Melihat si cikal pulang setelah mondok 2 bulan lebih, ada yang mengiris hati. Dia kurus, berat badannya hampir menghilang 10kg. Saya menahan diri untuk mengelus dada, menahan diri untuk mengatakannya kurus, menahan diri untuk memeluk sambil menangis.
Saya sambut dia dengan rentangan tangan selebar-lebarnya, dan berkali-kali menyebut dia bertambah ganteng. Satu hal yang pertama terlintas adalah, saya, bagaimana pun keadaannya, saya tertap harus membesarkan dia, juga mungkin… membesarkan diri saya sendiri. Oh… ayolah, cuma kehilangan berat badan!
Setelah bicara, terungkitlah, bahwa penyebabnya bukan karena jatah makannya yang dibatas, bukan juga karena dia tak betah (Alhamdulillaah, hal yang saya takutkan tak terjadi). Masalahnya hanyalah, dia jadi tidak ngemil, karena memang tak ada sesuatu untuk dijadikan cemilan. Padahal biasanya, si cikal ngemil nasi atau mie instan dua bungkus. Haha!
Saya kira… ini hanya soal pendisiplinan saja. Dan saya sangan mendukung hal itu. Saya pikir… pengendalian pertama, pendisiplinan pertama, adalah dari perut. Seseorang yang sudah mudahmengendalikan nafsu perutnya, maka dia akan mudah mengendalikan nafsu yang lainnya.
Sekarang, setelah si cikal kembali ke pesantren beberapa minggu lalu, seliweran itu masih saja terdengar. Teman bilang saya terlalu tega kalau membiarkan, ada yang usul juga, saya harus mengambil anak saya dari pesantren tersebut karena kwalitas gizi yang buruk, padahal anak asuh sedang dalam masa pertumbuhan, dan… entah apalagi.
Saya? Seperti biasa, tak terllau peduli. Saya mendapat rekomendasi pesantren yang bersangkutan, langsung dari Allah. Saat kami hampir dipuncak lelah, dengan waktu semakin terdesak, kami minta petunjuk pada-Nya. Dan kontan, Allah menjawabnya. Jadi,dengan berbagai pertimbangan, kemantapan hati kami (saya dan suami) tak akan luntur hanya karena anak saya jadi kurus. Bayarannya sangat tak sebanding, jika mimpi besar saya, harus saya buang hanya karena kasihan tabungan berat badan anak saya hilang perlahan. Terlalu konyol.
Saya tak kasihan? Kemana hati saya sebagai ibu? Sebagai seorang ibu, hati saya lebih miris daripada siapa pun. Tentu saja. Tapi sekali lagi, mimpi saya terlalu besar jika harus ditukar perasaan saya yang terlalu remeh. Yah, anggap saja ini pengorbanan yang harus kami bayar untuk kemenangan besar (fauzan 'adzim) dimasa datang.
Pada akhirnya, saya titipkan dia pada Yang Memiliki dia, saya serahkan penjagaannya pada Yang Tak Pernah Tidur, saya wakafkan dia untuk Allah. Mempersiapkan dia, menjadi panglima penting dalam pemerintahan Imam Mahdi kelak. Maka Allah, terimalah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar