lagi-lagi ia datang. Ia bertanya tentang tanggapan Tante Diah atas gaun hasil rancangan Hanan. Dan Hanan menceritakan detailnya pada Sami.
“Aku sudah kenyang,” kata Hanan. Bukan menjawab Sami, tapi menolak suapan Sami yang keempat.
“Baru satu suap, kau sudah kenyang?”
“Tiga,” Hanan mengoreksi.
“Tiga suap kecil, sama saja dengan satu suap kan?”
Hanan tertawa, “Satu suapmu terlalu besar!”
Sami melotot.
“Aku minta maaf.”
“Untuk?”
“Acara kita yang batal.”
“Kau mengatakan maaf untuk itu sudah seribu kali. Jangan ditambah meski satu kali lagi,” Sami menggigit ‘cincin cumi renyah’-nya.
“Bagaimana kalau aku menebusnya?” Hanan mencondongkan tubuhnya kearah Sami. Dan Sami menjawab ide Hanan dengan kening berkerut. Soalnya, mulutnya sedang penuh dengan nasi.
“Sekarang, aku ikut kekantormu ya?”
“Hah?”
“Pulangnya nanti, aku akan mengajakmu kesebuah tempat. Bagaimana?”
“Kujemput saja nanti.”
“Aku tak boleh tahu kantormu?”
Sami meneguk minum. Makannya sudah selesai.
“Bukan begitu, tapi kau bisa mati karena kesal.”
“Tidak akan...,” Hanan melingkarkan tangannya di lengan Sami, marajuk. “Kalau ada Sami, pasti tak akan bosan. Ya..., kecuali kalau kau meninggalkanku meeting sampai malam.”
Sami mendesah. Sebenarnya, masalah utamanya bukan itu, Hanan. Tapi bagaimana menjelaskannya padamu...
“Tak bisa ya?” Hanan menatap Sami sedih.
“Kau begitu ingin tahu kantorku ya?”
Hanan mengangguk. Aku ingin tahu kau lebih banyak. Itulah alasannya. “Kau sering datang kemari, tapi aku tidak pernah ketempatmu. Aku ingin kenalan dengan semua teman kerjamu, nah, aku bisa memberi brosur butikku kan?”
Ide Hanan membuat Sami tertawa, tapi ia mengangguk juga. Sudahlah, masalah yang akan timbul, jika memang akan ada masalah, biarlah terjadi. Kali ini, Sami hanya ingin menganggap Hanan lebih dari sekedar teman. Itu saja.
Jadilah hari itu, Hanan pulang lebih cepat.
“Map-nya aku bawa saja, nanti biar kupelajari dirumah,” Hanan berhenti dimeja Rani sementara Sami lebih dulu melangkah keluar.
“Ya, Bu.” Rani menyerahkan map berisi arsip para pelamar yang diingankan Hanan.
“Ini yang sudah kamu seleksi kan?”
“Tentu dong, Bu. Masa saya nambahin kerjaan Ibu, gak tega. Mana pengantin baru lagi...,” Rani melirik Sami dengan ujung matanya, menggoda Hanan. “Saya senang, sekarang Ibu lebih banyak tertawa.”
“Bisa saja, memangnya dulu aku banyak marah?” Hanan memukul bahu Rani dengan ujung map. “Sudah ya, aku pulang.”
Setelah mengucap salam pada semua dan menyapa pelanggannya sebentar, Hanan menyusul Sami ketempat parkir. Sami sudah siap berangkat ketika Hanan tiba, mobilnya sudah dibibir pintu keluar parkir.
“Maaf ya.”
“Menambah karyawan?”
Mobil mulai melaju kejalanan yang agak lenggang.
“Ada penjahit yang mau keluar, sebentar lagi melahirkan, katanya mau mengurus anak saja dirumah. Tapi sekalian juga menambah, dua penjahit lumayan keteteran,” Hanan memasang sabuk pengamannya.
“Jauh tidak?”
Hanan belum pernah kekantor Sami. Hanya dengar alamatnya saja. Dan perlu tahu, Hanan buta peta. Hanan tidak mengerti, Jalan Merdeka, tempat kantor Sami berdiam itu ada dimana.
“Sepuluh menit juga nyampe,” kata Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya. Lampu kuning, dan Sami memilih berhenti daripada menerobos cepat-cepat sebelum lampunya berubah merah. Mobil dibelakang Sami membunyikan klakson, tapi Sami tak peduli. Dan sedetik kemudian, lampu itu memang berubah merah.
“Jauh juga...,” Hanan tersenyum.
“Jauh tapi senang. Kok aneh!”
“Habis, Sami mau bolak-balik dua puluh menit cuma untuk makan siang bersamaku, aku benar-benar merasa senang,” Hanan melonjak sembari duduk. Maksudnya, kalau saat itu diluar mobil, Hanan pasti sudah loncat-loncat.
Sami tersenyum. Pandangannya beralih kedepan lagi, tapi tangan kirinya terulur kesamping dan mengambil jemari Hanan untuk ia remas. Hanan memandang tangan Sami dipangkuannya, lalu ia melihat wajah Sami. Katakan padaku, kalau sikapmu ini bukan sekedar untuk membahagiakan aku, Sami...
Sami benar soal meloncat-loncat itu. Hanan memang melakukannya saat ia mengingak teras kantor Sami. Hanan memang ekspresif, Sami menggeleng tersenyum.
“Pantas saja Ibu selalu memanggilmu gadis kecil,” kata Sami.
“Apa?”
“Tidak, bukan apa-apa,” Sami lagi-lagi tersenyum.
Setiap bertemu orang yang berpapasan dengannya, mulai dari satpam, cleaning servis sampai pegawai berdasi, Hanan selalu menyapanya. Senyum lebar tak pernah lepas darinya. Dan hebohnya, Hanan selalu memperkenalkan dirinya. “Saya Hanan, istri Sami.” Hhh! Bikin malu. Tapi, mungkin malu yang menyenangkan.
Sami menggenggam tangan Hanan dan menariknya, ketika langkah Hanan terhenti pada beberapa foto yang terpajang didinding lobi lantai dua. Kebanyakan foto-foto gedung atau rumah.
“Itu foto-foto hasil kerjamu?” Hanan tercengang. Kebanyakan adalah hotel dan kantor perusahaan terkenal. “Hah, ternyata kamu hebat ya?” Hanan meninju bahu Sami.
“Bukan hasil kerjaku, hasil kerja kami.”
“Ya... sama kan?” Hanan bertanya pada dirinya sendiri. Apa beda ya?
“Tentu saja beda,” jawab Sami ketus. Tapi Hanan tersenyum.
“Sami berubah berwibawa kalau dihadapan anak buah ya?”
Sami menoleh pada Hanan. Maksudnya? Sami melontarkan kata-kata itu lewat matanya.
“Ya..., berwibawa tapi cenderung galak.”
Sami berbalik dan tanpa diduga, mencubit pipi Hanan.
“Aw!” Hanan mengusap-ngusap pipinya. Sami mencubitnya keras sekali.
“Hati-hati kalau bicara! Dasar gadis kecil!” Sami meninggalkan Hanan dan membiarkannya berlari menyusul langkah-langkah lebar Sami.
“Apa? Aku bukan gadis kecil!”
Sami sudah masuk kedalam ruangannya, sementara Hanan tertinggal beberapa jarak. Langkah Hanan tertahan oleh sesuatu. Di pertigaan koridor Hanan berpapasan dengan perempuan berambut coklat itu. Sepupu Sami, Huda. Mereka saling memandang terpaku.
“Hai,” kata Hanan. ia berhasil menguasai diri lebih cepat. Seperti biasa, senyumnya mengembang lebar.
Huda membalasnya juga dengan senyuman, tapi senyuman Huda itu senyuman anggun. “Kau baru pertama kali kemari ya?”
“Mh,” Hanan mengangguk. Apa aku tak salah, kenapa mata Huda seperti itu? terlihat sendu? Bahkan sedih? Huda memang tersenyum, tapi matanya menangis. Entah kenapa, Hanan merasa seperti itu.
“Hanan, kau nyangkut dima...,” Sami mebuka pintu dan kalimatnya terhenti ketika dilihatnya Hanan tengah bersama Huda. Sami dan Huda berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya Sami masuk kedalam ruangannya kembali. Ada satu kilatan dimata Sami yang membuat Hanan menelan ludah. Tidak, ini cuma perasaanku saja!
“Baru selesai makan siang, ya?” tanya Hanan mengalihkan perhatian. Hanan melihat kotak makan siang yang didekap Huda. Huda melihat arah pandangan Hanan sebelum kemudian ia mengangguk ragu.
Hanan tak perlu tahu kalau kotak itu adalah kotak makan siang untuk Sami yang tak dimakannya. Ya, Huda baru mengambilnya kembali, dan makanannya utuh tak tersentuh. Apakah kau sudah benar-benar mengambil dia dariku, Hanan?
“Ruanganmu sebelah mana?”
“Ruangan sebelum ujung lorong ini,” Huda menunjuk dengan telunjuknya, dan Hanan mengikuti arah itu.
“Aku boleh kesana nanti ya?”
Huda mengangguk. Lalu Hanan pamit menuju ruangan Sami. Dada Hanan berdegup keras, kilatan dimata Sami itu...
Hanan menghela nafas. Tidak, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Sami masih menyimpan Huda didalam hatinya. Tapi sesuatu yang wajar bukan? Hanan baru beberapa saat masuk kedalam dunia Sami, sementara Huda, telah bersamanya berbilang tahun. Jadi butuh waktu bagi Hanan untuk menggeser posisi Huda. Ya, ini hanya masalah waktu. Tapi, bukankah aku juga harus berusaha?
Hanan tersenyum sebelum membuka pintu Sami. Ya, ia akan berusaha. Cinta Sami akan ia perjuangkan, dan ia yakin, perjuangannya akan membuahkan hasil yang baik.
Sami sedang menelfon seseorang ketika Hanan masuk. Ia berdiri (atau duduk) bersandar pada meja besar miliknya. Melihat Hanan, Sami melambai padanya untuk mendekat. Hanan menurut.
“Yah, masalah harga bisa kita negosiasikan lah,” Sami meraih tangan Hanan dan memainkannya. Hanan memutar pandangan mengelilingi ruangan. Interiornya sangat mirip dengan di rumah. Minimalis, dengan dominasi warna putih. Ruangan itu tampak lapang dan terang. Satu pohon anthurium diujung sana menambah hiasan untuk mata. Terlepas pohon itu palsu atau tidak.
Sami tertawa, membuat kepala Hanan menoleh padanya. Mata Sami juga sedang memperhatikan Hanan. “Tentu saja! Asal Bapak cocok dengan gambar kami. Bagaimana?”
Sami menarik Hanan semakin mendekat.
“Ya..., saya tahu lah bagaimana Bapak. Ya, tenang saja. Kami yakin Bapak puas,” Sami memandang tepat kemata Hanan.
“Memang lebih bagus kalau Ibu juga ikut dilibatkan, nantinya beliau kan yang akan sering ada dirumah?”
Orang diseberang Sami mengatakan sesuatu yang membuat Sami tertawa lagi. Lalu setelah menutup percakapan dan mengucap salam, Sami meletakkan telefonnya.
“Proyek besar?” Hanan bertanya antusias.
“Begitulah,” Sami memainkan lagi jemari Hanan, kali ini dengan kedua tangannya. “Beliau pejabat penting di Kejaksaan. Mau renovasi rumah. Dan ya, seperti Tante Diah-mu itu, dia ingin aku yang menggambar sendiri. Bukan karyawanku.”
“Baguslah,” Hanan tertawa. “Sekarang, giliranku yang menemanimu begadang. Mh?”
Sami mengangguk. “Eh, bagaimana kantorku?”
“Sangat Sami sekali!”
“Kalau begitu, Sangat Hanan juga. Benar kan?”
Senyum Hanan menguncup. Tentu mereka punya selera yang sama.
“Kenapa? Kau tak suka selera kita sama?”
Hanan diam untuk beberapa saat.
“Ada apa?”
“Tidak, sebenarnya aku agak terganggu dengan kata-kata yang sering kudengar.”
“Yang mana itu?”
“Bahwa suami istri itu punya sifat yang saling melengkapi.”
“Lalu karena kita punya selera sama, kita tak bisa saling melengkapi. Begitu menurutmu?”
“Kumohon katakan, keresahanku salah.”
“Hanan... Hanan,” Sami mengacak kepala Hanan. Kali ini bukan rambut, karena Hanan memakai kerudung. “Kau perempuan, aku laki-laki. Perbedaan itu cukup untuk membuat dua orang manusia memutuskan untuk bersama. Benar kan?”
“Cukup itu saja?”
“Cukup. Aku malah lebih senang selera kita sama, aku kadang tidak tahan dengan perbedaan.” Aku dan Huda jauh berbeda, jika kata-kata Hanan benar, itukah alasannya aku begitu sulit melupakan Huda?
Hanan merenung.
“Sudahlah. Bantu aku kerja ya?”
Sami melepaskan tangan Hanan dan berjalan mengitari meja lalu duduk dikursinya. “Ambil kursi dan bantu aku periksa ini,” Sami menyodorkan sebuah map tebal pada Hanan. Hanan menerimanya dan membukanya.
“Sini duduk,” Sami berdiri dan meminta Hanan duduk dikursinya. Ia baru sadar, tak ada kursi lain selain sofa diruangan ini.
Tapi bukannya membaca isi map yang diberikan Sami, Hanan malah melihat benda-benda diatas meja Sami. Hanan bertopang dagu dengan cemberut.
“Kenapa?”
“Kalau aku lihat di sinetron, diatas meja direktur selalu ada foto.”
Sami tersentak. Dimejanya memang ada foto, tapi bukan foto Hanan, melainkan foto keluarganya. “Memangnya dimejamu ada fotoku?”
“Tentu saja,” Hanan tersenyum. “Kamu tak memperhatikannya? Foto pernikahan kita.”
“Kamu memajang foto pernikahan kita?”
Hanan mengangguk kuat. “Kenapa kau tidak?”
Sami menutup mapnya dan menyimpan di meja. Kenapa ia tidak. Karena sama sekali ia tak ingat. Tapi jangan coba bicara jujur deh.
“Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang?”
“Eh?”
Sebelum Hanan sempat mengatakan apa-apa, Sami mengambil foto Hanan. “Nah bagaimana?” Sami menunjukkan hasilnya pada Hanan.
“Jelek!” Hanan mau merebut ponsel Sami, berniat menghapusnya. Ia tidak siap saat Sami mengambil gambarnya. Tapi Sami menarik kembali tangannya menghindari sambaran tangan Hanan.
“Jangan dihapus, ini bagus. Akan kuberi judul, gadis kecil yang sedang bengong,” Sami tertawa, apalagi setelah mulut Hanan mengerucut, tawanya semakin keras. Tak menyadari sama sekali, kalau tawanya mengundang tanya dan senyum dari para karyawannya.
“Pak Sami tertawa? Sekeras itu? hah, istri berpengaruh sangat besar ya!” dan komentar-komentar itu membuat Huda kesal tanpa sebab. Tanpa sadar, tangannya meremas kertas yang tengah dipegangnya.
Sami menyuruh Hanan berdiri. Lalu setelah Sami duduk dikursinya, tanpa aba-aba, ia menarik Hanan kepangkuannya. Hanan benar-benar kaget, sampai tak bisa bereaksi ketika Sami mengambil gambar mereka berdua.
“Heh? Gadis kecil ini suka bengong ya!” Sami melihat hasilnya. Hanan masih tak bereaksi. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak karena ruang dadanya tiba-tiba berasa sempit. Ya Tuhan, aku duduk dipangkuan Sami! Apa Sami tak merasa gugup seperti dirinya?
“Hei, santai saja...,” Sami tersenyum pada Hanan. Hanan menoleh, tapi begitu menyadari bahwa wajah Sami begitu dekat, kegugupan Hanan semakin tak terkendali.
“Ayo lihat sini, lalu senyum yang lebar. Aku tak mau fotomu yang sedang bengong yang menemaniku kerja, nanti aku malah tertular bengongnya,” Sami mendekatkan kepalanya ke kepala Hanan, sementara tangan yang lain menjauhkan ponsel sejauh tangannya bisa terulur. “Senyum...” Sami mengambil gambar mereka beberapa kali. Lalu saat itu juga, Sami memprint hasilnya. Seperempat bagian kertas HVS.
“Nanti aku minta Rian memprint-nya di kertas foto. Lalu pulang dari sini, kita beli figuranya, ini untuk sementara saja,” Sami melipat kertas hasil print itu sedemikian rupa sehingga bisa berdiri. Sami menyimpannya disamping foto keluarga. “Kau senang sekarang?”
Hanan tersenyum. “Rian itu siapa?”
“Sekretarisku.”
Hanan membulatkan mulutnya, menyebut ‘oh’ panjang.
Setelah acara memotret itu selesai, Sami berniat kembali bekerja. Tapi keberadaan Hanan didekatnya, membuat konsentrasinya hilang sempurna. Bukannya menekuni layar laptopnya, Sami malah menekuni wajah Hanan yang tengah membaca isi map yang tadi diberikannya. Dan semakin melihat Hanan, Sami semakin tidak bisa bekerja.
Sejarah! Sami tak pernah seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada yang bisa mengalahkan perhatiannya dalam bekerja. Jadi, apa ini namanya?
* * *
Sore itu Sami mendapatkan kejutan dari Hanan. Sebenarnya tak bisa dibilang kejutan juga. Karena tempat yang mereka kunjungi bukan tempat istimewa. Tapi tetap saja diluar dugaan Sami. Masalahnya, bagaimana Hanan tahu Sami sangat suka tempat ini? Tebak apa! Yup! TOKO BUKU!
“Simple saja, karena aku juga suka tempat ini...,” Hanan mengedipkan mata. “Jadi kau memaafkan aku?”
Sami tertawa lebar, sebelum akhirnya ia merengkuh Hanan. “Tentu saja, asal kau yang traktir!”
“Apa? Tidak! Tabunganku bisa habis semalam!” Hanan menghindar tertawa. Tapi sebenarnya, keduanya tak peduli siapa yang membayar. Asal kerakusan mereka disini bisa tersalurkan, jadi tak akan ada orang yang mengusir mereka karena mereka berkeliling berjam-jam tanpa membeli. Jadi selama mereka bisa pulang dengan segunung buku, tak masalah. Dari siapapun uangnya.
Tapi hindaran Hanan mungkin ada benarnya, karena setiap mereka berdiri dikasir, Selalu Sami yang mengeluarkan isi dompet. Tangan Hanan selalu dipegang Sami, jadi tak ada kesempatan baginya untuk menyumbang. Hanan membiarkan saja, karena ia tahu, lelaki sangat senang jika hasil keringatnya sangat berguna bagi istrinya.
“Mau membuatkanku?” Sami memperlihatkan sebuah buku yang terbuka pada Hanan. Sebuah kue tart penuh lapisan coklat. Hanan memperhatikan dan menangguk yakin. “Bagus! Kita beli ini,” Sami memasukkan buku resep itu kedalam tas belanjaanya.
“Kau suka coklat?”
“Sangat. Kenapa?”
“Tak aneh. Aku juga suka. Sangat!” Hanan mengerjapkan matanya.
“Oh? Bagus! Pulang dari sini, kita langsung beli bahannya ya?”
“Tidak mungkin!” Hanan meringis. “Ini sudah lewat dua puluh menit dari waktu Isya,” Hanan berbisik.
Sami tersentak melihat jam tangannya. Ajaib! Bukankah ia baru melakukan shalat maghrib satu menit yang lalu? Sami melihat sekeliling. Sudah hampir sepi.
“Ayo pulang,” Sami menggamit lengan Hanan.
Mereka membayar buku mereka untuk benar-benar pulang dan benar-benar kaget dengan prilaku mereka sendiri saat meminta kembali barang-barang yang dititipkan.
“Sebanyak ini?” mata Hanan membulat, bola mata birunya hampir meloncat. Petugas itu memberikan mereka tiga kresek penuh buku. Dan itu belum semua, petugas itu masih mengeluarkan isi kotak penitipan mereka.
“Tak ada yang terlewat kan?” petugas itu bertanya. Sami dan Hanan saling bertukar pandang, memangnya mereka ingat? Harusnya kan yang bertanya ‘masih ada yang tertinggal?’ itu kan mereka.
“Maaf, soalnya kotaknya kepenuhan, jadi kami simpan di bawah. Tapi seingat saya memang segini, di kotak yang lain nggak ada lagi kresek berisi buku,” kata petugas itu menggaruk kepala. Ya sudah. Tapi Sami dan Hanan kaget juga, mereka belanja gila-gilaan, seperti mau buka toko buku saja!
“Kita ini pasangan luar biasa!” Sami berbisik ditelinga Hanan. Tampak sekali ia merasa berat dengan kantong-kantong yang dibawanya. Tapi ketika Hanan mau membantu membawanya satu kantong saja, Sami menolak keras. Oh, baiklah, Sami sedang menikmati perannya sebagai lelaki. Sebagai suami.
“Apa kau... tak merasa lapar?” tanya Sami setelah mereka masuk mobil. Ia baru ingat, mereka belum makan. Makanan terakhir yang masuk keperutnya adalah dari nasi kotak makan siang yang dibuatkan Hanan.
“Mau kubuatkan sesuatu?”
“Bagaimana kalau... nasi goreng?”
“Sami... setiap pagi kita makan nasi goreng, apa menu makan malam juga harus nasi goreng?”
“Yup, nasi goreng ayam spesial buatanmu!”
Hanan menghembuskan nafas. Paling tidak, untuk urusan nasi goreng, ia tak semaniak Sami. Well, ini perbedaan yang cukup melegakan.
“Tapi kalau kamu capek, kita makan diluar saja,” Sami memutar kemudi ke arah kiri. Untungnya jalanan seputar Dago tak pernah sepi. Jadi tak perlu merasa pulang paling malam. Tapi memang tak terlalu malam sih, ini kan baru jam delapan. “Ke Ampera?”
“Ehm..., kau lebih suka dirumah Sami?”
Sami melirik Hanan dan tersenyum. Ya, ia lebih suka di rumah. Ia bersyukur Hanan begitu mengerti.
“Cuma masak nasi goreng sih tak perlu banyak energi,” Hanan tertawa, membuat Sami lega.
“Tenang, bantuan siap datang,” balas Sami.
Setelah makan, Hanan baru punya kesempatan melihat-lihat buku yang baru mereka beli. Cuci piringnya besok saja deh!
Bukunya sudah Sami keluarkan dari kantong kresek dan dikelompokkan secara bertumpuk. Sami melakukannya ketika ia sibuk membuat nasi goreng. Ya, Sami membual soal bantuan itu. Alih-alih Sami langsung membuka kantong belanjaannya. Tapi Hanan malah senang, kalau Sami membantunya mengiris bawang lagi, proses membuat nasi goreng bukannya ekspres, tapi malah setahun lebih lama.
Novel, buku tentang bangunan yang Hanan tak mengerti, buku Sejarah yang Hanan sukai, buku tentang busana, resep, sampai buku tentang politik, sudah bertumpuk berkelompok dengan teratur. Yang terakhir, tangan Sami yang paling banyak mengambil. Meski badannya agak lelah, tapi begadang sebentar untuk menyelesaikan satu novel rasanya bisa.
“Jangan pernah berpikir untuk membaca malam ini,” Sami tahu apa yang Hanan pikirkan.
“Meski satu buku?”
Sami menggeleng. Ia duduk disofa dengan kaki diselonjorkan keatas sofa disebelahnya. Tivi menyala dihadapannya, tapi matanya menekuri satu buku. 'Bung Tomo Suamiku', Hanan membaca judulnya. Nah, egoisnya Sami muncul lagi! Orang seperti ini perlu diberi pelajaran kan?
Hanan tiba-tiba merebut buku itu, membuat Sami tersentak dan mendongak. Tangan Sami terulur untuk mengambil buku dari tangan Hanan, tapi Hanan sengaja memutar-mutar tangannya, menghindari Sami.
“Hanan...,” Sami memelas meminta bukunya kembali. Jika buku yang terlanjur dibaca belum selesai, ia tak akan bisa tidur.
Hanan cuek, ia malah membuka-buka buku tadi.
“Sepertinya, aku akan membacanya lebih dulu... Eits!” Hanan menghindari Sami yang kembali hendak merebut. Kalau Hanan membuka lembaran lebih banyak, ia akan semakin tak bisa dihentikan.
“Baiklah, ok!” Sami menyerah. “Malam ini, silahkan membaca,” Sami mengangkat kedua tangannya. “Jadi, bisa kau kembalikan buku itu?” tangan Sami terulur meminta.
“Terimakasih,” Hanan tersenyum menang. “Ini..., tapi... kubaca dulu deh!”
Nah, benar kan, kalau sudah terlanjur membaca, meski cuma alenia pertama di Kata Pengantar, Hanan tak akan bisa berhenti. Ya..., sama seperti Sami kan?
“Baik, cukup sudah main-mainnya,” Sami mendekat kepada Hanan dan berdiri dihadapannya dan mengunci pergerakan Hanan. “Berikan atau tidak?” tanya Sami tepat didepan wajah merona milik Hanan. Mata coklat Sami lekat memandang bola mata biru milik Hanan.
“Berikan atau tidak?” ulang Sami setelah Hanan menggeleng dan menyembunyikan buku itu dibelakang tubuhnya. Tangan Sami melingkari tubuh Hanan, Hanan semakin erat memegang bukunya.
“Aku cuma penasaran dengan kehidupan pahlawan ini, kau lihat gambar dibelakangnya, dia dia menggendong istrinya. Aku hanya membacanya sebentar saja, setelah itu aku ber...”
Hanan salah. Sami bukan hendak mengambil bukunya, tapi merengkuhnya. Ya, merengkuh tubuhnya. Mulut Hanan mengunci, kata-kata tak mau keluar lagi. Ia hanya terhenyak takjub dalam dekapan Sami.
“Sami...”
“Sudah kudapatkan,” kata Sami pasti. “Kamu sudah kudapatkan, kamu tak bisa menghindar lagi, Hanan. Tak akan bisa.”
“Sami...”
Tapi bisikan Hanan tak didengar Sami. Ia terus mendekap Hanan untuk beberapa lama. Allah, apakah getaran tak beraturan ini? Apakah aku mulai mencintai gadis kecil ini? Ataukah getaran ini hanya getaran seorang laki-laki saat seorang perempuan bebas berkeliaran dirumahnya? Apakah hanya itu?
Dan Sami merengkuh Hanan semakin erat...
* * *
Sebelumnya; Bagian 6
Berikutnya; Bagian 8
Ia harus berterimakasih pada Sarah. Ia menelepon Sarah tadi malam, sebelum ia merancang gaunnya, meminta masukan Sarah tentang gaun yang cocok untuk konsep yang diinginkan Luna. Sesuai dugaannya, masukan Sarah ternyata sangat berguna.
“Aku tak tahu kalau kau menelepon Sarah,” kata Sami ketika siang itu lagi-lagi ia datang. Ia bertanya tentang tanggapan Tante Diah atas gaun hasil rancangan Hanan. Dan Hanan menceritakan detailnya pada Sami.
“Aku sudah kenyang,” kata Hanan. Bukan menjawab Sami, tapi menolak suapan Sami yang keempat.
“Baru satu suap, kau sudah kenyang?”
“Tiga,” Hanan mengoreksi.
“Tiga suap kecil, sama saja dengan satu suap kan?”
Hanan tertawa, “Satu suapmu terlalu besar!”
Sami melotot.
“Aku minta maaf.”
“Untuk?”
“Acara kita yang batal.”
“Kau mengatakan maaf untuk itu sudah seribu kali. Jangan ditambah meski satu kali lagi,” Sami menggigit ‘cincin cumi renyah’-nya.
“Bagaimana kalau aku menebusnya?” Hanan mencondongkan tubuhnya kearah Sami. Dan Sami menjawab ide Hanan dengan kening berkerut. Soalnya, mulutnya sedang penuh dengan nasi.
“Sekarang, aku ikut kekantormu ya?”
“Hah?”
“Pulangnya nanti, aku akan mengajakmu kesebuah tempat. Bagaimana?”
“Kujemput saja nanti.”
“Aku tak boleh tahu kantormu?”
Sami meneguk minum. Makannya sudah selesai.
“Bukan begitu, tapi kau bisa mati karena kesal.”
“Tidak akan...,” Hanan melingkarkan tangannya di lengan Sami, marajuk. “Kalau ada Sami, pasti tak akan bosan. Ya..., kecuali kalau kau meninggalkanku meeting sampai malam.”
Sami mendesah. Sebenarnya, masalah utamanya bukan itu, Hanan. Tapi bagaimana menjelaskannya padamu...
“Tak bisa ya?” Hanan menatap Sami sedih.
“Kau begitu ingin tahu kantorku ya?”
Hanan mengangguk. Aku ingin tahu kau lebih banyak. Itulah alasannya. “Kau sering datang kemari, tapi aku tidak pernah ketempatmu. Aku ingin kenalan dengan semua teman kerjamu, nah, aku bisa memberi brosur butikku kan?”
Ide Hanan membuat Sami tertawa, tapi ia mengangguk juga. Sudahlah, masalah yang akan timbul, jika memang akan ada masalah, biarlah terjadi. Kali ini, Sami hanya ingin menganggap Hanan lebih dari sekedar teman. Itu saja.
Jadilah hari itu, Hanan pulang lebih cepat.
“Map-nya aku bawa saja, nanti biar kupelajari dirumah,” Hanan berhenti dimeja Rani sementara Sami lebih dulu melangkah keluar.
“Ya, Bu.” Rani menyerahkan map berisi arsip para pelamar yang diingankan Hanan.
“Ini yang sudah kamu seleksi kan?”
“Tentu dong, Bu. Masa saya nambahin kerjaan Ibu, gak tega. Mana pengantin baru lagi...,” Rani melirik Sami dengan ujung matanya, menggoda Hanan. “Saya senang, sekarang Ibu lebih banyak tertawa.”
“Bisa saja, memangnya dulu aku banyak marah?” Hanan memukul bahu Rani dengan ujung map. “Sudah ya, aku pulang.”
Setelah mengucap salam pada semua dan menyapa pelanggannya sebentar, Hanan menyusul Sami ketempat parkir. Sami sudah siap berangkat ketika Hanan tiba, mobilnya sudah dibibir pintu keluar parkir.
“Maaf ya.”
“Menambah karyawan?”
Mobil mulai melaju kejalanan yang agak lenggang.
“Ada penjahit yang mau keluar, sebentar lagi melahirkan, katanya mau mengurus anak saja dirumah. Tapi sekalian juga menambah, dua penjahit lumayan keteteran,” Hanan memasang sabuk pengamannya.
“Jauh tidak?”
Hanan belum pernah kekantor Sami. Hanya dengar alamatnya saja. Dan perlu tahu, Hanan buta peta. Hanan tidak mengerti, Jalan Merdeka, tempat kantor Sami berdiam itu ada dimana.
“Sepuluh menit juga nyampe,” kata Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya. Lampu kuning, dan Sami memilih berhenti daripada menerobos cepat-cepat sebelum lampunya berubah merah. Mobil dibelakang Sami membunyikan klakson, tapi Sami tak peduli. Dan sedetik kemudian, lampu itu memang berubah merah.
“Jauh juga...,” Hanan tersenyum.
“Jauh tapi senang. Kok aneh!”
“Habis, Sami mau bolak-balik dua puluh menit cuma untuk makan siang bersamaku, aku benar-benar merasa senang,” Hanan melonjak sembari duduk. Maksudnya, kalau saat itu diluar mobil, Hanan pasti sudah loncat-loncat.
Sami tersenyum. Pandangannya beralih kedepan lagi, tapi tangan kirinya terulur kesamping dan mengambil jemari Hanan untuk ia remas. Hanan memandang tangan Sami dipangkuannya, lalu ia melihat wajah Sami. Katakan padaku, kalau sikapmu ini bukan sekedar untuk membahagiakan aku, Sami...
Sami benar soal meloncat-loncat itu. Hanan memang melakukannya saat ia mengingak teras kantor Sami. Hanan memang ekspresif, Sami menggeleng tersenyum.
“Pantas saja Ibu selalu memanggilmu gadis kecil,” kata Sami.
“Apa?”
“Tidak, bukan apa-apa,” Sami lagi-lagi tersenyum.
Setiap bertemu orang yang berpapasan dengannya, mulai dari satpam, cleaning servis sampai pegawai berdasi, Hanan selalu menyapanya. Senyum lebar tak pernah lepas darinya. Dan hebohnya, Hanan selalu memperkenalkan dirinya. “Saya Hanan, istri Sami.” Hhh! Bikin malu. Tapi, mungkin malu yang menyenangkan.
Sami menggenggam tangan Hanan dan menariknya, ketika langkah Hanan terhenti pada beberapa foto yang terpajang didinding lobi lantai dua. Kebanyakan foto-foto gedung atau rumah.
“Itu foto-foto hasil kerjamu?” Hanan tercengang. Kebanyakan adalah hotel dan kantor perusahaan terkenal. “Hah, ternyata kamu hebat ya?” Hanan meninju bahu Sami.
“Bukan hasil kerjaku, hasil kerja kami.”
“Ya... sama kan?” Hanan bertanya pada dirinya sendiri. Apa beda ya?
“Tentu saja beda,” jawab Sami ketus. Tapi Hanan tersenyum.
“Sami berubah berwibawa kalau dihadapan anak buah ya?”
Sami menoleh pada Hanan. Maksudnya? Sami melontarkan kata-kata itu lewat matanya.
“Ya..., berwibawa tapi cenderung galak.”
Sami berbalik dan tanpa diduga, mencubit pipi Hanan.
“Aw!” Hanan mengusap-ngusap pipinya. Sami mencubitnya keras sekali.
“Hati-hati kalau bicara! Dasar gadis kecil!” Sami meninggalkan Hanan dan membiarkannya berlari menyusul langkah-langkah lebar Sami.
“Apa? Aku bukan gadis kecil!”
Sami sudah masuk kedalam ruangannya, sementara Hanan tertinggal beberapa jarak. Langkah Hanan tertahan oleh sesuatu. Di pertigaan koridor Hanan berpapasan dengan perempuan berambut coklat itu. Sepupu Sami, Huda. Mereka saling memandang terpaku.
“Hai,” kata Hanan. ia berhasil menguasai diri lebih cepat. Seperti biasa, senyumnya mengembang lebar.
Huda membalasnya juga dengan senyuman, tapi senyuman Huda itu senyuman anggun. “Kau baru pertama kali kemari ya?”
“Mh,” Hanan mengangguk. Apa aku tak salah, kenapa mata Huda seperti itu? terlihat sendu? Bahkan sedih? Huda memang tersenyum, tapi matanya menangis. Entah kenapa, Hanan merasa seperti itu.
“Hanan, kau nyangkut dima...,” Sami mebuka pintu dan kalimatnya terhenti ketika dilihatnya Hanan tengah bersama Huda. Sami dan Huda berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya Sami masuk kedalam ruangannya kembali. Ada satu kilatan dimata Sami yang membuat Hanan menelan ludah. Tidak, ini cuma perasaanku saja!
“Baru selesai makan siang, ya?” tanya Hanan mengalihkan perhatian. Hanan melihat kotak makan siang yang didekap Huda. Huda melihat arah pandangan Hanan sebelum kemudian ia mengangguk ragu.
Hanan tak perlu tahu kalau kotak itu adalah kotak makan siang untuk Sami yang tak dimakannya. Ya, Huda baru mengambilnya kembali, dan makanannya utuh tak tersentuh. Apakah kau sudah benar-benar mengambil dia dariku, Hanan?
“Ruanganmu sebelah mana?”
“Ruangan sebelum ujung lorong ini,” Huda menunjuk dengan telunjuknya, dan Hanan mengikuti arah itu.
“Aku boleh kesana nanti ya?”
Huda mengangguk. Lalu Hanan pamit menuju ruangan Sami. Dada Hanan berdegup keras, kilatan dimata Sami itu...
Hanan menghela nafas. Tidak, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Sami masih menyimpan Huda didalam hatinya. Tapi sesuatu yang wajar bukan? Hanan baru beberapa saat masuk kedalam dunia Sami, sementara Huda, telah bersamanya berbilang tahun. Jadi butuh waktu bagi Hanan untuk menggeser posisi Huda. Ya, ini hanya masalah waktu. Tapi, bukankah aku juga harus berusaha?
Hanan tersenyum sebelum membuka pintu Sami. Ya, ia akan berusaha. Cinta Sami akan ia perjuangkan, dan ia yakin, perjuangannya akan membuahkan hasil yang baik.
Sami sedang menelfon seseorang ketika Hanan masuk. Ia berdiri (atau duduk) bersandar pada meja besar miliknya. Melihat Hanan, Sami melambai padanya untuk mendekat. Hanan menurut.
“Yah, masalah harga bisa kita negosiasikan lah,” Sami meraih tangan Hanan dan memainkannya. Hanan memutar pandangan mengelilingi ruangan. Interiornya sangat mirip dengan di rumah. Minimalis, dengan dominasi warna putih. Ruangan itu tampak lapang dan terang. Satu pohon anthurium diujung sana menambah hiasan untuk mata. Terlepas pohon itu palsu atau tidak.
Sami tertawa, membuat kepala Hanan menoleh padanya. Mata Sami juga sedang memperhatikan Hanan. “Tentu saja! Asal Bapak cocok dengan gambar kami. Bagaimana?”
Sami menarik Hanan semakin mendekat.
“Ya..., saya tahu lah bagaimana Bapak. Ya, tenang saja. Kami yakin Bapak puas,” Sami memandang tepat kemata Hanan.
“Memang lebih bagus kalau Ibu juga ikut dilibatkan, nantinya beliau kan yang akan sering ada dirumah?”
Orang diseberang Sami mengatakan sesuatu yang membuat Sami tertawa lagi. Lalu setelah menutup percakapan dan mengucap salam, Sami meletakkan telefonnya.
“Proyek besar?” Hanan bertanya antusias.
“Begitulah,” Sami memainkan lagi jemari Hanan, kali ini dengan kedua tangannya. “Beliau pejabat penting di Kejaksaan. Mau renovasi rumah. Dan ya, seperti Tante Diah-mu itu, dia ingin aku yang menggambar sendiri. Bukan karyawanku.”
“Baguslah,” Hanan tertawa. “Sekarang, giliranku yang menemanimu begadang. Mh?”
Sami mengangguk. “Eh, bagaimana kantorku?”
“Sangat Sami sekali!”
“Kalau begitu, Sangat Hanan juga. Benar kan?”
Senyum Hanan menguncup. Tentu mereka punya selera yang sama.
“Kenapa? Kau tak suka selera kita sama?”
Hanan diam untuk beberapa saat.
“Ada apa?”
“Tidak, sebenarnya aku agak terganggu dengan kata-kata yang sering kudengar.”
“Yang mana itu?”
“Bahwa suami istri itu punya sifat yang saling melengkapi.”
“Lalu karena kita punya selera sama, kita tak bisa saling melengkapi. Begitu menurutmu?”
“Kumohon katakan, keresahanku salah.”
“Hanan... Hanan,” Sami mengacak kepala Hanan. Kali ini bukan rambut, karena Hanan memakai kerudung. “Kau perempuan, aku laki-laki. Perbedaan itu cukup untuk membuat dua orang manusia memutuskan untuk bersama. Benar kan?”
“Cukup itu saja?”
“Cukup. Aku malah lebih senang selera kita sama, aku kadang tidak tahan dengan perbedaan.” Aku dan Huda jauh berbeda, jika kata-kata Hanan benar, itukah alasannya aku begitu sulit melupakan Huda?
Hanan merenung.
“Sudahlah. Bantu aku kerja ya?”
Sami melepaskan tangan Hanan dan berjalan mengitari meja lalu duduk dikursinya. “Ambil kursi dan bantu aku periksa ini,” Sami menyodorkan sebuah map tebal pada Hanan. Hanan menerimanya dan membukanya.
“Sini duduk,” Sami berdiri dan meminta Hanan duduk dikursinya. Ia baru sadar, tak ada kursi lain selain sofa diruangan ini.
Tapi bukannya membaca isi map yang diberikan Sami, Hanan malah melihat benda-benda diatas meja Sami. Hanan bertopang dagu dengan cemberut.
“Kenapa?”
“Kalau aku lihat di sinetron, diatas meja direktur selalu ada foto.”
Sami tersentak. Dimejanya memang ada foto, tapi bukan foto Hanan, melainkan foto keluarganya. “Memangnya dimejamu ada fotoku?”
“Tentu saja,” Hanan tersenyum. “Kamu tak memperhatikannya? Foto pernikahan kita.”
“Kamu memajang foto pernikahan kita?”
Hanan mengangguk kuat. “Kenapa kau tidak?”
Sami menutup mapnya dan menyimpan di meja. Kenapa ia tidak. Karena sama sekali ia tak ingat. Tapi jangan coba bicara jujur deh.
“Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang?”
“Eh?”
Sebelum Hanan sempat mengatakan apa-apa, Sami mengambil foto Hanan. “Nah bagaimana?” Sami menunjukkan hasilnya pada Hanan.
“Jelek!” Hanan mau merebut ponsel Sami, berniat menghapusnya. Ia tidak siap saat Sami mengambil gambarnya. Tapi Sami menarik kembali tangannya menghindari sambaran tangan Hanan.
“Jangan dihapus, ini bagus. Akan kuberi judul, gadis kecil yang sedang bengong,” Sami tertawa, apalagi setelah mulut Hanan mengerucut, tawanya semakin keras. Tak menyadari sama sekali, kalau tawanya mengundang tanya dan senyum dari para karyawannya.
“Pak Sami tertawa? Sekeras itu? hah, istri berpengaruh sangat besar ya!” dan komentar-komentar itu membuat Huda kesal tanpa sebab. Tanpa sadar, tangannya meremas kertas yang tengah dipegangnya.
Sami menyuruh Hanan berdiri. Lalu setelah Sami duduk dikursinya, tanpa aba-aba, ia menarik Hanan kepangkuannya. Hanan benar-benar kaget, sampai tak bisa bereaksi ketika Sami mengambil gambar mereka berdua.
“Heh? Gadis kecil ini suka bengong ya!” Sami melihat hasilnya. Hanan masih tak bereaksi. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak karena ruang dadanya tiba-tiba berasa sempit. Ya Tuhan, aku duduk dipangkuan Sami! Apa Sami tak merasa gugup seperti dirinya?
“Hei, santai saja...,” Sami tersenyum pada Hanan. Hanan menoleh, tapi begitu menyadari bahwa wajah Sami begitu dekat, kegugupan Hanan semakin tak terkendali.
“Ayo lihat sini, lalu senyum yang lebar. Aku tak mau fotomu yang sedang bengong yang menemaniku kerja, nanti aku malah tertular bengongnya,” Sami mendekatkan kepalanya ke kepala Hanan, sementara tangan yang lain menjauhkan ponsel sejauh tangannya bisa terulur. “Senyum...” Sami mengambil gambar mereka beberapa kali. Lalu saat itu juga, Sami memprint hasilnya. Seperempat bagian kertas HVS.
“Nanti aku minta Rian memprint-nya di kertas foto. Lalu pulang dari sini, kita beli figuranya, ini untuk sementara saja,” Sami melipat kertas hasil print itu sedemikian rupa sehingga bisa berdiri. Sami menyimpannya disamping foto keluarga. “Kau senang sekarang?”
Hanan tersenyum. “Rian itu siapa?”
“Sekretarisku.”
Hanan membulatkan mulutnya, menyebut ‘oh’ panjang.
Setelah acara memotret itu selesai, Sami berniat kembali bekerja. Tapi keberadaan Hanan didekatnya, membuat konsentrasinya hilang sempurna. Bukannya menekuni layar laptopnya, Sami malah menekuni wajah Hanan yang tengah membaca isi map yang tadi diberikannya. Dan semakin melihat Hanan, Sami semakin tidak bisa bekerja.
Sejarah! Sami tak pernah seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada yang bisa mengalahkan perhatiannya dalam bekerja. Jadi, apa ini namanya?
* * *
Sore itu Sami mendapatkan kejutan dari Hanan. Sebenarnya tak bisa dibilang kejutan juga. Karena tempat yang mereka kunjungi bukan tempat istimewa. Tapi tetap saja diluar dugaan Sami. Masalahnya, bagaimana Hanan tahu Sami sangat suka tempat ini? Tebak apa! Yup! TOKO BUKU!
“Simple saja, karena aku juga suka tempat ini...,” Hanan mengedipkan mata. “Jadi kau memaafkan aku?”
Sami tertawa lebar, sebelum akhirnya ia merengkuh Hanan. “Tentu saja, asal kau yang traktir!”
“Apa? Tidak! Tabunganku bisa habis semalam!” Hanan menghindar tertawa. Tapi sebenarnya, keduanya tak peduli siapa yang membayar. Asal kerakusan mereka disini bisa tersalurkan, jadi tak akan ada orang yang mengusir mereka karena mereka berkeliling berjam-jam tanpa membeli. Jadi selama mereka bisa pulang dengan segunung buku, tak masalah. Dari siapapun uangnya.
Tapi hindaran Hanan mungkin ada benarnya, karena setiap mereka berdiri dikasir, Selalu Sami yang mengeluarkan isi dompet. Tangan Hanan selalu dipegang Sami, jadi tak ada kesempatan baginya untuk menyumbang. Hanan membiarkan saja, karena ia tahu, lelaki sangat senang jika hasil keringatnya sangat berguna bagi istrinya.
“Mau membuatkanku?” Sami memperlihatkan sebuah buku yang terbuka pada Hanan. Sebuah kue tart penuh lapisan coklat. Hanan memperhatikan dan menangguk yakin. “Bagus! Kita beli ini,” Sami memasukkan buku resep itu kedalam tas belanjaanya.
“Kau suka coklat?”
“Sangat. Kenapa?”
“Tak aneh. Aku juga suka. Sangat!” Hanan mengerjapkan matanya.
“Oh? Bagus! Pulang dari sini, kita langsung beli bahannya ya?”
“Tidak mungkin!” Hanan meringis. “Ini sudah lewat dua puluh menit dari waktu Isya,” Hanan berbisik.
Sami tersentak melihat jam tangannya. Ajaib! Bukankah ia baru melakukan shalat maghrib satu menit yang lalu? Sami melihat sekeliling. Sudah hampir sepi.
“Ayo pulang,” Sami menggamit lengan Hanan.
Mereka membayar buku mereka untuk benar-benar pulang dan benar-benar kaget dengan prilaku mereka sendiri saat meminta kembali barang-barang yang dititipkan.
“Sebanyak ini?” mata Hanan membulat, bola mata birunya hampir meloncat. Petugas itu memberikan mereka tiga kresek penuh buku. Dan itu belum semua, petugas itu masih mengeluarkan isi kotak penitipan mereka.
“Tak ada yang terlewat kan?” petugas itu bertanya. Sami dan Hanan saling bertukar pandang, memangnya mereka ingat? Harusnya kan yang bertanya ‘masih ada yang tertinggal?’ itu kan mereka.
“Maaf, soalnya kotaknya kepenuhan, jadi kami simpan di bawah. Tapi seingat saya memang segini, di kotak yang lain nggak ada lagi kresek berisi buku,” kata petugas itu menggaruk kepala. Ya sudah. Tapi Sami dan Hanan kaget juga, mereka belanja gila-gilaan, seperti mau buka toko buku saja!
“Kita ini pasangan luar biasa!” Sami berbisik ditelinga Hanan. Tampak sekali ia merasa berat dengan kantong-kantong yang dibawanya. Tapi ketika Hanan mau membantu membawanya satu kantong saja, Sami menolak keras. Oh, baiklah, Sami sedang menikmati perannya sebagai lelaki. Sebagai suami.
“Apa kau... tak merasa lapar?” tanya Sami setelah mereka masuk mobil. Ia baru ingat, mereka belum makan. Makanan terakhir yang masuk keperutnya adalah dari nasi kotak makan siang yang dibuatkan Hanan.
“Mau kubuatkan sesuatu?”
“Bagaimana kalau... nasi goreng?”
“Sami... setiap pagi kita makan nasi goreng, apa menu makan malam juga harus nasi goreng?”
“Yup, nasi goreng ayam spesial buatanmu!”
Hanan menghembuskan nafas. Paling tidak, untuk urusan nasi goreng, ia tak semaniak Sami. Well, ini perbedaan yang cukup melegakan.
“Tapi kalau kamu capek, kita makan diluar saja,” Sami memutar kemudi ke arah kiri. Untungnya jalanan seputar Dago tak pernah sepi. Jadi tak perlu merasa pulang paling malam. Tapi memang tak terlalu malam sih, ini kan baru jam delapan. “Ke Ampera?”
“Ehm..., kau lebih suka dirumah Sami?”
Sami melirik Hanan dan tersenyum. Ya, ia lebih suka di rumah. Ia bersyukur Hanan begitu mengerti.
“Cuma masak nasi goreng sih tak perlu banyak energi,” Hanan tertawa, membuat Sami lega.
“Tenang, bantuan siap datang,” balas Sami.
Setelah makan, Hanan baru punya kesempatan melihat-lihat buku yang baru mereka beli. Cuci piringnya besok saja deh!
Bukunya sudah Sami keluarkan dari kantong kresek dan dikelompokkan secara bertumpuk. Sami melakukannya ketika ia sibuk membuat nasi goreng. Ya, Sami membual soal bantuan itu. Alih-alih Sami langsung membuka kantong belanjaannya. Tapi Hanan malah senang, kalau Sami membantunya mengiris bawang lagi, proses membuat nasi goreng bukannya ekspres, tapi malah setahun lebih lama.
Novel, buku tentang bangunan yang Hanan tak mengerti, buku Sejarah yang Hanan sukai, buku tentang busana, resep, sampai buku tentang politik, sudah bertumpuk berkelompok dengan teratur. Yang terakhir, tangan Sami yang paling banyak mengambil. Meski badannya agak lelah, tapi begadang sebentar untuk menyelesaikan satu novel rasanya bisa.
“Jangan pernah berpikir untuk membaca malam ini,” Sami tahu apa yang Hanan pikirkan.
“Meski satu buku?”
Sami menggeleng. Ia duduk disofa dengan kaki diselonjorkan keatas sofa disebelahnya. Tivi menyala dihadapannya, tapi matanya menekuri satu buku. 'Bung Tomo Suamiku', Hanan membaca judulnya. Nah, egoisnya Sami muncul lagi! Orang seperti ini perlu diberi pelajaran kan?
Hanan tiba-tiba merebut buku itu, membuat Sami tersentak dan mendongak. Tangan Sami terulur untuk mengambil buku dari tangan Hanan, tapi Hanan sengaja memutar-mutar tangannya, menghindari Sami.
“Hanan...,” Sami memelas meminta bukunya kembali. Jika buku yang terlanjur dibaca belum selesai, ia tak akan bisa tidur.
Hanan cuek, ia malah membuka-buka buku tadi.
“Sepertinya, aku akan membacanya lebih dulu... Eits!” Hanan menghindari Sami yang kembali hendak merebut. Kalau Hanan membuka lembaran lebih banyak, ia akan semakin tak bisa dihentikan.
“Baiklah, ok!” Sami menyerah. “Malam ini, silahkan membaca,” Sami mengangkat kedua tangannya. “Jadi, bisa kau kembalikan buku itu?” tangan Sami terulur meminta.
“Terimakasih,” Hanan tersenyum menang. “Ini..., tapi... kubaca dulu deh!”
Nah, benar kan, kalau sudah terlanjur membaca, meski cuma alenia pertama di Kata Pengantar, Hanan tak akan bisa berhenti. Ya..., sama seperti Sami kan?
“Baik, cukup sudah main-mainnya,” Sami mendekat kepada Hanan dan berdiri dihadapannya dan mengunci pergerakan Hanan. “Berikan atau tidak?” tanya Sami tepat didepan wajah merona milik Hanan. Mata coklat Sami lekat memandang bola mata biru milik Hanan.
“Berikan atau tidak?” ulang Sami setelah Hanan menggeleng dan menyembunyikan buku itu dibelakang tubuhnya. Tangan Sami melingkari tubuh Hanan, Hanan semakin erat memegang bukunya.
“Aku cuma penasaran dengan kehidupan pahlawan ini, kau lihat gambar dibelakangnya, dia dia menggendong istrinya. Aku hanya membacanya sebentar saja, setelah itu aku ber...”
Hanan salah. Sami bukan hendak mengambil bukunya, tapi merengkuhnya. Ya, merengkuh tubuhnya. Mulut Hanan mengunci, kata-kata tak mau keluar lagi. Ia hanya terhenyak takjub dalam dekapan Sami.
“Sami...”
“Sudah kudapatkan,” kata Sami pasti. “Kamu sudah kudapatkan, kamu tak bisa menghindar lagi, Hanan. Tak akan bisa.”
“Sami...”
Tapi bisikan Hanan tak didengar Sami. Ia terus mendekap Hanan untuk beberapa lama. Allah, apakah getaran tak beraturan ini? Apakah aku mulai mencintai gadis kecil ini? Ataukah getaran ini hanya getaran seorang laki-laki saat seorang perempuan bebas berkeliaran dirumahnya? Apakah hanya itu?
Dan Sami merengkuh Hanan semakin erat...
* * *
Sebelumnya; Bagian 6
Berikutnya; Bagian 8
Jumat, 20 November 2015
Kevin (Say No To LGBT!)
Kevin? Ah, jangan berkerut kening begitu… Kevin disini bukan orang terkenal macam Kevin Aprilio, Kevin Julio, atau Kevin-Kevin yang lain (lagian, mana saya kenal sama mereka). Kevin cuma nama tokoh dalam novel terbaru saya. Masih ingat kan? Saya sedang menulis Novel tentang LGBT yang bikin saya menahan mual.
Kevin adalah tokoh utamanya. Seorang cowok ganteng dengan latar belakang disakiti Ibu, tumbuh di lingkungan para lelaki yang tanpa sadar membuatnya mencintai lelaki lain.
Jujur saja, ada pergolakan dalam batin saya, banyak pergolakan, ketika kata demi kata saya tuliskan tentang dia. Ada keinginan kuat untuk berhenti dan mencerca, ada keinginan untuk membuat tokoh Kevin demikian menyebalkan hingga membuat semua orang yang membaca akan benci pada pelaku homoseks.
Tapi pada sisi lain, saya juga ingin menampakan sisi manusiawi seorang Kevin, seorang pelaku pengimpangan seksual. Saya ingin menyelami dirinya, membaca apa yang dia pikirkan, juga menerka apa yang dia rasakan.
Saya memilih opsi kedua. Saya kira, memahami sosok Kevin membuat kita bisa menyayangi mereka bukan dengan menghakimi, tetapi rasa sayang yang membuat kita menaruh kasihan, lantas mengulurkan tangan. Harapan yang saya sematkan pada tokoh perempuan, Vera.
Pilihan yang saya ambil cukup sulit, tapi juga tantangan yang memacu adrenalin. Saya banyak berhenti ketika menulis. Berpikir, bagaimana cara pelaku penyimpangan mencintai? Bagaimana mereka memandang cinta itu sendiri? Bagaimana juga mereka memandang diri mereka ssndiri yang berbeda dari lingkungan?
Selebihnya, pertanyaan menjadi lebih mendetail dan rumit. Kerumitan yang, jika saya tak punya tujuan besar untuk menulis, akan membuat saya jatuh putus asa dan memilih berhenti. Kerumitan itu diantaranya, bagaimana pelaku homoseks berbicara? Jujur, atau manipulatif? Bagaimana intonasinya? Bagaimana cara dia memandang sebuah masalah? Bagaimana cara dia memilih pakaian? Memilih warna? Berjalan? Makan? Minum kopi? Cara dia duduk? ETC.
Oh Tuhan… sepertinya saya menenggelamkan diri saya dalam kemuskilan tak berujung… haha…
Baiklah, akhirnya… simak saja nanti novelnya ya… in sya Allah, tak lebih dari sebulan akan saya selesaikan. Mohon doa, semoga Allah memberi saya kemudahan… aamiin…
Kevin adalah tokoh utamanya. Seorang cowok ganteng dengan latar belakang disakiti Ibu, tumbuh di lingkungan para lelaki yang tanpa sadar membuatnya mencintai lelaki lain.
Jujur saja, ada pergolakan dalam batin saya, banyak pergolakan, ketika kata demi kata saya tuliskan tentang dia. Ada keinginan kuat untuk berhenti dan mencerca, ada keinginan untuk membuat tokoh Kevin demikian menyebalkan hingga membuat semua orang yang membaca akan benci pada pelaku homoseks.
Tapi pada sisi lain, saya juga ingin menampakan sisi manusiawi seorang Kevin, seorang pelaku pengimpangan seksual. Saya ingin menyelami dirinya, membaca apa yang dia pikirkan, juga menerka apa yang dia rasakan.
Saya memilih opsi kedua. Saya kira, memahami sosok Kevin membuat kita bisa menyayangi mereka bukan dengan menghakimi, tetapi rasa sayang yang membuat kita menaruh kasihan, lantas mengulurkan tangan. Harapan yang saya sematkan pada tokoh perempuan, Vera.
Pilihan yang saya ambil cukup sulit, tapi juga tantangan yang memacu adrenalin. Saya banyak berhenti ketika menulis. Berpikir, bagaimana cara pelaku penyimpangan mencintai? Bagaimana mereka memandang cinta itu sendiri? Bagaimana juga mereka memandang diri mereka ssndiri yang berbeda dari lingkungan?
Selebihnya, pertanyaan menjadi lebih mendetail dan rumit. Kerumitan yang, jika saya tak punya tujuan besar untuk menulis, akan membuat saya jatuh putus asa dan memilih berhenti. Kerumitan itu diantaranya, bagaimana pelaku homoseks berbicara? Jujur, atau manipulatif? Bagaimana intonasinya? Bagaimana cara dia memandang sebuah masalah? Bagaimana cara dia memilih pakaian? Memilih warna? Berjalan? Makan? Minum kopi? Cara dia duduk? ETC.
Oh Tuhan… sepertinya saya menenggelamkan diri saya dalam kemuskilan tak berujung… haha…
Baiklah, akhirnya… simak saja nanti novelnya ya… in sya Allah, tak lebih dari sebulan akan saya selesaikan. Mohon doa, semoga Allah memberi saya kemudahan… aamiin…
Rabu, 18 November 2015
Say No to LGBT!
Hadeeuuhhh... Ngeri banget deh baca yang beginian. Ceritanya kan saya lagi cari literatur dan segala macam artikel untuk bahan novel terbaru saya. Lah, saya malah terdampar pada kubangan lumpur menjijikkan dan bikin mual!
Masa nih ya, ada suami istri transgender (si suami dulunya cewek, si istri dulunya cowok), terus karena kepengen punya baby, si suami yang merasa sayang untuk buang rahim saat operasi trans, akhirnya memutuskan buat hamil! Di fotonya ya, diperlihatkan, si suami yang brewokan dengan dada rata tapi perut besar, diusap-usap tuh perutnya sama si istri. Hueekk! Bikin muntah nggak tuh!
Gila ya! Mereka nggak mikir tuh, kalau peran mereka dalam keluarga jadi ambigu. Siapa Daddy, siapa Mommy. Oowwhh... Dunia memang sudah kacau beliau!
Parahnya ya… ternyata… (hiiyy... merinding saya nulisnya juga) realitas seperti itu ada disekitar kita!
Ada dua cewek nih, duduk berdua dengan mesra sambil ngebaso. Yang satu cewek banget, satunya berkedok cowok dengan rambut cepak.
Ada lagi nih, saat nunggu angkot ngetem di terminal, saya juga lihat cewek-cewek gandengan mesra banget! Oh My God!
Lagi nih, lagi! Pas belanja ke mini market karena haus banget, lewat lorong sambil larak-lirik cari tempat minum, saya temukan fenomena itu. Dua cowok pelayan mini market lagi bisik-bisik dan senyum-senyum malu-malu, juga… pegangan tangan!
Guys! Yang cerita paling atas tuh, itu di negeri antah berantah di luar sono. Nah yang selanjutnya, itu di negara kita! Kagak jauh-jauh Bro Sist, itu di Bandung! Di dekat kita sendiri!
Itu yang baru kelihatan sama sepasang mata saya (dua pasang ding, sama mata suami), lah gimana dengan yang tersembunyi, yang nggak kelihatan, yang nggak ditemukan? Soalnya kan saya jarang bepergian, paling sekali dua dalam seminggu. Nah, gimana kalau saya perginya tiap hari ya?
Oh Allah... Astaghfirullah...
(Bersambung…)
Masa nih ya, ada suami istri transgender (si suami dulunya cewek, si istri dulunya cowok), terus karena kepengen punya baby, si suami yang merasa sayang untuk buang rahim saat operasi trans, akhirnya memutuskan buat hamil! Di fotonya ya, diperlihatkan, si suami yang brewokan dengan dada rata tapi perut besar, diusap-usap tuh perutnya sama si istri. Hueekk! Bikin muntah nggak tuh!
Gila ya! Mereka nggak mikir tuh, kalau peran mereka dalam keluarga jadi ambigu. Siapa Daddy, siapa Mommy. Oowwhh... Dunia memang sudah kacau beliau!
Parahnya ya… ternyata… (hiiyy... merinding saya nulisnya juga) realitas seperti itu ada disekitar kita!
Ada dua cewek nih, duduk berdua dengan mesra sambil ngebaso. Yang satu cewek banget, satunya berkedok cowok dengan rambut cepak.
Ada lagi nih, saat nunggu angkot ngetem di terminal, saya juga lihat cewek-cewek gandengan mesra banget! Oh My God!
Lagi nih, lagi! Pas belanja ke mini market karena haus banget, lewat lorong sambil larak-lirik cari tempat minum, saya temukan fenomena itu. Dua cowok pelayan mini market lagi bisik-bisik dan senyum-senyum malu-malu, juga… pegangan tangan!
Guys! Yang cerita paling atas tuh, itu di negeri antah berantah di luar sono. Nah yang selanjutnya, itu di negara kita! Kagak jauh-jauh Bro Sist, itu di Bandung! Di dekat kita sendiri!
Itu yang baru kelihatan sama sepasang mata saya (dua pasang ding, sama mata suami), lah gimana dengan yang tersembunyi, yang nggak kelihatan, yang nggak ditemukan? Soalnya kan saya jarang bepergian, paling sekali dua dalam seminggu. Nah, gimana kalau saya perginya tiap hari ya?
Oh Allah... Astaghfirullah...
(Bersambung…)
Selasa, 17 November 2015
Tentang Kaa
"Rindui aku Za..., sebab setelah ini, aku hanya akan hidup dalam kenanganmu..." kau usap air matamu dengan ujung kerudung sutramu.
* * *
Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.
Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.
“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.
Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.
“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.
Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.
“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”
“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”
Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.
Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.
Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.
Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.
Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?
Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.
Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?
Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.
Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.
Kau datang Kaa? Kau datangkah?
Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.
KAA...
)* uzlah : meyendiri
Minggu, 15 November 2015
Jeda
Selesai lagi sebuah novel sekuel. Lega, senang, happy, luar biasa, amazing, wow!
Tapi setiap menuliskan kata 'selesai' pada ujung novel, pikiran saya kadang selalu tertahan disana. Butuh waktu sehari dua hari untuk kembali move on.
Pikiran saya masih terpenjara pada cerita yang baru saya selesaikan. Kenapa ya?
Sekarang, saat jeda, saya sedang mengumpulkan bahan dan tema untuk tulisan baru saya. Kali ini tentang seorang homosexual. Lumayan menantang, tapi sekaligus bikin saya ngeri.
Hhhh... Bismillaah...
Tapi setiap menuliskan kata 'selesai' pada ujung novel, pikiran saya kadang selalu tertahan disana. Butuh waktu sehari dua hari untuk kembali move on.
Pikiran saya masih terpenjara pada cerita yang baru saya selesaikan. Kenapa ya?
Sekarang, saat jeda, saya sedang mengumpulkan bahan dan tema untuk tulisan baru saya. Kali ini tentang seorang homosexual. Lumayan menantang, tapi sekaligus bikin saya ngeri.
Hhhh... Bismillaah...
Sabtu, 07 November 2015
Mozaik Cinta (Bagian VI)
Lampu kamar Hanan masih menyala. Bukan itu saja, pintu gesernya juga terbuka lebar, dan gordennya apalagi, masih terkumpul disatu sisi. Ia tengah menekuni sesuatu di meja kerjanya. Wajahya tertunduk, dan pensil (atau bulpoint?) yang tengah digenggamnya bergerak-gerak lincah. Rambutnya digulung keatas, beberapa lembar terjatuh dikening juga lehernya. Sami bisa melihatnya, sebab Hanan sesekali mengangkat wajah dan mengganti pensilnya. Bajunya hanya kaus pendek ketat. Tanpa baju hangat. Dengan jendela terbuka seperti itu, memangnya dia tidak dingin?
Sami bersidekap dada memperhatikan Hanan dari ruang tengah. Apa yang tengah dikerjakan Hanan? Apa pesanan design Tante Diah itu? Tapi selarut ini? Sami melihat jam dinding. 11.40. Ini bukan hampir tengah malam lagi, tapi memang tengah malam.
Sami melangkah menuju pintu, tapi ragu sejenak. Kalau lewat pintu, ia harus mengetuk dahulu, lalu menunggu Hanan menyuruhnya masuk. Itu kalau Hanan tak mengunci pintunya, tapi kalau Hanan menguncinya, ia harus menunggu Hanan membuka pintu. Terlalu mengganggu kan? Lagipula, terlalu formil bagi seorang suami memasuki kamar istrinya dengan terlebih dahulu mengetuk pintu. Tapi jika ia tak mengetuk? Ah.
Sami akhirnya memilih jalan yang lebih mudah. Ia membuka pintu kaca diruang tengah menuju taman, lalu memakai sandal dan berjalan menuju pintu kaca dikamar Hanan yang juga menghadap taman. Dua pintu kaca yang memungkinkannya melihat Hanan dari sejak ia membuka pintu kamarnya.
Demi mendengar suara langkah, Hanan mengangkat wajah dan menoleh pada Sami. “Eh, belum tidur?” tanya Hanan kaget.
“Pertanyaan itu seharusnya aku tujukan buat kamu kan?” Sami membuka sandal dan naik keteras lalu berjalan mendekati Hanan. “Baju pengantin pesanan Tante Diah itu?” Sami melihat pekerjaan Hanan, tanpa menyadari, kalau Hanan masih belum sadar dari rasa kagetnya.
Sami masuk kamarku?
“Bukannya, untuk satu design, kau biasanya menyelesaikan cepat?” pertanyaan Sami menyadarkan keterkejutan Hanan.
“Masalahnya, butikku bukan bridal, lagipula, aku tak membuat satu design saja. Biar Luna bisa memilih.
“Yah, besok ya?” Sami mengeluh, mengingatkan Hanan akan sesuatu.
“Eh, ke pantai itu bukan besok kan?” tanya Hanan ragu. Jelas sekali ditelinganya, Sami mengajaknya ke pantai besok. “Ah, Sami, maafkan aku..., aku benar-benar...”
Melihat Sami yang diam saja sembari menunduk memperhatikan gambar Hanan, Hanan mulai ketakutan. Apa Sami akan marah? Apa moodnya berubah sekarang?
“Apa aku perlu menggagalkan pertemuanku dengan Tante Diah dan Luna?”
“Kenapa?” Sami melihat Hanan. Air mukanya belum berubah.
“Karena besok kita ada rencana kan?” tanya Hanan hati-hati.
“Seharusnya kau menyadari itu ketika kau membuat janji, bukan sekarang.”
Hanan mengerut. Ia tak tahu apa yang harus diucapkannya.
“Bercanda,” Sami mengacak rambut Hanan. Membuat Hanan terpana. Sami yang egois dan warkaholic bisa mengacak rambutnya?
“Masih lama? Mau kubuatkan kopi?”
Tawaran Sami membuat Hanan mengerjap. “Tak merepotkan?”
“Bilang saja ‘iya’,” Sami mengacak rambut Hanan untuk kedua kalinya. “Sebentar ya,” Sami menjauh darinya, kini melewati pintu kamar.
Hanan terus melihat Sami dari tempat duduknya, Sami yang berjalan melewati ruang tengah, Sami yang berdiri di pantry dan membuat kopi. Saat menyendok gula, tanpa Hanan duga sama sekali, Sami melihat kearahnya, membuat Hanan tersentak dan menunduk lagi, menekuni kertasnya kembali.
Melihat Hanan yang malu karena kepergok tengah memperhatikannya, Sami tersenyum. Nah, dari jauh saja, bisa kelihatan kalau wajahnya yang malu seperti itu sangat manis. Hanan benar-benar girly, cewek banget. Kok berbeda dengan Huda ya? Gerakan tangan Sami tiba-tiba berhenti. Huda lagi? Kenapa ia memikirkan Huda? Sami menggerutu. Kapan ya wajah Huda bisa benar-benar keluar dari pikirannya?
“Minum dulu,” Sami membawa dua cangkir kopi. Kepulan asap yang membawa harum kopi di penciuman Hanan, serta merta membuatnya melepaskan pensil dan memutar kursinya menghadap Sami, dengan senyum sumringah menghias wajahnya.
“Harumnya...,” Hanan memejamkan mata dan menghirup wangi kopi yang menggugah seleranya. Karena Hanan hanya melihat pada cangkir kopi yang dibawa Sami, Hanan sama sekali tak menyadari kalau wajah Sami berubah tegang.
Sami menyimpan cangkir dimeja, agak jauh dari kertas-kertas Hanan karena khawatir kertas itu menjadi kotor. Hanan mengambil cangkir itu dan meminumnya sedikit.
“Ugh! Masih panas!” Hanan mengibas-ngibaskan tangannya didepan mulut. “Tentu saja, bodoh ya aku ini?” Hanan tertawa dan mengalihkan pandangannya pada Sami. Tapi demi dilihatnya wajah Sami yang tegang, tawa Hanan berhenti seketika.
“Kenapa?” tanya Hanan hati-hati.
“Ah, tidak,” Sami menjawab dengan senyum dibuat-buat, menutupi kepanikannya.
“Ada yang salah denganku ya?” Hanan meraba rambutnya. Tak ada sesuatu. Sami sudah terbiasa melihat rambutnya. Tangan Hanan turun kewajah dan mengusap-usapnya. Lalu matanya menunduk melihat bagian tubuhnya yang lain. “Oh, Ya Tuhan!” Hanan memekik. Kini kepanikan Sami beralih padanya. Ya, ya. Hanan baru sadar, kalau ia tengah mengenakan kaos agak ketat, dan celana pendek. Ya, celana pendek!
Hanan berdiri seketika, dan hendak berlari membuka lemarinya dan meraih apapun yang bisa menutupi pahanya. Tapi tangan Sami memegang tangan Hanan.
“Sudahlah, tak apa kan?”
“Ehm..., maaf. Tapi tadi aku gerah, jadinya...”
“Kelihatan.”
“Hah?”
“Ya, kamu buka pintu lebar gini, tengah malam pula, apalagi kalau bukan karena panas?”
“Oh.”
“Padahal udara sedang dingin begini.. Tapi langitnya cerah. Purnama pula,” Sami melihat langit dari ambang pintu kaca. “Mau rehat sebentar?” Sami menoleh pada Hanan yang masih berdiri kaku ditempat tadi Sami menahan langkahnya. “Sini duduk,” Sami memindahkan dua cangkir kopi ke bawah dan duduk diambang pintu menghadap taman. “Sini,” Sami menoleh lagi dan mengulang perintahnya.
Hanan menurut. Ia melangkah pelan dan duduk disamping Sami, agak jauh, sampai Sami tersenyum dibuatnya.
“Hei! Kau takut padaku?”
“Eh, tidak! Kenapa harus takut?” Hanan tergagap.
“Kalau begitu kenapa duduk jauh-jauh?”
Hanan senyum terpaksa. Masalahnya, ia memakai celana pendek, dan tentu saja, akan semakin menyusut kalau ia dalam keadaan duduk. Jadi ia agak menjaga jarak.
Melihat Hanan tak bergerak, akhirnya Sami yang mengambil inisiatif menggeser duduk dan mendekat ke Hanan. Sekilas, Sami melihat kaki Hanan yang putih. Kaki yang belum pernah tersentuh sinar matahari. Kaki yang perawan dari pandangan lelaki manapun. Dirinya, orang pertama yang melihat kaki itu. Dan jantung Sami berdetak tak berirama. Atau berirama, tapi iramanya kacau sekali. Menghentak tak jelas. Berdebum keras.
Beberapa saat mereka terdiam, sebelum akhirnya Sami mengulurkan tangannya. Hanan melihat wajah Sami yang tersenyum, lalu melihat tangan Sami yang terkepal kecuali bagian kelingking yang ia biarkan terjulur.
“Mau memaafkan aku?” tanya Sami pelan. Hanan melihat wajah Sami lalu melihat kelingking lagi. Tak ada reaksi.
“Pasti dosaku sangat besar ya...,” Sami menarik tangannya lagi dengan kecewa. Ia pikir, Hanan tak akan seperti dirinya dulu. Tapi mungkin memang seperti yang ia katakan, kesalahannya yang begitu besar, sampai jauh didalam hati Hanan, kebencian pada dirinya tumbuh sempurna.
“Eh, bukan begitu,” kata Hanan tiba-tiba. Tangan kirinya, mengambil tangan kanan Sami, lalu menautkan jari kelingkingnya yang kecil, pada jari kelingking Sami. Sami memandangnya terpaku. “Ini tanda perdamaian kita,” Hanan tertawa pelan, dan matanya menyipit. Ini mimik wajah Hanan kedua yang Sami sukai. Matanya tertarik kesamping jika ia tertawa. Meski mata birunya tersembunyi, Hanan tetap manis.
Sami juga tersenyum lebar. Hanan memaafkannya.
“Meski aku sudah mengabaikanmu selama ini?”
Hanan mengangguk.
“Meski aku suka ketus padamu?”
Hanan mengangguk.
“Meski aku suka marah?”
“Juga pelit, kasar, egois....,” Hanan melanjutkan, tapi wajahnya masih sesumringah tadi. “Asalkan itu cuma masa lalu.”
Kelingking mereka masih bertaut untuk beberapa saat, mata mereka saling pandang dan senyum mereka saling bertukar.
“Terimakasih,” kata Sami.
“Aku juga mau minta maaf, Sami.”
“Untuk?”
“Jangan dikira hanya kau yang punya salah. Aku juga. Aku tak pernah menyediakan keperluanmu.”
“Itu bukan kewajiban istri kok. Kewajiban istri kan cuma..., taat pada suami,” Sami akhirnya menemukan kata yang tepat. Hampir saja, barusan ia mengatakan kalau kewajiban istri cuma melayani suami. Kata-kata yang bisa membuat Hanan tersenyum malu lagi, tapi selain itu, Sami juga akan malu setengah mati. Kelihatan sekali, kalau ia mulai menginginkan Hanan. Untung saja, ia menemukan kata yang lebih tepat, sehingga ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Meski sebenarnya, ia menyesal mengetahui dirinya masih sepengecut ini. Kalau ia mau, tak kenal rasa malu, ia bisa langsung bicara pada Hanan, Hanan pastinya tak akan menolak. Tapi...
“Jadi mulai besok..., kita... berteman?” pertanyaan Hanan membuyarkan lamunan Sami yang liar.
Sami mengangguk mantap. Tak apalah berteman dulu, ia ingin kehidupan mereka berjalan dengan alami. Tapi Sami tak tahu, kalau sebenarnya, Hanan menginginkan lebih dari sekedar pertemanan.
Memangnya, kapan sepasang teman ini bisa berubah menjadi sepasang kekasih?
Tapi, well. Bagaimanapun juga, Hanan tetap harus bersyukur. Allah sudah memperbaiki hubungan mereka, padahal sebelumnya, baik Hanan maupun Sami, mengira bahwa hubungan mereka tak akan pernah membaik, selamanya. Tapi Allah memang berkuasa memutar keadaan hanya dengan sekali sentuh, bukan? Termasuk tentang pertemanan ini. Walaupun mereka hanya mengakui sebagai teman, Allah menginginkan lebih. Buktinya, malam itu, tangan Sami terulur menggenggam tangan Hanan erat sekali.
“Mau kutemani bergadang?” tanya Sami mengejutkan Hanan. “Kuambil dulu laptopku ya?” Sami berdiri dan berjalan kekamarnya. Sementara dada Hanan masih berdebar keras. Ia pandangi tangannya yang masih hangat bekas genggaman tangan Sami.
Ia ingat kata-kata Sarah dulu, Sami egois, sulit berkomunikasi, keras kepala. Tapi Hanan melihat kenyataan lain hari ini, Sami ternyata bisa bersikap manis dan lembut. Bahkan jika selamanya mereka hanya berteman, Hanan sangat bersyukur.
Sami datang ketika Hanan masih memandangi tangannya.
“Tanganku meninggalkan kotoran disitu ya?”
Hanan mengerjap. Ia berdiri dan kembali duduk dikursinya, lalu membereskan kertasnya, menyediakan tempat untuk Sami.
“Tak apa, keras butuh alas yang keras, tapi laptop tidak. Kalau boleh, aku disini saja,” meski kesannya Sami meminta persetujuan, toh tanpa menunggu jawaban Hanan, Sami menyibak bad cover dan duduk di tempat tidur Hanan. “Cuma perasaanku atau memang kenyataannya begitu, tempat tidur ini rasanya lebih empuk dibanding tempat tidur disana?”
Hanan tersenyum. Apa telinganya tak salah dengan? Sami mengatakan tempat tidur disini, dan tempat tidur disana, bukan tempat tidurku dan tempat tidur kamu. Hah, sekarang Hanan mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan yang Sami berikan. Termasuk kejutan yang terjadi malam itu juga. Sami mendengkur diatas tempat tidurnya!
* * *
“Kau bukan tak tidur karena aku kan?”
Mereka sedang menyantap sarapan pagi. Seperti biasa bersiap ke kantor. O ya, acara piknik harus mereka tunda untuk waktu yang tak bisa ditentukan.
“Aku tidur kok!” Hanan menyuapkan nasi kemulutnya.
“Sungguh?”
Hanan mengangguk.
“Tapi saat aku bangun subuh tadi, tempat disampingku kosong.”
“Itu karena aku bangun lebih cepat dan kau bangun kesiangan,” Hanan tertawa. Membuat mulut Sami sedikit mengerucut.
“Tapi sungguh kau tidur kan?” Sami tampak khawatir. Dan kekhawatiran Sami sedikit menghilang ketika Hanan menganggukkan kepalanya.
Sebenarnya, Hanan memang hampir tak memejamkan mata kecuali sangat sebentar. Bukan sengaja. Sungguh. Hanan hanya tak bisa tidur dengan wajah Sami tepat didepannya. Sepanjang malam, mana bisa ia tertidur tenang, sementara jantungnya berdebar keras. Jadi bukan salahnya kan?
“Dengkurmu memang keras sih,” Hanan berkata pelan hampir pada dirinya sendiri.
“Hah? Masa?” Sami menyimpan suapannya.
“Bercanda!” Hanan tertawa. “Maksudku, memang keras. Tapi tak mengganggu, malah, aku senang, serasa ada yang menemani. Ibu juga dulu mendengkur.” Hanan berdiri dan berjalan sembari membawa piringnya yang kosong. Sami belum selesai makan. “Kamu melamun apa sih? Bukan makananku yang tak enak kan?”
“Eh, bukan tentu saja. Aku cuma...,” Sami tak melanjutkan. Ia sedang memikirkan keajaiban dirinya sendiri. Apa yang terjadi denganku? Berani sekali aku tidur disana? Lagipula, kenapa ia yang tidur duluan? Seharusnya Hanan yang terlebih dulu tidur, agar ia bisa melihat wajah Hanan sepuasnya. Hah, lagi-lagi... Sami menggelengkan kepala mengusir pikirannya.
“Maaf ya,” Sami menghampiri Hanan yang sedang mencuci piringnya. Ia meletakkan piring kotor dihadapan Hanan, dan Hanan menerimanya sebelum piring itu benar-benar tersimpan.
“Untuk?” Hanan mengambil busa sabun dan menggosok piring bekas Sami.
“Karena aku tidur ditempatmu.”
“Tempatku? Tempat tidurku, tempat tidurmu juga kan?” Hanan menyelesaikan pekerjaannya. Tangan Sami mengambil lap kering dan memberikannya pada Hanan.
“Atau..., kau tak merasa begitu?” Hanan mendesah. Tangannya bergerak pelan. Beberapa saat mereka berdiri berhadapan tanpa berkata sepatah kata pun.
“Tentu saja, aku berpikir sama,” Sami mendekat lagi.
Kini mereka berdiri tak berjarak. Sami memandang wajah Hanan seksama, sementara Hanan mengalihkan pandangannya kearah lain.
“Boleh tidak, aku memelukmu Hanan?”
Hanan mendongak. “Apa?”
Sami semakin mendekat dan memang memeluk Hanan. Semakin lama semakin erat, sampai-sampai dadanya merasa sesak.
“Sami?”
“Sebentar, biarkan aku seperti ini untuk beberapa saat. Biarkan aku....”
Hanan bingung. Suara Sami berbeda dari biasanya. Lemah, tapi berat. Ada sesuatu yang Hanan tak tahu. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sami. Apa? Tanpa Hanan sadari, tangannya terangkat membalas pelukan Sami. Dagunya menempel kuat pada bahu Sami.
“Semua akan baik-baik saja...” Hanan mengusap punggung Sami.
“Semua akan baik-baik saja...”
* * *
Sebelumnya; Bagian 5
Berikutnya; Bagian 7
Selasa, 20 Oktober 2015
Nulis Lagi, Nulis Terus!
Ini tentang ide yang tak berhenti mengalir. Ceritanya berawal dari keputusan besar itu. Keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dunia ngisi pelatiha, dunia bikin pesanan makanan, dan lain lagi banyaknya. Hehe...
Dunia saya sekarang penuh dengan huruf-hurur tulisan orang yang saya baca, dan barisan huruf yang saya tulis. Hasilnya? Saya sudah menyelesaikan 3 novel dengan masing-masing 250 halaman. Novel terakhir, saya selesaikan dalam satu bulan! Bagi saya sih, ini prestasi besar!
Hasil lain setelah saya fokus adalah, saya mendapatkan kesenangan itu. Kesenangan seperti… apa ya, terisinya kekosongan. Ya, saya merasa jiwa saya penuh. Saya merasa bermanfaat, juga merasa hidup. Karena rasa seperti itu, membuat saya merasakan juga bagaimana saya bisa lupa waktu, lupa makan, lupa duduk saat berdiri, lupa berdiri saat duduk, ketika saya menulis. (Saya menulis di tablet soalnya, jadi bisa sambil berdiri... Hehe)
Saya tak peduli naskah saya ditolak, saya tak ambil pusing juga kalau blog saya nggak (belum) ada yang lirik, saya cuma mau menulis. Bukan berarti saya nggak senang juga kalau ada yang nerbitin ya, tapi yang pasti tak membuat saya berhenti menulis.
Tapi rupanya, hal itu mengundang masalah baru...
Sudah dua hari saya lupa nyuci baju, lupa masak, lupa beres-beres. Haha... Untungnya, suami nggak protes, asal jangan lebih dari 3 hari aja kali ya!
Masalah yang kedua adalah, ide yang banyak dan semakin banyak! Saat saya selesai nulis satu bab, muncul ide baru untuk satu novel. Nulis lagi dua bab, dua ide yang lahir. Nulis satu Novel, muncul ide buat bikin buku satu perpus! Saya jadi merasa tangan saya kurang banyak! Waktu saya kurang lama, dan tenaga saya kurang kuat. Hadeuh...
Yah, begitulah...
Tapi, kedua masalah itu bagi saya tetap menyenangkan. Itu karunia Allah kan. Pada masalah pertama, karunianya, saya punya suami pengertian banget... Bahkan kalau dia lihat saya lagi asyik nulis, dia bikinkan kopi panas, kadang juga dia bantu cuci piring. Hebat kan suami saya? Alhamdulillaah...
Pada masalah kedua, karunia nya adalah, saya semakin rajin nulis dan nulis lagi! Ide beruntun itu adalah amanah, jadi harus saya saya syukuri dengan menjalankan amanah-Nya lebih baik lagi. Betul kan?
Dunia saya sekarang penuh dengan huruf-hurur tulisan orang yang saya baca, dan barisan huruf yang saya tulis. Hasilnya? Saya sudah menyelesaikan 3 novel dengan masing-masing 250 halaman. Novel terakhir, saya selesaikan dalam satu bulan! Bagi saya sih, ini prestasi besar!
Hasil lain setelah saya fokus adalah, saya mendapatkan kesenangan itu. Kesenangan seperti… apa ya, terisinya kekosongan. Ya, saya merasa jiwa saya penuh. Saya merasa bermanfaat, juga merasa hidup. Karena rasa seperti itu, membuat saya merasakan juga bagaimana saya bisa lupa waktu, lupa makan, lupa duduk saat berdiri, lupa berdiri saat duduk, ketika saya menulis. (Saya menulis di tablet soalnya, jadi bisa sambil berdiri... Hehe)
Saya tak peduli naskah saya ditolak, saya tak ambil pusing juga kalau blog saya nggak (belum) ada yang lirik, saya cuma mau menulis. Bukan berarti saya nggak senang juga kalau ada yang nerbitin ya, tapi yang pasti tak membuat saya berhenti menulis.
Tapi rupanya, hal itu mengundang masalah baru...
Sudah dua hari saya lupa nyuci baju, lupa masak, lupa beres-beres. Haha... Untungnya, suami nggak protes, asal jangan lebih dari 3 hari aja kali ya!
Masalah yang kedua adalah, ide yang banyak dan semakin banyak! Saat saya selesai nulis satu bab, muncul ide baru untuk satu novel. Nulis lagi dua bab, dua ide yang lahir. Nulis satu Novel, muncul ide buat bikin buku satu perpus! Saya jadi merasa tangan saya kurang banyak! Waktu saya kurang lama, dan tenaga saya kurang kuat. Hadeuh...
Yah, begitulah...
Tapi, kedua masalah itu bagi saya tetap menyenangkan. Itu karunia Allah kan. Pada masalah pertama, karunianya, saya punya suami pengertian banget... Bahkan kalau dia lihat saya lagi asyik nulis, dia bikinkan kopi panas, kadang juga dia bantu cuci piring. Hebat kan suami saya? Alhamdulillaah...
Pada masalah kedua, karunia nya adalah, saya semakin rajin nulis dan nulis lagi! Ide beruntun itu adalah amanah, jadi harus saya saya syukuri dengan menjalankan amanah-Nya lebih baik lagi. Betul kan?
Senin, 19 Oktober 2015
Wedding Organizer
Setelah sukses bantu sodara jadi panitia nikahan anaknya, cuma dengan budget 20 jutaan buat 250 undangan, kini saya juga ditantang untuk ngatur nikahan adik bungsu dengan 1500 undangan cuma dengan budget 60 jutaan!
Gila ya? Tapi… bukan tak mungkin kok! Nyatanya, diatas kertas semua terencana dengan baik.
Tanggal 1 bulan depan, in sha Allah, acara bakalan sukses. Meski bukan berarti nggak deg degan juga sih…. Hehe...
Agenda hari ini adalah, istirahat sejenak!
Gila ya? Tapi… bukan tak mungkin kok! Nyatanya, diatas kertas semua terencana dengan baik.
Tanggal 1 bulan depan, in sha Allah, acara bakalan sukses. Meski bukan berarti nggak deg degan juga sih…. Hehe...
Agenda hari ini adalah, istirahat sejenak!
Selasa, 06 Oktober 2015
Mozaik Cinta (Bagian V)
Hanan menarik resleting tas makan siang Sami. Isinya, satu kotak nasi beserta lauknya, satu kotak puding, dan satu gelas jus jeruk. Tas kecil berbentuk kotak itu segera Hanan bawa ketika dilihatnya Sami keluar kamar.
Sudah seminggu ini, Hanan membuatkan Sami makan siang. Sami selalu mengeluh tentang makanan dikantinnya yang kurang bumbu, kurang variasi, monoton dan tidak menarik. Bukan itu saja, setelah hari itu, Sami selalu menjemput Hanan setiap sore. Bukankah ini perkembangan yang sangat baik? Mereka bahkan tak pernah menyinggung hal-hal yang sensitif dan tak enak untuk dibicarakan. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang menyenangkan, karena tentu saja mereka punya keinginan yang sama. Mereka ingin suasana menyenangkan seperti ini bertahan selama mungkin. Tidak, bukan selama mungkin, tapi selamanya.
“Sudah siap?” Sami menghampiri Hanan. “Harum sekali,” Sami menciumi bau harum yang keluar dari tas makan siang yang dibawa Hanan. Mereka melangkah keluar rumah, Hanan mengunci pintu dan Sami masuk ke mobilnya.
“Mencium baunya, perutku keroncongan dari sekarang,” Sami memutar kemudi.
“Yang benar saja?” Hanan menepuk bahu Sami. “Kau baru saja makan dua piring, Sami!” Hanan tertawa.
“Jangan salahkan aku! Siapa suruh rasanya enak!”
“Pantas saja Ibu bilang kau bertambah gemuk. Penglihatan beliau pastinya benar.”
Beberapa kali mereka memang menjenguk dan mengunjungi Ibu Sami. Terkadang hanya sebentar, terkadang sampai malam. Tapi mereka tak pernah menginap. Hanan tak tahu mengapa, tapi ia menduga, Sami ingin mengerjakan sebuah gambar dirumah. Tapi Hanan tak pernah tahu, bahwa alasan Sami adalah, ia belum siap berada dalam satu ruangan bersama Hanan. Melihatnya memejamkan mata, melihatnya berbaring, bahkan tertidur disamping Hanan. Entahlah, ada sebuah ganjalan yang menghalanginya. Tapi apa itu, Sami juga tak tahu. Apakah Huda? Entahlah. Mengingat Huda, hatinya masih bergetar hebat.
Tapi ketika mereka datang kerumah Ibu, Huda tentu saja selalu ada disana. Dan dihadapan saudara sepupunya itu, Sami tak pernah bisa bersikap manis pada Hanan. Sementara Hanan, seperti sengaja menempel pada Sami jika mereka bersama Huda. Sami mendesah.
Sami ingat betul ketika pertama kali kedua gadis itu bertemu di rumah Ibu. Hari itu tepat satu minggu setelah mereka menikah. Hanan tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Tangan Hanan mencengkeram lengan Sami.
“Sami? Dia?” matanya menatap Sami syok.
“Huda? Kau belum tahu?” karena itu Sami yang dulu, maka ia melepas cengkraman tangan Hanan dengan kasar, tapi sembunyi-sembunyi.
“Belum tahu apa?” Hanan menarik tangan Sami yang selangkah sudah meninggalkannya.
“Dia sepupuku,” jawab Sami enteng. “Seharusnya kau kenal dia dari dulu,” kata Sami sinis.
Hanan benar-benar syok. Sepupu? Gadis berambut coklat itu sepupu Sami? Tapi didalam foto keluarga yang ada di rumah Ibu, tak ada gadis itu. Siapa namanya tadi? Huda?
Hanan mengingat-ingat. Tunggu, Ibu pernah mengenalkan anggota keluarganya satu-satu ketika ia pertama kali diangkat menjadi anak oleh Ibu. Ibu, Ayah, Sarah, Lukman suami Sarah, Sami, dan... sepupu! Ya, ada. Wanita dengan kerudung warna pink yang berdiri disamping Sami dalam foto keluarga!.
“Sami dan sepupunya sangat dekat. Karena kami mengasuh Huda dari kecil, maka mereka tumbuh bersama. Huda sangat dekat pada Sami, lebih daripada kedekatannya pada Sarah. Sami juga sangat sayang pada Huda, seperti dia menyayangi adiknya sendiri. Mungkin karena Sami memang merindukan adik,” itu kata-kata Ibu yang kembali diputar Hanan dalam otaknya. Ya. Huda. Ibu menyebut gadis cantik itu Huda. Tapi Hanan benar-benar melupakannya. Ditambah foto yang ditunjukkan Ibu padanya berbeda dengan kenyataan. Di foto itu Huda memakai kerudung, rambut coklatnya sama sekali tertutup. Berbeda dengan Huda dalam keseharian.
Mereka sangat dekat? Hanan mendesah. Tidak, Ibu. Mereka bukan dekat seperti seorang kakak dan adik, tapi mereka dekat karena mereka sepasang kekasih...
Hanan baru sadar dari lamunannya setelah Sami menarik tangan Hanan.
Saat itu mereka langsung menemui Ibu. Sami menggenggam erat tangan Hanan, kadang juga merangkulnya dan tersenyum ceria memandang Hanan. Tapi ketika Huda datang membawakan minum untuk mereka, perlahan, Sami melepaskan tangannya dari bahu Hanan. Ibu tak akan menyadarinya, tapi Huda dan Hanan pasti menyadarinya.
Ah, Hanan. Bukankah aku selalu membuatmu luka sejak pertama kali kita saling mengenal? Desah Sami. Terutama tentang Huda. Kau paling tersakiti. Dan atas alasan balas budi, kau menanggung sakit itu sendirian. Sami menghembuskan nafas berat.
“Kenapa?” suara Hanan membuyarkan lamunan Sami.
“Eh, tidak!”
“Kau melamun,” Hanan tersenyum. “Ada masalah?”
“Hanya masalah pekerjaan,” Sami berkelit.
Hanan menarik nafas. Sami terbebani dengan pekerjaan? Tidak mungkin. Apakah Sami merasa berat berbuat manis terhadapnya? Sementara dalam ingatannya hanya ada Huda? Hanan melihat keluar jendela. Apa yang dimiliki Huda yang tidak dimilikinya?
“Kau pernah merasa... bosan?” tanya Sami.
“Bosan?” Hanan melihat Sami dan mengerutkan keningnya. Apa Sami bosan pada dirinya? Bosan bersandiwara? Hanan mengerang dalam hati.
“Bosan berada terus di butik misalnya?” tanya Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya.
“Ya, pernah juga,” Hanan mencoba menjawab ringan. “Hei mau mencoba tamasya?” Hanan membulatkan matanya dan mencondongan tubuhnya kearah Sami. Kalau Hanan menunjukkan wajah seperti itu Sami selalu tersenyum. Sikap kekanakkan Hanan terkadang membuatnya merasa menjadi sosok yang sangat dewasa. Berbeda dengan Huda. Huda justru selalu lebih dewasa dari dirinya. Sami mendesah lagi. Kenapa jadi membandingkan mereka berdua?
“Oh, kau tak mau?” antusias Hanan meruntuh.
“Eh, mau tentu saja! Kita belum pernah pergi berdua kan?”
Hanan tersenyum. “Sungguh?”
“Sungguh-sungguh. Jadi mau kemana?”
“Mh?”
“Kau suka hiking?” Huda suka hiking. Dia juga suka berkemah, suka panjat gunung.
“Aku belum pernah coba, jadi tak bisa bilang suka atau tidak. Kalau kau mau, aku mau mencoba,” Hanan menjawab bersemangat.
“Sebenarnya aku tidak suka, bagiku hiking bukan malah tamasya, tapi malah cape. Benar tidak? Kalau aku tak salah, Ibu pernah bilang kalau kau juga tak suka hal-hal semacam itu. Benar?”
Hanan tersenyum kecil. Benar. Dan itulah yang membuatnya resah. Di antara mereka terlalu banyak persamaan. Bukankah sesuatu yang sama tak akan bisa bersanding lama?
“Jadi kau mau kemana?”
“Terserah saja,” jawab Hanan riang, mencoba menutupi resahnya.
“Kau suka suasana pantai?”
“Aku suka lihat pantai. Tapi tak pernah benar-benar pergi kesana.”
“Baiklah, kalau begitu kita pergi kepantai,” sekarang Sami yang sangat bersemangat.
“Hah, laki-laki memang sangat suka kepantai,” Hanan mendengus.
“Bukan lihat pantainya kan? Tapi lihat pengunjung pantainya!” mulut Hanan maju satu senti. Sami tertawa terbahak, keras sekali. Hanan sampai menoleh padanya dan menatapnya heran. Sami bisa terawa sekeras itu?
“Jadi kapan kita berangkat? Sekarang?” kata Sami setelah reda dari tawanya.
“Kau benar-benar sudah tidak sabar lihat bikini ya?” Hanan bersidekap dada, marah. Dan melihat muka Hanan, Sami tertawa lagi, kali ini lebih keras.
“Kau sudah sampai,” kata Sami sembari berusaha menghentikan tawanya. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya mengusap air mata yang hampir menetes karena terlalu banyak tertawa. Sementara tangan kirinya memegang perut yang terasa sakit juga karena banyak tertawa.
Hanan membuka sabuk pengamannya, tapi tangannya berhenti karena Sami mengatakan sesuatu lagi.
“Kalau kau tak ingin aku melihat bikini orang lain, kenapa kau tak pakai bikini di rumah?” Sami tersenyum menggoda Hanan. Tapi candaan Sami bukan membuat Hanan tertawa, sebaliknya ia semakin tertunduk, tapi kali ini karena malu. Sami sadar, ia tengah mengatakan sesuatu yang sensitif. Apakah kata-katanya terlalu cepat?
“Aku cuma bercanda,” Sami mengacak kepala Hanan yang berbalut kerudung sebelum ia mencium tangan Sami dan keluar dari mobil.
“Bagaimana kalau besok?” Sami menahan langkah Hanan yang hampir mencapai pintu butik.
“Aku ikut saja.” Dan setelah senyunmya yang terlihat merah, Hanan menghilang tertelan pintu kantornya, atau butiknya, atau apalah itu. Sami menyandarkan tubuh dan kepalanya. Tangan kirinya masih memegangi perut yang masih terasa tegang.
Mata Sami terpejam, mengingat dan mengendapkan bayangan Hanan yang tersenyum memerah. Senyum karena malu. Hanan benar-benar manis kalau seperti itu. Ranum, membuat Sami ingin menggigitnya. Tiba-tiba Sami membuka matanya.
Aku mikirin apa sih?
Sami menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran kotornya. Kotor? Ah, tidak. Hanan kan istrinya. Justru jika ia membayangkan Huda, maka ia tengah berpikir kotor. Meski ia membayangkan senyumnya saja. Benar kan?
Dan aku sering melakukan itu. Hhh... Hanan sering-seringlah tersenyum seperti tadi, agar aku bisa melupakan Huda secepat aku bisa...
* * *
Sami tertegun melihat kotak makan siangnya. Entah apa yang dilihatnya, karena selain menu dan penampilannya yang menggugah selera, tak ada yang aneh dengan makan siangnya.
Setelah diam memandang beberapa lama, tiba-tiba dengan gerakan cepat, Sami menutup kotak makan siangnya lalu memasukkannya kembali kedalam tas. Lalu dengan teruburu-buru, disambarnya kunci mobil dan dijinjingnya tas makan kemudian berjalan tergesa keluar kantor. Saking tergesanya, tak ada satu pun karyawan yang sempat menegurnya, mereka hanya melihat kepergian Sami dengan heran. Salah satu karyawan yang juga melihatnya hingga menghilang adalah Huda. Dia melihat Sami dengan sorot mata sendu, sembari tangannya meragkul kotak makan siang yang sedianya akan ia berikan pada Sami.
Setelah Sami tak terlihat, Huda kembali masuk keruangannya dan duduk dimejanya. Makan siang kali ini pun ia buat untuk sia-sia. Bahkan untuk sekotak makan siang, Sami sudah tak lagi membutuhkannya. Tangannya mengepal kuat, menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera dadanya. Rasa sakit, yang hanya dirinya yang mengerti...
* * *
“Ya, baiklah saya akan mencobanya,” Hanan berbicara dengan telefon kabelnya. “Untuk design saya akan menyelesaikannya malam ini, besok Tante bisa datang deh, lihat dulu...,” kata-kata Hanan terpotong karena tiba-tiba matanya menangkap sosok Sami didepannya.
Sami mengangkat tangannya, mempersilahkan Hanan untuk melanjutkan.
“Ya..., jadi kalau tak cocok, saya bisa langsung merubahnya sesuai dengan kesan yang ingin Tante tampilkan.”
Sami berjalan mengelilingi ruangan Hanan. Di ujung sana, Sami membuka buka gambar design dan menyentuh kain- kain sample yang ditumpuk. Hanan berusaha terus konsentrasi dengan Tante Diah yang tengah mengajaknya bicara sekarang. Tentang keinginan anaknya, selera, bla bla bla...
“Ok. Tapi lebih bagus lagi, kalau anak Tante besok kesini. Siapa namanya? Ya, Luna. Biar ia bisa langsung koreksi.”
Sami berjalan lagi dan duduk di sofa besar berwarna tanah. Warna yang lembut namun elegan. Sami memuji cara Hanan mengatur interior kantornya. Sangat Hanan, juga sangat dirinya. Ibu benar, selera mereka sama persis.
“Wahhh! Sekalian saja saya dirikan wedding orginezer!” Hanan tertawa. “Ya, konsepnya sudah saya tangkap.”
Sami memandang Hanan dari kursinya dengan kening berkerut. Hanan melihatnya dan mengira-ngira apa yang membuat kening laki-laki itu berkerut.
“Sip deh. Yo, Wa’aikumussalam...” Hanan menyimpan gagang telponnya.
“Merancang baju pengantin?” Sami menebak.
“Ya. Tante Diah itu langgananku. Setiap beli baju, pasti datang kesini. Untuk pernikahan anaknya, ia ingin aku yang merancang bajunya. Ya, memaksa gitu deh,” Hanan berdiri dan menghampiri Sami, lalu duduk diseberang Sami. Di Sofa ukuran sedang. “Tadinya aku menolak, aku menawarkan jasa Kas Sarah, kubilang beliau perancang wedding dress. Tapi dia keukeuh, akhirnya karena Luna-nya sendiri juga maksa, aku setuju untuk mencobanya.”
“Sudah selesai?”
“Aku tidak bermaksud merebut pekerjaan Kak Sarah kok!”
Sami tertawa, membuat lagi-lagi, Hanan memandangnya dengan heran. Meski tawa yang ini tak sekeras tawanya tadi pagi, tetap saja Hanan merasa kaget.
“Memangnya siapa yang menuduhmu merebut pekerjaan orang lain sampai kamu cerewet membela diri?” tanya Sami disela-sela tawanya.
Mulut Hanan mengerucut. Memang tidak ada sih. Itu cuma kesimpulannya sendiri karena melihat kerutan di kening Sami. “Sampai kapan kau akan tertawa?” tanya Hanan kesal.
Sami menutup mulutnya dan berusaha menghentikan tawanya.
“Menurutku tak ada yang lucu,” Hanan cemberut lagi. Tawa Sami meledak lagi, tapi kemudian ia membekap mulutnya dan berhenti tertawa.
“Maaf,” Sami berhenti tertawa sekarang. Ia berdehem beberapa kali, menyamarkan tawa yang hampir keluar lagi. “Aku juga tidak tahu sejak kapan aku sangat suka tertawa,” akunya pada Hanan. “Tapi, well, sudahlah. Aku berdo’a semoga ... apa tadi? Wedding...”
“Wedding dress.”
“Ya, pesanan wedding dressnya berjalan lancar. Aku berjanji akan tutup mulut pada Kak Sarah,” telunjuk dan ibu jari Sami saling menempel dan menggariskannya dibibir. Memberi tanda, ia akan tutup mulut. “Sekarang, mana kotak makan siangmu?”
Hanan mengerutkan keningnya. Kotak makan siang?
“Kau membuatkanku makan siang, kau pasti membuat untuk dirimu sendiri kan?”
Hanan mengerjap. Membuat untuk diri sendiri?
“Jangan katakan, kalau kau tidak membawa bekal?” intonasi Sami meninggi.
Hanan melihat ke jendela menghindari tatapan Sami.
“Kau juga tak beli makanan dari luar kan?” tanya Sami melihat gelagat Hanan yang aneh.
“Masalahnya, aku tak sempat...,” bisik Hanan.
“Ya Allah..., tak sehari pun selama hidupmu kau makan siang? Jangan jadikan keasyikanmu dengan pekerjaan sebagai alasan. Apa kau sadar, kau bisa sakit tahu?” Sami marah. Tapi kali ini, Hanan tak kesal dengan marahnya Sami.
Hanan memandang Sami dengan senyum kemenangan dan tatapan yang aneh. Sami menyadarinya. “Ya, ok. Aku juga sama. Jadi aku memarahi diriku juga. Ok?”
Hanan tertawa.
“Sekarang kau yang tertawa,” Sami berpindah duduk kesamping Hanan. “Sekarang, karena kau tak membawa bekal, kita makan saja ini berdua.” Sami membuka resleting dan mengeluarkan satu persatu bekalnya dari dalam tas. “Tapi karena sendoknya hanya satu, kita bergantian saja ya?”
“Sebenarnya, kau datang kesini untuk...”
“Mencari teman makan.” Jawab Sami. Ia memberikan sendok pada Hanan, menyuruhnya menyuapkan makan terlebih dahulu.
“Sebenarnya, aku belum lapar...” Hanan berpaling. Ia memang tak biasa makan siang. Sejak kecil.
“Itu karena kau membiasakan diri untuk keasyikan bekerja, jadi kau harus rubah kebiasaan itu sedikit-sedikit. Makan siang sangat dibutuhkan tubuh kita. Kau ingat, kau pernah mengatakan ini padaku?”
Hanan terdiam beberapa saat. Sami mengambil inisiatif mengambil nasi satu sendok dan daging beberapa serat, lalu menyuapkannya pada Hanan.
“Bukan kebiasaan Sami, tapi karena tak ada makanan...,” Hanan menerawang. Kata-kata Hanan yang pelan membuat Sami menurunkan tangannya juga perlahan. Apa katanya?
“Aku dan Ibu harus bekerja dari subuh hingga malam. Bekal nasi tiga suap dipagi hari sudah cukup jadi energi untuk kami. Kami mencuci semua baju mereka, menyiapkan makanan mereka, mencuci piring bekas mereka, membereskan ruangan mereka. Saat jam makan siang, adalah saat-saat paling sibuk. Tak ada waktu untuk makan. Kalaupun ada, kami tak pernah berani makan, jika tidak, kesalahan kecil itu akan membawa ibuku pada paksaan untuk melayani tamu,” Hanan mengusap airmata yang tiba-tiba meleleh.
Sami terkesiap, disimpannya kotak makan siang beserta sendok yang tadi dipegangnya. “Kalian tak punya hari libur?”
“Tidak. Kami mengurus makanan banyak orang, dan banyak orang itu tak pernah berhenti minta makan kan?” Hanan tertawa hambar. “Kami tak boleh makan dari jatah makan mereka. Makanan kami adalah makanan yang kami beli dengan uang sendiri. Uang gaji yang tak pernah cukup untuk sekedar mengganjal perut satu orang wanita ringkih, dan satu anak kecil.” Air mata Hanan meleleh lagi, kali ini jemari Sami yang menghapus aliran itu perlahan.
“Kalaupun kami ada uang, kami memilih untuk mengumpulkannya, agar kami bisa menebus diri kami dan keluar dari tempat itu,” sekarang tetesan airmata itu susul menyusul. “Maaf, aku jadi mengatakan yang tidak-tidak,” punggung tangan Hanan saling berlomba menyusut air mata. “Aku tak tahu, kenapa aku bicara hal ini padamu, sebelumnya, cerita ini milikku sendiri...,” Hanan menelan ludah berkali-kali, berusaha menahan tangisnya.
Sami melihatnya dengan sedih. Kehidupan Hanan sekeras itu?
“Tidak, tak perlu ditahan, menangis saja kalau kau memang ingin...,” tangan kekar Sami mengambil kepala Hanan dan merengkuhnya. “Menangis saja... Kau sudah menahannya sekian lama, bukan? Lepaskan, Hanan...”
Awalnya airmata Hanan hanya meluncur tanpa suara, tapi seiring bergolaknya dada Hanan, isak itu keluar juga. Semakin lama semakin keras. Sami mengeratkan pelukannya, lalu disentuhkannya mulutnya pada kepala Hanan. Hanan adalah perempuan pertama yang menangis didadanya.
Setelah waktu berlalu cukup lama, tangis Hanan mereda. Jika pada awalnya, tangisan itu pelan dan semakin lama semakin keras, sekarang sebalknya, tangisan itu semakin memelan dan mereda pada akhirnya. Sami merasa lega. Sudah habiskah emosi Hanan? Sudah tersalurkan?
“Maaf,” Hanan menjauh dari tubuh Sami. Tangannya sibuk menghapus airmata.
“Sudah merasa lebih baik?” Sami menatap Hanan tersenyum.
Hanan mengangguk. “Maaf. Aku tak tahu, kenapa aku tiba-tiba menceritakan hal yang tak perlu seperti itu,” Hanan tertawa pelan.
“Jangan minta maaf. Lagipula..., masa lalu bukan sesuatu yang tak perlu.” Sami menghela nafas panjang. “Baiklah, kalau kau masih sulit makan, sekarang, temani aku saja. Ok?”
Hanan mengangguk setuju tak tahu kalau Sami berbohong. Diantara suapan-suapan untuknya, Sami terkadang menyodorkannya untuk Hanan. Memaksanya dengan lembut, kadang juga memaksanya sungguh-sungguh. Dari tiga suap yang berhasil masuk perut Hanan, Hanan mengunyahnya dengan penuh penderitaan. Lalu dengan minum air seteguk, Hanan sudah menderita kekenyangan.
“Sepertinya, mulai hari ini, aku akan makan siang disini setiap hari.” Kata-kata ringan, tapi cukup membuat Hanan tersentak.
Apa? Tidak! Tapi jauh dilubuk hatinya, Hanan menyukai keadaan ini, juga Sami.
Kamis, 01 Oktober 2015
Ertugrul
Kisah hidup Ertugrul tidak semeriah pahlawan Islam lainnya. Tak seagung keturunannya al-Fatih, tidak juga seharum Shalahuddin al-Ayubi.
Jujur saja, saat mendengar nama ini saya juga mengerutkan kening, mengingat-ingat, karena saya yakin pernah mendengarnya entah kapan, entah dimana. Saat menelusuri jejaknya pun, tak banyak orang berkisah rupanya. Tapi meski begitu, keharuman namanya tetap tercium meski kisahnya hanya satu halaman terulas.
Masa kehidupannya sangat bersinggungan dengan sejarah besar Islam masa itu. Diantaranya, Kesultanan Mamaluk di Mesir, Perang 'Ain Jalut, Agresi Mongol, Kesultanan Saljuk Roma, Perang Salib, dan tentu saja Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ertughrul tak terlibat langsung dalam segala hal itu, tapi segala peristiwa itu memeliki keterkaitan dalam hidupnya.
Ertugrul adalah ayah kandung Utsman I, pendiri Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ia seorang pemimpin suku Kayi, bangsa Turki.
Kepahlawanannya dimulai ketika ia terusir dari agresi Mongol, ia dan ayahnya, Sulaiman Syah keluar dari Asia Tengah dan berlindung dibawah Kesultanan Saljuk Roma saat diperintah oleh Sultan Alauddin II.
Wilayah Kesultanan Salju Roma berbatasan wilayah Kekaisaran Bizantium, yang tentu saja kedekatan itu menimbulkan pergesekan, karena kaum salib saat itu juga tengah melakukan misi Perang Salib. Dalam sebuah peperangan melawan Bizantium, Ertugrul memimpin 400 pasukan berkuda, dan secara gemilang mendapatkan kemenangan, yang membuat Sultan Alauddin II memberinya hadiah sebuah wilayah di Angora (sekarang Ankara), wilayah yang berbatasan langsung dengan Kekaisaran Bizantium.
Ketika didunia luar terjadi banyak peristiwa, salah satunya perang 'Ain Jalut (1260) Ertugrul terus merongrong wilayah Bizantium, hingga satu persatu desa berhasil ia kuasai. Selain itu, ia juga membangun wilayahnya dengan segala hal untuk kemajuan, mulai dari pendidikan hingga pertahanan. Hingga ia wafat pada tahun 1280.
Atas restu Sultan Saljuk, putranya Utsman melanjutkan kepemimpinan di wilayah yang dikuasai Ertugrul.
Pada masa depan, Utsman inilah yang mendirikan Kesultanan Turki Ustmaniyah dari daerah yang ia warisi dari ayahnya, Ertughrul.
Wallaahu'alam.
Jujur saja, saat mendengar nama ini saya juga mengerutkan kening, mengingat-ingat, karena saya yakin pernah mendengarnya entah kapan, entah dimana. Saat menelusuri jejaknya pun, tak banyak orang berkisah rupanya. Tapi meski begitu, keharuman namanya tetap tercium meski kisahnya hanya satu halaman terulas.
Masa kehidupannya sangat bersinggungan dengan sejarah besar Islam masa itu. Diantaranya, Kesultanan Mamaluk di Mesir, Perang 'Ain Jalut, Agresi Mongol, Kesultanan Saljuk Roma, Perang Salib, dan tentu saja Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ertughrul tak terlibat langsung dalam segala hal itu, tapi segala peristiwa itu memeliki keterkaitan dalam hidupnya.
Ertugrul adalah ayah kandung Utsman I, pendiri Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ia seorang pemimpin suku Kayi, bangsa Turki.
Kepahlawanannya dimulai ketika ia terusir dari agresi Mongol, ia dan ayahnya, Sulaiman Syah keluar dari Asia Tengah dan berlindung dibawah Kesultanan Saljuk Roma saat diperintah oleh Sultan Alauddin II.
Wilayah Kesultanan Salju Roma berbatasan wilayah Kekaisaran Bizantium, yang tentu saja kedekatan itu menimbulkan pergesekan, karena kaum salib saat itu juga tengah melakukan misi Perang Salib. Dalam sebuah peperangan melawan Bizantium, Ertugrul memimpin 400 pasukan berkuda, dan secara gemilang mendapatkan kemenangan, yang membuat Sultan Alauddin II memberinya hadiah sebuah wilayah di Angora (sekarang Ankara), wilayah yang berbatasan langsung dengan Kekaisaran Bizantium.
Ketika didunia luar terjadi banyak peristiwa, salah satunya perang 'Ain Jalut (1260) Ertugrul terus merongrong wilayah Bizantium, hingga satu persatu desa berhasil ia kuasai. Selain itu, ia juga membangun wilayahnya dengan segala hal untuk kemajuan, mulai dari pendidikan hingga pertahanan. Hingga ia wafat pada tahun 1280.
Atas restu Sultan Saljuk, putranya Utsman melanjutkan kepemimpinan di wilayah yang dikuasai Ertugrul.
Pada masa depan, Utsman inilah yang mendirikan Kesultanan Turki Ustmaniyah dari daerah yang ia warisi dari ayahnya, Ertughrul.
Wallaahu'alam.
Langganan:
Postingan (Atom)