Silahkan sebut aku gila, atau mungkin orang yang tak biasa. Aku aneh, atau semacamnya. Tapi aku merasa aku benar.
Malam takbiran, berjalan seperti malam takbiran tahun-tahun sebelumnya. Ramai, petasan, kembang api, bedug, dan ratusan, bahkan mungkin ribuan orang. Biasa, kata orang. Memang begini kok. Tapi, sekali lagi, silahkan sebut aku aneh atau gila sekalian. Aku baru melihatnya hari ini. Baru sekali ini aku berdiri di trotoar dan menyaksian semuanya dengan mata kepalakku sendiri. Sepanjang hidup, aku baru menyaksikannya sekarang, diusiaku yang melebihi batas tiga puluh satu tepat. Sekarang, kau tertawa dan menyebutku aneh. Tapi keanehanku, mungkin tak berhenti sampai situ. Baca saja selanjutnya...
Aku tercengang, asli. Ya, meski tidak dengan mata melotot dan mulut mangap juga sih. Tapi toh, aku tetap kaget. Aku, seperti orang kampung (padahal aku orang bandung lho!) yang baru datang kekota (di garut) dan dengan wajah ‘amazing’ merasa tersentak sekaligus merasa terganggu. Terganggu?
Kawan, sebagaimana yang mungkin telah kau tahu, sementara aku baru tahu, mereka, anak-anak muda itu berdiri berdesakan di atas mobil colt dolak sambil berjoget ala dangdut tapi mendendangkan takbir dengan lapaz yang kurang benar. Yang lain menabuh bedug besar, yang lain menyulut petasan. Dan, orang-orang dipinggir jalan menyaksikan semua itu dengan hati yang riang. Kecuali mungkin aku, yang sekali lagi, terlalu syok untuk bereaksi.
Sekalian kalian tertawa pangkat dua. Oh my... nisa baru melek soal itu? Ya. Aku ibu-ibu yang baru melek dunia...
Oh, tuhan... rasanya aku satu-satunya orang normal yang hidup di kolong dunia ini...
Maksudku, ya ampun... ngapain coba mereka melakukan semua itu? Takbiran? Sambil joged dan nyulut petasan? Tertawa-tawa teu puguh kayak orang mabok (yang ini aku benar-benar mencurigainya), ngabisin duit cuman buat dibakar jadi suara menggelegar atau cahaya kembang api menyilaukan.... buat apa? Tak ada manfaatnya sama sekali. Kecuali kemacetan yang meraja. Itu takbir kemenangan karena berhasil mengekang nafsu, atau takbir kemenangan karena syetan laknatullah kembali merdeka tanpa borgol?
Jika melihat perilaku takbiran yang seperti itu, tanpa ragu aku mehjawab... pernyataan nomor kedua yang benar. Vonisku terlalu kejam? Mungkin. Tapi aku yakin aku benar. Soalnya... oh ayolah... kalau mereka memang takbir sebenar-benar, kenapa tak dimasjid saja coba? Ramaikan tuh masjid, kata kang aher juga. Bukan dijalanan. Please deh!
Oh, ya. Informasi yang tak kalah membuatku melongo, (kali in i kayaknya benar-benar sambil mangap deh!) mereka bakalan ‘tawaf’ sampe subuh! Lalu tidur sampe pagi, tanpa shalat subuh apalagi salat sunat ied! Benar kan? Cuman aku yang normal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar